Apa yang kamu lakukan agar tidak terjerumus ke dalam aliran aliran yang bertentangan dengan aswaja

Keterangan gambar,

Pihak-pihak yang menyebarkan paham radikal antara lain mendukung khilafah seperti yang dikampanyekan kelompok ISIS di Timur Tengah.

Penyebaran dan penyusupan paham radikal di Indonesia dianggap makin mengkhawatirkan dalam beberapa tahun terakhir dan harus diambil langkah-langkah komprehensif untuk meredamnya.

Hal ini disampaikan delegasi akademisi dan pemerhati Islam dari Indonesia dalam dialog dengan sejumlah pemuka agama di London, Rabu [05/04] petang.

Jakob Tobing, presiden lembaga kajian Leimena Institute, memaparkan bahwa paham radikal "sudah masuk ke sekolah- sekolah dan juga rumah ibadah oleh pihak-pihak yang ideologi radikalnya berafiliasi dengan jaringan global".

Ia juga menyinggung soal hasil salah satu survei di kalangan anak-anak muda yang mengaku salah satu tokoh favorit mereka adalah pemimpin gerakan radikal di Timur Tengah.

Pengamat Islam dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Azyumardi Azra, mengatakan, salah satu saluran penyebaran paham radikal adalah ceramah-ceramah agama dan pendidikan di sekolah menengah atas melalui guru, yang menyampaikan ajaran Islam garis keras yang tidak mengakomodir keberagaman.

"Ada guru yang terpengaruh dengan paham radikal yang menyebarkan paham ini ke para murid ... ini dijumpai di sejumlah sekolah menengah atas di kota-kota besar di Indonesia seperti di Jakarta, Surabaya, Makassar," papar Azyumardi kepada wartawan BBC Indonesia, Mohamad Susilo.

Paham radikal ini juga disebarkan ke kampus-kampus perguruan tinggi.

Paham radikal yang disebar ini, kata Azyumardi, tidak sesuai dengan nilai-nilai Indonesia dan keberagaman. Para pengusung paham ini aktif mempromosikan pembentukan khilafah.

Keterangan gambar,

Amin Abdullah, Jakob Tobing, Alwi Shihah, dan Azyumardi Azra saat bertemu dengan pemuka agama dan pemerhati dialog antaragama di London.

Para pengusung khilafah tersebut, menurut Azyumardi, seakan mendapat ruang seiring dengan konsolidasi demokrasi di Indonesia sejak turunnya Presiden Suharto pada 1998.

"Sejak 1998 dan 1999 mereka dengan bebas bisa mengkampanyekan khilafah dan syariah. Ini salah satu konsekuensi yang tidak diiinginkan dari proses demokrasi," kata Azyumardi.

Melihat situasi ini, lembaga-lembaga pendidikan, terutama kepala sekolah, guru, dan dosen harus waspada dan aktif memberikan panduan yang lebih jelas bagi siswa yang ikut kegiatan di sekolah dan kampus, sehingga penyebaran paham radikal bisa dihentikan.

Di tingkat masyarakat, kata Azyumardi, ada baiknya surat edaran Kapolri dua tahun lalu tentang ujaran kebencian diadopsi menjadi peraturan resmi. Mereka yang terbukti melanggar aturan itu dikenai sanksi.

Keterangan gambar,

Azyumardi melihat penyebaran paham radikal antara lain 'memanfaatkan kebebasan dan demokratisasi' yang bergulir sejak 1998.

"Di masyarakat, penyebaran paham radikal banyak yang dilakukan melalui mimbar, baik mimbar Jumat maupun mimbar pengajian. Sering kali penceramah memakai forum ini untuk mempromosikan paham-paham yang tidak sesuai dengan kehidupan, sejarah, budaya dan nilai-nilai bangsa [Indonesia]," katanya.

"Paham yang disebar itu tidak sesuai dengan nilai-nilai toleransi. Mereka tidak menghormati keberagaman, dan yang tak sesuai dengan pandangan mereka dianggap kafir atau murtad."

Dalam konteks ini, Azyumardi setuju jika para aktivis dan pengurus masjid secara berkala mendapatkan 'semacam pembinaan' oleh Dewan Masjid Indonensia dan Kementerian Agama.

Keterangan gambar,

Amin Abdullah berpendapat ada modal budaya yang kuat yang bisa meredam penyebaran paham radikal di Indonesia.

"Saya mendukung wacana dari Menteri Agama yang mengusulkan sertifikasi da'i dan penceramah ... kalau ada materi ceramah agama yang anti-NKRI [Negara Kesatuan Republik Indonesia] harus ada delik hukum yang diberlakukan terhadap mereka," katanya.

Dalam kesempatan yang sama, mantan rektor Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, Amin Abdullah, mengatakan bahwa menghentikan penyebaran paham radikal bisa dilakukan dengan beberapa cara.

Di jalur pendidikan bisa dimulai dengan penyempurnaan materi pendidikan agama sehingga ada konten yang secara khusus membahas ekses yang bisa ditimbulkan dari paham radikal tersebut.

