Apa yang dimaksud dengan garam dan terang dunia
Halaman ini berisi artikel tentang metafora Alkitab. Untuk jaringan televisi, lihat Salt + Light Television. Garam dan Terang adapah sebuah metafora yang digunakan oleh Yesus pada saat Kotbah di Bukit, salah satu pengajaran utama Yesus tentang moralitas dan kedisiplinan.[1] Metafora tersebut muncul dalam Matius 5:13-16 menyusul Ucapan bahagia dan merujuk kepada ekspektasi dari para murid.[2] Tema utama dari Matius 5:13–16 adalah janji-janji dan ekspektasi menyusul janji-janji dari bagian pertama.[2] Ayat pertama dari kutipan tersebut memperkenalkan frase "garam dunia":
Ayat terakhir merujuk kepada perumpaman pelita dan ukuran, yang tercantum dalam Lukas 8:16–18 dan Terang Dunia tercantum dalam Yohanes 8:12.
Diperoleh dari "https://id.wikipedia.org/w/index.php?title=Garam_dan_Terang&oldid=20369227" GARAM DAN TERANG DUNIA GARAM DAN TERANG DUNIA: PEREFLEKSIAN ULANG IDENTITAS GEREJA DALAM PELAKSANAAN MISI ALLAH DI DUNIA SAAT INI Linna Gunawan HADIRNYA JEMAAT BARU Hari ini merupakan moment khusus bagi Gereja Kristen Indonesia. Moment yang menandai bertambahnya jumlah jemaat dewasa di lingkungan GKI. Tentu saja hal ini bukan sekadar proses alamiah di mana Gereja bertumbuh dan berkembang. Tetapi sebagai Gereja, kehadiran jemaat baru dihayati sebagai kepercayaan Tuhan bagi kita untuk terus menjalankan misi-Nya di dunia ini. Dalam konteks pelembagaan GKI Kayu Putih Bajem Kota Wisata, Cibubur menjadi GKI Kota Wisata, maka misi Allah diarahkan dalam konteks wilayah Kota Wisata dan sekitar serta yang lebih luas lagi dalam konteks di Indonesia dan dunia. Tulisan ini merupakan refleksi atas kehidupan bergereja dalam menjalankan misi Allah. Didasari oleh penafsiran dengan “mata baru” dari teks Matius 5: 13-16 menjadi Garam dan Terang Dunia. Tentu saja pengambilan teks ini berdasar pada Visi-Misi GKI Kota Wisata, yaitu “Jemaat yang menjadi Garam dan Terang bagi lingkungan sekitarnya.” Melalui tulisan ini, semoga GKI Kota Wisata, semakin jelas dan terencana dalam menderapkan kakinya menuju Visi dan misi yang telah dibuatnya, dan terus berperan serta dalam Misi Allah. Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada GKI Kota Wisata, Cibubur. Selamat berderap bersama Allah dalam menjalankan misi-Nya bagi dunia yang membutuhkan penyelamatan ini. SIAPA SAYA: GARAM DAN TERANG DUNIA. Masa kecil saya akrab dengan makan ikan asin, apalagi kalau ikan asin disajikan dengan sayur asem. Selain ikan asin, saya menikmati makan nasi panas yang dicampur dengan garam, lalu “dikepal” oleh tangan mama. Rasanya tidak kalah dengan makan sushi. Sebenarnya apa yang membuat ikan asin dan nasi “kepal” mama menjadi begitu nikmat? Jawabannya sederhana, karena rasa garamnya. Asin. Ada yang kontras dengan rasa ikan dan nasi yang tawar. Cerita lain. Tiba-tiba lampu di rumah mati. Pasalnya sedang ada perbaikan gardu listrik di wilayah rumah saya. Mendadak sontak saya meraih handphone. Bukan mau menelepon, tetapi saya membutuhkan lampu yang berasal dari handphone. Tangan ini reflek mencari lampu untuk melawan kegelapan akibat mati lampu. Apa yang membuat kita mencari lampu apabila di sekitar kita gulap gulita? Jawabannya sederhana juga, karena lampu menghasilkan terang. Terang akan mengkontraskan keadaan yang gelap gulita. Terang ini yang akan membuat