Apa yang anda ketahui tentang ijma dan qiyas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ilmu Ushul Fiqih merupakan salah satu intsrumen penting yang harus dipenuhi oleh siapapun yang ingin melakukan mekanisme ijtihad dan istinbath hukum dalam Islam. Itulah sebabnya dalam pembahasan kriteria seorang mujtahid, penguasaan akan ilmu ini dimasukkan sebagai salah satu syarat mutlaknya untuk menjaga agar proses ijtihad dan istinbath tetap berada pada koridor yang semestinya. Sumber hukum dalam Islam, ada yang disepakati (muttafaq) para ulama dan ada yang masih dipersilisihkan (mukhtalaf). Adapun sumber hukum Islam yang disepakati jumhur ulama adalah Al Qur’an, Hadits, Ijma’ dan Qiyas. Para Ulama juga sepakat dengan urutan dalil-dalil tersebut di atas (Al Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Qiyas).

Sedangkan sumber hukum Islam yang masih diperselisihkan di kalangan para ulama selain sumber hukum yang empat di atas yaitu istihsan, dan maslahah

B. Rumusan Masalah

1. Apa Pengertian Ijma’ ?
2. Apa Pengertian Qiyas ?

C. Tujuan Rumusan Masalah 1. Untuk mengetahui pengertian Ijma’ !

2. Untuk mengetahui pengertian Qiyas !

BAB II PEMBAHASAN

A. Ijma’

1. Pengertian Ijma’ Ijma’ secara bahasa berarti bertekad bulat (ber ‘azam) untuk melaksanakan sesuatu juga berarti bersepakat atas sesuatu. Ijma’ menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah kesepakatan atas hukum suatu peristiwa dan bahwa hukum tersebut merupakan hukum syara. Maka Ijma’ didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad SAW tentang suatu masalah hukum Islam. Menurut defenisi ini, rujukan kepada Mujtahid menyampingkan kesepakatan orang-orang awam dari lingkup Ijma’. Demikian halnya, dengan merujuk kepada mujtahid suatu periode, berarti periode dimana ada sejumlah mujtahid pada waktu terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, tidak diperhitungkan sebagai Ijma’ apabila seorang mujtahid atau sejumlah mujtahid baru muncul setelah terjadinya suatu peristiwa. Jadi Ijma’ hanya dapat terjadi setelah wafatnya nabi, karena selama masih hidup, nabi sendirilah yang memegang otoritas tertinggi atas syari’ah. Sehingga kesepakatan atau ketidak kesepakatan orang lain tidak mempengaruhi otoritasnya. 2. Kehujjahan Ijma’ As-Syafi’i menegaskan bahwa ijma’ merupakan dalil yang kuat, pasti, serta berlaku secara luas, pada semua bidang. Seperti yang pernah dikatakannya bahwa ijma’ adalah hujjah atas segala sesuatunya karena ijma’ itu tidak mungkin salah. Sesuatu yang telah disepakati oleh generasi terdahulu, walaupun mereka tidak mengemukakan dalil Al-Qur’an atau sunnah, dipandangnya sama dengan hukum yang diatur berdasarkan sunnah yang telah disepakati. Menurutnya, kesepakatan atas suatu hukum menunjukkan bahwa hukum itu tidak semata- mata bersumber dari ra’yu (pendapat), karena ra’yu akan selalu berbeda- beda. Secara berhati- hati, As-Syafi’i menegaskan bahwa ijma’ yang tidak didukung oleh hadis, tidak boleh dianggap sebagai periwayatan hadis. Jadi, dalam hal ini, kesepakatan mereka itulah yang diikuti. Kalau saja tentang masalah itu terdapat hadis, tentu ada di antara mereka yang mengetahuinya dan tidak mungkin mereka semua sepakat atas sesuatu yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah SAW atau sepakat atas sesuatu yang salah. Untuk menegakkan ke- hujjah- an ijma’ itu, As-Syafi’i mengemukakan ayat, Q.S. Al – Nisa’: 115. Ayat ini menyatakan ancaman terhadap orang yang mengikuti jalan yang bukan jalan orang- orang mukmin. Menurut As-Syafi’i, orang yang tidak mengikuti ijma’ berarti telah mengikuti jalan lain, selain jalan orang mukmin. Jadi, orang yang tidak mengikuti ijma’ mendapat ancaman dari Allah SWT. Dengan demikian, jelaslah bahwa ijma’ wajib diikuti dan karena itu ijma’ adalah hujjah 3. Macam-Macam ijma’ Ditinjau dari segi caranya, ijma’ terdiri dari ada dua macam, yaitu: a. Ijma’ Sharih (qauli, taqriry, bayany, haqiqy, lafdzy). Adalah kesepakatan para mujtahid, baik melalui pendapat maupun melalui perbuatan terhadap hukum masalah tertentu. b. Ijma’ Sukuti (i’tibary). Adalah pendapat sebagian mujtahid pada suatu masa tentang hokum suatu masalah, sedangkan para mujtahid lainnya hanya diam saja setelah meneliti pendapat mujtahid yang di kemukakan di atas, tanpa ada yang menolak pendapat tersebut. B. Qiyas 1. Pengertian Qiyas Qiyas menurut bahasa adalah mengukur. Sedangkan menurut ahli Ushul Fiqih adalah menyertakan suatu perkara terhadap perkara lain dalam hukum syara karena terdapat kesamaan ‘illat di antara keduanya. Yang menyebabkan adanya qiyas adalah adanya kesamaan antara al-maqis (perkara yang diqiyaskan) dengan al-maqis alaih (perkara yang diqiyasi) dalam satu perkara, dan adanya penyatu di antara keduanya. Perkara yang menyatukan tersebut adalah perkara yang mendorong disyari’atkannya hukum, yang kemudian dikenal dengan istilah ‘illat. 2. Kehujjahan Qiyas Sekalipun tidak terdapat otoritas yang jelas bagi qiyas didalam al- qur’an tetapi ulama- ulama dari mazhab sunni telah mengesahkan qiyas dan mengutip berbagai ayat Al-Qur’an untuk mendukung pendapat mereka. Oleh karena itu, rujukanah surah al- Nisa (4: 59) yang memberikan pesan kepada orang- orang yang beriman: apabila kamu berselisih tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah. Pendukung- pendukung qiyas ini berargumentasi bahwa suatu perselisihan hanya dapat dirujuk kepada Allah dan Rasul dengan mengikuti tanda- tanda dan indikasi- indikasi yang kita temukan dalam Al-Qur’an dan sunnah. Satu – satunya cara untuk mencapai hal ini adalah dengan mengidentifikasi alasan ahkam dan menerapkannya kepada persoalan – persoalan yang dipertentangkan,dan ini adalah qiyas. Jalan penalaran yang sama diterapkan dalam surah al- Nisa (4: 105) yang menyatakan: kami menurunkan kepadamu kitab dengan membawa kebenaran sehingga kamu dapat mengadili di antara pihak- pihak dengan apa yang diturunkan kepadamu. Al-Qur’an sering mengindikasikan alasan hukum – hukumnya baik secara eksplisit maupun implisit atau dengan merujuk kepada tujuan- tujuannya. Al-Qur’an memberikan indikasi – indikasi yang jelas yang meminta digunakannya qiyas. Ketika tidak ada ketentuan yang jelas dalam nas, maka qiyas harus digunakan untuk mencapai tujuan- tujuan umum dari pemberi hukum. Karena itu dapat disimpulkan bahwa indikasi alasan – alasan, tujuan, kesamaan dan perbedaan- perbedaan adalah tidak berarti apabila hal itu tidak diteliti dan diikuti sebagai pedoman dalam menentukan hukum. 3. Rukun Qiyas a. Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis ‘alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul ‘alaih (tempat membandingkan); b. Fara’ yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara’ disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan); c. Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’ seandainya ada persamaan ‘illatnya;dan

