Apa saja 3 panitia kecil yang dibuat pada sidang BPUPKI Sebut dan jelaskan?

Bisnis.com, JAKARTA - Dasar negara Indonesia adalah Pancasila. Sebelum adanya lima dasar ini, maka ada pembentukan Panitia Sembilan oleh BPUPKI.

Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau BPUPKI  dibentuk oleh pemerintah Jepang, hanya menyelidiki usaha-usaha persiapan kemerdekaan namun kenyataan sebenarnya adalah “Merancang Undang Undang Dasar Indonesia yang merdeka dan berdaulat”. 

Namun, sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama, masih belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga dibentuklah 'Panitia Sembilan' guna menggodok berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya.

Berikut susunan keanggotaan dari 'Panitia Sembilan' ini adalah sebagai berikut:

1. Ir. Soekarno (ketua)

2. Drs. Mohammad Hatta (wakil ketua)

3. Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo (anggota)

4. Mr. Prof. Mohammad Yamin, S.H. (anggota)

5. Kiai Haji Abdul Wahid Hasjim (anggota)

6. Abdoel Kahar Moezakir (anggota)

7. Raden Abikusno Tjokrosoejoso (anggota)

8. Haji Agus Salim (anggota)

9. Mr. Alexander Andries Maramis (anggota)

Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4 orang dari kaum kebangsaan (pihak Nasionalis) dan 4 orang dari kaum keagamaan (pihak Islam).

Lalu, pada tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan kembali bertemu dan menghasilkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai Piagam Jakarta atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement".

Apa saja 3 panitia kecil yang dibuat pada sidang BPUPKI Sebut dan jelaskan?

Ketua Panitia Sembilan Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil yang dipimpinnya kepada anggota BPUPK berupa dokumen rancangan asas dan tujuan "Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut, dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut:

1. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya,

2. Kemanusiaan yang adil dan beradab,

3. Persatuan Indonesia,

4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,

5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam masa persidangan BPUPK yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.

Simak Video Pilihan di Bawah Ini :


Apakah saja 3 panitia kecil yang dibentuk dalam sidang kedua BPUPKI?

  • Panitia perancang UUD dengan ketuanya Ir. Soekarno.
  • Panitia perancang kuangan serta perekonomian dengan ketuanya M Hatta.
  • Panitia perancang pembela tanah air dengan ketuanya Abikusno Tjokosoejoso.

Bagaimanakah keanggotaaan Panitia perancang UUD?

Panitia perancang UUD mendirikan panitia kecil yang diketuai oleh Soepomo serta panitia penghalus bahasa yang terdiri atas Djajaningrat, Salim, serta Soepomo.

Apakah hubungannya Panitia Perancang UUD dengan Panitia Kecil Perancang UUD?

Hubungannya yaitu Panitia Kecil Perancang UUD yang dibentuk oleh Panitia Perancang UUD melaksanakan pembicaraan rancangan batang badan UUD serta melaporkan kembali hasil pekerjaannya kepada ketua Panitia Perancang UUD, yakni Ir. Soekarno.

Apakah isi materi pembahasan sidang kedua BPUPKI berdasarkan dengan tanggal sidang?

  • Pada 11 Juli 1945, membentuk 3 panitia kecil, yakni panitia perancang UUD, panitia perancang keuangan dan perekonomian, dan panitia perancang pembelaan tanah air.
  • 14 Juli 1945, panitia perancang UUD melaporkan hasil dari pembicaraannya.
  • 15 Juli 1945, anggota BPUPKI membicarakan rancangan UUD dari hasil panitia perancang UUD.
  • 16 Juli 1945, naskah UUD diterima oleh semua anggota BPUPKI.

BADAN Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang. Pemerintahan militer Jepang yang diwakili komando AD Ke-16 dan Ke-25 menyetujui pembentukan BPUPKI pada 1 Maret 1945. Karena kedua komando ini berwenang atas daerah Jawa (termasuk Madura) dan Sumatera. BPUPK hanya dibentuk untuk kedua wilayah tersebut, sedangkan di wilayah Kalimantan dan Indonesia Timur yang dikuasai komando AL Jepang tidak dibentuk badan serupa.

