10 kota berbahaya di illinois 2022
|
Kemunculan sarana streaming film bernama Netflix, seketika mengubah pandangan para pecinta film terhadap sajian sebuah film atau serial. Meskipun berdiri sejak tahun 1997, namun Netflix baru benar-benar bisa dinikmati di ratusan negara sejak tahun 2016. Film-film dan serial yang disajikan pun terasa berbeda dengan film atau serial yang biasa kita tonton sebelum ada Netflix. Sebut saja keunikan serialOzark, Black Mirror atau Stranger Things. Sajian hiburan dengan alur cerita yang tak biasa, bukan? Show
Nah, di tahun 2021 ni, Popbela mencoba mengingat film-film Netflix menarik apa yang layak ditonton atau bahkan ditonton ulang di waktu senggang. Berikut ini deretan rekomendasi judul film Netflix terbaik dari 2020 hingga 2022 versi Popbela. Tonton, yuk! 1. ALIVEhttps://www.youtube.com/embed/jQ8CCg1tOqc Menonton ALIVE bagaikan sebuah perpaduan antara menyaksikan kegilaan zombie di film World War Z, dengan perlakuan cerita Train to Busan. Bagi kamu pecinta film zombie, wajib memasukkan film netflix terbaik ini ke daftar must watch kamu, Bela. Pasalnay, tidak seperti perlakukan film-film zombie di Hollywood, sutradara sekaligus penulisnya, Il Cho, tahu benar hal-hal logis yang pantas dilakukan ketika berada di situasi genting seperti ini. Bahkan, sosok karakter perempuan yang bernama Kim Yoo-bin, justru menjadi penyelamat bak seorang MacGyver dengan segala peralatan yang ia punya. Jangan lupa siapkan popcorn, ya! Bakal seru! 2. The Old Guardhttps://www.youtube.com/embed/aK-X2d0lJ_s Film netflix terbaik bergenre aksi yang dibintangi oleh Charlize Theron ini adalah adaptasi dari komik yang berjudul sama, Bela. Kalau kamu belum tahu komiknya, Popbela nggak akan kasih bocoran terlalu banyak, karena bisa spoiller! Intinya, Charlize yang berperan sebagai Andy, adalah leader dari sebuah grup tentara elit yang sangat spesial. Mereka berbeda dari tentara yang ada di bumi ini. Aksi bela diri maupun ceritanya akan membuatmu tercengang dan nggak sabar menunggu sequel nya! 3. The Devil All the Timehttps://www.youtube.com/embed/EIzazUv2gtI Setelah bersanding dengan aktor kawakan Willem Dafoe di The Lighthouse, di film The Devil All the Time menjadi film Robert Pattinson yang menunjukkan kekuatannya dalam berakting, bisa lebih dari sekadar menjadi vampir yang berkilau. Memang di film netflix terbaik ini Tom Holland menjadi bintang utamanya, namun tidak bisa menapik kelihaian R patz dan Bill Skarsgård yang cukup mencuri perhatian. Sebuah kisah kelam di satu kota kecil yang berimbas pada satu pembunuhan ke pembunuhan yang lain. Kali ini Tom berada di film yang sangat serius, sehingga kamu bisa melihat sisi lain dari sang Spider-Man ini. 4. His Househttps://www.youtube.com/embed/DYY0QJhlXjc Masih cukup segar, fim His House adalah film bergenre horor yang baru saja rilis pada akhir September kemarin. Hal yang membuat film ini menarik, adalah penyampaian yang tidak bertele-tele dengan membuat karakter dalam film sempat tidak percaya dengan kehadiran makhluk halus di dalam rumah. Ya, seperti kebanyakan film horor besutan Hollywood. Adalah Bol dan Rial, pasangan pengungsi dari pertikaian antar suku di desa mereka di Sudan Selatan. Meminta perlindungan di Inggris, mereka diberikan hunian sederhana khusus pengungsi untuk tinggal. Namun, ternyata ada kenangan masa lalu yang mengikuti mereka hingga ke rumah tersebut! Bagi pecinta horor, wajib menonton film netflix terbaik ini, karena sajiannya cukup berbeda dan terasa sesuai dengan harapanmu saat menonton film horor yang bikin geregetan! 5. Project Powerhttps://www.youtube.com/embed/xw1vQgVaYNQ Semua aktor pada akhirnya akan terjun ke Netflix. Tidak terkecuali Jamie Foxx dan Joseph Gordon-Levitt yang sudah bisa kita saksikan di film Netflix terbarunya, Project Power. Berada di genre action, film ini berkisah tentang pil yang bisa memberikan kekuatan super hanya dalam lima menit saja! Sehingga, pil ini pun menjadi rebutan untuk menghalalkan orang-orang tertentu dalam memenuhi keinginannya. Berlatar kota New Orleans, kamu bisa menyaksikan akting pendatang baru, Dominique Fishback yang cukup mumpuni dan turut menghiburmu. Nggak rugi waktu, deh, nonton film ini. 6. Vampires Vs The Bronxhttps://www.youtube.com/embed/k2yfp6oj2hw Vampir memasuki kota besar atau di desa-desa terpencil dengan mayoritas kulit putih, sudah biasa kita saksikan. Kali ini ada vampir masuk ke kawasan The Bronx, New York! Mari kita berbicara mengenai cara orang kulit hitam mengatasi setan, hantu, atau vampir. They run! Hal yang paling logis, bukan? Bayangkan saja jika orang kulit putih di film-film seperti ini melakukan hal serupa ketimbang menghampiri ruang atau jalanan kosong, pasti film horor cepat selesainya. Kenyataan tersebut yang dihadirkan pada film Vampires Vs The Bronx. Film komedi horor ini akan menyajikan cerita tentang empat sekawan yang mau melawan sekawanan vampir di kota mereka. Pas buat nonton film netflix terbaik ini pada akhir pekan di rumah, nih! 7. Extractionhttps://www.youtube.com/embed/L6P3nI6VnlY Manusia setengah dewa yang kita kenal dengan nama Thor pun, juga main hati ke Netflix, Bela. Tentunya berada di genre action, Chris Hemsworth akan memukaumu di film Extraction. Berkisah tentang Tyler Rake (Chris Hemsworth), tentara bayaran dan mantan operator SASR, yang direkrut oleh sesama tentara bayaran, Nik Khan (Golshifteh Farahani) untuk menyelamatkan seorang anak remaja dari Dhaka, Bangladesh. Tim Rake dan Khan bersiap untuk mengekstrak Ovi, dengan pasukan ayahnya akan membayar mereka setelah Ovi berhasil diselamatkan. Namun kejanggalan terjadi dan aksi saling bunuh pun, tak dapat dihindari. 8. Outside the Wirehttps://www.youtube.com/embed/u8ZsUivELbs Ketika pilot pesawat drone, Letnan Harp (Damson Idris), dihukum karena melakukan tindakan melawan perintah, ia dikirim ke zona militer yang mematikan. Dirinya mendapati bekerja untuk Kapten Leo (Anthony Mackie), seorang perwira android yang ditugaskan untuk menemukan perangkat mematikan yang bisa menjadi penyebab kiamat, sebelum pemberontak melakukannya. Outside the Wire disutradarai oleh Mikael Hafstrom dan debutnya di Netflix sudha hadir sejak 15 Januari lalu. 9. Space Sweepershttps://www.youtube.com/embed/H1WYnJF1Pwo Oke, kamu kalau belum menonton Space Sweepers, dijamin menyesal, Bela. Film science-fiction asal Korea Selatan ini memiliki produksi terbaik yang wajib kamu nikmati. Berkisah tentang pekerjaan mengejar puing-puing luar angkasa untuk dijual, seperti layaknya pemungut sampah di jalanan. Tahun 2092 memang tahun yang berbeda sekali, Bela. Empat orang misfits yang menjadi satu kru, ternyata mengungkap rahasia mengenai kehadiran humanoid yang bisa meledak dan mengakibatkan kehancuran luar biasa. 10. Finding 'OHANAhttps://www.youtube.com/embed/FTqLUEpWqEc Ingin film keluarga yang santai tapi seru? Nah, Finding 'OHANA bisa jadi tontonan kamu sekeluarga. Berkisah tentang dua saudara kakak beradik asal Hawaii, namun dibesarkan di Brooklyn. Pada suatu musim panas di pedesaan O'ahu, mereka menemukan sebuah jurnal yang menunjuk ke harta karun yang telah lama hilang. Kejadian ini menempatkan mereka pada petualangan epik dengan teman-teman baru dan menuntun mereka untuk terhubung kembali dengan warisan Hawaii mereka. 11. The Mitchells vs. The Machineshttps://www.youtube.com/embed/_ak5dFt8Ar0 Masih dengan film keluarga yang ringan, kali ini sajian animasi yang mengocok perut juga akan menghiburmu secara maksimal! The Mitchells vs. The Machines menceritakan tentang keluarga disfungsional yang kocak, ketika melakukan road trip. Di dalam perjalanan tersebut, mereka malah masuk ke dalam dunia yang dikuasai robot! Tiba-tiba saja mereka menjadi harapan terakhir umat manusia di dunia tersebut! Bagaimana keseruan kisah keluarga The Mitchells? Cocok nih, untuk tontonan liburan. 12. Love and Monstershttps://www.youtube.com/embed/DdIHtymX_Fc Bagi penggemar Dylan O’Brien, ia mengawali 2021 dengan film thriller fantasi yang seru, Bela. Kisah tentang kehancuran bumi akibat munculnya monster, membawa Joel Dawson (Dylan O'Brien) kehilangan orangtuanya, terpisah dari kekasihnya dan bergabung dengan satu koloni. Tujuh tahun setelah Monsterpocalypse, Joel terhubung kembali melalui radio dengan pacar SMA-nya Aimee, yang telah tinggal di pantai sejauh 80 mil. Di sinilah kisah cinta bersemi kembali menjadi menarik. Dia memutuskan untuk meninggalkan koloni amannya, demi menemukan cinta sejatinya. 13. Things Heard & Seenhttps://www.youtube.com/embed/HCAaonjgDEA Berkisah mengenai sepasang suami istri, Catherine Claire (Amanda Seyfried) dan George Claire (James Norton) yang pindah ke sebuah kota kecil, karena sang suami mendapat tawaran mengajar di kampus kota itu. Catherine yang memiliki pendidikan seni, mulai terasa kesepian karena tidak memiliki kegiatan apapun selain menjadi ibu rumah tangga yang mengurus satu anak. Cerita menjadi suram ketika ternyata rumah mereka menyimpan rahasia kelam yang ternyata menjadi berhubungan dengan rahasia gelap lainnya dari sang suami. Bagaimana mereka menghadapi situasi tersebut? 14. Fatherhoodhttps://www.youtube.com/embed/T3mwUEoZdrI Fatherhood berkisah tentang Matthew Logelin (Kevin Hart) yang membesarkan bayi perempuannya sebagai ayah tunggal, setelah kematian tak terduga istrinya yang meninggal sehari setelah kelahiran putri mereka. Meski cerita drama ini terasa bukan sesuatu yang spesial, namun intisari dari rasa kasih sayang terasa mengugah di film ini. Apalagi, scene-stealer yang memikat dariMelody Hurd, yang memerankan Maddy Logelin muda. Dia membentuk chemistry yang hebat dengan Kevin dan itu membuat film ini layak ditonton. 15. Skater Girlhttps://www.youtube.com/embed/k5Fn99wmFCQ Berkisah tentang seorang gadis remaja dari Desa Rajasthan bernama Prerna, yang tidak mengenal budaya modern. Ia hanya tahu harus hidup, bersekolah, berhenti sekolah ketika disuruh dan siap dijodohkan. Seorang pekerja asal London bernama Jessica, mendatangi desa tersebut dan bertemu dengan Prerna. Hubungan pertemanan mereka berkembang menjadi sebuah pergolakan dalam diri Prerna, antara hasrat kebebasan dengan harus menurut orangtua. Kisah pertempuran antara batin dan kultur ini menjadi topik yang cukup 'laku' diangkat, jika berbicara mengenai film Bollywood. Apalagi, jika berbicara mengenai perjodohan di India. Sebuah film sederhana garapan sutradara perempuan muda, Manjari Makijany yang akan membuatmu terhenyuh, meneteskan air mata, lalu berbahagia. Dari 15 rekomendasi film Netflix terbaik dari Popbela tersebut, menurut kamu ada yang kami lewatkan, nggak, Bela? Baca Juga: Selain BLACKPINK, Ini 5 Judul Film Dokumenter Artis Idolamu di NetflixBaca Juga: 10 Rekomendasi Serial Komedi Terbaik NetflixBaca Juga: 10 Film Dewasa Netflix yang Tersisip Adegan Panas, Sudah Nonton?Film apa saja yang bagus di Netflix?Rekomendasi Film Netflix Terbaik. Marriage Story (2019) Sesuai dengan judulnya, film Netflix yang satu ini mengisahkan tentang kehidupan berumah tangga. ... . 6 Underground (2019) ... . 3. Alive (2020) ... . 4. A Pieces of Woman (2020) ... . Extraction (2020) ... . 6. Enola Holmes (2020) ... . 7. The Social Dilemma (2020) ... . The Devil All the Time (2020). Netflix yang seru apa?Berikut serial Netflix terbaik beserta ratingnya berdasarkan rating IMDb, dijamin seru!. 1. Little Women (2022) - 8.6/10. ... . 2. Bojack Horseman (2014–2020) - 8.8/10. ... . 3. Sex Education (2019–Sekarang) - 8.4/10. ... . 4. Money Heist (2017–2021) - 8.2/10. ... . Brooklyn 99 (2013–2021) - 8.4/10. ... . 6. The Good Place (2016–2020) - 8.2/10.. Drakor apa saja yang ada di Netflix?Netflix merupakan platform streaming yang cukup banyak menyediakan drama Korea. Sudah tepat jika kalian ingin mencari tontonan populer dan mencari drama Korea rekomendasi Netflix dalam informasi berikut ini.
Film apa yang lagi rame?57 Rekomendasi Film Indonesia Terbaik Sepanjang Masa (Update 2022). Qodrat (2022). Miracle in Cell No. 7 (2022). Mencuri Raden Saleh (2022). Ngeri-Ngeri Sedap (2022). KKN di Desa Penari (2022). Jakarta vs Everybody (2022). Baby Blues (2022). The Other Side (2022).
