Apa saja dampak positif dan negatif tentang pertambangan?
06 Mar 2022, 16:15 WIB - Oleh: Ni Luh Anggela Antara Foto/Nova Wahyudi Bisnis.com, JAKARTA — Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira menyampaikan ada sisi positif dan negatif dari naiknya harga batu bara. Satu sisi, kenaikan harga batu bara di level internasional ini bisa mendorong devisa. Pada akhirnya akan mendongkrak surplus neraca perdagangan. "Sehingga ketika terjadi invasi di Ukraina, stabilitas nilai tukarnya kan masih terjaga. Ini salah satunya juga karena efek dari kenaikan harga batu bara sehingga ada penerimaan yang lebih besar," kata Bhima kepada Bisnis, Minggu (6/3/2022). Kendati demikian, di dalam negeri, kenaikan harga batu bara yang terjadi secara konsisten memiliki risiko terhadap beberapa indikasi, seperti potensi kenaikan dari tarif dasar listrik khususnya dari PLTU. Bhima mengatakan, imbasnya akan kemana-mana apabila terjadi penyesuaian pada tarif dasar listrik. Salah satunya adalah tingginya inflasi di dalam negeri. Tak hanya itu, dari sisi biaya produksi khususnya untuk industri yang mengandalkan listrik dari PLTU seperti tekstil, pakaian jadi, alas kaki, dan industri kulit seperti, industri keramik, perlu diperhatikan efeknya terhadap cost of production dari industri manufaktur. Konsekuensi lainnya, bila harga batu bara naik terlalu tinggi, maka ada kemungkinan porsi DMO batu bara dinaikkan, karena pemerintah ingin mengamankan stok batu bara bagi listrik di dalam negeri. "Satu lagi ya dampak ke penerimaan negara sebetulnya terbantu, baik pajak dari pertambangan maupun dari PNBP dari sektor batu bara, itu juga turut membantu kenaikan dari penerimaan pajak sepanjang 2022," imbuhnya. Bhima menambahkan ada kemungkinan kenaikan harga batu bara dapat mengimbangi harga minyak dan gas yang memberatkan APBN. "Kemudian juga ada dana kompensasi. Jadi keuntungan dari penerimaan di batu bara sebagian masuk ke dalam dana kompensasi. Sehingga tarif dasar listrik, kemudian BBM, itu bisa dijaga harganya agar tidak mengalami lonjakan yang signifikan," ujarnya. Simak Video Pilihan di Bawah Ini :
Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan sumber daya alam tersebut selayaknya dikelola dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented). Pengelolaan sumber daya alam yang memerhatikan kepentingan lingkungan dan kepentingan manusia akan berdampak pada tercapainya mandat yang telah ditetapkan dalam Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Guna menegaskan pentingnya keseimbangan pengelolaan sumber daya alam dan kepentingan manusia, Pemerintah Indonesis mengeluarkan UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. UU ini dibentuk untuk menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. UUPPLH ini melegitimasi instrumen kebijaksanaan dalam pengelolaan lingkungan, yaitu Baku Mutu lingkungan, Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), dan perizinan lingkungan. Namun demikian, walaupun peraturan perundangan telah memberikan pedoman yang jelas mengenai pengelolaan sumber daya alam, dalam realitasnya masih terjadi ketimpangan dan pelanggaran di dalam eksploitasi kekayaan alam Indonesia. Salah satunya terjadi dalam industri pertambangan mineral dan batubara. Berdasarkan data JATAM, sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau sekitar empat kali lipat dari luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Izin-izin ini telah mengakibatkan dampak yang besar terhadap hak asasi manusia dan lingkungan. Catatan akhir tahun 2020 JATAM melaporkan terjadinya 45 konflik pertambangan, dan 22 kasus merupakan kasus pencemaran dan perusakan lingkungan. Laporan ini diperkuat oleh temuan Anggota Komisi VII DPR RI, Abdul Wahid yang menduga terjadinya pelanggaran hukum seperti kegiatan penambangan di kawasan hutan tanpa izin persetujuan penggunaan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), pembiaran lahan pasca tambang tanpa reklamasi, serta pembuangan limbah yang dapat merusak lingkungan hidup. Temuan lainnya diungkapkan oleh Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda, Lilly Yurlianty menyatakan limbah yang dihasilkan sektor pertambangan sangat berdampak pada pencemaran lingkungan, misalkan seperti tercemar air sungai yang menjadi sumber bahan baku air minum, terancamnya ekosistem, dan kerusakan struktur tanah sehingga menimbulkan banjir. Selain itu, ada beberapa dampak lain dari kegiatan pertambangan terhadap lingkungan hidup, yaitu:
Dilihat dari teknik penambangan secara tradisional, dimana penambang menggali bukit tidak secara berjenjang (trap-trap) namun asal menggali saja dan nampak bukaan penggalian yang tidak teratur, membentuk dinding yang lurus dan menggantung (hanging wall), berpotensi meningkatkan ancaman tanah longsor. Penambangan dapat menghancurkan sumber-sumber kehidupan rakyat karena lahan pertanian yaitu hutan dan lahan-lahan sudah dibebaskan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan adanya perluasan tambang sehingga mempersempit lahan usaha masyarakat, akibat perluasan ini juga bisa menyebabkan terjadinya banjir karena hutan di wilayah hulu yang semestinya menjadi daerah resapan air telah dibabat habis. Hal ini diperparah oleh buruknya tata drainase dan rusaknya kawan hilir seperti hutan rawa. Seperti pada saat pembakaran batu bara yang melepaskan senyawa beracun termasuk karbon monoksida, karbondioksida, methana, benzene, toluene, xylene, sulphur, arsenik, merkuri dan timbal. Selain itu penurunan kualitas udara disebabkan oleh pembongkaran dan mobilitas pengangkutan hasil tambang dan peralatan tambang dari dalam dan keluar lokasi penambangan.
Tingginya kandungan bahan pencemaran air diakibatkan oleh aktivitas penambangan dan pengolahan batu bara (proses pencucian batubara) dimana material bahan pencemar terbawa oleh air limpasan permukaan (surface run-off) ke bagian yang lebih rendah dan masuk ke badan air. Oleh karena itu air menjadi keruh dan pembuangan tanah sisa hasil pendulangan turut meningkatkan jumlah transport sedimen.
Limbah pertambangan biasanya tercemar asam sulfat dan senyawa besi yang dapat mengalir keluar daerah pertambangan. Air yang mengandung kedua senyawa ini akan menjadi asam. Limbah pertambangan yang bersifat asam bisa menyebabkan korosi dan melarutkan logam-logam berat sehingga air yang dicemari bersifat racun dan dapat memusnahkan kehidupan akuatik. Untuk mengatasi dampak yang terjadi di sector pertambangan mineral dan batubara, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang telah diubah dengan UU Cipta Kerja. Dalam UU ini para legislator memasukkan nilai dan syarat lingkungan sebagai suatu proses yang tidak boleh diabaikan bagi pelaku pertambangan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal yaitu:
Apabila semua pihak konsisten dan menaati perintah Konstitusi dan peraturan perundang-undangan, dampak-dampak negative industry pertamabangan seharusnya dapat dihindari atau diminimalisasi. |