kita sadar sekeliling kita. Ada kesamaan dari perintah Kristus: “Jadilah Garam dan Terang dunia.” Pertama, garam dan terang, kita kenali sebagai garam dan terang karena identitasnya. Ketika mencicip bubuk putih yang terasa asin, kita langsung menyebutnya sebagai garam. Ketika ada cahaya yang menyala, kita langsung menyebutnya sebagai terang. Garam identitasnya garam. Terang identitasnya terang. Garam dan terang bagaimanapun akan dikenali sebagai garam dan terang. Apabila garam tanpa rasa asin, orang tidak mungkin menyebutnya sebagai garam. Begitu juga terang, kalau terang itu tidak terlihat cahayanya, dia tidak mungkin disebut sebagai terang.[1] Kedua, garam dan terang dikenali karena kontras berbeda dengan lingkungannya. Kita menyebut garam karena rasanya asin dan berbeda dengan ikan atau nasi yang tawar. Terang disebut terang karena kontras berbeda dengan kegelapan. Arnold menegaskan: “Salt can have power as long as it is different from the surrounding mass and does not fall into decay itself.[2]” Tentu saja ini juga berlaku bagi terang. Terang memiliki kekuatannya pada saat dia muncul berbeda dengan kegelapan. Kedua kesamaan inilah yang dimaksudkan Tuhan Yesus: “Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain diinjak orang… Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang…” (Mat. 5: 13, 15a). Dengan kata lain Tuhan Yesus mengajak para pendengar-Nya untuk memiliki identitas yang berani berbeda secara kontras dengan dunia ini. Alasannya jelas: pengikut Kristus harus terasa dan terlihat kehadirannya di dunia ini, memberi arti dan makna dari kehidupan itu sendiri. Pertanyaannya sekarang: siapa pengikut Kristus? Saya? Anda? Kita? Gereja adalah jawabannya. Siapa Gereja? Lagu sekolah minggu:[3] Refrein: Gereja bukanlah gedungnya, dan bukan pula menaranya: Betul, Gereja adalah saya, Anda dan Kita. Namun Gereja termasuk kelembagaannya. Gereja harus memiliki identitas garam dan terang dunia. Teguh dalam identitas sebagai pengikut Kristus yang membawa nilai-nilai perubahan bagi dunia kita saat ini. DUNIA YANG KITA TINGGALI: DUNIA YANG MANA DAN BAGAIMANA?
Bulan lalu, pada pukul 16.00 WIB, saya baru saja selesai mengajar di Gereja Kristen Batak Protestan Klasis Medan-Namo Rambe. Tetapi pukul 21.30 di hari yang sama saya sudah berada di Jakarta. Di bulan yang sama, di hari yang berbeda, saya berada di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, sambil duduk menanti jam di tangan saya bergerak kearah pukul 19.00 WIB. Namun 1 jam 20 menit kemudian saya sudah berada di Bandara Soekarno Hatta sedang berjalan keluar untuk pulang ke rumah. Dulu, pada zaman orangtua saya muda, pasti tidak mungkin kita bisa begitu cepat berpindah dari satu kota ke kota lain. Sekarang, hanya dalam hitungan jam, bahkan hitungan menit, saya dapat berpindah dari kota yang satu ke kota yang lain walaupun jarak antar kota itu ribuan kilometer jauhnya. Ide cerita diatas saya dapatkan saat saya teringat pernah membaca buku The World is Flat karya Thomas L. Friedman. Friedman dalam bagian pertama bukunya menceritakan pengalaman yang diperolehnya dalam perjalanannya di Bangalore, India. Bukan hanya jarak tempuh perjalanan yang sedemikian singkat, Friedman juga mengakui India sudah seperti negara Eropa dan Amerika sebab berbagai produk milik negara-negara Eropa dan Amerika, sudah ada di sana. Ada banyak kisah yang Friedman angkat, dan dari cerita-cerita inilah, dia merumuskan alasannya mengapa dia menyebut dunia ini datar. Penyebab semua ini, menurut Friedman, adalah globalisasi dan kemajuan teknologi, yang membuka batas-batas waktu dan jarak.