Image via Netflix No matter what you're in the mood to stream, Netflix seems to always have you covered. You want some sci-fi or some
comedy? They have that streaming in spades. Want to cuddle up and watch a dope documentary? You can do that all day, every day. If it's drama you seek, Netflix has a bunch, including hit films like The Outlaw Josey Wales,
Love Jones, and Stand By Me. Netflix not only has a number of recent classics in the world of drama on their service (including Roma, The Ballad of Buster Scruggs, and Happy as Lazzaro), but they also have a number of older films that you need to make a part of your life, including classics like
Platoon? They're fleshing out their drama picks, so why not take the plunge? Here are the best drama movies streaming right now on Netflix. Sign up for Complex notifications for breaking news and stories. Netflix mencantumkan hampir 1.500 film dalam kategori drama; Tidak semua dari mereka yang layak untuk dicoba. Itu tidak membantu bahwa drama adalah genre yang paling luas, yang paling sulit untuk didefinisikan: pada dasarnya apa pun yang tidak jatuh ke dalam komedi, horor, aksi/petualangan atau sci-fi disatukan ke dalam semua tangkapan, dan bahkan kemudian ada lebih dari banyak tumpang tindih. Betapa lucu film bisa dan masih "serius"? Berapa ketegangan yang harus bersifat internal atau antar-pribadi-bisakah film dramatis masih memiliki banyak ledakan? Drama adalah bahan utama di semua film, tetapi ketika Anda berminat untuk film dramatis, kami pikir kami tahu apa yang Anda cari. Seperti halnya Netflix. Jadi kami membiarkan layanan streaming menentukan istilah di sini, menarik dari film yang diklasifikasikan sebagai "drama" dan menambahkan beberapa yang jelas seharusnya ada di sana. Berikut adalah 50 drama terbaik di Netflix:1. Lady Bird
Director: Greta Gerwig Stars: Saoirse Ronan, Laurie Metcalf, Tracy Letts, Lucas Hedges, Beanie Feldstein, Timothee Chalamet Rating: R Sebelum Christine "Lady Bird" McPherson (Saoirse Ronan) —lady Bird adalah namanya, seperti dalam “[dia] memberikannya kepada dirinya sendiri” - audisi untuk musikal sekolah, dia menonton seorang pemuda yang mengulurkan catatan akhir untuk catatan akhir "Menjadi Hidup" dari perusahaan Stephen Sondheim. Beberapa saat sebelumnya, ketika berada di dalam mobil bersama ibunya, dia meletakkan kepalanya di jendela dengan sedih dan berkata sambil menghela nafas, "Aku berharap aku bisa hidup melalui sesuatu." Terjebak di Sacramento, di mana dia pikir tidak ada yang bisa ditawari dia sambil memberikan perhatian akut pada semua yang ditawarkan rumahnya, Lady Bird - dan film, ditulis dan disutradarai oleh Greta Gerwig, yang berbagi namanya - memiliki ambivalensi yang mengalir melaluinya pembuluh darah. Sungguh pasangan yang sempurna: Stephen Sondheim dan Greta Gerwig. Beberapa pembuat film dapat menangkap ambiguitas yang sama dan perasaan campur aduk yang melibatkan penolakan untuk mengambil keputusan: lihat Bobby yang berusia 35 tahun secara impulsif ingin menikahi seorang teman, tetapi tidak pernah berkomitmen pada teman-temannya, di perusahaan perusahaannya ; "Hemming dan Hawing" dari Cinderella pada, ahem, langkah -langkah istana; Atau Penyebab Mrs. Lovett untuk jeda dalam memberi tahu Sweeney motifnya yang sebenarnya. Lady Bird tidak sama konsepnya dengan banyak karya Sondheim, tetapi ada kebenaran yang menusuk pada film ini, dan bisa dibilang karya Gerwig secara umum, yang membuat kecemasan dan kelembutannya bergema di hati pemirsa dengan frekuensi yang sama. —Kyle Turner 2. The Irishman
Director: Martin Scorsese Stars: Robert De Niro, Al Pacino, Joe Pesci, Jesse Plemons, Anna Paquin Rating: R Peggy Sheeran (Lucy Gallina) watches her father, Frank (Robert De Niro), through a door left ajar as he packs his suitcase for a work trip. In go trousers and shirts, each neatly tucked and folded against the luggage’s interior. In goes the snubnose revolver, the ruthless tool of Frank’s trade. He doesn’t know his daughter’s eyes are on him; she’s constitutionally quiet, and remains so throughout most of their interaction as adults. He shuts the case. She disappears behind the door. Her judgment lingers. The scene plays out one third of the way into Martin Scorsese’s new film, The Irishman, named for Frank’s mob world sobriquet, and replays in its final shot, as Frank, old, decrepit and utterly, hopelessly alone, abandoned by his family and bereft of his gangster friends through the passage of time, sits on his nursing home bed. Maybe he’s waiting for Death, but most likely he’s waiting for Peggy (played as an adult by Anna Paquin), who disowned him and has no intention of forgiving him his sins. Peggy serves as Scorsese’s moral arbiter. She’s a harsh judge: The film takes a dim view of machismo as couched in the realm of mafiosa and mugs. When Scorsese’s principal characters aren’t scheming or paying off schemes in acts of violence, they’re throwing temper tantrums, eating ice cream or in an extreme case slap-fighting in a desperately pathetic throwdown. This scene echoes similarly pitiful scenes in Akira Kurosawa’s Drunken Angel and Rashomon: brawls between wannabe roughs afraid of brawling, but forced into it by their own bravado. The Irishman spans the 1950s to the early 2000s, the years Frank worked for the Bufalino crime family, led by Russell (Joe Pesci, out of retirement and intimidating). “Working” means murdering some people, muscling others, even blowing up a car or a building when the occasion warrants. When disengaged from gangland terrorism, he’s at home reading the paper, watching the news, dragging Peggy to the local grocer to give him a beatdown for shoving her. “I only did what you should,” the poor doomed bastard says before Frank drags him out to the street and crushes his hand on the curb. The Irishman is historical nonfiction, chronicling Sheeran’s life, and through his life the lives of the Bufalinos and their associates, particularly those who died before their time (that being most of them). It’s also a portrait of childhood cast in the shadow of dispassionate brutality, and what a young girl must do to find safety in a world defined by bloodshed. —Andy Crump 3. Labirin Pan
Director: Guillermo del Toro Stars: Ivana Baquero, Sergí Lopez, Maribel Verdu, Alex Angulo, Doug Jones Rating: R Salah satu film paling imajinatif di abad ke -21, dongeng Spanyol Guillermo del Toro adalah kemenangan dari bercerita dan tidak ada karya seni. Secara bersamaan sebuah kisah perang dan dongeng, itu melacak perjalanan seorang gadis muda dan pemburu pemulungnya melalui dunia lain untuk menyelamatkan hidup ibunya, terletak di tengah -tengah Perang Sipil Spanyol. Pan's Labyrinth Oozes Atmosphere dengan sinematografi dan nilai -nilai produksinya yang menakjubkan, semuanya dipandu oleh visi artistik Del Toro yang tajam. Dengan karya besar ini, Del Toro memperkuat posisinya sebagai salah satu visioner yang paling menarik dan berbakat generasi ini. —Jeremy Medina 4. Permata yang belum dipotong
Directors: Josh Safdie, Benny Safdie Stars: Adam Sandler, Julia Fox, Eric Bogosian Rating: R Pemilik sebuah toko eksklusif di distrik berlian New York, Howard Ratner (Adam Sandler) melakukannya dengan baik untuk dirinya sendiri dan keluarganya, meskipun ia tidak bisa tidak bertaruh secara kompulsif, berhutang iparnya Aron (Eric Bogosian, jahat yang merampas dengan jahat ) jumlah yang substansial. Namun, Howard memiliki risiko lain untuk diseimbangkan - penggajiannya terdiri dari Demany (Lakeith Stanfield), pencari klien dan produk, dan Julia (Julia Fox, suar yang tidak terduga di tengah -tengah badai dalam peran fitur pertamanya), seorang pegawai dengan siapa Howard membawa perselingkuhan, “menjaga” dia nyaman di apartemennya di New York. Kecuali istrinya (Idina Menzel, Pristinly Jaded) jelas muak dengan omong kosongnya, dan sementara itu dia mendapat pengiriman khusus yang datang dari Afrika: Opal Hitam, batu yang kita kenal secara intim dalam adegan pertama film, yang diperkirakan Howard bernilai jutaan jutaan . Kemudian Demany kebetulan membawa Kevin Garnett (seperti dirinya sendiri, mengunci sepenuhnya ke dalam nada Safdie Brothers) ke toko pada hari yang sama Opal tiba, menginspirasi taruhan sekali seumur hidup untuk Howard-jenis yang akan akan ada Square dia dengan Aron dan kemudian beberapa - serta sejumlah omong kosong baru untuk lurus. Itu semua tidak diragukan lagi membuat stres-benar-benar tanpa henti, sangat menegangkan-tetapi para safdi, pada film keenam mereka, tampaknya berkembang dalam kecemasan, menangkap inertia kehidupan Howard, dan kehidupan yang tak terhitung banyaknya bertabrakan dengan, dalam semua keindahannya yang penuh body-bodardnya, dan keindahannya yang penuh body-bodardnya penuh dengan body-bodardnya, dan dalam semua keindahan body-nya penuh dengan body-bodard-nya, dan dalam semua keindahan body-nya yang penuh dengan body-bodard . Tepat sebelum pertandingan, Howard mengungkapkan kepada Garnett rencana besarnya untuk bayaran besar, menjelaskan bahwa Garnett mendapatkannya, kan? Bahwa orang -orang seperti mereka dikunci menjadi sesuatu yang lebih besar, bekerja pada panjang gelombang yang lebih tinggi daripada kebanyakan - begitulah cara mereka menang. Dia mungkin ke sesuatu, atau dia mungkin menarik segalanya dari pantatnya - tanpa perhatian, kita selalu tahu Sandler memilikinya di dalam dirinya. Ini mungkin persis seperti yang kami pikirkan. —Dom Sinacola 5. Apocalypse sekarang redux
Director: Francis Ford Coppola Stars: Martin Sheen, Marlon Brando, Robert Duvall, Dennis Hopper, Laurence Fishburne Rating: R Runtime: 206 minutes Mari kita panggil Truffaut, karena semangatnya terasa relevan dengan diskusi tentang adaptasi Bantah Francis Ford Coppola tentang jantung kegelapan Joseph Conrad dengan diskusi tentang film perang seperti Paths of Glory, dan untuk mempertimbangkan film -film perang secara umum. Mungkin, jika kita mengambil Truffaut pada kata -katanya, Apocalypse sekarang (dan versinya yang remaster dengan 49 menit rekaman yang mengalir di Netflix) tidak dapat membantu tetapi mendukung perang hanya melalui tindakan menciptakannya sebagai seni. Mungkin itu tidak menghentikan film dari menyampaikan tesis mengemudi Coppola: perang mengubah orang menjadi monster, menuntun mereka pada turun ke keadaan pikiran yang primal dan tanpa hukum, dan perang itu sendiri neraka, sebuah ungkapan yang tidak menyenangkan yang sekarang dibuat menjadi klise oleh Dint of Of terlalu sering menggunakan antara tahun 1979 dan hari ini. Jika film ini secara bawaan Sanksi Perang dengan penggambaran, itu tidak memberikan sanksi dampak perang pada kemanusiaan para pesertanya. Faktanya, kiamat sekarang tetap menjadi salah satu ilustrasi paling mendalam dari efek korosif yang dimiliki kekerasan yang disetujui bangsa terhadap semangat dan jiwa seseorang. Lucu sekali bahwa dalam 40 tahun kemudian kita baik -baik saja dengan mengutip film ini dalam iklan AT&T yang sangat mengerikan, atau menggunakan kembali latar belakang periode demi membuat King Kong terjadi untuk penonton kontemporer untuk kedua kalinya, tetapi tidak ada yang lucu, atau bahkan semua yang bisa dikutip, tentang itu. Apocalypse sekarang membakar, sakit dan bekas luka, branding dirinya dalam ingatan kita karena hanya tampilan paling suram dari kebobrokan manusia yang benar -benar bisa. —Dan dan Crump 6. Boogie Nights
Director: Paul Thomas Anderson Stars: Mark Wahlberg, Julianne Moore, Burt Reynolds, Don Cheadle, John C. Reilly, Philip Seymour Hoffman Rating: R Meskipun Boogie Nights adalah produksi epik pertama Paul Thomas Anderson dengan para pemain ansambel, waktu dan perspektif menunjukkan itu adalah sikat terdekatnya dengan kesempurnaan. Auteur berspesialisasi dalam membangun karakter untuk memecahnya, dan tidak ada seorang pun dalam eksplorasi bisnis pornografi 1997 yang dikecualikan dari impuls dekonstruktifnya: beberapa sutradara menyeimbangkan keduanya lucu dan mengerikan, dan bahkan lebih sedikit mengandalkan ironi dramatis untuk mencapai keduanya . Boogie Nights mungkin lucu karena karakternya-dari bintang muda Mark Wahlberg yang sedang naik daun hingga bintang muda Julianne Moore yang memudar dan sutradara Burt Reynold yang dulu terkenal yang harus berurusan dengan industri yang berubah tanpa dia-sangat malang, tetapi ketidaktahuan mereka sama memilukannya; Mereka dengan sungguh -sungguh berhasrat untuk membuat produk yang baik, bahkan jika mereka berjuang untuk mencari tahu apa yang merupakan kualitas lagi. Pornografer fiksi Anderson mungkin dengan putus asa dan sia-sia menempel pada waktu sebelum video dan akting amatir, tetapi Anderson sendiri berhasil mengeluarkan film dua setengah jam yang berhati-hati untuk tidak pernah aberstakan menyambutnya-bahkan ketika ia meminta “satu hal terakhir." —Allie Conti 7. Proyek Florida
Director: Sean Baker Stars: Willem Dafoe, Bria Vinaite, Brooklyn Prince, Valeria Cotto, Christopher Rivera, Caleb landry Jones Rating: R Betapapun berguna pendekatan surealis untuk membingkai ulang surga, proyek Sean Baker's The Florida menyajikan kritik yang lebih akut. Baker menjerumuskan pendengarnya ke dunianya melalui lensa realisme sosial, kameranya di lapangan bermain yang sama seperti Moonee (Brooklynn Prince), ibunya Halley (Bria Vinaite) dan manajer motel tempat mereka tinggal, Bobby (Willem Dafoe) . Kamera hidup dengan karakter, menonton mereka mengangkut kasur yang dipenuhi bed-bug di luar, atau duduk dan makan pancake oleh parit kecil-ish. Tidak ada klimaks yang terjadi dalam adegan -adegan ini, kita hanya bisa menonton dan tidak menghakimi - atau menghakimi, apa pun, terserah kita. Baker tidak pernah mengganggu; Kesetaraan adegan -adegan ini di bawah mata kameranya membuat ide -ide runcing filmnya tentang kelangsungan hidup dan kegembiraan semakin mencolok. Film ini dapat didukung dengan selera humor dan, kadang -kadang, bertanya -tanya, tetapi kehidupan Halley dibingkai oleh perjuangan internal tentang apakah humor dan keajaiban dapat membantunya mempertahankan otonominya sama sekali terlepas dari status kelasnya. Proyek Florida penuh dengan kesedihan yang mendalam, dengan momen -momen frustrasi yang luar biasa dan kejam karena ketidakberdayaan yang dianggap, praktis dilahirkan dalam semua ini. Sejauh mana Anda percaya Baker merendahkan atau menggurui atau eksploitatif terserah Anda, tetapi ledakan cahaya film, gagasan tentang seperti apa pengasuhan ketika pengasuhan adalah hak istimewa, ditangani dengan sensitivitas. Ketika film beralih dari 35mm ke digital dalam bidikan terakhirnya, Baker mengilhami kameranya, sekarang mobile, dengan pembebasan freewheeling: tidak peduli apa yang terjadi setelah proyek Florida berakhir, pada saat -saat terakhir, anak -anak ini dilahirkan untuk hidup. 8. Master
