Apa hukum menghamili di luar nikah?

Perkawinan wanita yang hamil di luar nikah dengan pria yang menghamilinya dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya (lihat Pasal 53 ayat [2] KHI). Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir (lihat Pasal 53 ayat [3] KHI).

 

Di sisi lain, KHI tidak mengatur secara eksplisit apakah perempuan yang hamil di luar nikah boleh dikawinkan dengan pria lain selain yang menghamilinya. Tapi, dari ketentuan Pasal 53 ayat (1) KHI secara tidak langsung membuka kemungkinan perempuan yang hamil di luar nikah untuk tidak dikawinkan dengan pria yang menghamilinya atau dikawinkan dengan pria selain yang menghamilinya. Karena, norma hukum yang ada dalam pasal tersebut bersifat kebolehan (menggunakan frasa “dapat”) dan bukan keharusan. Jadi, wanita yang hamil di luar nikah dapat dinikahkan dengan pria yang tidak menghamilinya. Namun, menurut hemat kami, dalam hal ini si perempuan terlebih dahulu harus memberi tahu mengenai kehamilannya tersebut kepada si calon suami. Atau jika kita melakukan penafsiran secara a contrario terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) KHI, maka perkawinan perempuan yang hamil di luar nikah dengan pria yang tidak menghamilinya harus menunggu sampai si perempuan melahirkan.

 

Terkait dengan keinginan Anda untuk mengakui anak tersebut, berikut ini pendapat kami:

1.      Anak tersebut dapat diklaim sebagai anak Anda apabila suami dari (mantan) pacar Anda memang menolak untuk mengakui anak tersebut.

2.      Pada dasarnya, anak yang lahir dalam perkawinan, akan sulit diakui, yang bisa Anda lakukan adalah memohonkan kepada pengadilan untuk menetapkan bahwa anak tersebut adalah anak biologis Anda. Hal ini tentunya memerlukan mekanisme pembuktian secara medis yaitu dengan tes

Nurhumaidi, Muhamad Iqbal (2021) Status perkawinan wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamili perspektif hukum Islam dan kesetaraan gender. Sarjana thesis, UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

Abstract

Perkawinan wanita hamil di luar nikah sudah bukan lagi hal yang baru dikalangan masyarakat, padahal agama Islam dengan jelas mengharamkan melakukan perbuatan zina dan penyebab-penyebabnya. Sehingga agama Islam lebih menganjurkan kepada manusia untuk menikah dari pada melakukan perbuatan zina, karena zina merupakan salah satu faktor yang dapat membuat hidup menjadi hancur. Perkawinan merupakan hal yang sakral dan Suci, tapi terkadang ada peristiwa yang tidak mengenakan seperti adanya calon pengantin yang hamil terlebih dahulu, tidak sedikit pula wanita yang hamil di luar nikah oleh laki-laki yang bukan pasangan sahnya. Kompilasi Hukum Islam menjelaskan dalam pasal 53 yang berbunyi; (1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya. (2) Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat 1 dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Hanya pada penelitian ini membahas mengenai perkawinan wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui ketentuan perkawinan wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamili perspektif hukum Islam dan Kesetaraan Gender. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka (library Research) dengan teknik pengumpulan datanya melalui penelaahan buku-buku, literaturliteratur. Penelitian ini menggunakan jenis penelitin content analysis yaitu penelitian yang mengandalkan data dan juga sejumlah teks (seperti Al-Qur’an, Hadist, dan Pemikiran para Ulama) untuk diolah serta disusun menjadi bahan penelitian. Hasil Penelitian: Pertama, perkawinan wanita hamil diluar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamili perspektif hukum Islam, menurut imam abu hanifah membolehkan menikahinya dengan alasan tidak boleh disetubuhi terlebih dahulu dan sperma dari hasil zina tidak dihargai dalam artian keturunannya hanya dinasabkan kepada ibunya saja tidak kepada ayahnya. Imam Syafi’i membolehkan menikahinya karena anak didalam kandungannya hanya dinasabkan kepada ibunya saja serta tidak termasuk kedalam wanita yang dilarang untuk dinikahi. Imam Abu Yusuf dan Zufar tidak membolehkan menikahinya karena didasarkan pada haramnya berhubungan badan dengan wanita hamil sedangkan tujuan perkawinan untuk menghalalkan persetubuhan. Imam Malik membolehkan menikahinya asalkan wanita tersebut beristibra’ terlebih dahulu dengan melalui 3 kali masa haid atau 3 bulan sucian. Imam Ahmad bin Hambal membolehkan Asalkan memenuhi dua syarat, yaitu habis masa iddahnya sampai melahirkan terlebih dahulu dan sudah bertaubat dari melakukan perbuatan zina serta hal-hal yang menjerumuskan pada maksiat. Kedua, perkawinan wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamili perspektif kesetaraan gender, wanita hamil di luar nikah juga mempunyai hak untuk memilih pasangan hidupnya kelak terlepas dari ia hamil oleh siapa, dan juga memiliki hak untuk menolak laki-laki yang menghamilinya dengan alasan laki-laki tersebut tidak tepat untuk menjadi suaminya. Sehingga memilih laki-laki yang tepatlah dapat menjadi obat dan keharmonisan rumah tangga walaupun laki-laki tersebut bukan yang menghamilinya. Ketiga, status anak dari perkawinan wanita hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamili, hanya dinasabkan kepada ibunya saja, dikarenakan yang menikahi ibunya adalah orang yang bukan menghamili dan laki-laki ini bukanlah ayah biologis dari anak tersebut, maka laki-laki yang mengawini ibunya wajib menyatakan sumpah li’an linafyil ini berfungsi untuk menggurkan penasaban diantara keduanya, sehingga laki-laki tersebut tidak mempunyai hak kenasaban pada anak itu.

Apa hukum orang hamil di luar nikah?

Sedangkan menurut Imam Ahmad Bin Hambal berpendapat bahwa perkawinan hamil di luar nikah dilakukan dengan laki-laki yang menghamilinya tidak boleh. Sedangkan perkawinan hamil di luar nikah dengan laki-laki yang bukan menghamilinya itu haram hukumnya.

Hukum menikah karena hamil duluan dalam Islam?

Pertama Pendapat Imam Abu Hanifah yang menjelaskan bahwa bila yang menikahi wanita hamil itu adalah laki-laki yang menghamilinya, hukumnya boleh. Sedangkan kalau yang menikahinya itu bukan laki-laki yang menghamilinya, maka laki-laki itu tidak boleh menggaulinya hingga melahirkan.

Bagaimana nasib anak yang terlahir dari hasil perzinahan?

Berdasarkan kesepakatan ulama, anak yang terlahir berdasarkan hasil dari hubungan sexual non marital, maka status anak tersebut nantinya dinasabkan sebagai anak ibu dan tidak dinasabkan kepada bapak biologisnya. Hubungan dengan bapak biologisnya terputus, termasuk secara hukum kewarisannya.

Anak hasil diluar nikah dalam Islam?

Anak di luar nikah menurut hukum Islam adalah anak yang tidak sah dan tidak mempunyai hubungan hukum dengan ayahnya. Anak luar nikah dalam hukum Islam dikenal dengan istilah anak zina atau anak li'an.