[4] Globalisasi dan kemajuan teknologi, di satu sisi memang memperjumpakan manusia dengan sesamanya secara lebih luas lagi. Dengan kemudahan-kemudahan berkomunikasi akan mencapai efisiensi waktu dan tenaga. Namun di pihak lain harus disadari relasi antar manusia yang teralienasi satu sama lain. Ketika kesempatan demi kesempatan untuk bertemu secara langsung dapat diminimalkan dengan kecanggihan teknologi, mau tidak mau relasi antar sesama mengalami perubahan. Manusia menjadi terasing dari lingkungan dan sesamanya. Kerenggangan relasi manusia dengan sesamanya melahirkan kesepian dan kesendirian.[5] Peristiwanya terjadi di pertengahan tahun 2009 di Jakarta. Kisah Prita Mulyasari merebak dengan cepat seiring dengan cepatnya jaringan internet. Awalnya Prita hanya sekedar curhat tentang perlakukan yang diterimanya dari salah satu rumah sakit ternama di wilayah Banten. Dia tuliskan curhatnya dalam email (surel) kepada teman-temannya. Dalam hitungan hari, email-nya telah menyebar ke banyak orang di berbagai tempat, dan dia diperkarakan ke pengadilan dengan tuduhan merusak nama baik rumah sakit tersebut. Di pengadilan, Prita kalah dan diharuskan membayar uang ganti rugi yang amat besar. Tak terduga, masyarakat luas menunjukkan keprihatinan kepada Prita yang luar biasa. Sebuah kelompok peduli menggelar “Koin Prita” yang mengumpulkan uang koin bagi Prita untuk membayar uang ganti rugi. Kelompok peduli ini hanya meng-iklan-kan “Koin Prita” di jejaring sosial Facebook. Dalam hitungan jam, koin sudah terkumpul cukup banyak. Kisah Prita adalah satu dari sekian banyak kisah yang menggambarkan betapa cepatnya informasi di era teknologi. Dalam hitungan detik, informasi sudah dapat kita peroleh. Selain cepat, keterbukaan informasi terjadi pada dunia kita di zaman ini. Informasi apapun bisa kita temukan secara terbuka dan beragam. Bahkan sekarang ini dengan munculnya banyak situs jejaring sosial, orang tanpa ragu membuka hal-hal yang pribadi dari dirinya menjadi cerita milik publik. Teknologi internet juga telah membuka batas-batas antara privatisasi dan publik. Saya jalan-jalan di mall. Terlihat di sana-sini orang banyak menenteng atau kadang-kadang berjalan sambil matanya tertuju pada Blackberry di tangannya. Belum lagi pakaian yang mereka kenakan terlihat dari merk bergengsi tertentu. Tas, sepatu, dan barang-barang lainnya yang melekat di atas tubuh mereka umumnya barang-barang bermerk dagang terkenal dan mahal harganya. Bukan hanya orang dewasa yang saya lihat mengenakan barang-barang tersebut, tetapi juga di kalangan remaja dan pemuda di kota besar. Alisa Quart, seperti yang dikutip oleh Tom Beaudoin, memaparkan hasil survey bahwa rata-rata anak umur 10 tahun dapat mengingat tiga ratus sampai empat ratus nama barang-barang bermerk.[6] Angka ini tentu saja mengejutkan kita, namun sebenarnya tidak mengejutkan apabila kita cermat memahami dunia konsumerisme saat ini. Memakai barang merk-merk tertentu, berganti-ganti barang mode terbaru, serta berbelanja barang-barang mahal merupakan gaya hidup manusia modern.