Director: Paul Thomas Anderson Stars: Joaquin Phoenix, Philip Seymour Hoffman, Amy Adams, Laura Dern Rating: R Master mempelajari karakternya dengan mistik, tragedi, dan humor seperti itu sehingga tidak ada momen yang tidak memikat. Penulis/sutradara Paul Thomas Anderson melanjutkan beberapa kecenderungan gaya dari film terakhirnya, akan ada darah, tetapi ia juga menemukan cara untuk terus -menerus mengambil risiko dan membuat pilihan berani yang benar -benar tidak dapat diprediksi. Lancaster Dodd (Philip Seymour Hoffman) dan agamanya, penyebabnya, jelas terinspirasi oleh L. Ron Hubbard dan Scientology, dan tautan itu adalah titik fokus dari liputan pers pra-rilis film. Paralel antara kedua ideologi tidak dapat dihindari, namun bukan itu intinya. Anderson tidak pernah mengadopsi sudut pandang agama/kultus sebagai pertunjukan aneh. Bahkan dalam montase brilian yang menggambarkan serangkaian latihan melelahkan yang tidak bisa atau tidak bisa atau tidak akan membiarkannya mencerahkannya, perjuangan pribadi berada di garis depan. Kealihan ritual hampir insidental. Phoenix memberikan kinerja karirnya sebagai veteran Perang Dunia II yang direndam dengan bekas luka mental dan fisik. Setelah mendapatkan sedikit manfaat dari kursus psikiatrik untuk tentara yang kembali dengan masalah pasca-trauma, ia tersandung di satu tempat sampai ia harus melarikan diri ke yang lain, terobsesi dengan seks dan membuat hooch eksperimental. Anderson selalu menjadi virtuoso visual, dan dia menggunakan detail tambahan untuk efek yang luar biasa. Dodd pertama kali muncul selama bidikan pelacakan Freddie, terlihat di kejauhan sebagai sosok kecil tetapi bersemangat di kapal pesiar, kecil namun masih menjadi pusat perhatian. Freddie belum bertemu Dodd, tetapi kapal itu memanggilnya. Itu bisa jadi karena Dodd mengenal Freddie dalam kehidupan masa lalu, atau bisa jadi karena Freddie mabuk yang putus asa mencari tempat untuk bersembunyi. Tragedi besar Freddie adalah bahwa penjelasan yang kurang menarik memberinya jawaban, sementara yang lain memberinya jawaban yang salah. —Jeremy Mathews 9. Da 5 Darah
Director: Spike Lee Starring: Clarke Peters, Delroy Lindo, Norman Lewis, Isiah Whitlock Jr., Chadwick Boseman, Jonathan Majors, Mélanie Thierry, Paul Walter Hauser, Jasper Pääkkönen, Jean Reno, Lê Y Lan, Johnny Trí Nguy?n Rating: R Runtime: 156 minutes Perburuan emas yang terkubur tidak berakhir dengan baik atau pergi tanpa hambatan. Jalan panjang menuju rekonsiliasi, baik dengan trauma seseorang, keluarga atau identitas nasional, tidak pernah tanpa gundukan. Rekatkan kebenaran -kebenaran ini bersama dengan efek pelapukan rasisme institusional, tambahkan berbagai referensi ke sejarah - sejarah Amerika, sejarah musik, sejarah film - dan Anda mendapatkan Da 5 Bloods Spike Lee, gambar aksi Vietnam yang ditata secara klasik yang dibuat dalam visi sinematiknya. Seperti pada tahun 2018 Blackkklansman, Lee menghubungkan titik-titik antara masa lalu dan sekarang, menghubungkan perjuangan untuk hak-hak sipil yang ditulis dalam keberatan dan protes yang berhati-hati terhadap perjuangan Amerika kontemporer sendiri terhadap fasisme yang disetujui negara. Setelah dibuka dengan montase peristiwa yang terdiri dari dan tokoh -tokoh yang berbicara menentang Perang Vietnam, disebut terutama sebagai Perang Amerika di seluruh film lainnya, Lee memperkenalkan empat dari lima darah: Otis (Clarke Peters), Paul (Delroy Lindo) , Eddie (Norm Lewis) dan Melvin (Isiah Whitlock Jr.), dokter hewan Vietnam terikat kembali ke Ho Chi Minh City seolah -olah menemukan dan memulihkan tulang pemimpin pasukan mereka yang jatuh, Norman (Chadwick Boseman). Tentu saja, ada lebih banyak "lebih banyak" sekitar $ 17 juta dalam batang emas yang ditanam di tanah Vietnam, properti CIA tetapi diterjemahkan kembali oleh darah sebagai reparasi untuk penderitaan pribadi mereka sebagai pria yang berperang untuk suatu negara yang diatur oleh orang -orang yang tidak memiliki ' T peduli tentang hak -hak mereka. Lee berada di puncak kekuatannya ketika dengan blak -blakan membuat kasus bahwa untuk waktu sebanyak yang telah berlalu sejak kesimpulan Perang Vietnam, Amerika masih keras kepala melakukan perang yang sama pada rakyatnya sendiri dan, dalam hal ini, seluruh dunia. Dan Lee masih marah dan tidak puas dengan status quo, menjadi penindasan berkelanjutan terhadap orang kulit hitam Amerika melalui kebrutalan polisi, penindasan pemilih dan pengabaian medis. Dalam konteks ini, luasnya Da 5 Bloods hampir diperlukan. Seperti yang akan dikatakan Paulus: Tepat. —Dan dan Crump 10. Akan ada darah
Director: Paul Thomas Anderson Stars: Daniel Day-Lewis, Paul Dano, Kevin J. O’Connor, Ciarán Hinds, Dillon Freasier Rating: R Ada bau Citizen Kane tentang akan ada darah. Baik Charles Foster Kane, pusat karya besar Orson Welles 1941, dan Daniel Plainview, protagonis permata Paul Thomas Anderson 2007, adalah Shakespeare dalam kontradiksi mereka - terlalu kreatif dan terlalu terluka untuk dikutuk sepenuhnya, terlalu kejam untuk dikagumi sepenuhnya. Seperti Welles, penulis/sutradara Anderson membuat bahasa sinematik asli untuk mengungkapkan perpaduan kejeniusan dan keburukan yang aneh dari Plainview. Peregangan yang panjang hampir bebas dialog, diselingi oleh close-up wajah Daniel Day-Lewis-dipenuhi dengan darah, keringat dan minyak bumi-dan tembakan panjang dari kata-kata reyot dan gubuk yang bertengger di lanskap yang biadab. bisa. —Geoffrey Himes 11. Magnolia
Director: Paul Thomas Anderson Stars: Jeremy Blackman, Tom Cruise, Melinda Dillon, Philip Baker Hall, Philip Seymour Hoffman, William H. Macy, Alfred Molina, Julianne Moore Rating: R Paul Thomas Anderson's Magnum Opus mengikuti beberapa alur cerita, sementara masih sangat mengembangkan masing -masing karakter prinsip film, dimainkan lebih dari sekadar dengan beberapa aktor terbesar dekade ini - Julianne Moore, William H. Macy, Philip Seymour Hoffman, Jason Robards dan Alfred Molina , untuk menyebutkan tetapi setengahnya. Hubungan ayah/anak dieksplorasi, tetapi tema -tema di seluruh yang agung. Tambahkan dalam kinerja terbaik Tom Cruise dalam hidupnya dan soundtrack pembunuh dari Aimee Mann, dan Anda memiliki salah satu film terhebat tahun 1990. - Josh Jackson 12. Christine
Director: Antonio Campos Stars: Rebecca Hall, Michael C. Hall, Tracy Letts, Maria Dizzia, J. Smith-Cameron, John Cullum, Timothy Simons Rating: R Mengapa jurnalis TV Christine Chubbuck mengambil nyawanya di depan kamera pada tahun 1974? Kecemerlangan drama Antonio Campos ini adalah bahwa ia mencoba menjawab pertanyaan itu sambil tetap menghormati besarnya dan ketidaktahuan dari tindakan tragis yang kejam. Rebecca Hall penting sebagai Christine, seorang wanita yang sangat tidak bahagia yang ambisinya tidak pernah cocok dengan bakatnya, dan aktris itu sangat simpatik. Ketika kita bergerak lebih dekat ke kehancuran Christine yang tak terhindarkan, kita memahami bahwa Christine bukanlah datar yang tidak wajar, melainkan pandangan yang penuh kasih pada ketidaksetaraan dan kesepian gender. —Tim Grierson 13. Gangster Amerika
Director: Ridley Scott Stars: Denzel Washington, Russell Crowe, Chiwetel Ejiofor, Cuba Gooding Jr., Josh Brolin Rating: R Runtime: 156 minutes Dengan gangster Amerika, Ridley Scott Harkens kembali ke gaya pembuatan film yang lebih terukur yang dibuktikan dalam dokumen sci-fi yang menentukan, Blade Runner. Keterampilan pembangunan dunia sutradara, tidak pernah diragukan, dipajang penuh saat ia menciptakan kembali pertengahan tahun 70-an Harlem. Tapi bercerita sekali lagi memprioritaskan karakter daripada aksi cepat. Denzel Washington dan Russell Crowe, dengan bantuan pemeran pendukung yang berbakat, menerangi karya aktor ini, membalikkan satu kesenangan penonton. Washington adalah Frank Lucas, yang pernah menjadi tangan kanan ke Dewa Kejahatan Harlem dan akhirnya dealer heroin paling kuat dan independen di New York City. Kriminal atau tidak, Lucas mendefinisikan impian Amerika. Crowe adalah Ritchie Roberts, seorang polisi yang terlalu terhormat yang diberikan lisensi untuk membuat unit anti-narkoba yang independen, dan ia merosot ke Roberts, menampilkan kemampuannya yang cukup besar di setiap bingkai. Sementara itu, Josh Brolin, Chiwetel Ejiofor, Ted Levine dan Armand Assante semuanya berkontribusi kekuatan dan kredibilitas yang unik. Scott bahkan membuat T.I. Dan RZA terlihat seperti aktor. Tapi film itu milik Washington dan Crowe; Mantan keren dan mengancam, yang terakhir merosot dan berantakan. Ketika mereka akhirnya bertabrakan, film ini memicu overdrive. Dari awal hingga akhir, gangster Amerika berderak hanya dengan pertunjukan yang membuat pembuatan film genre seperti seni. - Russ Fischer 14. Waktu yang Baik
Directors: Josh and Benny Safdie Stars: Robert Pattinson, Benny Safdie, Jennifer Jason Leigh, Buddy Duress, Peter Verby, Barkhad Abdi, Taliah Webster Rating: R Runtime: 100 minutes Pahlawan Good Time adalah salah satu orang tercanis di bioskop baru -baru ini, yang mungkin tampak seperti hal yang aneh untuk dikatakan tentang kehidupan lowlife yang lecah yang mengacaukan pencurian bank dalam gulungan pembukaan film. Tapi jangan meremehkan Connie: beberapa orang yang melewati jalannya membuat kesalahan itu, dan dia mendapatkan yang lebih baik dari mereka setiap saat. Connie dimainkan oleh Robert Pattinson dalam pertunjukan yang begitu terkunci dari detik pertama sehingga menembakkan percikan listrik dari aktor kepada penonton: duduk saja, ia tampaknya memberi tahu kami. Saya mendapatkan ini di bawah kendali. Karakter yang diikat secara finansial tinggal di Queens, tidak senang bahwa saudara lelakinya yang ditantang secara mental Nick (Benny Safdie) terkurung dalam fasilitas yang, Connie percaya, tidak cukup untuk membantunya. Secara impulsif, Connie-Arms Nick untuk membantunya merampok bank. Mereka berhasil dengan ribuan dolar, tetapi yang tidak mereka sadari adalah bahwa mereka hidup di dunia nyata, bukan film. Bom cat meledak di tas mereka, menodai uang dan pakaian para penjahat. Terguncang dan berusaha untuk tidak panik, Connie dan Nick meninggalkan mobil liburan mereka, dengan cepat meningkatkan kecurigaan beberapa polisi di dekatnya, yang mengejar Nick. Connie melarikan diri, bertekad untuk mengeluarkan saudaranya dari penjara - baik melalui uang jaminan atau cara lain. Sebagai Connie, Pattinson sangat vital dan hadir, tanpa malu -malu melemparkan dirinya ke dalam situasi apa pun. Mengikuti kepemimpinan bintang mereka, para pembuat film memberikan variasi berbahan bakar jet pada eksplorasi rumit mereka terhadap warga yang terpinggirkan di New York. Fitur waktu yang baik tidak ada adu penalti atau pengejaran mobil - tidak ada ledakan tunggal di seluruh film. Safdi dan Pattinson tidak membutuhkan semua itu. Seperti Connie, mereka berkembang dengan kecerdasan mereka dan penemuan yang tak ada habisnya - sensasi datang dalam kegagalan seberapa jauh dapat membawa mereka. —Tim Grierson 15. Tepi Seventeen
Director: Kelly Fremon Craig Stars: Hailee Steinfeld, Woody Harrelson, Kyra Sedgwick, Haley Lu Richardson Rating: R Craig mungkin tidak selalu mendapatkan detailnya dengan benar, tetapi visinya yang lebih besar - tanpa belas kasihan dan memaafkan kelemahan remaja di tengah masa remaja - masih menguatkan. Dan pertunjukan yang dia sanjung dari aktornya membantu mengambil kelonggaran. Ini adalah kinerja besar pertama Hailee Steinfeld setelah dia meledak ke tempat kejadian dalam grit sejati Coen Brothers pada tahun 2010, dan jika dia menunjukkan pemoles dan hati yang luar biasa di sana, dia menunjukkan bakat untuk komedi di sini bahwa orang mungkin tidak bisa menebak di dari film sebelumnya. Dan betapa senangnya Woody Harrelson ada di sini, mengenakan kelas master dalam akting minimalis, cekik 16. Sisi lain angin