d. ‘IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’. Seandainya sifat ada pula pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara’ sama dengan hokum ashal.

4. Macam-Macam Qiyas a. Qiyas ‘illat Qiyas ‘illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara’ karena keduanya mempunyai persamaan ‘illat .Qiyas ‘illat terbagi menjadi: 1) Qiyas jali Ialah qiyas yang ‘illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari ‘illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada: a) Qiyas yang ‘illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah ‘illat larangan minum khamr, yang disebut dengan jelas dalam nash. b) Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara’ sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. c) Qiyas musawi Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara’ sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal. 2) Qiyas khafi Ialah qiyas yang ‘ilIatnya mungkin dijadikan ‘illat dan mungkin pula tidak dijadikan ‘illat. b. Qiyas dalalah Qiyas dalalah ialah qiyas yang ‘illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya ‘illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. c. Qiyas syibih

Qiyas syibih ialah qiyas yang fara’ dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara’.

BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan  Ijma’ secara bahasa berarti bertekad bulat (ber ‘azam) untuk melaksanakan sesuatu juga berarti bersepakat atas sesuatu. Ijma’ menurut istilah ahli Ushul Fiqih adalah kesepakatan atas hukum suatu peristiwa dan bahwa hokum tersebut merupakan hukum syara. Maka Ijma’ didefinisikan sebagai kesepakatan bulat mujtahid muslim dari suatu periode setelah wafatnya nabi Muhammad SAW tentang suatu masalah hukum Islam.

 Qiyas menurut bahasa adalah mengukur. Sedangkan menurut ahli Ushul Fiqih adalah menyertakan suatu perkara terhadap perkara lain dalam hokum syara karena terdapat kesamaan ‘illat di antara keduanya.

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini penulis berharap semoga bermanfaat bagi pembaca dan juga bisa menambah wawasan serta pengetahuan tentang Pengertian Ijma’ dan Qiyas. Makalah ini tidaklah sempurna mengambil manfaat maka dari itu penulis menerima kritik dan saran dari pembaca, agar lebih baik dalam pembuatan makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Khalaf, Abdul Wahab. Ilmu ushul fiqh. Bandung: Gema Risalah Press. 1996. Kholil, Atho bin. Taisir Wushul Ilal Ushul.

http://puengen-pinter.blogspot.co.id/2012/04/ushul-fiqh-ijma-dan-qiyas.html

View all posts by ediwijayaiais

This is a text widget. The Text Widget allows you to add text or HTML to your sidebar. You can use a text widget to display text, links, images, HTML, or a combination of these. Edit them in the Widget section of the Customizer.