Tidak bisa dipungkiri bahwa dunia pertelevisian kita, khususnya Indonesia, sebagian besar penuh oleh sinetron-sinetron yang diputar di seluruh stasiun televisi. Dengan munculnya begitu banyak sinetron, mau tidak mau, muncul bentuk-bentuk prilaku baru dalam masyarakat. Seperti yang diakui oleh Widjajanti M. Santoso, televisi bukan saja menjadi sarana penghibur masyarakat tetapi juga menjadi “agen konstruksi sosial yang hidup dan beredar ke mana-mana.”[7] Dengan kata lain, nilai-nilai yang terkandung dalam sinetron bisa saja mempengaruhi nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pemaparan tentang spiritualitas sinetron ini menggambarkan bagaimana keadaan dunia kita saat ini, saat spiritualitas masyarakat “berlomba” dengan spiritualitas keagamaan, dalam hal ini spiritualitas Kristen. Pernah selama beberapa bulan, saya mengikuti beberapa cerita sinetron yang ditayangkan oleh stasiun televisi berbeda. Dengan sengaja saya menonton hampir seluruh seri sinetron-sinetron tersebut. Walaupun judul berbeda, namun sinetron-sinetron tersebut memiliki kesamaan cerita, bahkan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai hidup yang muncul dalam sinetron Indonesia antara lain spiritualitas masyarakat modern masa kini. Beberapa nilai-nilai spiritualitas tersebut antara lain:
Memang pengaruh sinetron dalam kehidupan bermasyarakat bahkan kehidupan spiritual individu rakyat Indonesia belum ada penelitian yang menyeluruh dan lengkap. Namun catatan-catatan statistik terhadap jumlah kekerasan, angka bunuh diri, angka kejahatan semakin meningkat jumlahnya dalam duapuluh tahun terakhir, seiring bertumbuhnya dunia sinetron atau infotainment dalam pertelevisian Indonesia.[8] MENJADI GARAM DAN TERANG DI INDONESIA SAAT INI William Barclay dalam tafsiran Matius 5: 13-16 memaparkan tentang fungsi dan arti menjadi garam dan terang dunia. Pertama-tama Barclay mengungkapkan arti dan fungsi menjadi garam dunia adalah:
Kedua, makna terang dunia adalah:
Dengan paparan tentang fungsi dan peran garam dan terang dunia menurut Barclay, pertanyaannya adalah bagaimana Gereja menjalankan peran dan fungsi tersebut di Indonesia saat ini? Bagaimana Gereja menunjukkan identitasnya di tengah-tengah bumi Indonesia yang dipengaruhi oleh globalisasi dan perkembangan pesat teknologi yang melahirkan spiritualitas baru dalam diri masyarakat?
Saat kita berbicara tentang identitas garam dan terang yang memelihara kemurnian dirinya agar tidak tercemar, membimbing orang lain untuk memilih yang benar, maka Gereja sendiri harus menyadari ada yang harus tetap dan tidak boleh berubah di tengah dunia yang berubah. Mengapa? Apa yang tetap dan tidak berubah ini menjadi patokan mendasar dari sikap Gereja sebagai garam dan terang dunia. Eka Darmaputera menyatakan bahwa Gereja tidak berubah dalam eksistensinya, yaitu Gereja dihadirkan oleh Allah. Dengan demikian kehadiran Gereja yaitu melaksanakan misi Allah (Missio Dei) yang berintikan Misi Kristus (Missio Christi).[16] Misi Allah untuk menyelamatkan seluruh makhluk nyata dalam misi Kristus yang membawa Kerajaan Allah (syalom: damai sejahtera) di bumi. Menurut Eka, Gereja mengemban tugas ke dalam dan tugas ke luar. Gereja harus merupakan persekutuan yang bersaksi dan persekutuan yang melayani.[17] Menyadari eksistensinya, maka Gereja dalam menjalankan misi penyelamatan Allah harus menghadirkan tanda-tanda Kerajaan Allah, yaitu kasih, persaudaraan, keadilan, kebenaran, damai sejahtera dan keutuhan ciptaan.[18] Oleh karena itu Eka Darmaputera menjabarkan nilai-nilai pelayanan, yang bersumber dari pelayanan Kristus, yang ada dan tidak berubah sebagai acuan melaksanakan misi Allah:[19]
Apa yang tetap dan tidak bisa berubah tentang eksistensi Gereja di tengah dunia yang berubah inilah yang menjadi ukuran bagi pelayanan dan kesaksian Gereja di Indonesia. Misalnya saja, pada saat spritualitas masyarakat mengarah pada kekerasan sebagai jalan keluar dari masalah, indikator pelayanan Gereja adalah pada nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Apakah kekerasan sejalan dengan nilai-nilai keadilan dan kebenaran. Apabila tidak sejalan, maka Gereja perlu menentang dan memperbarui dunia melalui perjuangan melawan kekerasan yang dilakukan atas nama apapun juga.