Director: Orson Welles Stars: John Huston, Peter Bogdanovich, Robert Random, Susan Strasberg, Oja Kodar Rating: R Betapa mencolok dan tidak dapat dijelaskan seperti judulnya, sisi lain dari angin tetap bernyanyi dengan kekuatan gerakannya bersiul melewati kendalanya. Angin bertiup: Orson Welles menyalurkannya melalui torpor yang diinflikasikan oleh studio/yang ditimbulkan sendiri, dalam proses itu menemukan melodi organik-atau lebih tepatnya, jazz. Dokumenter pembuatan yang akan mereka cintai ketika saya mati, dirilis oleh Netflix untuk pergi dengan film ini-momen terbaik raksasa streaming-menunjukkan Welles, sangat besar dan setengah matang, menggambarkan apa yang ia sebut "kecelakaan ilahi." Kecelakaan ini bertanggung jawab atas beberapa detail terbaik oeuvre -nya (di mana Tuhan tinggal), seperti pecahnya telur yang berhubungan dengan kejahatan; Mereka adalah sesuatu yang ingin dia kejar setelah mengejar angin) dengan ini, proyek terakhirnya, dirilis beberapa dekade setelah penembakan ketika Netflix membuka kas mereka untuk membuka peti mati di mana rekaman mentah terkunci. Mantan mitranya yang sedang syuting, Peter Bogdanovich dan Frank Marshall, bersumpah dengan sumpah lama mereka kepada tuannya untuk menyelesaikan film untuknya, dan dalam menemukan semangat benda itu, mengantarkan kami sebuah mahakarya yang hampir tidak pantas kami dapatkan. Kecelakaan ilahi. John Huston berperan sebagai John Huston sebagai Jake Hannaford yang juga Orson Welles, mencoba menyelesaikan sisi lain dari angin seperti Welles mencoba menyelesaikan sisi angin yang lain, selama bertahun-tahun tanpa anggaran nyata dan di kursi- dari-semua-celana. Sebaliknya, skenario film ini didirikan selama satu malam dan malam, Hannaford dikelilingi oleh "murid" dan rekan -rekan yang diundang ke pesta untuk menyaring beberapa rekaman dari apa yang diharapkan sutradara akan menjadi mahakarya terbesarnya, dalam Apa yang diharapkan Welles akan menjadi miliknya. Film dalam film ini adalah riff di film seni, dengan mungkin winks terkuat di Michelangelo Antonioni dan Zabriskie Point. Hidup meniru seni: Rumah Hannaford berada di sekitar sudut batu dari yang Zabriskie meniup ke bit. Tepat, rumah itu adalah latar untuk sebagian besar film tentang Hannaford, secara teori yang dibangun dari rekaman yang ditemukan dari paparazzi Cineaste. Kepadatannya memusingkan, kecerdasannya sengit. Dalam hal filmografi Welles, ini seperti tindakan terakhir Citizen Kane yang dirasakan oleh Touch of Evil, kemudian dilucuti dan dihancurkan oleh meta-punk F for Fake. Tidak ada seni yang ada dalam ruang hampa, tetapi sisi lain dari angin, lebih dari kebanyakan, berdarah konteksnya sendiri. Ini tentang Orson Welles, menunjukkan dirinya. Bunuh diri. —Chad Betz 17. Zodiak
Director: David Fincher Stars: Jake Gyllenhaal, Mark Ruffalo, Robert Downey Jr., Anthony Edwards, Brian Cox Rating: R Runtime: 157 minutes I hate to use the word “meandering,” because it sounds like an insult, but David Fincher's 2007 thriller is meandering in the best possible way—it's a detective story about a hunt for a serial killer that weaves its way into and out of seemingly Ratusan milieus yang berbeda, meningkatkan ketegangan. Jake Gyllenhaal hebat seperti Robert Graysmith, sleuth amatir dan film melalui garis, sedangkan ceritanya puas untuk melepaskan petunjuk dan teorinya kepadanya secara perlahan, meninggalkan penonton, seperti Gaysmith, dalam ambiguitas untuk peregangan yang lama, namun masih terasa seperti sebuah Pembakar cepat. It's not Fincher's most famous film, but it's absolutely one of the most underrated thrillers since 2000. There are few scenes in modern cinema more taut than when investigators first question unheralded character actor John Carroll Lynch, portraying prime suspect Arthur Leigh Allen, as his facade Perlahan mulai terkikis - atau begitulah menurut kami. Film ini merupakan bukti kesedihan dan frustrasi karena mencoba memecahkan misteri sesaat yang sering tampaknya hanya keluar dari genggaman Anda. —Shane Ryan 18. Saya berpikir untuk mengakhiri sesuatu
Director: Charlie Kaufman Stars: Jessie Buckley, Jesse Plemons, Toni Collette, David Thewlis Rating: R Banyak pemirsa akan berpikir untuk mengakhiri saya berpikir untuk mengakhiri hal -hal tidak lama setelah itu dimulai. Kaskade silang dari tembakan mentah merinci bagian dalam rumah pertanian atau apartemen, atau bagian dalam interior. Seorang wanita yang belum kita lihat praktis adalah pertengahan narrasi, memberi tahu kita sesuatu yang tidak kita miliki konteks. Rasanya salah, tidak menyenangkan. Ada sesuatu yang tidak benar. Ini bukan bagaimana film seharusnya bekerja. Akhirnya kita melihat wanita itu, bermain cemerlang oleh Jessie Buckley. Dia berdiri di jalan ketika kepingan salju yang bengkak mulai jatuh, seperti kita berada di dalam bola salju 3-D bersamanya. Dia menatap jendela beberapa cerita. Kami melihat seorang lelaki tua melihat ke bawah dari jendela. Kami melihat Jesse Plemons memandang ke luar dari jendela. Kita melihat Jesse Plemmons dalam tembakan berikutnya menjemput Jessie Buckley dengan mobilnya yang sudah usang. Musik film berkelap -kelip dan berputar. Lucy atau Lucia atau Amy dari Jessie Buckley sedang berpikir untuk mengakhiri hal -hal dengan Jesse's Jake. Hal -hal tidak akan pergi ke mana pun dengan baik, tampaknya menjadi alasannya. Jake mengendarai mobil dan kadang -kadang berbicara; Perilakunya tampak cukup konsisten sampai tidak, sampai beberapa gerakan bermuara seperti benda asing dari diri lain. Louisa atau Lucy akan datang, air mancur kepribadian dan pengetahuan dan minat. Tetapi kadang -kadang dia melambat menjadi menetes, atau tenang, dan tiba -tiba dia adalah orang lain yang adalah orang yang sama tetapi mungkin dengan kenangan yang berbeda, minat yang berbeda. Terkadang dia adalah seorang pelukis, kadang -kadang seorang fisikawan, terkadang tidak juga. Jessie dan Jesse hebat. Penampilan dan karakter mereka sulit dijelaskan. Film terbaik tahun 2020 sangat buruk dalam menjadi "film." Itu tidak berlangganan pola umum, ritme, atau kiasan. Bahkan tidak mencoba menjadi film yang hebat, sungguh, itu hanya mencoba untuk membedah kehidupan pikiran orang lain, dan melakukannya dengan cara sinematik yang mungkin terjadi. Kesadaran diri dari film ini bisa saja tak tertahankan, kecuali kesadaran (dan pengalaman kami yang terpisah-pisah tentang hal itu) sepenuhnya merupakan inti dari segala sesuatu yang dibungkus film ini dan yang dibungkus di dalamnya. Mengatakan film ini menerima keindahan dan keburukan hidup akan menjadi keterbatasan yang ditolak oleh film itu sendiri. Untuk mengatakan bahwa "cinta menaklukkan semua," bahkan lebih. Tetapi kebenaran palsu ini melarikan diri dan tentang visi periferal film: ilusi atau hantu, tetapi selamat datang. —Chad Betz 19. Bawah Hitam Ma Rainey
Director: George C. Wolfe Stars: Viola Davis, Chadwick Boseman, Glynn Turman, Colman Domingo, Michael Potts Rating: R Tepatnya, peran akhir Chadwick Boseman adalah tentang The Blues. Penampilan Aktor Aktor di Netflix's Ma Rainey's Black Bottom, adaptasi August Wilson dari sutradara George C. Wolfe dan penulis Ruben Santiago-Hudson, adalah bagian yang sama secara aktor showcase, pidato marah dan ratapan komprehensif-merebus bersama di dapur berkeringat tahun 20-an '20-an Sesi Rekaman Chicago. Sebuah kisah beberapa aspek Ambition dan titik akhir akhirnya, Ma Rainey berkisar pada mereka yang mengorbit karakter judulnya (Viola Davis). Dia adalah legenda blues di bagian atas permainannya, akhirnya dihargai (setidaknya di beberapa bagian negara) dan matang untuk eksploitasi oleh orang kulit putih dalam setelan jas. Seolah -olah dia akan membiarkan mereka. Dia nyaman terlambat untuk merekam album, meninggalkan semua orang untuk menendang tumit mereka dan menembak omong kosong dengan gaya Wilson sejati-dengan Santiago-Hudson menemukan esensi karya Wilson. Penampilan brutal Davis, membuat semakin kuat oleh longsoran makeup dan keringat yang berkilau, dengan sempurna mengatur adegan. Dia, di samping dasi yang longgar dan kipas angin, memberikan film yang dimaksudkan suhu dan gravitasi sehingga Boseman dan anggota band lainnya dapat berkeliaran seperti kunang -kunang yang berjalan di musim panas. Dengan kebetulan yang tragis, Boseman meninggalkan kita hadiah: dia terbakar. Lean, dengan penempatan kamera dan alat peraga yang menekankan anggota tubuhnya yang beranggotakan (ada alasan dia menggunakan flugelhorn jongkok dan jongkok, pokok jazz yang kebetulan bekerja lebih baik secara visual), tanggul adalah peran yang sangat fisik meskipun ada bahan sumber yang cerewet: semuanya tentang semua tentang Menarik perhatian, kadang-kadang secara harfiah menari-nari untuk itu, dengan ons rasa malu dibanjiri oleh energi yang cemas. Tinggi-tegang, berkedut dan tegang selama monolog hampir lima menit, tanggul tampaknya merasakan jendela ke mimpinya ditutup: waktu hampir habis. Bottom Black Ma Rainey lebih dari sekadar kinerja Boseman, tentu saja, dengan Davis dan Colman Domingo mengalami beberapa air mata lezat dari kata -kata mereka sendiri dan Wilson terus membakar dan melambung dalam ukuran yang sama. Tapi kepemilikan Boseman atas film ini, sebuah potensi potensial dan keinginan yang layak Oscar, memberikan tragedi yang indah dan luas sesuatu yang spesifik untuk dinyanyikan.-Jacob Oller 20. Tubuh ingat saat dunia terbuka
Directors: Elle-Máijá Tailfeathers, Kathleen Hepburn Stars: Elle-Máijá Tailfeathers, Violet Nelson, Barbara Eve Harris Rating: NR Tidak ada yang terbayar di tubuh yang ingat ketika dunia terbuka. Setiap detail naratif, resolusi yang menuntut, sebagian besar tidak diperhatikan: ketika Rosie (Violet Nelson) mengambil uang dari dompet áila (co-sutradara Elle-Máijá Tailfeathers), misalnya, kami berharap bahwa waktu berikutnya yang mereka habiskan bersama, 90 menit atau lebih , akan mengajari Rosie pelajaran, akan mendorongnya untuk mengembalikan tagihan. Itu tidak terjadi. Sebaliknya, tubuh ingat ketika dunia terputus menceritakan tentang pertemuan kebetulan antara dua wanita Bangsa Pertama, dibagi dengan stabilitas sosial ekonomi tetapi bersatu dalam keduanya yang baru saja mengalami pelanggaran - Rosie adalah yang terbaru dalam serangkaian insiden pelecehan domestik, sementara áila's memiliki sebuah IUD dimasukkan di tengah-tengah prosedur yang dingin dan impersonal, yang ditembak oleh sinematografer Norm Li pada 16mm dengan komitmen untuk menangkap áila setiap seringai dan deru yang hampir trauma. Li mengikuti áila dari kantor, ke jalan, di mana dia melihat Rosie Barefoot di tengah hujan, mungkin kaget, dan dari sana keduanya melarikan diri dari pacar Rosie yang marah ke apartemen loteng yang kering dan lapang. Li selalu tepat di belakang, sisa film yang diedit bersama menjadi satu, tembakan terus menerus ketika áila mencoba mencari tahu apa yang harus dilakukan untuk membantu Rosie, dan Rosie mencoba mencari cara untuk menjaga agar tidak menjadi korban oleh orang luar yang menandakan orang luar. Bahwa áila juga seorang wanita Bangsa Pertama hampir tidak penting bagi Rosie; Dia bahkan nyaris tidak terlihat. Tentu saja, ketika mereka melakukan bagian, Rosie menelan rasa bersalah apa pun yang mungkin dia kembangkan karena mencuri dari áila, dan pengasuh di rumah aman mengingatkan Áila ketika Rosie tidak ingin tinggal sehingga terkadang dibutuhkan orang tujuh atau delapan kali untuk mengalah dan mengalah dan Tinggalkan situasi kasar mereka. Kami menunggu resolusi, untuk tanda bahwa segalanya akan menjadi lebih baik. Ketika mereka tidak melakukannya, kami mencari tanda -tanda lain, dan kami menunggu, hanya pergi dengan kesabaran - untuk menonton, dan tidak pernah berhenti menonton, dan duduk dengan beban itu, untuk membayar biaya empati. —Dom Sinacola 21. Perburuan untuk Wilderpeople
Director: Taika Waititi Stars: Sam Neill, Julian Dennison, Rima Te Wiata, Rachel House, Oscar Kightley, Tioreore Ngatai-Melbourne, Rhys Darby Rating: NR Bella (Rima te Wiata) pertama kali bertemu dengan Ricky (Julian Dennison), anak asuh baru yang dia setujui untuk mengambil, tidak menginspirasi kepercayaan diri, terutama dengan lelucon canggungnya dengan mengorbankan berat badannya. Pada gilirannya, dengan perwakilan layanan anak-anak Paula (Rachel House) melukis Ricky sebagai anak liar yang sulit diatur, orang takut prospek melihat anak itu berjalan di seluruh ibu yang mungkin di atasnya. Tapi Bella memakainya dengan kebaikan. Dan Ricky akhirnya kurang dari kue yang sulit daripada dia - dengan kesukaannya pada rap gangsta dan semua yang menyiratkan - secara intisari mencoba memproyeksikan. Adaptasi novel Barry Crump Wild Pork and Watercress, Taika Waititi's Hunt for the Wilderpeople berkembang pesat karena membatalkan gagasan yang sudah terbentuk sebelumnya. Sutradara menunjukkan simpati untuk Ricky's Innocence, yang tercermin dalam gaya petualangan grand film. Sinematografer Lachlan Milne, panorama berwarna-warni, dan struktur naratif berbasis bab memberikan perburuan bagi para Wilderpeople nuansa dongeng buku cerita, tetapi berkat dinamika yang ramah antara Ricky dan HEC (Sam Neill), bahkan momen paling aneh film ini membawa momen aneh film ini yang aneh dari film ini yang aneh dari film tersebut yang aneh dari film ini yang aneh dari film tersebut yang aneh dari film ini's Wimsical's Moment Rasa sakit yang sangat mendasar: kedua karakter ini akhirnya mencari rumah untuk memanggil mereka sendiri. —Kenji Fujishima 22. Satwa Liar
Director: Tom McCarthy Stars: Carey Mulligan, Jake Gyllenhaal, Bill Camp, Ed Oxenbould Rating: PG-13 Di permukaannya, satwa liar adalah potret abad pertengahan abad pertengahan yang akrab dari Amerika-picket-fence America. (Peringatan spoiler: Keluarga nuklir tidak selaras seperti yang Anda bayangkan.) Tetapi debut sutradara Paul Dano sering lebih halus dan lebih mengharukan daripada yang diharapkan, dan film ini dipandu oleh kinerja menakjubkan Carey Mulligan seperti Jeanette, seorang ibu yang tersisa Untuk menjaga putranya yang remaja begitu kegagalan seorang suami (Jake Gyllenhaal) meninggalkan kota untuk pekerjaan sementara. Berdasarkan novel Richard Ford, satwa liar menetapkan harapan tentang wanita ini - oh, jeanette yang malang, lass yang tidak berdaya dan sensitif - yang meledak oleh Mulligan, terus -menerus mengejutkan kita dengan kapasitas karakter untuk reinvention dan perhitungan. Apakah merencanakan untuk menemukan pengganti suaminya atau menceritakan pada putranya tentang betapa kekecewaan ayahnya, Jeanette mengungkapkan seluruh generasi frustrasi wanita karena ditekan oleh masyarakat patriarki. Mulligan membuat frustrasi itu seksi, pedih dan membebaskan - bahkan jika kita tidak pernah berhenti melihat keputusasaan karakter yang meningkat untuk membebaskan dirinya. —Tim Grierson 23. Roma