Pendirian badan ini sudah diumumkan oleh Kumakichi Harada pada tanggal 1 Maret 1945, tetapi badan ini baru benar-benar diresmikan pada tanggal 29 April 1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan bahwa Jepang akan membantu proses kemerdekaan Indonesia. Demikian dikutip dari berbagai sumber.

BPUPK beranggotakan 67 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang), dan Raden Pandji Soeroso. Selain itu terdapat "panita kecil" yang beranggotakan sembilan orang, yakni : Soekarno (Ketua) Moh Hatta (Wakil Ketua) Achmad Soebardjo (Anggota) Moh Yamin (Anggota) KH Wahid Hasyim (Anggota) Abdul Kahar Muzakir (Anggota) Abikoesno Tjokrosoejoso (Anggota) Agus Salim (Anggota) AA Maramis (Anggota).

"Panitia kecil" bertugas merumuskan kembali pokok-pokok pidato Soekarno pada sidang 1 Juni 1945 yakni:

2. Internasionalisme atau Perikemanusiaan

3. Mufakat atau Demokrasi

5. Ketuhanan yang Maha Esa

Rumusan ini kemudian dipakai sebagai acuan dasar negara. Untuk membicarakan lebih lanjut, Ketua BPUPKI membentuk sebuah panitia kecil. Secara garis besar, ada dua pandangan mengenai dasar negara. Golongan Islam menghendaki negara berdasarkan syariat Islam. Golongan kedua menghendaki dasar negara berdasarkan paham kebangsaan atau nasionalisme.

Berikut profil "Panitia Kecil" BPUPKI, yang dilansir dari buku "100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, diterbitkan pertama kali oleh: Penerbit NARASI" dan dari berbagai sumber :

Soekarno (Ketua)

Soekarno lahir di Surabaya, 1 Juni 1901, dari pasangan Raden Soekemi -seorang guru sekolah rakyat- dan Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keturunan bangsawan Bali. Ia menempuh pendidikan dasar di Tulungagung, Europeesche Lagere School Mojokerto, dan Hoogere Burger School Surabaya.

Soekarno meraih gelar insinyur teknik sipil dari Sekolah Teknik Tinggi Bandung (kini ITB). Sejak muda Soekarno sudah tertarik pada politik, sebuah dunia di mana ia bisa menyalurkan bakatnya berpidato. Debut politik pertama Soekarno adalah ikut mendirikan Algemene Stu die Club di Bandung pada 1926, sebuah klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal.

Tiga bulan setelah lulus kuliah, dia menulis rangkaian artikel berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme dalam sebuah terbitan milik perkumpulan Indonesia Moeda yang menarik perhatian kaum terpelajar kala itu. Ia menekankan pentingnya persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis, dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.

Pada usia 26 tahun, tepatnya 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang setahun kemudian berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Tahun 1928 ia mengilhami Sumpah Pemuda. Karena aktivitas politiknya, Sukarno dan beberapa anggota PNI ditangkap Belanda pada 1929, kemudian diadili. Pengadilan justru menjadi podium bagi Soekarno untuk menyuarakan pandangan politiknya.

Moh Hatta (Wakil Ketua)

Hatta lahir di Aur Tajungkang Mandianin, Bukittinggi, Sumatra Barat, 12 Agustus 1902 saat mentari pagi menyingsing. Walau latar belakang pendidikan agamanya kental, pendidikan modern tidak ditinggalkannya.

Sembari bersekolah di HIS Bukittinggi, ia mengaji secara teratur di bawah ajaran Syeikh Muhammad Djamil Djambek, salah seorang pembaharu Islam di Minangkabau. Saat menempuh pendidikan di MULO, ia memperoleh bimbingan agama dari Haji Abdullah Ahmad, yang juga seorang pelopor pembaharu Islam di daerah tersebut.

