Apa yang kamu ketahui mengenai Dewan Banteng Apa tujuannya?

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang dihasilkan oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dihentikan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dihasilkan pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan kawasan yang diasumsikan ketinggalan dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Kawasan

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dahulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat kebanyakan yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di kawasan mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa sangat banyak berasal dari kawasan.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dihasilkan pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilaksanakan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam kawasan ditengahnya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dsb-nya. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung merasakan nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bekerja di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Ajang. Ahmad Husein-pun hanya dihasilkan menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dihentikan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dihentikan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi lapang untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Dihilangkannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga dihasilkan menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan kawasan, hilangnya inisiatif dan kegiatan kawasan serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Kawasan dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang berdasarkan dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang dihasilkan menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih kedudukan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapat hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Kawasan Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat dihasilkan menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Ajang dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk menghentikan Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, ditengahnya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Kawasan Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan kawasan. Bahkan Dewan Banteng juga melaksanakan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang diperoleh dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan kawasan. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilaksanakan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan kawasan Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat dihasilkan menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat juga

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.


Page 2

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang dihasilkan oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dihentikan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dihasilkan pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan kawasan yang diasumsikan ketinggalan dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Kawasan

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dahulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat kebanyakan yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di kawasan mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa sangat banyak berasal dari kawasan.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dihasilkan pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilaksanakan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam kawasan ditengahnya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dsb-nya. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung merasakan nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bekerja di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Ajang. Ahmad Husein-pun hanya dihasilkan menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dihentikan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dihentikan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi lapang untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Dihilangkannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga dihasilkan menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan kawasan, hilangnya inisiatif dan kegiatan kawasan serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Kawasan dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang berdasarkan dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang dihasilkan menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih kedudukan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapat hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Kawasan Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat dihasilkan menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Ajang dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk menghentikan Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, ditengahnya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Kawasan Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan kawasan. Bahkan Dewan Banteng juga melaksanakan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang diperoleh dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan kawasan. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilaksanakan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan kawasan Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat dihasilkan menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat juga

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.


Page 3

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang dihasilkan oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dihentikan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dihasilkan pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan kawasan yang diasumsikan ketinggalan dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Kawasan

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dahulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat kebanyakan yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di kawasan mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa sangat banyak berasal dari kawasan.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dihasilkan pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilaksanakan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam kawasan ditengahnya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dsb-nya. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung merasakan nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bekerja di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Ajang. Ahmad Husein-pun hanya dihasilkan menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dihentikan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dihentikan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi lapang untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Dihilangkannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga dihasilkan menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan kawasan, hilangnya inisiatif dan kegiatan kawasan serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Kawasan dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang berdasarkan dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang dihasilkan menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih kedudukan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapat hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Kawasan Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat dihasilkan menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Ajang dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk menghentikan Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, ditengahnya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Kawasan Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan kawasan. Bahkan Dewan Banteng juga melaksanakan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang diperoleh dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan kawasan. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilaksanakan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan kawasan Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat dihasilkan menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat juga

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.


Page 4

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang dihasilkan oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dihentikan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dihasilkan pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan kawasan yang diasumsikan ketinggalan dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Kawasan

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dahulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat kebanyakan yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di kawasan mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa sangat banyak berasal dari kawasan.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dihasilkan pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilaksanakan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam kawasan ditengahnya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dsb-nya. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung merasakan nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bekerja di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Ajang. Ahmad Husein-pun hanya dihasilkan menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dihentikan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dihentikan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi lapang untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Dihilangkannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga dihasilkan menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan kawasan, hilangnya inisiatif dan kegiatan kawasan serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Kawasan dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang berdasarkan dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang dihasilkan menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih kedudukan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapat hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Kawasan Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat dihasilkan menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Ajang dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk menghentikan Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, ditengahnya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Kawasan Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan kawasan. Bahkan Dewan Banteng juga melaksanakan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang diperoleh dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan kawasan. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilaksanakan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan kawasan Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat dihasilkan menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat juga

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.


Page 5

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang dibuat oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dibuat pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan daerah yang diasumsikan tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Daerah

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dahulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat biasanya yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di daerah mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa sangat banyak berasal dari daerah.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dibuat pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilaksanakan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam daerah diantaranya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dsb-nya. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung merasakan nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Medan. Ahmad Husein-pun hanya dibuat menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi luas untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan daerah yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Ditiadakannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga dibuat menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang dibuat menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapat hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat dibuat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecat Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, diantaranya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan daerah yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melaksanakan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan daerah. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilaksanakan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat dibuat menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat juga

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.