Director: Alfonso Cuarón Stars: Yalitza Aparicio, Marina de Tavira, Diego Cortina Autrey, Carlos Peralta Rating: R Film Alfonso Cuarón yang paling intim juga paling menjauhkannya. Kamera ini duduk, hitam-putih, tidak fokus pada anak-anak borjuis yang mewakili sutradara sinematografer-penulis-sutradara dan saudara-saudaranya tumbuh di Mexico City beberapa dekade yang lalu, tetapi lebih pada wanita pribumi (Yalitza Aparicio) yang merawatnya (Yalitza Aparicio) mereka dan rumah tangga. Bahkan tidak sepenuhnya fokus padanya, mungkin lebih fokus pada komposisi klasiknya tentang tempat yang tidak ada lagi dalam cara Cuarón mengingatnya. Kamera menatap dan bergerak dalam sekuensing trans-plane, memberi kami elemen latar depan, tengah dan latar belakang dalam kejelasan digital yang mencolok. Campuran suara adalah Dolby Atmos dan Enveloping. Tetapi estetika dan narasi dasar adalah Fellini, atau neorealisme Meksiko yang sudah lama hilang, atau waktu bermain Tati tetapi dengan lelucon penglihatan digantikan oleh perhatian sosial dan lamunan pribadi. Dicadangkan dan mendalam, introspektif dan tampak luar, lama dan baru-beberapa menuduh Roma terlalu dihitung dalam apa yang dicoba dilakukannya, tindakan penyeimbangan yang dicoba untuk dilakukan. Mungkin mereka tidak salah, tetapi itu adalah penghargaan Cuarón yang sangat besar sebagai teknisi dan pendongeng yang bijaksana yang dia lakukan, pada kenyataannya, berhasil melakukannya. Hasilnya adalah pengalaman film tunggal, yang menciptakan kembali sesuatu yang hilang dan kemudian menavigasinya sedemikian rupa untuk menemukan kisah yang muncul, kemudian dari itu untuk menemukan dampak emosional. Sehingga ketika kita sampai pada titik itu terlambat di Roma, kita bahkan tidak menyadari proses organik yang lambat dan dimana kita telah diinvestasikan sepenuhnya ke dalam film; Kami tidak siap untuk dipukul sekeras kami ketika Wallops datang dan ombaknya jatuh. Hampir tak tertahankan, tetapi kami menanggungnya karena kami peduli dengan orang -orang yang terlibat dengan kami. Dan itulah hidup. —Chad Betz 24. The Squid and the Whale
Director: Noah Baumbach Stars: Jeff Daniels, Laura Linney, Jesse Eisenberg, Owen Kline, Anna Paquin Rating: R Borrowing themes from his previous films—children of failed marriages; characters whose bookish smarts seem to work against them; a floating sense of fatalism—The Squid and the Whale creeps ever closer to Noah Baumbach’s own tempestuous past. His parents’ faltering union isn’t just a detail used to add depth to a certain character. It’s the whole story—a gorgeous, candid portrait of the messy car crash of divorce, from all angles. “It’s hard to even put myself in the mindset of those movies anymore,” he told Paste in 2005. “With Squid, these are reinventions of people that are close to me, and this is the movie I identify with the most. It is a natural extension of what I have intended and what I feel. I trusted myself more on this one.” —Keenan Mayo 25. The Piano
Director: Jane Campion Stars: Holly Hunter, Harvey Keitel, Sam Neill, Anna Paquin Genre: Drama Rating: R Without ever saying a word, Holly Hunter still has one of the great performances of the early ‘90s. The Piano also introduced the rest of the world to New Zealand’s Jane Campion, creator of Top of the Lake, and to actress Anna Paquin (True Blood). Set in 1850s New Zealand, the film tells of a mute, young mother trapped in arranged marriage and the farmworker (Harvey Keitel) who falls for her. 26. Marriage Story
Director: Noah Baumbach Stars: Scarlett Johansson, Adam Driver, Azhy Robertson, Laura Dern, Alan Alda, Ray Liotta, Julie Hagerty, Merritt Wever Rating: R The way that Adam Driver ends “Being Alive,” which his character in Marriage Story has just sung in full (including dialogue asides from Company’s lead’s friends), is like watching him drain what’s left of his spirit out onto the floor, in front of his small audience (which includes us). The performance starts off kind of goofy, the uninvited theater kid taking the reins to sing one of Broadway’s greatest showstoppers, but then, in another aside, he says, “Want something… want something…” He begins to get it. He begins to understand the weight of life, the dissatisfaction of squandered intimacy and what it might mean to finally become an adult: to embrace all those contradictions, all that alienation and loneliness. He takes a deep exhalation after the final notes, after the final belt; he finally realizes he’s got to grow up, take down his old life, make something new. It’s a lot like living on the Internet these days; the impossibility of crafting an “authentic self,” negligible the term may be, is compounded by a cultural landscape that refuses to admit that “authenticity” is as inauthentic a performance as anything else. Working through identities is painful and ugly. Arguably, we’re all working through how to be ourselves in relation to those around us. And that’s what Bobby, the 35-year-old at the center of Stephen Sondheim’s 1970 musical Company, is doing. The scene forces the viewer to make connections about their humanity, the art they’re experiencing, and the ever deadening world in which it all exists. Charlie grabs the microphone, drained, realizing that he has to figure out what he has to do next, to re-put his life together again. All of us, we’re putting it together too. Or trying, at least. That counts for something. —Kyle Turner 27. Atlantics
Director: Mati Diop Stars: Mame Bineta Sane, Amadou Mbow, Nicole Sougou, Aminate Kane Rating: NR Atlantics adalah pengumuman untuk penulis-drektor Mati Diop. Dia mengambil realisme ajaib dari rekan seperti Alice Rohrwacher dan membawanya ke margin dunia, memeriksa perjuangan kelas di kota Senegal oleh Atlantik. Melalui gambar -gambar pembuka yang berpasir dan berangin yang diambil sebagai dokumen seni Dakar Shore (karya luar biasa oleh sinematografer Claire Mathon) dan skor elektronik hipnosis oleh Fatima al Qadiri, Diop mampu membangkitkan suasana hati dan rasa tempat yang tak tertandingi. Bahwa itu mungkin terlihat dan terdengar begitu asing bagi orang Amerika yang menonton film ini di Netflix mungkin merupakan dakwaan yang cukup tajam tentang cara -cara di mana kita secara intelektual mengamankan diri kita sendiri dari kenyataan di luar kita sendiri. Atlantics adalah tentang itu dan ini tentang pemecahan itu. Ini tentang misteri identitas dan bagaimana seseorang dapat menemukan identitas dengan mengambil identitas sesuatu yang lain, atau dapat menemukannya ketika melihat di cermin - bukan untuk diri fisik tetapi untuk roh. Secara kongres, ini juga tentang kehilangan identitas yang diresepkan secara budaya, bahwa kita mungkin dilahirkan, dipelihara dan/atau dibatasi oleh. Love, film ini ditampung, adalah katalis; Cinta membantu reformasi identitas dengan cara yang transgresif dan transenden. Dan film ini adalah yang terbaik ketika menghindari menjadi terprogram, memungkinkan visualnya pulsa di depan Anda. Ini adalah kisah hantu yang menyedihkan di antara banyak orang, tetapi di mana ia berbeda menarik perbedaan yang kadang -kadang hal -hal yang paling banyak menghantui yang hidup bukanlah hal -hal yang seharusnya terjadi. Protagonis film ini merangkul itu menghantui sebagai bentuk harapan; Dia kehilangan sesuatu yang penting dan mengisi lubang dengan memperluas dirinya sendiri dengan diri yang disentuh oleh orang lain. Meskipun Atlantics terasa elips dalam banyak hal, Diop memiliki keberanian untuk mengakhiri filmnya dengan periode yang cukup gemilang. Ini adalah pernyataan, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk penciptanya, dan itu adalah pernyataan yang meyakinkan. —Chad Betz 28. Moneyball
Director: Bennett Miller Stars: Brad Pitt, Jonah Hill, Philip Seymour Hoffman, Robin Wright Rating: PG-13 Berdasarkan buku 2003 yang mencekam dengan nama yang sama, Moneyball berpusat pada manajer umum Oakland A Billy Beane dan dampaknya terhadap baseball, dan khususnya pada implementasi pendekatan matematika untuk permainan. Sebagai GM yang dicuci, chemistry Brad Pitt dengan asisten Jonah Hill yang culun dan asisten Peter Brand adalah hal terbaik tentang film ini. Ini adalah salah satu pertama kalinya di mana karakternya terlihat benar-benar nyaman di layar, dan keberhasilan film dapat secara langsung dikaitkan dengan kinerja yang dinominasikan Oscar. —Benjamin Hurston 29. Burung Terbang TinggiTahun: Direktur 2019: Steven Soderbergh Stars: André Holland, Zazie Beetz, Melvin Gregg, Sonja Sohn Rating: NR 2019 Anggota kerumunan "Keep Your Politics Outta My Sportsball" mungkin akan membenci Burung Terbang Tinggi, drama bola basket Steven Soderbergh, eksperimen terbarunya dengan iPhone dan kolaborasi pertamanya dengan penulis drama yang segera terjadi, Tarell Alvin McCraney (ketenaran dan kesuksesan Moonlight). Film ini memaksa penonton untuk menghadapi bias rasial yang tersirat dan bawaan yang ditenun di seluruh budaya olahraga Amerika, yang menetap secara khusus di pengadilan NBA. Memang, tipe apolitis mungkin tidak akan memberi Bird tinggi pemikiran kedua menelusuri antrian Netflix mereka, dan itu tidak masalah. Pembuatan film Soderbergh dan gel penulisan McCraney bersama dengan mondar -mandir tempo dan dialog yang hampir liris bertukar antara karakternya yang ketat, terutama Ray Burke (André Holland), seorang agen olahraga yang melakukan yang terbaik untuk melayani kliennya, Prospek Bintang Erick Scott (Melvin Gregg) , saat menavigasi penguncian fiksi. The lockout's not that fictionalized (recall events that impacted the NBA through 2011, for instance), it's just that Soderbergh and McCraney aren't referencing anyone or anything in particular here, beyond systemic biases, both casual and fully intentional, woven into basketball's DNA . Film ini membuat studi yang tepat pembedahan tentang bagaimana tata kelola atas permainan, merebut dari tangan para pemainnya dan diwariskan kepada pemiliknya, mengarah pada dinamika kekuatan suram yang mengingat masa -masa perdagangan budak dan blok lelang. Mengenai materi, itu tanpa ampun. Sehubungan dengan keahlian, itu tidak memaafkan. Tetapi pemirsa yang penasaran akan dihargai dengan salah satu bit paling ekonomis dari dongeng sirkuit tertutup tahun ini, ditambatkan oleh kinerja utama Holland yang menjulang tinggi-selama mereka dapat mengikutinya. —Dan dan Crump 30. Bahagia seperti Lazzaro
Director: Alice Rohrwacher Stars: Adriano Tardiolo, Alba Rohrwacher, Luca Chikovani Rating: PG-13 Runtime: 137 minutes It's very difficult to get into too many details about Alice Rohrwacher's Happy as Lazzaro without spoiling it—which seems a ridiculous thing to say about a film that starts off as a rural Italian take on Dostoevsky's The Idiot, but you've got no idea until Anda menontonnya. The Wonders's The Wonders adalah film pribadi yang lebih intim yang memiliki momen realisme ajaib yang mengintip, nyaris tidak. Bahagia seperti Lazzaro juga menjaga keajaiban di cek (meskipun adegan dengan bisikan di lapangan akan mulai memohon Fellini) sampai tidak lagi bisa - dan kemudian sihir meledak, meledakkan narasi dan mengirimkan apa yang tersisa ke arah yang sangat berani. Kami hanya bisa bertepuk tangan berani. Jika Dostoevsky membangkitkan kembali narasi Kristus, bahagia ketika Lazzaro membingkai kembali gagasan narasi Kristus sampai itu adalah sesuatu yang sama sekali berbeda. Di sini, Kristus adalah serigala mitos dan idiot kami yang baik Lazzaro (Adriano Tardiolo) adalah lazarus yang disentuh; Perbedaan di antara mereka adalah masalah substansi, waktu dan tempat. Kebaikan Lazzaro, seperti semua kebaikan duniawi, secara bersamaan transenden dan hancur, tetapi serigala berlanjut di luar kumparan fana, melawan aliran kemanusiaan. Lazzaro mencoba mengikuti, mungkin dengan bodoh, mungkin secara membabi buta ... tapi tetap saja, tetap saja. —Chad Betz 31. Artis Bencana
Director: James Franco Stars: James Franco, Seth Rogan, Dave Franco, Alison Brie Rating: R Untuk mengatasi misteri yang tak terlukiskan dari kesadaran Tommy Wiseau adalah memahami pikiran buaya, atau hiu, atau alien luar angkasa. Saya bahkan tidak akan tahu harus mulai dari mana. Itulah tepatnya apa yang membuat penggambaran Wiseau James Franco pada seniman bencana seperti yang mengesankan dan penuh kemenangan. Franco secara fisik telah berubah menjadi Wiseau dengan cara yang sama yang biasanya menarik pujian untuk seorang aktor seperti Daniel Day Lewis: tidak harus melalui rambut atau riasan, tetapi dengan cara yang lebih primal dan intim. Setiap tic kecil yang aneh, setiap tawa canggung, masing -masing meringis yang tidak dapat dijelaskan - semua gerakan bersinar sebagai asli bagi siapa saja yang telah melihat ruangan, atau bahkan wawancara dengan Wiseau. Penggambaran ini adalah bagian besar dari apa yang membuat artis bencana begitu menarik dan hanya menyenangkan. Anda dapat membuat argumen yang baik bahwa ini adalah peran terbesar dalam karier Franco. Dan bahkan jika artis bencana berbunyi seperti diposisikan untuk suntikan penghargaan akhir tahun dan audiens terbesar yang mungkin, penggemar ruangan pada akhirnya akan mendapatkan jauh lebih banyak dari pengalaman daripada rata-rata penghuni multipleks. Ini adalah film untuk dilihat dengan penonton yang akrab dengan apa yang akan dilihat, dengan orang -orang yang dapat menghargai dedikasi yang dengannya Franco dan rekannya. telah menciptakan kembali begitu banyak pesona menyedihkan film asli. —Jim Vorel 32. Balada Buster Scruggs