Kemudian ia menempuh pendidikan sekolah dagang menengah, Prins Hendrik School, di Jakarta. Hatta menjadi bendahara Jong Sumatranen Bond (Persatuan Pemuda Sumatera) di Padang, kemudian sebagai bendahara pengurus pusat JBS di Jakarta.

Lewat buku-buku yang dibacanya, Hatta mampu memilih haluan politiknya menghadapi kolonialisme. Metode nonkooperatif mulai ia kibarkan tahun 1918 ketika menjabat Ketua Perhimpunan Indonesia, sebuah organisasi pelajar dan mahasiswa Indonesia di Belanda. Saat itu buah pikirannya mulai dikenal lewat berbagai tulisan di media.

Karena aktivitas politiknya, sering ia berurusan dengan penguasa Belanda. Sebelum dibuang ke Digul dan baru bebas ketika Jepang menduduki Indonesia (Februari 1942), pada 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Pamoentjak, dan Abdulmadjid Djojohadiningrat, pernah ditangkap pemerintah Belanda. Mereka dituduh jadi anggota perkumpulan teriarang, serta menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Hatta dituntut hukuman tiga tahun. Tapi, karena pembelaannya berjudul Indonesia Merdeka di pengadilan Belanda, Hatta pun akhirnya dibebaskan. Dalam pledoi itu, lagi-Iagi ia mengecam kolonialisme Belanda di Indonesia.

Achmad Soebardjo (Anggota) :

Soebardjo dilahirkan di Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat, tanggal 23 Maret 1896. Ayahnya bernama Teuku Muhammad Yusuf, masih keturunan bangsawan Aceh dari Pidie.

Kakek Achmad Soebardjo dari pihak ayah adalah Ulee Balang dan ulama di wilayah Lueng Putu, sedangkan Teuku Yusuf adalah pegawai pemerintahan dengan jabatan Mantri Polisi di wilayah Teluk Jambe, Kerawang. Ibu Achmad Soebardjo bernama Wardinah. Ia keturunan Jawa-Bugis, dan merupakan anak dari Camat di Telukagung, Cirebon.

Ayahnya mulanya memberinya nama Teuku Abdul Manaf, sedangkan ibunya memberinya nama Achmad Soebardjo. Nama Djojoadisoerjo ditambahkannya sendiri setelah dewasa, saat ia ditahan di penjara Ponorogo karena "Peristiwa 3 Juli 1946".

Soebardjo bersekolah di Hogere Burger School, Jakarta (saat ini setara dengan Sekolah Menengah Atas) pada tahun 1917. Ia kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Leiden, Belanda dan memperoleh ijazah Meester in de Rechten (saat ini setara dengan Sarjana Hukum) di bidang undang-undang pada tahun 1933.

Pada tanggal 16 Agustus 1945 Para pemuda pejuang, termasuk Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana, Shudanco Singgih, dan pemuda lain, membawa Soekarno dan Moh. Hatta ke Rengasdengklok. Tujuannya adalah agar Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta tidak terpengaruh oleh Jepang. Peristiwa ini dinamakan Peristiwa Rengasdengklok. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah dan para pejuang telah siap untuk melawan Jepang, apa pun risikonya.

Moh Yamin (Anggota) :

Moh Yamin, pria kelahiran Sawahlunto, Sumatera Barat, 23 Agustus 1903 ini memang cukup lincah bermain di atas panggung politik. Ia salah satu founding fathers yang membentuk Indonesia. Saat Jepang menggantikan Belanda, Yamin duduk sebagai salah satu seorang anggota BPUPKI.

Di BPUPKI ia menggodok konsep konsep Asas dan Dasar Negara Republik Indonesia: Isinya tak jauh beda dari bunyi Pancasila yang kita kenaI sekarang: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan, dan Kesejahteraan Rakyat.

