Apa saja asas yang dianut Indonesia dalam menentukan kewarganegaraan?

Ius Soli dan Ius Sanguinis: Asas Universal
Asas kewarganegaraan adalah pedoman dasar bagi suatu negara untuk menentukan siapakah yang menjadi warga negaranya. Setiap negara mempunyai kebebasan untuk menentukan asas kewarganegaraan mana yang hendak dipergunakannya.
Pada umumnya penentuan kewarganegaraan dilhat dari segi kelahiran seseorang. Ada 2 (dua) macam asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran, yaitu ius soli dan ius sanguinis. Kedua istilah ini berasal dari bahasa Latin. Ius berarti hukum, dalil, atau pedoman. Sedangkan soli berasal dari kata solum yang berarti negeri, tanah, atau daerah. Dengan demikian, ius soli berarti pedoman yang berdasarkan tempat atau daerah. Dalam kaitannya dengan asas kewarganegaraan ini, ius soli berarti kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahiran. Orang yang lahir di negara X akan memperoleh kewarganegaraan dari negara X tersebut sementara itu sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Dengan demikian, ius sanguinis berarti pedoman yang berdasarkan darah atau keturunan. Dalam kaitannya dengan asas kewarganegaraan ini, ius sanguinis berarti kewarganegaraan seseoerang ditentukan oleh keturunannya atau orang tuanya. Orang yang lahir dari orang tua yang warga negara Y akan memperoleh kewarganegaraan dari negara Y tersebut.
Ada negara yang menganut ius soli, dan ada pula yang menganut ius sanguinis. Akan tetapi dewasa ini pada umumnya kedua asas ini diantut secara stimultan. Bedanya, ada negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius sanguinis, dengan ius soli sebagai pengecualian. Sebaliknya, ada pula negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius sanguinis dengan ius soli sebagai pengecualian. Penggunaan kedua asas secara stimultan ini mempunyai tujuan agar status apatride atau tidak berkewarganegaraan (stateless) dapat terhindari. Artinya, apabila ada seseorang yang tidak dapat memperoleh kewarganegaraan dengan penggunaan asas yang lebih dititikberatkan oleh negara yang bersangkutan, masih dapat memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut berdasarkan asas yang lain.
Sebaliknya, karena pelbagai negara menganut asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat menimbulkan masalah bipatride atau dwi-kewarganegaraan (berkewarganegaraan rangkap), bahkan multipatride (berkewarganegaraan banyak atau lebih dari dua). Sebagai contoh, negara X menganut ius sanguinis, sedangkan negara Y menganut ius soli. Maka setiap orang yang lahir di negara Y dari orang tua yang berkewarganegaraan X, akan mempunyai status baik sebagai warga negara Y, maupun warga negara X. Ia memperoleh status dari warga negara X, karena ia keturunan warga negara X. Ia pun memperoleh status warga negara Y, karena ia lahir di negara Y.
Akan tetapi apabila orang tersebut lahir di negara X dari orang tua warga negara Y, ia akan berstatus apatride. Ia ditolak oeh negara orang tuanya (negara Y), sebab ia tidak lahir di sana. Ia pun ditolak oleh negara tempat ia lahir (negara X), karena negara itu menganut ius sanguinis. Artinya, menurut ketentuan negara X, ia (seharusnya) memperoleh kewarganegaraan dari negara orang tuanya.
Pada mulanya hanya ada satu asas, yaitu ius soli saja. Karena orang hanya beranggapan bahwa karena lahir di suatu wilayah negara, logsilah apabila seseorang merupakan warga negara dari negara yang bersangkutan. Namun, dengan semakin tingginya tingkat mobilitas manusia, diperlukan suatu asas lain yang tidak hanya fokus kepada tempat kelahiran semata. Orang tua tentunya masih mempunyai ikatan dengan negaranya sendiri. Tapi akan timbul masalah apabila kewarganegaraan si orang tua ternyata berlainan dengan kewarganegaraan anaknya. Si anak memperoleh kewarganegaraan dari negara tempat ia lahir, sedangkan orang tuanya tetap berkewarganegaraan dari negara asal. Atas dasar itulah muncul asas baru, yaitu ius sanguinis tersebut. Dengan asas ini kewarganegaraan si anak akan mengikuti kewarganegaraan orang tuanya.
Atas dasar itu pula-lah negara imigratif (negara yang sebagian besar warganya pada prinsipnya merupakan kaum pendatang), condong lebih menggunakan ius soli sebagai asas kewarganegaraannya. Negara penganut asas ius soli di antaranya: Australia, Argentina, Brazil, Jamaika, Kanada, Meksiko, dan Amerika Serikat.