Directors: Joel and Ethan Coen Stars: Tim Blake Nelson, Bill Heck, James Franco, Liam Neeson, Zoe Kazan, Tom Waits, Tyne Daly, Brendan Gleeson Rating: R Sebanyak sebuah antologi dari kisah-kisah petualangan pasca-lulum seperti halnya retrospektif dari berbagai jenis film yang dibuat oleh Coen Brothers-belum lagi sedikit fantasi yang membatasi kisah yang kami gunakan untuk mempermudah tragedi kami Pertumbuhan negara - Balada Buster Scruggs menceritakan enam kisah keserakahan, pembunuhan, belas kasihan, dan nyonya kebetulan yang keras, satu -satunya melalui garis menjadi suram dari horizon Amerika yang diinjak -injak untuk mempertaruhkan klaim kekaisarannya. Seorang pemain sandiwara bepergian yang apak (Liam Neeson) menimbang beban pemain ledakannya (Harry Melling) terhadap uang tunai yang sangat kecil; Seorang Prospector Lone (Tom Waits) dengan sabar meramalkan vena emas yang ia sebut dengan hormat sebagai “Mr. Saku"; Seorang penjahat sombong (James Franco) berayun di antara kedua sisi nasib, seluruh hidupnya yang mengarah ke lucunya semi-layak; Koleksi pelancong yang berbeda berdebat tentang perubahan iman sementara seorang mayat berburu hadiah duduk di atas gerbong mereka, kelima menuju beberapa simbolisme yang ambigu; Dan Gunslinger merlifluous tituler akhirnya bertemu dengan pertandingannya, membuat salah satu pemandangan paling aneh yang pernah disulap para coens. Dengan nihilisme downhome dari negara yang tidak ada untuk orang-orang tua dan fargo, imajinasi mitologis saudara laki-laki, di mana engkau?, Bobot metafisik yang melanggar dari seorang pria yang serius atau caper pemotongan memelihara Arizona, seluruh balada Buster Buster Scruggs-Shot sebagai serangkaian pemandangan yang menakjubkan oleh DP Bruno delbonnel yang diselingi oleh mug berpori dari para perintis yang mengisinya-sengatan ke kanon genre dan nada yang tak tertandingi. Bahwa bagian tengahnya adalah romansa yang manis, antara seorang wanita muda yang tenang (Zoe Kazan) dan seorang koboi yang mulia (Bill Heck) yang memimpin kereta gerobaknya di sepanjang Oregon Trail, membuktikan bahwa koen masih memiliki kejutan indah di toko lebih dari tiga dekade ke dalam pengembaraan karier mereka yang panjang dari kehidupan Amerika. —Dom Sinacola 33. Howard’s End
Director: Jane Campion Stars: Holly Hunter, Harvey Keitel, Sam Neill, Anna Paquin Rating: R James Ivory’s 1992 classic Howards End, starring Anthony Hopkins, Vanessa Redgrave, Helena Bonham Carter and an Academy Award-winning Emma Thompson, returns to theaters this weekend in a beautifully restored print. It’s tempting to call the film, which was nominated for nine Oscars and won three, the pinnacle of the Merchant-Ivory films catalog, but the more you dig, the harder it is to choose from the 50 years of excellent work. How do you ignore The Remains of the Day, possibly Hopkins’ best role of all? Or the lush romanticism of A Room with a View? Or a brilliant young Daniel Day-Lewis in Maurice. E.M. Forster’s novel Howard’s End has so much plot in it that in the hands of a lesser filmmaker, or lesser screenwriter, might have ended up feeling like all plot, but no character. But in Ivory’s Howards End, every one of the characters lives and breathes so much we get to know them intimately. —Michael Dunaway 34. Chef
Director: Jon Favreau Stars: Jon Favreau, Sofía Vergara, John Leguizamo Rating: R Jon Favreau took a break between the $163 million dollar Cowboys & Aliens and Disney’s live-action remake of The Jungle Book to write, direct and star in a small indie comedy-drama about a celebrated chef rediscovering his love for food. When the owner of his restaurant (Dustin Hoffman) won’t let him experiment in the kitchen and his social-media ignorance leads to a very public feud with a food critic (Oliver Platt), he quits and buys a food truck. The road-trip that follows is the sweet, earnest heart of the film—reconnecting with his son as he reconnects with a passion for food. There’s not much to the straight-forward plot, but the film’s humor and mouth-watering food porn make it a treat. —Josh Jackson 35. My Happy Family
Directors: Nana Ekvtimishvili, Simon Groß Stars: Ia Shugliashvili, Merab Ninidze, Berta Khapava Rating: NR Runtime: 119 minutes It’s a shame Netflix felt like Nana Ekvtimishvili and Simon Groß’s My Happy Family deserved a burial, that the company didn’t bother pushing the film for awards season and neglected to give it a boost in visibility for the average consumer. Because Ekvtimishvili and Groß’s latest collaboration in a long line of collaborations is superb, timely and altogether unexpected in its unwavering grace. Compared to the year’s other films centered on dysfunctional families, whether hammy (I, Tonya) or naturalist (Lady Bird), My Happy Family is a gentle tribute to dignity: Manana (Ia Shugliashvili) is never less than noble in her constant dedication to her family, even as she determines that to preserve her sanity she must move out of the apartment she shares with them and lay down roots in a pad of her own. My Happy Family doesn’t judge Manana—it validates her. It illustrates a woman’s liberation from social and familial expectations, allowing Manana to discover who she is, what she wants and where she’s going without looking down on her. But My Happy Family is a small film with grand artistic ambitions, and both Ekvtimishvili and Groß know that Manana’s bliss has its limit. They know that eventually the matters of her husband and children, plus their extended family, must be reconciled. Still, My Happy Family shows a benevolent kind of restraint by ending on a note of uncertainty, sparing us the lion’s share of that work, its ultimate lingering ambiguity a thing of honorable beauty. —Andy Crump 36. Private Life
Director: Tamara Jenkins Stars: Paul Giamatti, Kathryn Hahn, Kayli Carter, Molly Shannon, John Carroll Lynch Rating: R A rich film with the confidence to take its time, allowing its characters to unfurl and its themes to grow and develop, Private Life is a quietly remarkable comedy-drama about family, marriage and getting older. To accomplish all that, writer-director Tamara Jenkins uses as her entryway a familiar scenario: a 40-something couple struggling to have a baby. Led by terrific, tricky performances from Paul Giamatti and Kathryn Hahn, Private Life keeps shifting and surprising, never offering anything dramatically monumental but speaking precisely about the bonds between people—how they can be threatened but also renewed. Giamatti and Hahn play Richard and Rachel, who have been married for quite some time, each of them enjoying a satisfying creative life in New York City. But in recent years, they’ve struggled to conceive, a process that no amount of fertility treatments has been able to remedy. Private Life devotes a significant amount of its early running time to showing how couples such as Richard and Rachel undergo IVF, which has its comic moments but is largely depressingly clinical. (Adding to the despair are the long lines of other expectant couples Richard and Rachel see in the waiting rooms sitting alongside them.) But Jenkins (Slums of Beverly Hills, The Savages) uses the couple’s struggles to discuss far more intriguing subject matter. It’s not simply the inability to have a child that eats at these two people. Their failure to conceive hints that they’re not young anymore and, with that, exacerbates the feelings of regret they have about the career decisions they made. Did they focus on their art at the expense of parenthood? Now that the shine is off their early creative success, is their barrenness another indication of their growing irrelevance? Perhaps most pressingly, are they obsessing about having a child because, deep down, they know their marriage has troubles? The inability to conceive bothers Richard, but for Rachel, it’s a deeper wound—one that goes far beyond being deprived of motherhood. Hahn and Jenkins make the woman’s pain palpable, layered and also a bit ineffable, illustrating how people reach middle age not entirely sure how they got there or where they’re headed next. —Tim Grierson 37. Ali
Director: Michael Mann Stars: Will Smith, Jamie Foxx, Jon Voight Rating: R Runtime: 157 minutes Upaya ambisius Michael Mann untuk mencatat kehidupan Muhammad Ali yang luas dan sangat dikagumi adalah terhormat, jika tidak mendorong antusiasme. Tentu saja itu adalah momen terbaik Will Smith sebagai kehadiran layar yang serius. Dia dan direktur menghabiskan waktu yang tepat untuk mempelajari pertarungan Ali dan berjam -jam rekaman yang jujur, menghasilkan banyak akurasi teknis tetapi rasa yang sedikit mekanis secara keseluruhan. Tetap saja, film -film Mann menyentuh semua ketukan biopik dan jam pertama atau lebih menarik, tidak pernah menghindar dari kemewahan, kontroversi, atau kekurangan egoisme. Masalah utama, pada akhirnya, terletak pada kesulitan menangkap quicksilver Ali, pesona yang lebih besar dari kehidupan. Itu adalah prestasi yang berarti bagi pembuat film mana pun. - Christina Newland 38. Artis
Director: Michel Hazanavicius Stars: Jean Dujardin, Bérénice Bejo, John Goodman Rating: PG-13 Dalam ode hitam-putihnya ke zaman keemasan Hollywood, penulis-sutradara Gallic Michael Hazanavicius Honours Formulir serta konten, mengemas melodrama romantisnya tentang munculnya ingénue baru dan jatuhnya bintang film bisu pada tahun 1920-an dan 30 -an Los Angeles dalam warna hitam, putih, dan nuansa perak berkilauan. Ini adalah upaya nostalgia yang indah, ambisius, yang menunjukkan bahwa para pembuatnya adalah seniman. George adalah selebriti kelas Douglas Fairbanks, benar-benar menawan baik di layar maupun off, terutama dengan sahabat karibnya Jack Russell Terrier di sisinya. Komik fisik yang tampan secara klasik dan berbakat, Dujardin memikat dalam peran itu, sama menggoda dengan penonton abad ke-21 dengan para penggemar yang berteriak karakternya. Namun, keberhasilannya yang tampaknya gagal gagal menyentuh, dengan munculnya talkie, sebuah perkembangan yang mengantarkan generasi baru bakat. Ngomong -ngomong, di puncak kekuatannya, George menyeberang jalan dengan Peppy Miller (Bérénice Bejo, yang menikah dengan Hazanavicius), sebuah film tambahan yang kariernya lepas landas saat dia mulai tangki. Dan dia, dengan pinggulnya yang cocked, mengedipkan mata dan gerakan gagah. Sayang sekali dia hidup, Bejo menunjukkan kedalaman yang tak terduga pada karakternya yang gagah ketika, sendirian di ruang ganti George, dia menyelipkan satu lengan ke jaket tuksedo dan berpura -pura dia berada dalam pelukan kekasih - sedikit bisnis yang hanya bisa beresonansi dalam a film bisu. Tanpa dialog dan beberapa intertitle untuk menyampaikan plot, Hazanavicius dan sinematografer Guillaume Schiffman telah berhati -hati dengan geometri gambar mereka; Ada sesuatu yang berseni dan menyenangkan untuk dilihat di setiap adegan. —Annlee Ellingson 39. The Nightingale
Director: Jennifer Kent Stars: Aisling Franciosi, Sam Claflin, Baykali Ganambarr Rating: R Tonton di Netflix Menyebut Nightingale film balas dendam menetapkan harapan kemenangan, ditemukan dalam kepuasan keadilan suram yang dilakukan pada orang yang tidak adil. Biarkan diketahui bahwa tidak ada katarsis seperti itu dalam tindak lanjut Jennifer Kent untuk debutnya tahun 2014 The Babadook. Balas dendam, sementara memang sebuah hidangan yang paling baik disajikan dingin, cenderung dipersiapkan dalam salah satu dari dua cara di bioskop: dengan semangat pompa-pumping atau ketenangan yang berkorosi jiwa. Nightingale menempel dengan resep untuk yang terakhir. Ini bukan film yang menyenangkan atau film yang menyenangkan, tetapi dibuat dengan nilai estetika tinggi untuk mengimbangi kesukarannya yang tak henti -hentinya: dibangun dengan cermat, seperti yang seharusnya diharapkan dari sutradara bakat Kent, dan dengan ganas bertindak oleh trio terkemuka Aisling Franciosi , Baykali Ganarnar dan Sam Claflin, masing -masing bermain Clare, seorang narapidana Irlandia yang didorong oleh kemarahan; Billy, seorang pelacak Aborigin yang didorong oleh pembalasan; dan Hawkins, seorang perwira militer Inggris yang dikendarai oleh ambisi dingin dan kedengkian tak berdasar, yang juga penguasa dan pemerkosa Clare. Mereka tiga kacang polong dalam pod yang mengerikan, adalah Tasmania tahun 1820 -an selama Perang Hitam, ketika penjajah Inggris membantai orang Aborigin Tasmanian hingga kepunahan yang terakhir. Ini adalah waktu yang sama sekali gelap dalam sejarah panjang negara itu. Dengan demikian, Nightingale adalah film yang gelap yang tepat - tetapi Kent terlalu cerdik seorang pembuat film untuk berpendapat bahwa Clare yang menderita mengalahkan Billy, atau membuat kesetaraan di antara mereka. Dia memahami apa yang harus terjadi untuk memenuhi bagian Clare dalam cerita, dan apa yang harus terjadi untuk memenuhi bagian Billy. Bahwa dia mampu mencapai keduanya dengan mulus adalah pencapaian yang luar biasa. Nightingale jauh dari Babadook dengan alasan genre dan gaya yang jelas, meskipun ada banyak kengerian di sini: mimpi buruk di mana Clare menari dengan Aidan, lalu dengan Hawkins dan penyerang lainnya. Tetapi film ini memperluas minat Kent pada cerita-cerita wanita dengan menceritakan kisah Billy bersama Clare, dan sekali lagi menunjukkan hadiahnya untuk membuat elemen genre yang sudah baik-baik saja terasa unik. Jika Nightingale menyangkal kepuasan tradisional dari bioskop balas dendam, itu juga menemukan yang baru. —Dan dan Crump 40. Pembunuhan rusa suci
Director: Yorgos Lanthimos Stars: Colin Farrell, Nicole Kidman, Barry Keoghan, Raffey Cassidy, Sunny Suljic, Alicia Silverstone, Bill Camp Rating: R Di lembah luar biasa film Yorgos Lanthimos, karakter menyerupai manusia ... tetapi tidak sepenuhnya. Dalam film-film seperti Dogtooth dan The Lobster, penulis-sutradara Yunani telah menjadi maestro dari komedi horor yang mual/lucu, mengubah kecemasan universal kita menjadi sindiran yang kaya secara psikologis di mana permukaan duniawi kehidupan memberi jalan pada kegelapan, sering kali realitas berdarah kita tidak tidak mau mengakui. Film -filmnya lucu karena sangat mengejutkan dan mengganggu karena sangat benar. Tetapi bagi mereka untuk benar -benar melambung, provokasi mereka perlu didasarkan pada perilaku yang dapat dikenali, yang memberi Lanthimos fondasi untuk kemudian memperluas kisah -kisah ekstremnya melewati titik puncaknya. Dengan yang terbarunya, kita melihat apa yang terjadi ketika ide -idenya yang mendasarinya tidak serumit seluk -beluk eksekusi. Pembunuhan rusa suci menyatukan kembali Lanthimos dengan bintang lobsternya Colin Farrell, yang memerankan Steven, seorang ahli jantung, yang menikah dengan dokter mata, Anna (Nicole Kidman). Mereka memiliki dua anak, Teen Kim (Raffey Cassidy) dan adiknya Bob (Sunny Suljic). Akan sulit untuk menggambarkan kepribadian mereka karena, dengan cara lanthimos yang khas, mereka tidak benar -benar memilikinya. Dengan cepat, rusa sakral memperkenalkan kita pada lalat dalam salep khusus ini. Namanya adalah Martin (Barry Keoghan), seorang remaja yang murung tampaknya sama lobotomi seperti karakter lainnya. Namun, ada satu perbedaan penting: dia telah berteman dengan Steven karena alasan yang terasa menyeramkan tetapi pada akhirnya akan menjadi jelas, dan dia terus menyindir dirinya ke dunia pria itu. Tidak akan terlalu menyenangkan untuk mengungkapkan ke mana rusa suci pergi dari sana, tetapi rusa suci mungkin merupakan pekerjaan Lanthimos yang paling visual dan sonik - secara teknis, itu murni - jelas tanpa pernah memutuskan secara tepat tentang apa itu. —Tim Grierson 41. Rain Man