Dalam sidang BPUPKI, 29 Mei 1945 itu Yamin menegaskan, bahwa negara baru yang akan dibentuk adalah negara Kebangsaan Indonesia, Intinya adalah negara baru itu harus berdasarkan pada nasionalisme baru, bukan nasionalisme Sriwijaya atau Majapahit. Tradisi kerajaan Sriwijaya atau Majapahit dengan Republik Indonesia telah terputus.

KH Wahid Hasyim (Anggota) :

K.H. Abdul Wahid Hasyim, pemimpin Nahdlatul Ulama (NU) yang turut menghiasi perjalanan politik bangsa Indonesia. Ia masuk dalam Subkomite BPUPKI yang dibentuk untuk mencari jalan keluar terbaik bagi masa depan bangsa. Saat itu memang BPUPKI, badan bentukan Jepang ini bertugas mempersiapkan bentuk dan dasar negara.

Subkomite BPUPKI akhirnya berhasil merurmuskan dasar negara. Hasil kesepakatan yang dikenal dengan nama Piagam Jakarta itu lantas dicantumkan dalam preambul UUD 1945 yang disahkan pada 22 Juni 1945. Dalam salah satu sila Pancasila hasil rumusan Wahid Hasyim dkk. antara lain tercantum kata-kata "kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya".

Ternyata rumusan ini diperdebatkan dalam sidang BPUPKI berikutnya. Wongsonegoro, misalnya, menganggap bahwa anak kalimat itu bisa menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksa umat Islam menjalankan syariatnya. Tetapi menurut Wahid Hasyim, putra tokoh pendiri NU K.H.Hasyim Asy'ari ini, kalimat tersebut tidak akan berakibat sejauh itu. Ia juga mengingatkan bahwa segala perselisihan yang timbul bisa diselesaikan secara musyawarah.

Pemikiran Wahid Hasyim juga sempat mewarnai rancangan pertama UUD. Ia pernah mengusulkan agar pada Pasal 4 ayat 2 rancangan UUD disebutkan bahwa yang dapat menjadi presiden dan wakilnya adalah orang Indonesia asli dan beragama Islam. Selain itu, pada Pasal 29, Kiai Wahid Hasyim menginginkan rumusan sbb: "Agama Negara adalah Islam dengan menjamin kemerdekaan bagi orang-orang yang beragama lain untuk beribadat menurut agamanya masing-masing." Alasannya jika presidennya Islam, perintahnya akan dengan mudah dipatuhi rakyat yang mayoritas muslim.

Selain itu, Islam sebagai agama negara mendorong umat Islam berjuang membela negaranya. Dengan alasan itulah akhirnya, gagasan mantan Ketua Masyumi itu diterima BPUPKI. Usulan itu ditinggalkan dalam sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan I ndonesia (PPKI). Dalam penggalan sejarah berikutnya, Wahid Hasyim menjadi Menteri Agama di tiga periode pemerintahan: Kabinet RIS (Desember 1949-Desember 1950), Kabinet Mohammad Natsir (September 1950-April 1951), dan Kabinet Sukiman (April 1951-April 1952).

Di zaman Wahid Hasyim, Departemen Agama memiliki visi dan misi yang jelas. Di bawah kepemimpinan Wahid Hasyim, NU menyatakan keluar dari Masyumi pada 1952 . Selanjutnya, NU berkibar sendiri sebagai partai politik. dalam Pemilu 1955, NU termasuk empat partai yang memperoleh suara terbanyak.

Wahid Hasyim wafat ada tanggal19 April 1959. Ia tak sempat menyaksikan ketika 40 tahun kemudian, puteranya, Gus Dur, terpilih menjadi Presiden RI.

Abdul Kahar Muzakir (Anggota) :

Prof. KH. Abdul Kahar Muzakir, lahir di Gading, Playen, Gunung Kidul, Yogyakarta, 16 April 1907 dan meninggal dunia di Yogyakarta, pada 2 Desember 1973 pada umur 66 tahun. Ia adalah Rektor Magnificus yang dipilih Universitas Islam Indonesia untuk pertama kali dengan nama STI selama 2 periode 1945—1948 dan 1948—1960. Ia adalah anggota BPUPKI.

