Apa dampak negatif dari revolusi industri?

BANDUNG, (PR).- Revolusi industri 4.0 tak melulu membawa dampak baik bagi publik. Ancaman yang dibawa oleh gelombang otomatisasi dan internet juga perlu diantisipai.

Prof. Ang Peng Hwa dari Universitas Teknologi Nanyang Singapura mengatakan, revolusi industri 4.0 telah mendorong eksploitasi terhadap sumber daya alam dan manusia. Eksploitasi sumber daya yang berlebihan menimbulkan polusi.

"Era big data ini menyebabkan konsumsi listrik yang tinggi," katanya saat menjadi pembicara kunci di Annual Conference of Communication, Media and Culture (ACCOMAC) II 2019 yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba) di Aula Unisba, Selasa, 3 Desember 2019.

Baca Juga: Daya Saing Indonesia Peringkat ke-50 dari 141 Negara

Selain itu, pekerja di bawah perusahaan-perusahaan yang bersandar pada teknologi informasi perlu perlindungan hukum agar tak terjebak pada eksploitasi manusia.

Ia mengatakan, gelombang revolusi industri keempat ini membawa beberapa ancaman sosial.

Salah satunya perhatian pada isu privat karena era media sosial memberi tempat leluasa untuk mengekspresikan diri.

Era baru ini juga membawa ancaman meningkatnya pengangguran. Utamanya bagi pekerja tanpa latar belakang pendidikan dan keterampilan yang cukup.

"Apa yang harus dilakukan dengan pekerja yang kurang berpendidikan? Dulu orang bisa bekerja di pabrik dengan gaji bagus. Sekarang pekerjaan itu sudah digantikan teknologi," tuturnya.

Ang Peng Hwa juga berpendapat kondisi ini semakin memperlebar kesenjangan sosial. "Ada gap besar di pendapatan," ujarnya. Dampaknya, mobilitas sosial sulit terjadi.

Ia menyarankan, agar semua pihak terlibat pada revolusi industri 4.0 ini.
Keterlibatan itu akan meningkatkan kesadaran pada dampak yang ditimbulkannya.
Ia juga menyarankan agar etika dikedepankan, bukan dengan membuat hukum yang bersifat membatasi.

"Prinsip-prinsip filosofis dan relijiusitas perlu dipegang," ujarnya.

Ia juga memandang pentingnya meningkatkan kondisi manusianya. Misalnya dengan menjaga keseimbangan antara wilayah privat dan publik, serta meminimalisasi terjadinya eksploitasi.

Sementara itu, Prof. Dr. Atie Rachmiatie, M.Si menyoroti soal konflik dan intoleransi yang meningkat di era internet ini.

Menurut dia, media mempunyai perab dalam komunikasi lintas agama dan kepercayaan agar tercipta masyarakat yang harmonis. "Baik media arus utama maupun media sosial harus menjadi jembatan antar-individu," ujarnya.

Ia mengatakan, media arus utama harus diperlakukan berdasarkan aturan yang berlaku dengan sumber daya manusia yang profesional dan memiliki tanggung jawab sosial.

"Media sosial diatur dan dilindungi oleh negara untuk melindungi warganya dari tindakan yang merugikan melalui media sosial.

Misalnya perekrutan untuk menjadi ISIS, menggunakan data pribadi, kerahasiaan negara, dan eksploitasi oleh kapitalis internasional," tuturnya.

Dialog lintas agama

Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Islam Bandung (Unisba) menyelenggaralan Annual Conference of Communication, Media and Culture (ACCOMAC) II 2019. Dialog lintas agama menjadi sorotan penyelenggaraan tahun ini.

Ketua Pelaksana ACCOMAC II 2019 Ani Yuningsih mengatakan, tema tahun ini ialah Interfaith Communication in The Industrial Revolution 4.0: Collaboration and Synergi.
Dari ajang ini diharapkan muncul pemikiran-pemikiran baru dari para akademisi untuk mengatasi dampak negatif media sosial, khususnya terkait dialog lintas agama.
"Karena pengguna media sosial berasal dari agama yang berbeda-beda bisa menjurus ke konflik atau juga radikalisme," katanya ditemui di Aula Unisba, Selasa, 3 Desember 2019.

Tak hanya itu, ia berharap kegiatan ini mampu mengantisipasi perkembangan profesi komunikasi di era disrupsi teknologi ini.

"Tidak bisa menghasilkan lulusan yang biasa saja. Harus punya skill yang siap di era ini," ujarnya.

Direktur Kerja Sama Sosial Budaya ASEAN Kementerian Luar Negeri Riaz Saehu mengatakan, saat ini perlu upaya-upaya untuk menyebarkan nilai-nilai toleransi dan moderasi, utamanya di kalangan generasi muda.

Nilai-nilai itu bukan saja menjadi prinsip penting bagi Indonesia, tapi juga bagi ASEAN yang juga terdiri dari beragam suku dan agama.

"Soal menangkal hoaks dan disinformasi juga perlu ditangani. Forum akademis ini untuk bertukar pikiran. Ini sejalan dengan komitmen ASEAN yang sudah dideklarasikan sejak 2017," tuturnya.

Ia mengatakan, media sosial juga teknologi akan menjadi alat yang baik jika digunakan oleh orang-orang yang bertanggung jawab.

"Bagaimana menggunakannya untuk kebaikan. Termasuk interfaith dialog tidak bisa gaya lama. Harus oleh anak muda yang bertanggung jawab," katanya.***