Sebaliknya, negara emigratif (negara yang warganya banyak yang merantau ke negara lain) condong menggunakan ius sanguinis sebagai asas kewarganegaraannya. Negara penganut ius sanguinis di antaranya: China, Inggris, Malaysia, Jepang, Spanyol, Korea Selatan, Italia, Belanda, dan India,
Keduanya mempunyai alasan yang sama, yaitu negara yang bersangkutan ingin mempertahankan hubungan dengan warganya. Negara emigratif ingin tetap mempertahankan para warganya. Dimana pun mereka berada, mereka tetap harus merupakan warganya. Sebaliknya, negara imigratif menghendaki agar warga barunya secepatnya meleburkan diri ke dalam negaranya yang baru itu.
Penegasan Asas Kewarganegaraan dalam UU No. 12 Tahun 2006
Dalam Penjelasan Umum UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dijelaskan bahwa Indonesia menganut 4 (empat) asas umum, yaitu: (i) asas ius sanguinis (law of the blood) adalah asas yang menentukan kewargangeraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan negara tempat kelahiran; (ii) asas ius soli (law of the soil) secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdsasarkan negara tempat kelahiran, yang diberlakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini; (iii) asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang, (iv) asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
Asas ius sanguinis tercermin dari ketentuan Pasal 4 yang menyatakan bahwa: anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah dan ibu Warga Negara Indonesia (huruf e), anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah Warga Negara Indonesia dan ibu warga negara asing (huruf c), anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ayah warga negara asing dan ibu Warga Negara Indonesia (huruf d), dan seterusnya. UU No. 12 Tahun 2006 juga mengakomodir asas ius sanguinis terhadap anak yang lahir dari perkawinan yang sah dari seorang ibu Warga Negara Indonesia, tapi ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan (stateless) atau hukum negara asal ayahnya tidak memberikan kewarganegaraan kepada anak tersebut (vide Pasal 4 huruf d).
Selanjutnya terkait dengan asas ius soli terbatas, UU No. 12 Tahun 2006 juga mengakomodir setiap anak yang lahir di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Warga Negara Indonesia. Namun, dengan catatan (batasan) bahwa anak yang lahir di wilayah negara Republik Indonesia tersebut merupakan hasi dari perkawinan yang ayah dan ibunya tidak mempunyai kewarganegaraan (stateless) atau tidak diketahui keberadaannya. Jadi berbeda dengan asas ius soli di negara lain, yang menentukan kewarganegaraan anak berdasarkan tempat kelahiran, walaupun orang tuanya memiliki kewarganegaraan (masing-masing), yang dapat saja negara orang tuanya tersebut menganut asas ius sanguinis. Di Indonesia, dianutnya asas ius soli terbatas ini, merupakan bentuk perlindungan hukum bagi anak yang lahir di wilayah Republik Indonesia, namun status dan asal usul orang tuanya tidak diketahui. Jelas, apabila Indonesia hanya menganut asas ius sanguinis semata, maka dalam posisi demikian, si anak tidak akan memiliki kewarganegaraan (stateless). Oleh karena itulah mengapa dalam UU No. 12 Tahun 2006, Indonesia menganut asas ius soli terbatas, yaitu terbatas pada kondisi tertentu.
Kemudian, asas kewarganegaraan tunggal dan asas kewarganegaraan ganda terbatas. Kedua asas ini memiliki korelasi, dimana pada prinsip nya UU No. 12 Tahun 2006 hanya menentukan asas kewarganegaraan tunggal bagi setiap orang, yaitu Warga Negara Indonesia, baik itu diperoleh berdasarkan asas ius sanguinis ataupun asas ius soli. Namun, bagi anak yang lahir dari perkawinan campuran (kewarganegaraan) orang tuanya, yang kemudian mengakibatkan si anak tersebut berkewarganegaraan ganda, maka setelah berusia 18 (delapan belas) tahun atau sudah menikah, maka anak tersebut harus menyatakan memilih salah satu kewarganegaraannya (vide Pasal 6). Indonesia tidak mengenal apatride, bipatride ataupun multipatride. Sehingga setiap orang yang berada di wilayah Republik Indonesia, harus memiliki status kewarganegaraan yang jelas, karena hal ini terkait dengan status hukum dari orang yang bersangkutan.
Hadirnya UU No. 12 Tahun 2006 yang menggantikan UU No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republilk Indonesia, telah memberikan perlindungan kewarganegaran bagi setiap orang, tidak terkecuali terhadap anak yang dilahirkan dari orang tua yang tidak memiliki kewarganegaraan (stateless), bahkan asal usulnya tidak diketahui sekalipun. Indonesia paham betul, arus globalisasi dan meningkatnya pola dinamisasi penduduk dari suatu negara ke negara lain, bukan tidak mungkin akan menyebabkan terjadi nya hal-hal yang tidak diinginkan, yang akan berakibat pada kewarganegaraan si anak. Oleh karenanya, diharapkan undang-undang ini dapat memberikan kepastian hukum bagi status kewarganegaraan anak, sehingga anak yang dalam posisi yang inferior tidak dirugikan secara hukum. (alvi)
Muara Enim, April 2014
M. Alvi Syahrin