Tokoh Islam yang pernah menjadi anggota Dokuritsu Junbi Chōsakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) ini, pula yang tetap dipertahankan ketika UII dihadirkan sebagai pengganti STI pada 4 Juni 1948. Ia menduduki jabatan sebagai Rektor UII sampai tahun 1960.

Dan pada tanggal 8 November 2019, Abdul Kahar Muzakir dianugerahi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Joko Widodo dalam sebuah upacara di Istana Negara, yang menerima penghargaan mewakili keluarga ahli waris adalah Siti Jauharoh, anak dari Abdul Kahar Muzakir.

Abikoesno Tjokrosoejoso (Anggota) :

Abikoesno Tjokrosoejoso, lahir di Kota Karanganyar, Kebumen tahun 1897 dan meninggal dunia tahun 1968, adalah salah satu Bapak Pendiri Kemerdekaan Indonesia dan penandatangan konstitusi. Ia merupakan anggota Panitia Sembilan yang merancang pembukaan UUD 1945 (dikenal sebagai Piagam Jakarta). Setelah kemerdekaan, ia menjabat sebagai Menteri Perhubungan dalam Kabinet Presidensial pertama Soekarno dan juga menjadi penasihat Biro Pekerjaan Umum.

Kakak Tjokrosoejoso adalah Oemar Said Tjokroaminoto, pemimpin pertama Sarekat Islam. Setelah kematian saudaranya pada 17 Desember 1934, Abikoesno mewarisi jabatan sebagai pemimpin Partai Sarekat Islam Indonesia (PSII). Bersama dengan Mohammad Husni Thamrin, dan Amir Sjarifoeddin, Tjokrosoejoso membentuk Gabungan Politik Indonesia, sebuah front persatuan yang terdiri dari semua partai politik, kelompok, dan organisasi sosial yang menganjurkan kemerdekaan negara itu.

Mereka menawarkan dukungan penuh kepada otoritas pemerintahan kolonial Belanda, dalam hal pertahanan untuk melawan Jepang jika mereka diberikan hak untuk mendirikan parlemen di bawah kekuasaan Ratu Belanda. Belanda menolak tawaran tersebut. Selama masa pendudukan Jepang, Abikoesno Tjokrosoejoso adalah tokoh kunci dalam Masyumi.

Agus Salim (Anggota) :

Agus Salim lahir dengan nama Masyudul Haq, di Kota Gadang, Bukittinggi, pada bulan Oktober 1884. Dia termasuk segelintir anak bumiputera yang bisa menikmati pendidikan Belanda. Anak bekas jaksa dari Sumatera Barat itu adalah lulusan terbaik sekolah menengah Belanda (Hogere Burger School - HBS).

Bakatnya luar biasa dalam menguasai bahasa asing. Ia mampu berbicara dalam sembilan bahasa: Belanda, Inggris, Jerman, Perancis, Arab, Turki, Jepang, dan tentu saja bahasa Indonesia dan Minang.

Setamat HBS, sebenarnya Agus Salim ingin menjadi dokter. Tapi akhirnya dia harus mengurungkan cita-citanya karena tidak ada biaya untuk kuliah di Belanda. Konon sebenarnya ia bisa saja belajar ke Belanda berkat bantuan dari RA. Kartini.

Ia kemudian mendirikan sekolah HIS (Hollandsche Inlandsche School) sebelum kemudian masuk dunia pergerakan nasional lewat Sarekat Islam, Jong Islamieten Bond, dan Gerakan Penjadar. Ia mulai malang-melintang dalam politik praktis untuk membangkitkan semangat menuju kemerdekaan.

Sebagai pribadi, Agus Salim yang wafat tahun 1954 di usia 70 tahun dikenal berjiwa bebas. Ia tidak pernah mau dikekang oleh batasan-batasan. Ia pun berani mendobrak tradisi Minang yang kuat. Ia memilih untuk mendidik anak-anaknya sendiri ketimbang menyerahkan pendidikan mereka ke sekolah formal. Agus Salim sangat peduli pada pembentukan watak atau karakter, yang menurutnya tidak didapat dari sekolah formal.