Director: Barry Levinson Stars: Dustin Hoffman, Tom Cruise, Valeria Golino Rating: R Dalam foto terbaik pemenang Oscar ini, Charlie Babbitt (Tom Cruise) memulai perjalanan dengan saudara laki-lakinya yang baru ditemukan, Raymond (Dustin Hoffman). Ini bukan tamasya yang disengaja-go-go-lucky, meskipun-Charlie hanya mencoba untuk mendapatkan lebih banyak dari harta karunnya yang baru saja meninggal senilai $ 3 juta, yang sebagian besar ia tinggalkan ke Raymond autis. Charlie dapat belajar lebih banyak tentang saudaranya dan tics mentalnya seperti harus menghentikan semuanya untuk menonton Jeopardy! dan membeli pakaian dalam secara ketat dari Kmart. Hoffman tidak dapat disangkal baik, dan kinerjanya sebagai seorang Savant membuatnya mendapatkan aktor terbaik dalam penghargaan peran utama. Tapi penggambaran Cruise tentang seorang profesional yang tegang tinggi yang berubah menjadi saudara yang peduli juga merupakan harta karun. Momen -momen lembut sama pentingnya dengan yang lucu - dan perpaduan tawa dan air mata terampil tersebar di klasik 1988 ini. —Sembangkan Kristus 42. Binatang buas tanpa bangsa
Director: Cary Fukunaga Stars: Idris Elba, Abraham Attah, Emmanuel Nii Adom Quaye Rotten Tomatoes Score: 92% Rating: NR Runtime: 120 minutes Usaha debut Netflix menjadi pembuatan film menangani realitas gelap tentara anak -anak. Binatang buas no negara bintang Idris Elba sebagai komandan tanpa nama yang merekrut anak -anak untuk perang di negara yang tidak disebutkan namanya di Afrika. Perang saudara telah meninggalkan banyak anak tanpa keluarga, dan komandan mengambil keuntungan penuh dari kerentanan anak laki -laki, terutama seorang anak laki -laki bernama Agu (Abraham Attah). Pada akhirnya, anak-anak membentuk pasukan penuh di bawah komandan, tanpa ampun membunuh dan menaklukkan sebagai kelompok. Cary Fukunaga (True Detective) mengarahkan. —Salice Barsky 43. Bayangan
Director: Zhang Yimou Stars: Chao Deng, Sun Li, Ryan Zheng, Qianyuan Wang, Xiaotong Guan, Wang Jingchung Rating: NR Runtime: 115 minutes Yang terbaru dari Zhang Yimou adalah Shadow, sebuah film wuxia yang didasarkan pada legenda "Three Kingdoms" Cina. Di mana filmografi terbaru Yimou lebih menyukai substansi daripada Dazzle (Come Home) atau Dazzle over Substance (The Great Wall), Shadow melakukan apa yang dilakukan film -film terbaiknya dengan menjahitnya menjadi satu paket yang mulus. As in Hero, as in House of Flying Daggers, the anti-gravity fight scenes are stunning to behold, but those movies put performance and action on the same plane, and Shadow deliberately separates them with a gorgeous monochrome palette, backgrounded by gray scale that Memungkinkan para aktor, dan jumlah darah yang mereka tumpangi, tahan terdepan. Di sini, dalam kisah intrik istana ini, Komandan Yu (Deng Chao) menggunakan ganda untuk bertindak sebagai gantinya (juga Deng Chao) - bayangannya, jika Anda mau - untuk merebut kendali kota dengan nilai strategis dari penyerbu pasukan terhadap perintah dari rajanya (Zheng Kai). Film ini berputar dan berbelok, tetapi melalui stylization yang dikhususkan Zhang, seluk -beluknya tidak pernah membanjiri. Sebaliknya, stylization tidak. —Dan dan Crump 44. Omar
Director:Hany Abu-Assad Stars: Adam Bakri, Leem Lubany, Waleed Zuaiter Rating: TV-MA Runtime: 98 minutes Lebih tajam sebagai alegori politik daripada drama karakter, Omar lebih tertarik pada ide-ide dalam film thriller lambat ini daripada dalam intrik plot. Bagi penulis-sutradara Hany Abu-Assad, liku-liku maniak dan aksi yang licik akan menghalangi-lebih baik bahwa kita menghabiskan waktu untuk memikirkan mengapa karakter menemukan diri mereka dalam situasi ini sama sekali. Dinominasikan untuk film berbahasa asing terbaik Oscar, Omar dibintangi Adam Bakri sebagai tituler muda Palestina, yang setiap hari harus skala dinding keamanan yang sangat tinggi yang memisahkannya dari pacarnya, Nadia (Leem Lubany). Meskipun sangat jatuh cinta, mereka belum mengungkapkan hubungan mereka dengan kakaknya (dan teman baik Omar) Tarek (Eyad HojoS), yang berencana dengan Omar dan teman dekat lainnya, Amjad (Samer Bisharat), untuk membunuh seorang prajurit Israel . Misi ketiga teman itu sukses - Amjad yang menarik pelatuknya - tetapi segera setelah itu, Omar tersangkut oleh pasukan Israel, dipimpin oleh Agen Rami (Waleed F. Zuaaiter). Mengancam Omar dengan hukuman penjara, Rami menjanjikannya kebebasan jika dia akan memberikan Tarek, pemimpin kelompok itu, kepada mereka sebagai gantinya. Apa yang paling resonan di Omar adalah bahwa, sama seperti kita tidak selalu dapat mengukur karakter, mereka juga menyembunyikan bagian diri dari satu sama lain, produk sampingan hidup di bagian dunia di mana ketidakpercayaan adalah hal biasa dan kerahasiaan a kebutuhan. Itulah sebabnya akhir yang mengejutkan Omar agak membingungkan dan juga anehnya sempurna - kita tidak melihatnya datang, namun jauh di lubuk hati, kami tidak terkejut dengan semua hal itu terjadi. —Tim Grierson 45. IP Man
Director: Wilson Yip Stars: Donnie Yen, Lynn Hung, Dennis To, Syun-Wong Fen, Simon Yam, Gordon Lam Rating: R Runtime: 106 minutes IP Man 2008 ditandai, akhirnya, saat ketika Donnie Yen yang benar -benar luar biasa tetapi tidak pernah secara adil datang ke miliknya sendiri, memainkan versi biografis yang longgar dari grandmaster legendaris Wing Chung dan guru dari sejumlah master seni bela diri di masa depan (salah satunya (salah satunya (salah satunya (salah satunya (salah satunya (salah satunya ( adalah Bruce Lee). Di Foshan (sebuah kota yang terkenal dengan seni bela diri di Cina selatan/tengah), seorang praktisi yang sederhana dari Wing Chung mencoba untuk menghadapi invasi Jepang 1937 dan pendudukan Cina secara damai, tetapi akhirnya dipaksa bertindak. Aksi yang memecahkan tungkai, memupuk wajah mengisi film semi-historis ini, yang berhasil dengan mulia baik sebagai drama yang menarik dan umpan penggemar seni bela diri. —K. Alexander Smith 46. A Ghost StoryDirector: David Lowery Stars: Casey Affleck, Rooney Mara, Liz Franke Rating: R Tonton di Netflix Ternyata peluang sempurna untuk dilema eksistensial adalah ketika Anda tidak ada lagi. Dengan judul nakal seperti cerita hantu, tidak mengherankan bahwa film David Lowery bukanlah kisah khas aktivitas paranormal - tetapi bahkan itu tidak akan mempersiapkan Anda untuk pengembaraan emosional yang tidak dapat diprediksi, melalui cinta, kematian, kerinduan, dan waktu. Bahkan mungkin salah satu film sub-90 menit paling epik yang pernah dibuat. Di dalamnya, Casey Affleck dan Rooney Mara bintang sebagai pasangan, mungkin menikah, diidentifikasi dalam kredit masing -masing sebagai C dan M. Mereka tinggal di rumah tua yang sederhana. Dia melekat padanya, dia ingin pindah. Kami merasakan gesekan karena konflik itu, tetapi kami juga menawarkan kasih sayang yang tulus, terutama ketika dua pelukan setelah mengejutkan piano C membangunkannya di tengah malam. Kemudian, sama seperti kita mengenal mereka melalui dialog bergumam dan penulisan lagu C, dia mati secara tak terduga dalam kecelakaan mobil. Setelahnya, film ini meluangkan waktu untuk mengungkapkan niat berani. Penulis/sutradara Lowery sudah nyaman dengan kedua proyek indie (Ain't Them Body Saints) dan Disney Joints High-Profile (Pete's Dragon 2016). Mungkin keberhasilan ini telah memberinya kebebasan untuk membuat film kecil, berbiaya rendah dan tidak khawatir apakah orang akan menyebutnya megah atau membosankan. Dialog A Ghost Story tenang dan kadang-kadang sulit untuk dibuat, pengambilan panjang dan disengaja, dan sinematografinya diredam, belum lagi dalam rasio aspek akademi 1,37: 1. Dengan elemen -elemen ini, Lowery menangkap waktu dalam luasnya dan kesepiannya - karena, bagaimanapun, adalah perbedaan paling dramatis antara sudut pandang yang hidup dan orang mati, sesuatu yang diambil begitu saja di sebagian besar film (masalah mondar -mandir dan kilas balik). C, tentu saja, "bangun" dari kematian sebagai hantu yang dilapisi lembaran, untuk siapa waktu menjadi lebih dan lebih penting ketika dia tetap ada, dan ketika kamera tetap bersamanya. Kisah hantu bukanlah hal yang menghantui seperti saksi. —Jeremy Mathews 47. Sungai Mystic
Director: Clint Eastwood Stars: Sean Penn, Tim Robbins, Kevin Bacon Rating: R Runtime: 137 minutes Berdasarkan novel Dennis Lahane, misteri dramatis Clint Eastwood dikemas dengan penampilan hebat dari Laurence Fishburne, Laura Linney, Marcia Gay Harden, Kevin Bacon, Tim Robbins dan, terutama, Sean Penn, yang memenangkan Oscar dan Golden Globe untuk aktor terkemuka. Lingkungan Boston tempat para karakter tinggal terasa seperti kota kecil, tempat tiga teman masa kecilnya terpisah dan menemukan diri mereka berselisih setelah pembunuhan lokal. - Josh Jackson 48. mencintai
Director: Jeff Nichols Stars: Ruth Negga, Joel Edgerton, Marton Csokas Rating: PG-13 Runtime: 123 minutes Seberapa baik Anda menyukai cinta Jeff Nichols sebagian akan tergantung pada apa yang Anda cari di drama ruang sidang. Jika Anda lebih suka sagas yudisial yang dibuat dengan kelicikan potboiling dan sedikit lainnya, Anda mungkin akan suka mencintai kurang dari Nichols suka syuting proses hukum tengara. Filmnya bukan tentang kasus Loving v. Virginia sebanyak dua penggugatnya, Richard Loving (Joel Edgerton) dan Mildred Jeter Loving (Ruth Negga), pasangan yang sudah menikah di pusat kemenangan hak -hak sipil 1967 atas United Undang-undang anti-miscegenation negara bagian. Sebagai efek dari titik fokus Nichols, film ini berbicara sedikit atau tidak ada jargon pengacara dan berlangsung hampir seluruhnya di luar pengadilan daripada di dalam. Jadi, jika Anda muak dengan drama ruang sidang yang bersikeras pantomim, dan jika Anda berpikir cerita -cerita semacam itu menuntut lebih banyak pengekangan, maka Anda mungkin akan menggali cinta. Sangat rajin menghindari klise dari genre -nya sehingga terasa segar, asli, ide yang benar -benar baru berdasarkan pada yang sangat tua, sangat formula. Ini adalah reproduksi layar yang disiplin, tampan, dan serius dari momen kehidupan nyata yang penting dalam perjuangan berkelanjutan negara untuk hak-hak sipil; Ini mengenai teater pada saat kita masih memiliki argumen budaya tentang siapa yang akan menikah; Dan itu diarahkan oleh salah satu kesayangan kritis dari sinema kontemporer. Ini adalah jenis kritikus film anti-prestise yang merindukan, sebuah produk yang dilucuti pretensi dan ambisi non-artistik, hanya menyisakan karya seni. —Dan dan Crump 49. Playbook Lining Perak
Director: David O. Russell Stars: Bradley Cooper, Jennifer Lawrence, Robert De Niro Rating: R Runtime: 122 minutes Dengan memimpin sebagai kemenangan seperti Bradley Cooper dan Jennifer Lawrence, AAS serta campuran khas David O. Russell tentang dialog yang cerdik dan tulus, kaitnya ditetapkan. Setiap detail tidak memiliki gel-peran Chris Tucker sebagai Danny, teman Pat Jr yang rawan dari fasilitas perawatan, tampaknya agak asing-tetapi tidak perlu. Pada akhir kompetisi tari final (ya, ada itu), penonton, aktor, dan sutradara berada di halaman yang persis sama di buku pedoman Russell. —Michael Burgin 50. “The Meyerowitz Stories (baru dan terpilih)
Tahun: Direktur 2017: Noah Baumbach Stars: Adam Sandler, Dustin Hoffman, Ben Stiller, Elizabeth Marvel, Emma Thompson, Candice Bergen, Adam Driver, Sigourney Weaver Rating: R Runtime: 112 menit 2017 Director: Noah Baumbach Stars: Adam Sandler, Dustin Hoffman, Ben Stiller, Elizabeth Marvel, Emma Thompson, Candice Bergen, Adam Driver, Sigourney Weaver Rating: R Runtime: 112 minutes Dalam mungkin drama kamarnya yang paling baik (mari kita gunakan frasa ini secara longgar) sejak Frances Ha, Noah Baumbach membutuhkan waktu untuk mengamati cara-cara di mana karakternya berjalan, hadiah rawat jalan mereka (atau ketiadaan) yang mewakili kedua perjuangan mereka untuk mengekspresikan terdalam mereka diri dan cara -cara di mana mereka tidak dapat melarikan diri dari orang tua yang harus melewati diri mereka sendiri - kegagalan mereka, keanehan mereka, kemarahan mereka - kepada keturunan mereka. Seseorang merasa bahwa Baumbach ingin secara melekatkan tindakan "berlari dari" masalah terdalam seseorang, tetapi tembakan pelacakan seperti itu sebagian besar dimainkan untuk tertawa: Patriarki Keluarga Harold Meyerowitz (Dustin Hoffman), seorang pematung yang mencari pengakuan di usia tuanya, bergoncang dengan dopily), seorang pematung yang mencari pengakuan di usia tuanya, bergoncang dengan dopily), dengan dopily), seorang pematung yang mencari -cari di jalanan New York; Matt Meyerowitz (Ben Stiller) memiliki rahmat keanggotaan gym perusahaan yang digunakan dengan baik; Danny Meyerowitz (Adam Sandler, layak mendapatkan Oscar) berjejer di sekitar menyangkal bahwa dia mendapat masalah medis besar; Dan Jean Meyerowitz (Elizabeth Marvel) sepertinya dia tidak boleh berlari, Matt dan Danny pada satu titik yang berpendapat tentang bagaimana mereka belum pernah melihatnya sebelumnya berlari sebelumnya. Pada saat -saat ini, Baumbach memungkinkan otak untuk dengan canggung mengambil kehidupan jasmani, bertanya -tanya dengan keras bagaimana banyak tema dan ide yang kami konseptualisasikan (dan dengan demikian menginternalisasi) membebaskan diri dalam semacam jarak dekat fisik. Adegan tenisnya di cumi -cumi dan paus membuat panjang fitur - dan itu mungkin film yang paling mengharukan yang pernah dibuatnya. —Dom Sinacola 51. Love Jones