Berbicara tentang globalisasi, seringkali Gereja bersikap sinis terhadapnya. Globalisasi yang membawa perubahan-perubahan tata nilai dan spiritual seringkali dituduh sebagai biang keladi kekacauan dunia saat ini. Ada sikap terhadap penolakan globalisasi. Namun pada kenyataannya tidak ada yang mampu menghentikan atau menghindari perubahan-perubahan yang terjadi pada era globalisasi ini. E. Gerrit Singgih setuju dengan pandangan Don Browning tentang globalisasi yang menurutnya lebih memperdamaikan Gereja dengan perubahan dunia saat ini. Teori Browning tentang globalisasi dalam sudut pandang Kristen adalah:[20] 1) Sebagai misi universal dari gereja; 2) Sebagai kerja sama ekumenis; 3) Sebagai dialog antara agama Kristen dengan agama-agama lain; 4) Sebagai masalah ketidakadilan sosial. Dengan pandangan yang positif terhadap globalisasi, Singgih “memaknai globalisasi sebagai sebuah kesadaran baru akan realitas di sekitar kita.”[21] Oleh karena itu Gereja tidak boleh menolak perubahan, sebaliknya Gereja perlu berubah di tengah konteks dunianya yang berubah. Pertama, perubahan-perubahan nilai moral dan spiritualitas masyarakat akibat globalisasi menjadi pemacu Gereja untuk merekonstruksi dirinya. Rekonstruksi Gereja, menurut Yewangoe, misalnya mengartikulasikan kembali imannya dalam “bahasa” yang mampu dipahami oleh masyarakat masa kini.[22] Beaudoin memberi contoh perubahan teologis Gereja saat menghadapi spiritualitas baru yang bernama konsumerisme. Dengan memakai pendekatan God’s Economist, Beaudoin mencoba mengintegrasikan spiritualitas yang Yesus ajarkan dengan pemahaman ekonomi masyarakat masa kini.[23] Kedua, merancang kembali misiologi Gereja sesuai dengan konteks masa kini. Kita harus mengakui bahwa misiologi Gereja di Indonesia sebagian masih memakai misiologi milik zending pada zaman colonial. Misiologi yang berbau barat dan berorientasi pada kuantitas orang Kristen di dunia. Sarana Pekabaran Injil masih menganut pekabaran Injil untuk menambah “jiwa” orang Kristen. Misiologi jenis inilah yang menyebabkan kecurigaan kristenisasi masih melekat terhadap pelayanan sosial Gereja. Akibatnya bukan saja Gereja ditolak, tetapi kadang muncul kekerasan yang mengatasnamakan perbedaan agama. Widi Artanto mengusulkan misiologi Gereja masa kini dalam konteks Indonesia adalah misi yang berwajah Asia, yaitu rekonstruksi misi dalam pluralitas kebudayaan, rekonstruksi misi dalam pluralitas religius, dan rekonstruksi misi dalam konteks kemiskinan.[24] Ketiga, membangun spiritualitas komunitas dengan mengembangkan cara hidup orang Kristen. Pada saat spiritualitas masyarakat masa kini terbentuk oleh keadaan dunia modernitas yang cenderung individualistik, maka Gereja perlu membangun spiritualitas komunitas yang menghadirkan syalom Allah bagi dunia. Diana Butler Bass mengungkapkan bahwa spiritualitas komunitas itu dapat dibangun melalui cara hidup kristiani yang bersumber pada tradisi, praktek, dan hikmat. Spiritualitas yang berdasar pada tradisi menghubungkan komunitas dengan masa lalu sehingga komunitas tetap mengingat nilai-nilai penting dari kekristenan yang diajarkan Tuhan. Spiritualitas berdasarkan praktek menghubungkan komunitas dengan masa kini yaitu melakukan nilai-nilai Kristiani dalam hidup sehari-hari. Spiritualitas berdasarkan pada hikmat mendorong komunitas untuk terus mengenal Allah alias berpikir seperti yang Allah perintahkan.