AA Maramis (Anggota) :

Alexander Andries Maramis lahir di Manado pada tanggal 20 Juni 1897. Ayahnya bernama Andries Alexander Maramis (nama pertama dan tengah dibalik) dan ibunya bernama Charlotte Ticoalu. Tantenya adalah Pahlawan Nasional Indonesia, Maria Walanda Maramis.

Alex Maramis belajar di sekolah dasar bahasa Belanda (Europeesche Lagere School, ELS) di Manado. Dia kemudian masuk sekolah menengah Belanda (Hogere burgerschool, HBS) di Batavia (sekarang Jakarta) di mana dia bertemu dan berteman dengan Arnold Mononutu yang juga dari Minahasa dan Achmad Soebardjo.

Maramis diangkat sebagai anggota BPUPKI yang dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945. Dalam badan ini, Maramis termasuk dalam Panitia Sembilan. Panitia ini ditugaskan untuk merumuskan dasar negara dengan berusaha menghimpun nilai-nilai utama dari prinsip ideologis Pancasila yang digariskan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945.

Pada tanggal 11 Juli 1945 dalam salah satu rapat pleno BPUPKI, Maramis ditunjuk sebagai anggota Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang ditugaskan untuk membuat perubahan-perubahan tertentu sebelum disetujui oleh semua anggota BPUPKI. Pada tahun 1976 bersama Hatta, A.G. Pringgodigdo, Sunario Sastrowardoyo, dan Soebardjo, Maramis termasuk dalam "Panitia Lima" yang ditugaskan Presiden Suharto untuk mendokumentasikan perumusan Pancasila.


Page 2

Berikut profil "Panitia Kecil" BPUPKI, yang dilansir dari buku "100 Tokoh yang Mengubah Indonesia: Biografi Singkat Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, diterbitkan pertama kali oleh: Penerbit NARASI" dan dari berbagai sumber :

Soekarno (Ketua)

Soekarno lahir di Surabaya, 1 Juni 1901, dari pasangan Raden Soekemi -seorang guru sekolah rakyat- dan Ida Ayu Nyoman Rai, seorang keturunan bangsawan Bali. Ia menempuh pendidikan dasar di Tulungagung, Europeesche Lagere School Mojokerto, dan Hoogere Burger School Surabaya.

Soekarno meraih gelar insinyur teknik sipil dari Sekolah Teknik Tinggi Bandung (kini ITB). Sejak muda Soekarno sudah tertarik pada politik, sebuah dunia di mana ia bisa menyalurkan bakatnya berpidato. Debut politik pertama Soekarno adalah ikut mendirikan Algemene Stu die Club di Bandung pada 1926, sebuah klub diskusi yang berubah menjadi gerakan politik radikal.

Tiga bulan setelah lulus kuliah, dia menulis rangkaian artikel berjudul Nasionalisme, Islam, dan Marxisme dalam sebuah terbitan milik perkumpulan Indonesia Moeda yang menarik perhatian kaum terpelajar kala itu. Ia menekankan pentingnya persatuan nasional, satu front bersama kaum nasionalis, Islamis, dan Marxis, dalam perlawanan tanpa kompromi (non-kooperatif) terhadap Belanda.

Pada usia 26 tahun, tepatnya 4 Juli 1927, Soekarno mendirikan Perserikatan Nasional Indonesia, yang setahun kemudian berubah nama menjadi Partai Nasional Indonesia. Tahun 1928 ia mengilhami Sumpah Pemuda. Karena aktivitas politiknya, Sukarno dan beberapa anggota PNI ditangkap Belanda pada 1929, kemudian diadili. Pengadilan justru menjadi podium bagi Soekarno untuk menyuarakan pandangan politiknya.

  • #Presiden Soekarno
  • #HUT Ke-76 RI
  • #Lipsus HUT ke-76 RI
  • #BPUPKI