Apa dampak dalam pembangunan sering terjadinya pergantian kabinet dalam sistem demokrasi liberal
Reformasi sebagai bagian dari perjalanan historis bangsa Indonesia untuk mengembalikan cita-cita proklamasi seperti yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tidak selalu berkaitan dengan penolakan akan kemapanan dan konservatisme, melainkan harus dipandang dan diperlakukan sebagai subsistem dalam proses dinamika mencapai tujuan.[1] Pada awal reformasi jilid kedua (1998)[2] yang ditandai dengan berakhirnya rezim pemerintahan orde baru, Bagir Manan melihat paling tidak ada empat agenda reformasi dalam rangka revitalisasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang perlu mendapat perhatian:
Kebebasan mendirikan partai politik adalah bagian esensial dari hak konstitusional yang telah dirumuskan oleh founding fathers dalam UUD 1945.[3] Peraturan perundang-undangan bidang politik tentu menggunakan prinsip “kemerdekaan berserikat dan berkumpul”, yang digariskan dalam konstitusi. Hal itu sejalan pula dengan pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (civil and political rights) dalam instrumen hukum internasional, yang kemudian dimasukkan dalam amendemen UUD 1945 dengan penyisipan Bab XA “Hak Asasi Manusia”.[4]
Sejak awal tahun ini (4 Januari 2008) berlaku Undang-undang Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, menggantikan Undang-undang Nomor 31 tahun 2002. Alasan penggantian undang-undang lama antara lain adalah belum optimalnya UU 31/2002 mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik (parpol) dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui UU 2/2008 diharapkan pula pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan parpol, yang menyangkut domokratisasi internal parpol, transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan parpol, peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan parpol dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara. Di antara substansi UU 2/2008 yang menarik untuk dianalisis adalah ketentuan mengenai pembentukan parpol yang mengokohkan kembali sistem multipartai yang telah diatur sebelumnya. Perubahan regulasi yang menempatkan partai politik sebagai “organisasi yang bersifat nasional” diharapkan dapat mengubah paradigma politik sekelompok kecil masyarakat yang gemar mendirikan partai politik.[7] Undang-undang berfungsi sebagai “a tool of social engineering”, dalam hal ini tujuan regulasi partai politik dimaksudkan untuk membatasi kebebasan warga negara mendirikan partai dengan menetapkan persyaratan yang lebih ketat. Persyaratan dimaksud antara lain melalui ketentuan mengenai “pembentukan partai politik”[8] serta organisasi dan kedudukan” partai politik.[9] Dengan demikian (calon) para deklarator politik harus benar-benar berusaha memperoleh dukungan publik secara nasional sebelum pembentukan partai diumumkan. Di samping itu, pendaftaran partai politik ke Departemen Hukum dan HAM untuk memperoleh status sebagai badan hukum (rechtspersoon) mengharuskan partai politik menempuh proses penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran semua keterangan dalam Anggaran Dasar yang tercantum akta notaris[10] dan persyaratan lain yang diperlukan untuk menetapkan status partai sebagai badan hukum.[11] Regulasi yang lebih ketat tersebut mungkin berdasarkan pengalaman sebelumnya tentang banyaknya kelompok masyarakat yang mengajukan pendaftaran partai politik. Pada tahun 2003 terdapat 112 partai politik yang mendaftar di Departemen Hukum dan HAM untuk diverifikasi, 84 di antaranya memenuhi syarat diverifikasi. Dan, dari 84 partai politik yang diverifikasi itu, hanya 50 yang memenuhi syarat untuk disahkan sebagai badan hukum.[12] Jelaslah bahwa politik hukum nasional pengaturan partai politik memberikan kebebasan warga negara mendirikan partai, dengan kebijakan yang masih longgar dan liberal meskipun agak lebih ketat dibanding dengan UU 31/2002 yang telah dicabut.