[25] JEMAAT BARU YANG MEMBUMI DALAM KONTEKSNYA Saya kembali pada visi GKI Kota Wisata, Cibubur, yang hari ini dilembagakan menjadi jemaat baru di lingkungan GKI, yaitu “Jemaat yang menjadi Garam dan Terang bagi lingkungan sekitarnya.” Dengan visi yang telah digumuli bersama ini kiranya jemaat GKI Kota Wisata dapat terus menghayati identitas dirinya sebagai garam dan terang di dunia yang berubah ini. Oleh karena itu ada beberapa hal yang menjadi sumbang saran bagi jemaat yang baru agar tetap menghadirkan identitas dirinya sebagai Gereja Tuhan. Pertama, jemaat GKI Kota Wisata harus terus menerus sadar konteks di mana dia berada. Kesadaran akan konteksnya akan membuat GKI Kota Wisata peka akan kebutuhan dunia maupun lingkungan sekitarnya sehingga identitas dirinya sebagai garam dan terang terus terasa kehadirannya. Sadar konteks juga akan membuat jemaat baru ini terus setia pada misi Allah, yaitu menyelamatkan dunia. Kedua, visi yang telah dibuat oleh GKI Kota Wisata harus ditindaklanjuti dengan tata nilai yang muncul menjadi tata nilai jemaat. Karena itu jemaat yang baru ini perlu menggumuli lagi misiologi Gereja yang sesuai dengan konteks di mana GKI Kota Wisata berada, baik terkait dengan pergumulan-pergumulan dunia, Indonesia maupun lingkungan disekitar (dalam dan luar) jemaat. Tata nilai inilah yang akan menolong jemaat baru ini menentukan patokan, ukuran bahkan langkahnya ke depan sebagai jemaat milik Kristus. Ketiga, Trinity trajectory milik Bass, yaitu tradisi, praktek, dan hikmat yang membentuk spiritualitas komunitas masa kini, kiranya menjadi strategi dasar bagi jemaat baru ini yang akan diimplementasikan dalam program-program kerja. Oleh karena itu materi-materi pelayanan seperti pengenalan akan tradisi dan nilai-nilai GKI, nilai-nilai Kristiani, pemahaman teologis tentang dunia dan panggilan Gereja, serta kehidupan bersama jemaat sebagai komunitas Gereja, bangsa, dan dunia perlu terus menerus dibicarakan, dihayati dan hidup dalam persekutuan di dalam dan diluar jemaat GKI Kota Wisata. Akhirnya, saya mengucapkan selamat atas pelembagaan GKI Kayu Putih Bajem Kota Wisata menjadi GKI Kota Wisata. Selamat menggarami dan menerangi dunia ini dengan kasih Allah. Biarlah kita menjalani identitas Gereja yang tidak kehilangan rasa dan iman di tengah dunia yang berubah ini dengan melantunkan terus penggalan doa: God grant me the serenity to accept the things I cannot change; courage to change the things I can; and wisdom to know the difference.. (Reinhold Niebuhr) DAFTAR PUSTAKA Arnold, Eberhard, “Salt and Light” in Salt and Light: Living the Sermon on the Mount. Farmington: Plough Publishing House. 2007. Artanto, Widi, Menjadi Gereja Misioner: dalam Konteks Indonesia. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008. Barclay, William, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Matius Ps. 1-10. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991. Diana Butler Bass, Christianity for the Rest of Us: How the Neighborhood Church Is Transforming the Faith. NY: HarperSanFrancisco, 2006. Beaudoin, Tom, Consuming Faith. Lanham: Sheed & Ward, 2003. Friedman, Thomas L., The World is Flat: A Brief History of the Twenty. New York: Picador. 2007. Sairin, Weinata, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2002. Sinaga, Martin L., et.al., Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera. Jakarta: BPK Gunung Mulia. 2005. Singgih, E. Gerrit, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005. Sopater, Sularso, et.al., Gereja dan Kontekstualisasi. Jakarta: Sinar Agape Press, 1998. Yamuger, Gabungan Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru. Jakarta: Yamuger 2007. Artikel: Santoso, Widjajanti M., “Sinetron Perempuan dan Sosiologi,” dalam Jurnal Perempuan 48, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan, Juni 2006), 86. http://cedaw-seasia.org/docs/indonesia/JP48cetak.pdf (diunduh pada tanggal 3 April 2011). http://www.mediaindonesia.com/read/2011/01/14/195735/71/14/Angka-Bunuh-Diri-Meningkat. http://www.mediaindonesia.com/read/2010/08/08/162267/92/14/Tayangan-Infotainment-Tingkatkan-Angka-Perceraian; http://hileud.com/hileudnews?title=Angka+Perceraian+di+Awal+Tahun+2011+Meningkat&id=571409.