Page 6

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang dibuat oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dibubarkan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan dibuat pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan daerah yang diasumsikan tertinggal dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Daerah

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dahulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat biasanya yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di daerah mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa sangat banyak berasal dari daerah.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang dibuat pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng dilaksanakan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam daerah diantaranya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dsb-nya. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung merasakan nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bertugas di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Medan. Ahmad Husein-pun hanya dibuat menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dibubarkan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi luas untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan daerah yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Ditiadakannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga dibuat menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan daerah, hilangnya inisiatif dan kegiatan daerah serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Daerah dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang dibuat menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih jabatan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak mendapat hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Daerah Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat dibuat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Medan dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memecat Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, diantaranya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan daerah yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Daerah Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan daerah. Bahkan Dewan Banteng juga melaksanakan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan daerah. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang dilaksanakan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan daerah Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat dibuat menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat juga

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.


Page 7

Dewan Banteng yaitu suatu dewan yang diproduksi oleh beberapa orang tokoh militer mantan pimpinan dan bagian Komando Divisi IX Banteng yang telah dihentikan beserta tokoh sipil yang berasal dari Sumatera Tengah. Dewan ini diprakarsai oleh Kolonel Ismail Lengah (mantan Panglima Divisi IX Banteng) dan diproduksi pada tanggal 20 Desember 1956 dengan ketua Letnan Kolonel Ahmad Husein. Tujuan dari pembentukan Dewan Banteng yaitu untuk pembangunan kawasan yang diasumsikan ketinggalan dibanding pembangunan di pulau Jawa.

Sejarah Dewan Banteng

Ketidakpuasan Kawasan

Sejumlah perwira aktif dan perwira pensiunan mantan bagian Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah menggagas pembentukan Dewan Banteng di Jakarta pada 21 September 1956. Gagasan itu tidak diterima oleh kenyataan yang mereka lihat bahwa setelah kemerdekaan nasib para prajurit sangat mengenaskan, padahal mereka itu dulunya yaitu para pejuang yang bertaruh nyawa ketika merebut dan mempertahankan kemerdekaan pada tahun 1945 - 1950. Begitupun kondisi masyarakat biasanya yang jauh dari sejahtera. Kondisi yang mempunyai di kawasan mereka pandang jauh berlainan dibanding pembangunan di pulau Jawa, padahal sumber devisa paling banyak berasal dari kawasan.

Hal lain yang menimbulkan ketidakpuasan yaitu perlakuan pemerintah pusat terhadap Komando Divisi IX Banteng. Divisi IX Banteng yaitu suatu divisi dalam Angkatan Perang Republik Indonesia yang diproduksi pada masa Perang Kemerdekaan tahun 1945 - 1950 melawan kolonialis Belanda, dan membawahi teritorial Sumatera Tengah, yang terdiri dari Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau serta Jambi sekarang ini. Divisi IX Banteng mempunyai pasukan yang banyak karena hal mempunyai Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi, bahkan salah satu pasukannya yaitu Resimen 6 diasumsikan sebagai pasukan terbaik di Sumatera.

Penciutan Divisi Banteng diterapkan dengan mengirim pasukan-pasukannya ke bermacam kawasan ditengahnya ke Jawa Barat, Aceh, Ambon dan lain-lain. Salah satu pasukan Divisi Banteng yaitu Batalyon Pagaruyung mengalami nasib yang semakin menyedihkan dibanding batalyon lainnya. Seusai bekerja di Ambon, lima dari delapan kompinya dipindahkan dan dilebur kedalam Divisi Siliwangi, Jawa Barat sehingga menyebabkan terputusnya hubungan dengan divisi induknya yaitu Divisi Banteng di Sumatera Tengah. Penciutan itu berlangsung terus sehingga yang belakang sekalinya menyisakan satu brigade. Brigade yang kecil itu masih menyandang nama Brigade Banteng yang dipimpin Letnan Kolonel Ahmad Husein. Kemudian brigade itupun diciutkan lagi sehingga hanya mempunyai wujud resimen yaitu Resimen Infanteri 4 yang kemudian dilebur kedalam Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan (TT I BB) yang bermarkas di Ajang. Ahmad Husein-pun hanya menjadi Komandan Resimen Infanteri 4 TT I BB.

Perlakuan pemerintah pusat yang memecahbelah batalyon-batalyon dan pembubaran Divisi IX Banteng menimbulkan rasa sakit hati pada perwira-perwira dan bagian pasukan lainnya dari Divisi Banteng yang telah berjuang mati-matian dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pertemuan para perwira yang pertama di Jakarta pada 21 September 1956 kemudian dilanjutkan dengan pertemuan kedua di Padang pada tanggal 20 sampai 24 Nopember 1956. Pertemuan tersebut dihadiri tidak kurang dari 612 perwira aktif dan pensiunan yang berasal dari Divisi Banteng yang telah dihentikan itu. Dalam pertemuan itu mereka membahas tentang situasi sosial, politik dan ekonomi rakyat Sumatera Tengah yang diasumsikan memprihatinkan. Pertemuan itu yang belakang sekalinya menghasilkan beberapa keputusan dalam wujud tuntutan.