Konsekuensi sistem multipartai tidak hanya mempengaruhi mekanisme dan efisiensi pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan daerah di DPR atau DPRD, melainkan juga birokrasi pemerintahan yang harus dipegang oleh banyak orang sebagai representasi dari partai politik yang menang dalam pemilihan umum. Wakil-wakil rakyat yang duduk di legislatif dan pemerintahan akan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya yang sangat bervariasi. Di antara dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan banyak faktor. C. Cumming menulis: “The existence of several parties can make it more difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party sistems.” Selanjutnya, “… such coalition are often fragile. At one extreme, governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may have three, or four, or more governments in one year.[14] Pada era demokrasi parlementer (1955 – 1959) apa yang dinyatakan Cumming terbukti benar. Betapa sering terjadi pergantian kabinet, sehingga instabilitas pemerintahan itu menyebabkan peluang untuk melaksanakan pembangunan menjadi terabaikan. Atas dasar pengalaman seperti itu pula, pada masa orde baru, Presiden Soeharto menempuh kebijakan sistim multipartai terbatas, dengan mendorong fusi partai-partai politik (hasil pemilihan umum 1969) sehingga hanya ada tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI), sehingga fraksi DPR/DPR sederhana menjadi 4 fraksi saja (dengan mengangkat fraksi ABRI). Lebih jauh pandangan dan analisis ahli ilmu politik, mengingatkan pula bahwa sistem multipartai yang dipakai sebagai sarana memodernisasikan masyarakat di negara sedang berkembang, relatif menumbuhkan instabilitas dari pada di negara yang menganut sistem dua partai. Pada hakekatnya sistem multipartai itu tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam masyarakat. Penelitian seperti dkemukakan oleh Samuel P. Huntington yang dikutip Rusadi Kantaprawira, memberikan gambaran tentang instabilitas akibat sistem-sistem politik yang dianut, seperti di bawah ini:[15] Distribution of Coups and Coup Attempts in Modernizing
Hasil penelitian Huntington di atas mungkin tidak memasukkan kondisi partai politik dalam sample-nya, karena dalam masa demokrasi parlementer dahulu dan bahkan sampai sekarang belum pernah terjadi kudeta (perebutan kekuasaan) seperti banyak terjadi di negara lain yang menganut sistem multipartai. Pengukuhan sistem ltipartai dengan UU 2/2008 yang diharapkan dapat mewujudkan kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan yang tidak diskriminatif seperti yang diharapkan oleh pembentuk undang-undang, tampaknya masih akan diuji, sejauhmana cita-cita yang demikian luhur itu terwujud? Nada pesimis tentang keampuhan regulasi politik mengatur kehidupan politik dalam tatananan budaya hukum, pernah diungkapkan oleh Daniel S. Lev, pengamat senior politik hukum Indonesia yang menyatakan bahwa politik tidak berjalan sesuai dengan aturan, tetapi berlangsung sesuai dengan aturan pengaruh, uang, keluarga, status sosial, dan kekuasaan militer. Penulis: Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan [1] Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta, FH – UII Press, 2003), hal. 132 – 133. [2] Reformasi tahun 1998 bukan yang pertama, sebab pada waktu angkatan ’66 mencetuskan tema tritura (tiga tuntutan rakyat) juga diilhami oleh semangat untuk menuntut “reformasi” menyeluruh (total) dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. [3] Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang. [4] Butir-butir perubahan UUD 1945 demikian banyak, sehingga Ismail Sunny (guru besar emeritus FH UI) dalam suatu ceramahnya pernah mempersoalkan apakah masih tepat disebut sebagai UUD 1945? UUD 1945 lama hanya terdiri dari 71 butir, sedangkan UUD 1945 baru (setelah perubahan) terdiri dari 199 butir, yang berarti perubahan dan penambahan itu sebanyak 174 butir (88 %). (lihat Machmud Aziz, Kedudukan Peraturan Menteri dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (makalah, tidak diterbitkan, 2007). [5]Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan Perundang- undangan,(Jakarta, tanpa penerbit, 2005), hal. 232. [6] UU No. 2 tahun 2008, Pasal 1 angka 1. Definisi itu berbeda dengan UU 31/2002, yaitu dengan mengubah frasa “kepentingan anggota” menjadi “kepentingan politik anggota”, “organisasi politik” menjadi “organisasi yang bersifat nasional”, dan menghapus frasa “melalui pemilihan umum”. Perubahan itu sangat signifikan yang mencerminkan arah reformasi di bidang regulasi partai politik. [7] Dalam kajian politik, Miriam Budiardjo mengartikan partai politik sebagai “kelompok yang terorganisir dengan tujuan memperoleh jabatan-jabatan pemerintahan.” (Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, (Jakarta, Rineka Cipta.,2007). Definisi yang agak lebih luas dikemukakan oleh Milton C. Cummings yang mendefinisikan “political parties” sebagai “organized groups of individuals or other other groups who attempt to exercise power in political system by winning control of the the government or influencing governmental policy.” (lihat Cummings dalam Encyclopedia Americana (1980), vol. 22, hal. 336). Tampaknya pembentuk undang-undang tidak berani menegaskan partai politik sebagai sarana untuk mengantarkan para kadernya memegang kekuasaan pemerintahan , memegang kendali pemerintahan atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan, walaupun dalam pikiran para pendiri dan pegiat partai politik pada umumnya demikian. [8] Pasal 2 UU 2/2008 mengharuskan kepengurusan partai politik harus mempunyai paling sedikit 60 % dari jumlah provinsi, 50 % dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25 % dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota daerah yang bersangkutan. [9] Pasal 17 mengharuskan kepengurusan partai politik ada pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota.. Selanjutnya Pasal 20 susunan dan komposisi kepengurusan partai politik pada semua tingkat harus pula memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 % yang diatur dalam AD/ART partai politik masing-masing. [10] UU 2/2008 Pasal 2 [11] UU 2/2008 Pasal 11 [12] Oka Mahendra. Op cit, hal. 234. [13] Secara sederhana system multipartai (system banyak partai, system partai banyak, multi-party sistem, multi partism, poly-partism) terwujud manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan rakyat dibentuk atas dasar kerjasama dua kekuatan atau lebih, atau eksekutifnya tidak homogen. Mayoritas mutlak demikian tidak pernah terwujud tanpa melalui kerjasama,koalisi, atau aliansi. (lihat Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, (Bandung, Algensiondo, 2006), hal. 67 [14] Milton C. Cumming, Op cit, hal. 339 [15] Rusadi Kantaprawira, Op cit, hal. 182 [16] R.M. MacIver, The Web of Government, (New York, MacMillan, 1958), hal. 208 – 210. |