[1] Eberhard Arnold mengungkapkan garam sebagai identitas dengan bahasa yang berbeda. Dia mengatakan: “The Nature of salt is salt, or it is nothing.” – lih. Eberhard Arnold, “Salt and Light” in Salt and Light: Living the Sermon on the Mount, (Farmington: Plough Publishing House, 2007), 37.
[3] Yamuger, “Aku Gereja, Kau Pun Gereja” (KJ. 257) in Gabungan Kidung Jemaat, Pelengkap Kidung Jemaat, Nyanyikanlah Kidung Baru, (Jakarta: Yamuger, 2007).
[4] Thomas L. Friedman, The World is Flat: A Brief History of the Twenty, (New York: Picador, 2007), 3-50.
[5] A.A. Yewangoe, “Tantangan Gereja Memasuki Abad XXI,” dalam Weinata Sairin, Visi Gereja Memasuki Milenium Baru: Bunga Rampai Pemikiran, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2002), 2. Mary Selly mengkritik revolusi industri di Eropa dengan membuat novel yang berjudul: Frankenstein. Selly mengungkapkan bahwa industry (dan teknologi didalamnya) melahirkan monster-monster yang tidak lagi punya perasaan dan kepekaan pada sesamanya. Bukan hanya itu saja, monster-monster yang telah dilahirkan akhirnya mengalami kesepian dalam hidupnya karena terasing dengan lingkungannya.
[6] Tom Beaudoin, Consuming Faith, (Lanham: Sheed & Ward, 2003), 4.
[9] William Barclay, Pemahaman Alkitab Setiap Hari: Matius Ps. 1-10, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1991), 199.
[16] Eka Darmaputera, “Gereja adalah Alat, Bukan Tujuan,” dalam Martin L. Sinaga, et.al., Pergulatan Kehadiran Kristen di Indonesia: Teks-teks Terpilih Eka Darmaputera, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 404.
[18] Zakaria J. Ngelow, “Gereja di Tengah Bangsa dan Masyarakat Indonesia,” dalam Sularso Sopater, et.al., Gereja dan Kontekstualisasi, (Jakarta: Sinar Agape Press, 1998), 10-11. Hal senada juga diungkapkan oleh Sularso Sopater, “Tanggung Jawab Gereja-gereja di Indonesia Memasuki Milenium Ketiga,” dalam Weinata Sairin, 12-13.
[19] Darmaputera, 417-418.
[20] E. Gerrit Singgih, Mengantisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2005), 416.