Director: Jérémy Clapin Stars: Larenz Tate, Nia Long, Isaiah Washington Rating: R Runtime: 108 minutes Love Jones feels just as refreshing now as it did in 1997: It’s a romantic drama filled with realistic relationships and conversations, focused on a group of Black writers, artists and intellectuals. Nina (Nia Long), a photographer just out of a long relationship, meets Darius (Larenz Tate), a writer and spoken-word artist (oh hey, the ‘90s) who meets her at a show and pursues her—carefully but quite ardently—until they fall into on-again, off-again love. Aside from the naturalistic performances (from the two leads as well as their easygoing group of friends, including Isaiah Washington and Lisa Nicole Carson), the greatest delight of Love Jones is the way its soundtrack (which seamlessly blends Charlie Parker with Lauryn Hill with Coltrane with Maxwell) syncs with its Chicago scenery for a kind of hipper Woody Allen feel. The film opens on Chicago through Nina-the-photographer’s eyes, from black-and-white shots of the El and the skyline to close-ups of the faces of the city’s Black community. While Love Jones features Chicago movie staples like Buckingham Fountain and Union Station, it comes alive in its specifics—such as Nina and Darius’s meeting at the jazz/spoken word club Sanctuary (not real, but it feels it), and then their subsequent “first date”: Chicago-style stepping at the Blackstone Hotel. Carefully rendered, the City of Love Jones is truly multi-dimensional. —Maura McAndrew 52. Lagaan
Director: Ashutosh Gowariker Stars: Aamir Khan, Gracy Singh, Rachel Shelley Rating: PG Runtime: 223 minutes You may have heard of Lagaan, one of the most easy entryways into Bollywood. The film famously received India’s third-ever Academy Award nomination in 2001 and is rooted in a rich entanglement of a high-stakes sports game and a forbidden romance. An epic sports drama based in colonial India, Lagaan is the story of a group of Indian villagers who challenge their British colonizers to a game of cricket in exchange for the removal of their increasing burden of taxes. We get recruiting and training montages, drama amongst teammates, an intercultural flirtation, and a bangin’ soundtrack from the legend A.R. Rahman. It has everything and has been rightfully hailed as one of India’s most entertaining and thoughtful productions that seems to only get better with age. —Radhika Menon 53. Titanic
Director: James Cameron Stars: Leonardo DiCaprio, Kate Winslet, Billy Zane Rating: PG-13 Runtime: 194 minutes Decades after its theatrical debut, James Cameron’s blockbuster epic is still so ubiquitous in the pop culture zeitgeist, its filmmaking marvels are drowned out by young Kate-and-Leo nostalgia and that damned Celine Dion caterwaul (not to mention the now late James Horner’s iconic score). Cameron’s ear for dialogue may be woefully leaden, but he’s a shrewd storyteller, plunking a Romeo-and-Juliet redux aboard the doomed ocean liner and flanking the fictional romance with historical details, groundbreaking special effects and jaw-dropping visuals. The narrative lapses are at times dumbfounding—let’s face it, old Rose, who tosses a priceless artifact into the abyss after waxing ad nauseam about herself, is a thoughtless jerk—and the aforementioned dialogue is awful (to say nothing of Billy Zane doing his best mustache-twirling silent movie villain) but Titanic remains a painstaking testament to the all-in Hollywood spectacle.—Amanda Schurr 54. Memoirs of a Geisha
Director: Rob Marshall Stars: Zhang Ziyi, Ken Watanabe, Koji Yakusho Rating: PG-13 Runtime: 145 minutes Zhang Ziyi plays the complex role of Sayuri, a young Japanese girl who first loathes, then covets the idea of being geisha. As she fulfills her dreams, every victory is laced with sadness, and the troubling, yet beautiful tale of her life is juxtaposed against Japan’s entry into World War II. At the end of the film, the voice of Sayuri reminds us that not all love stories have uncomplicated, fairy tale endings: “After all these are not the memoirs of an empress, nor of a queen…these are memoirs of another kind.” —Shannon M. Houston 55. Cold Mountain
Director: Anthony Minghella Stars: Jude Law, Nicole Kidman, Renée Zellweger, Brendan Gleeson, Philip Seymour Hoffman, Natalie Portman, Donald Sutherland Rating: R Runtime: 154 minutes When Anthony Minghella adapted Charles Frazier’s gripping novel about a Civil War deserter from the Confederate Army and his long journey home to the woman he loves, he enlisted an all-star cast to bring it to life. Jude Law and Nicole Kidman led the marquee, but it was Renée Zellweger’s turn as Ruby Thewes, the woman who helps Kidman’s character survive on her farm as the nation was torn apart, who earned most of the plaudits. Gorgeously shot (with Romania mostly standing in for North Carolina’s Pisgah National Forest), Cold Mountain also introduced the world to the glorious sounds of sacred harp or shape-note singing. —Josh Jackson 56. Pieces of a Woman
Director: Kornél Mundruczó Stars: Vanessa Kirby, Shia LaBeouf, Ellen Burstyn Rating: R Runtime: 126 minutes Netflix’s Pieces of a Woman is about Martha (Vanessa Kirby) and Sean (Shia LaBeouf), a couple who suffer a neonatal death. Director Kornél Mundruczó’s movie is a tough watch and an uneven drama, but its exceptional elements keep you glued to the screen—especially a gripping, one-take scene of home birth that runs nearly half an hour. It’s a flashy move, built on the backs of its actors and the planning and choreographing of its directorial and camera team. Kirby is seriously fantastic and the fact that the Logistic never overwhelmed the Artistic when shooting is quite a feat. But while the adrenaline, hope and grief of the scene are impressive enough to overwhelm the rest of the film, the visual fallout from this loss struck me even more deeply. Martha and Sean are shocked into stillness, something that’s depressingly relatable and shown throughout Pieces of a Woman with a subtle potency. Cinematographer Benjamin Loeb captures perfect frames of domestic neglect that will be familiar to anyone that was waylaid in the past by unemployment, illness, loss, trauma, or general disillusionment with capitalism, democracy and all the ways in which we live life. Martha’s moment of trauma may be the standout scene from Pieces of a Woman, but it’s the subtle depiction of slowing rebuilding, after untold time spent stuck, that resonates in the subconscious. —Jacob Oller 57. Lust Stories
Directors: Anurag Kashyap, Zoya Akhtar, Dibakar Banerjee, Karan Johar Stars: Vicky Kaushal, Bhumi Pednekar, Radhika Apte Rating: TV-MA Runtime: 120 minutes An anthology film from four of India’s most prominent directors, Lust Stories explores the themes of sex and attraction in its many forms, and places them in modern-day India where these types of conversations don’t normally occur so openly. Each director’s short film focuses on a stigma—whether it’s a possessive relationship between a teacher and student, a forbidden tryst between members of two different social classes, an adulterous marriage, or an exploration of sexual satisfaction—and dives deep into the various perspectives at play. The format makes Lust Stories easily digestible, and the films themselves are excellent slices of progression within the industry and culture at large. That it premiered as a Netflix original is just another hat tip to the dynamism of the decade’s art. —Radhika Menon 58. First They Killed My Father
Director: Angelina Jolie Stars: Sreymoch Sareum, Kompheak Phoeung, Sochteata Sveng Rating:TV-MA Runtime: 136 minutes We may tease or scorn actors for stepping out of the frame to hunker down behind the camera, because for whatever reason we’re only cool with artists when they stay in their lane. Think of Angelina Jolie’s First They Killed My Father as a democratic response, or, if you like, a defiant flip of the bird. It’s fitting that Jolie should be the actor to produce a film this accomplished. Recall the volume of shit shoveled on her for the
release of 2014’s Unbroken, her Louis Zamperini biopic, and 2015’s By the Sea, the romantic drama she made with Brad Pitt: These were works met with deserved and undeserved response, both middling at best, but neither could be mistaken for being too vain. Whatever promise was found in her earlier movies is fully realized in First They Killed My Father, a brutal movie with a human heart. Jolie doesn’t gloss over the horrors of the Khmer Rouge. She knows honesty is the best
way to face history and honor the dead, but she doesn’t find any nobility in the suffering of Loung Ung’s family as they flee from state-sanctioned genocide. First They Killed My Father’s emphasis falls on Loung, on the violence paraded before her young eyes, Jolie mining tragedy not for a misguided sense of importance but for an experiential scope and for, most of all, empathy. —Andy Crump 59. Blue Jay
Director: Alex Lehmann Stars: Sarah Paulson, Mark Duplass, Clu Gulager Rating: NR Runtime: 85 minutes Sarah Paulson is one of the most vital actors working today, and at this particular moment she’s damn close to ubiquitous; here she shows up as one of two leads in newcomer Alex Lehmann’s lovely romantic comedy Blue Jay, a compact and unassuming film about big, life-changing things that’s presented in a beautiful monochrome package.
Think of it as a palate cleanser for Paulson after a year spent maneuvering productions of grander scope and ambition. But scale and quality exist in two separate zip codes, and what Blue Jay lacks in import it makes up for with effervescence and melancholy. As though to put Paulson’s luminous talents to the test, Lehmann has cast her alongside Mark Duplass, a man primarily known for making tons of low-fi mutter-fests and whose range allows him comfortably to play himself. Paulson and
Duplass make such a great pair that the film’s relative nothingness is pleasurable rather than painful. Blue Jay only clocks in at about an hour and twenty minutes (less, counting the credits scrawl), so it should breeze along by its very nature, but it feels like it only runs about half as long as that. It’s well crafted, well mannered and very well acted, though you may decide for yourself if all credit should go to Paulson. She draws out Duplass’ best merits as an actor, much as Amanda
draws out the best in Jim: The more the film progresses, the brighter and more enthusiastic Duplass becomes, relishing every second he gets to be on screen with her. Their chemistry is palpable. —Andy Crump 60. Anda tak tergantikan
Tahun: Direktur 2018: Stephanie Laing Stars: Gugu Mbatha-Raw, Michiel Huisman, Christopher Walken Rating: TV-Ma Runtime: 96 menit 2018 Director: Stephanie Laing Stars: Gugu Mbatha-Raw, Michiel Huisman, Christopher Walken Rating: TV-MA Runtime: 96 minutes Netflix telah memberi kami dua film Gugu Mbatha-Raw di bulan yang sama. Salah satunya adalah bencana kreatif dan tanda hal -hal buruk yang akan datang untuk filosofi raksasa streaming tentang rilis asli. Salah satunya tidak tergantikan Anda. Di muka, tak tergantikan Anda secara agresif lembek dan imut sekali, tetapi Mbatha-Raw adalah pemikat yang mudah, dan sutradara Stephanie Laing jelas merupakan penyihir karena ia menemukan cara untuk menggosok Michiel Huisman dari douchiness hipster yang khas. Dia masih keren merenung, tetapi seorang nerd canggung merenung, dan dia pandai bermain bagian itu. Dia dan Mbatha-raw cocok dengan Sam dan Abbie, kekasih masa kecil yang baru terlibat dan juga menatap diagnosis kanker terminalnya. Dalam istilah medis, dia seorang goner. Jadi dia melakukan apa yang akan dilakukan oleh orang Tipe-A dalam posisinya dan mewawancarai kandidat untuk penggantinya setelah dia meninggal. Dia sangat mencintai Sam sehingga dia tidak tahan dengan gagasan dia sendirian. Jika Anda menderita diabetes, sinopsis ini mungkin membuat Anda meraih dosis insulin, tetapi untuk semua manipulasi yang jelas, menyaksikan Anda tak tergantikan Anda setara dengan menenggak kotak cokelat berbentuk hati. Anda mungkin mengalami guncangan gula dan Anda harus menyikat gigi saat selesai, tetapi Anda tidak akan menyesali kesenangan semua sama. —Dan dan Crump Drama apa yang paling populer di Netflix?Populer di Netflix.. Manifest.. Mahkota.. Hancur berantakan.. DAHMER.. 100 .. Lucifer.. Daftar hitam.. Apa 10 film teratas di Netflix sekarang?Sing 2 (2021). Kapten Phillips (2013). Hotel Transylvania 2 (2015). Enola Holmes 2 (2022). Menangkap Perawat Pembunuh (2022). The Bad Guys (2022). Jatuh untuk Natal (2022). R.I.P.D.2: Rise of the Damned (2022). Apa drama terbaik di Netflix saat ini?Pertunjukan drama terbaik di Netflix sekarang.. Money Heist (2017-2021). The Queen's Gambit (2020). Ozark (2017-2022). Breaking Bad (2008-2013). Mindhunter (2017-2019). Maniac (2018). The Crown (2016-sekarang). The Haunting of Hill House (2018). Apa film Netflix dengan peringkat tertinggi?Ini adalah film terbaik untuk streaming di Netflix.. Trailer putri yang hilang (2021).86 % .... Centang, centang ... Boom!(2021) Trailer..... Trailer Irlandia (2019).94 % .... Trailer berikut (2014).83 % .... Trailer Murid (2020).83 % .... Trailer Raw (2016).81 % .... Trailer DA 5 Bloods (2020).82 % .... Jika Beale Street dapat berbicara (2018) trailer.87 %. |