Pada tanggal 20 Desember 1956 dibentuklah suatu dewan untuk mengujudkan hasil-hasil pertemuan yang kedua itu. Dewan itu dinamakan "Dewan Banteng", yang tetap mengambil nama dari Divisi Banteng yang telah dihentikan. Dewan Banteng tidak hanya didukung oleh para perwira militer mantan bagian Divisi Banteng, tapi juga oleh semua partai politik yang mempunyai di Sumatera Tengah kecuali Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan Dewan itu juga didukung oleh semua elemen masyarakat Sumatera Tengah, seperti ulama, kaum intelektual, pemuda, kaum hukum budaya, sehingga melahirkan semboyan ketika itu yang berbunyi : "Timbul Tenggelam Bersama Dewan Banteng". Namun dalam pendiriannya Dewan Banteng tetap mengakui Pemerintahan Republik Indonesia dibawah Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda serta Jenderal A.H. Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

Tuntutan Dewan Banteng
  • Pemberian serta pengisian otonomi luas untuk daerah-daerah dalam rangka pelaksanaan sistem pemerintahan desentralisasi serta pemberian perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang wajar, layak dan tidak sewenang-wenang.
  • Dihilangkannya segera sistem sentralisme yang dalam kenyataannya mengakibatkan birokrasi yang tidak sehat dan juga menjadi pokok pangkal dari korupsi, stagnasi pembangunan kawasan, hilangnya inisiatif dan kegiatan kawasan serta kontrol.
  • Pembentukan kembali Komando Pertahanan Kawasan dalam guna teritorial, operatif dan administratif yang sesuai dengan pembagian administratif dari Negara Republik Indonesia dewasa ini dan adalah komando utama dalam Angkatan Darat.
  • Diputuskannya eks. Divisi IX Banteng Sumatera Tengah sebagai kesatuan militer yang menjadi satu korps dalam Angkatan Darat.

Setelah itu Ahmad Husein sebagai Ketua Dewan Banteng, mengambil alih kedudukan Gubernur Sumatera Tengah dari tangan Gubernur Ruslan Mulyoharjo. Tindakan Ahmad Husein itu tidak memperoleh hukuman, malah Pemerintah Pusat memenuhi tuntutan Dewan Banteng dengan membentuk Komando Militer di Sumatera Tengah yaitu Komando Militer Kawasan Sumatera Tengah (KMDST) yang terlepas dari Komando Tentara Teritorium (TT) I Bukit Barisan yang bermarkas di Medan, sedangkan Ahmad Husein diangkat menjadi Panglima KMDST dengan pangkat Kolonel. Dalam hal ini beberapa tuntutan Dewan Banteng dipenuhi oleh pemerintah pusat.

Pada tanggal 22 Desember 1956, dua hari sesudah terbentuknya Dewan Banteng, Kolonel Maluddin Simbolon, Panglima Komando Tentara Teritorium I Bukit Barisan mengumumkan pembentukan Dewan Gajah di Ajang dan menyatakan melepaskan diri dari Pemerintahan PM Djuanda lalu menyatakan wilayah teritorialnya dalam kondisi Darurat Perang (SOB). Aksi Kolonel Maludin Simbolon itu mendapat reaksi keras dari pemerintah pusat dengan memerintahkan KSAD Jenderal A.H. Nasution untuk memberhentikan Kolonel Simbolon dan menggantinya dengan Letnan Kolonel Djamin Ginting.

Kemudian langkah tersebut-pun disertai oleh pembentukan Dewan Garuda di Sumatera Selatan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Barlian dan Dewan Manguni di Sulawesi dibawah pimpinan Letnan Kolonel Ventje Sumual.

Tuntutan lainnya dari Dewan Banteng tidak dipenuhi oleh pemerintah pusat, ditengahnya otonomi atau sistem pemerintahan desentralisasi serta perimbangan keuangan selang pusat dan kawasan yang tidak sewenang-wenang. Hal ini mengakibatkan Dewan Banteng tidak lagi mengirimkan penghasilan Kawasan Sumatera Tengah ke Pemerintah Pusat, tapi dipakai untuk pembangunan kawasan. Bahkan Dewan Banteng juga melakukan barter hasil-hasil lingkungan kehidupan Sumatera Tengah dengan pihak luar negeri. Seluruh dana yang didapat dari hasil bumi itu dipergunakan untuk pembangunan kawasan. Hanya dalam beberapa bulan saja terlihat hasil yang nyata berlainan dengan kondisi sebelumnya, bahkan pembangunan Sumatera Tengah di bawah Dewan Banteng diasumsikan sebagai yang terbaik di Indonesia pada waktu itu.

Apa yang diterapkan Dewan Banteng tersebut membuat hubungan kawasan Sumatera Tengah dengan pemerintah pusat menjadi tegang. Puncak dari ketegangan itu berujung pada terbentuknya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia atau PRRI yang dideklarasikan pada tanggal 15 Februari 1958 oleh Dewan Perjuangan yang dipimpin oleh Kolonel Ahmad Husein di Padang.

Lihat pula

Pranala luar

  • Terbentuknya Dewan Banteng

Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, ensiklopedia.web.id, p2k.nomor.net, dsb-nya.