[23] Beudoin, 21-23. Beaudoin menjabarkan God’s Economist adalah ajaran Yesus: pertama, segala sesuatu yang baik berasal dari Allah. Saat masyarakat mengarahkan dirinya pada kekayaan dan hidup mewah, betapa pentingnya meengarahkan spiritualitas mereka pada pemahaman bahwa semua itu bagian dari anugerah Allah. Kedua, spiritualitas Yesus tidak mengajarkan bahwa harta benda harus ditolak dan dibuang, tetapi bagaimana materi dapat menghasilkan sesuatu yang baik bagi orang lain. Prinsip berbagi kepada sesama merupakan spiritualitas yang diajarkan Yesus. Ketiga, Paulus mengajarkan spiritualitas Yesus dengan prinsip keseimbangan dalam hidup bersama antar jemaat. Dalam persekutuan di Meja Perjamuan, Paulus mengajarkan yang berkelebihan memberi kepada yang berkekurangan sebagai prinsip keseimbangan. Keempat, Paulus pun memakai spiritualitas ekonomi Yesus ketika berbicara tentang karunia-karunia Roh Kudus dalam jemaat. Paulus mengajarkan tentang kepentingan bersama saat jemaat diminta untuk saling menerima dan melengkapi ketika mereka menerima karunia-karunia Roh Kudus yang berbeda.
[24] Widi Artanto, Menjadi Gereja Misioner: dalam Konteks Indonesia, (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2008), 116-131. Artanto menguraikan rekonstruksi misi Gereja di Indonesia harus bercirikan Asia, yaitu banyaknya budaya, agama dan persoalan kemiskinan. Rekonstruksi misi dalam pluralitas kebudayaan adalah kalau misi milik Barat dulu sangat memusuhi budaya setempat, maka misi Asia menghargai kebudayaan yang sangat banyak di Asia sebagai karya Allah bagi kehidupan. Namun misi dalam pluralitas kebudayaan harus selalu dikonfirmasi dan dikonfrontasi. Contohnya ketika kita tidak bisa menghindar dari arus globalisasi, kebudayaan modern harus dikonfirmasi bahwa Gereja di Indonesia tidak bisa menutup diri dari modernitas. Sebaliknya konfrontasi pun harus dilakukan terhadap budaya modern. Ketika budaya modern melahirkan nilai-nilai yang negative, budaya harus dikritik. Sedangkan rekonstruksi misi dalam pluralitas religius adalah misi Gereja yang harus menyadari dan menerima kenyataan di Asia yaitu banyaknya agama dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Asia. Misiologi Gereja di Indonesia dalam pluralitas religius mengarah pada dialog antar agama dalam rangka mencari kebenaran, keadilan, damai sejahtera bersama di bumi Indonesia. Rekonstruksi misi dalam konteks kemiskinan merupakan realitas nyata masyarakat Asia yang bergumul dengan kemiskinan, ketidakadilan, dan hak asasi manusia. Misi Gereja harus mengarah pada solidaritas Allah terhadap penderitaan rakyat Indonesia. Misi Barat kuno yang cenderung bersifat individualistik dan memisahkan kebutuhan rohani dan sosial harus berganti dengan misi solidaritas Gereja terhadap kaum miskin.
[25] Diana Butler Bass, Christianity for the Rest of Us: How the Neighborhood Church Is Transforming the Faith, (NY: HarperSanFrancisco, 2006), 45-53. Bass mengatakan: “The church enganges tradition through remembering in preaching, teaching, and sacraments; it engages practice by doing a Christian way of life; and it engages wisdom through a life of knowing God. Together, tradition, practice, and wisdom are the architecture of the new village church, the one embarked of the Christian pilgrimage: a trajectory of the soul’s direction in God. But the trajectory is not linear. Tradition, practice and wisdom also form three interconnected and timeless circles of faith, wherein each quality and disposition shapes, informs, and leads to the others as individuals and congregations move around the circles: By combining the linear dimension of tradition, faithfulness, and wisdom with the circular rationship of three, this triune spirituality moves forward in time, in effect mapping out of the pathway of Christian pilgrimage as individuals and congregations move both around the circle and through time: Christianity teaches the forward movements is not an endless, repetitive cycle. Someday the journey will cultimate in peace, ehat the scriptures calla shalom, when God restores the entire universe in love. This motion through time ins the Christian pilgrimage – a trinity that moves toward consummation in our individual lives, our congragations, and eventually, in human community and history. |