Perlu juga digalakkan kerja-kerja dari para pegiat untuk mempromosikan Islam yang moderat, Islam yang menghargai keberagaman, Islam yang bisa menunjukkan 'wajah yang damai, yang bisa menjadi rahmat bagi semuanya'.

Amin secara khusus menggarisbawahi bahwa masyarakat di Indonesia punya modal budaya yang bisa dioptimalkan untuk menghentikan paham atau ideologi radikal.

"Bahwa kita, masyarakat Indonesia, sejak awal adalah masyarakat yang terbuka, yang toleran, dan menghargai perbedaan atau keberagaman. Ini adalah modal budaya yang penting untuk menangkap paham radikal," kata Amin.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Munculnya beraneka rupa paham dan aliran sesat di tanah air kerapkali disikapi secara ekstrem oleh sebagian umat Islam. Sikap ekstrem dimaksud secara umum terbagi menjadi dua, yakni main hakim sendiri dengan menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat, atau memasang badan membela para penganut paham dan aliran sesat tersebut dengan berdalih bahwa "hanya Tuhan-lah yang berhak memvonis sesat tidaknya suatu golongan". Bila kita mencermati secara jeli, maka sikap kelompok pertama yang menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat sesungguhnya dilatarbelakangi oleh satu model beragama yang lebih mengedepankan sikap-sikap emosional. Sementara kelompok kedua yang begitu toleran terhadap para pengikut dan penjaja kesesatan, boleh jadi dilatarbelakangi oleh faktor kejahilan terhadap ajaran Islam, mengikuti hawa nafsu sehingga terjebak taklid buta pada apa yang diajarkan guru-gurunya, atau adanya kepentingan-kepentingan duniawi yang menyebabkan seseorang yang sejatinya alim memilih untuk diam seribu bahasa atau bahkan cenderung melakukan pembelaan terhadap eksistensi aliran sesat tersebut.

Mungkin ada sebagian pihak yang berargumen bahwa menyerahkan sepenuhnya vonis soal sesat tidaknya satu golongan kepada Allah adalah tindakan yang paling bijak, sedangkan kita sebagai hamba-Nya cukuplah beribadah menurut apa yang kita yakini, janganlah mencela satu golongan yang berbeda pemahaman dengan kita. Sepintas lalu, ucapan tersebut berasa menyejukkan dan menunjukkan satu sikap kedewasaan dalam beragama. Benarkah demikian? Bagi siapapun yang mau berfikir, tentu bakal menyadari betapa batilnya ucapan tersebut. Sungguh, Allah telah menurunkan kitab suci dan para Nabi sebagai petunjuk bagi umatnya untuk membedakan jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Sekiranya hal itu diungkapkan oleh seseorang yang memang benar-benar awam dalam masalah agama, maka sungguh layak kita apresiasi karena ucapan demikian menunjukkan satu sikap tahu diri akan posisinya yang awam. Akan tetapi perlu ditegaskan, ucapan tersebut mesti disudahi dengan kalimat penutup "berhubung saya awam, maka saya akan terus belajar sehingga dapat mengetahui mana yang haq mana yang batil, mana yang lurus mana yang menyimpang", sebagai konsekuensi dari sikap tahu diri atas keawamannya. Terkecuali bagi orang-orang yang memang merasa 'bangga' atas kebodohannya.

Nah, apabila kita sebagai umat Islam meyakini bahwa para Sahabat Nabi merupakan generasi terbaik dari umat ini, selayaknyalah kita meneladani bagaimana sikap mereka terhadap para penganut aliran sesat. Khalifah Abu Bakar radliyallâhu'anhu yang merupakan Sahabat Nabi yang paling utama bertindak tegas dengan menumpas para nabi palsu seperti Al-Aswad Al-Ansi dan Musailimah Alkadzab berikut segenap pengikutnya. Lihatlah, betapa tegas sikap Abu Bakar terhadap para penjaja dan pengikut kesesatan. Beliau tidak pernah mengatakan "biarlah mereka tetap berada di atas keyakinannya, karena yang mengetahui sesat tidaknya suatu golongan hanya Allah belaka." Justru berdasarkan Firman Allah dan Sabda Nabi SAW, Abu Bakar menyimpulkan bahwa para nabi palsu beserta orang-orang yang membenarkannya telah keluar dari Islam, bahkan menodai ajaran Islam sehingga beliau tak ragu-ragu untuk memeranginya. Namun satu hal yang layak dicatat, umat Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq tidaklah bertindak sendiri-sendiri dalam memerangi para pengikut nabi palsu tersebut. Mereka bersatu padu di bawah komando jihad Khalifah untuk memerangi para penista agama. Di sinilah kita mendapatkan satu pelajaran bahwa yang berhak mengambil tindakan fisik terhadap para pengikut aliran sesat [baik dengan memerangi atau memenjarakan] adalah pemerintah kaum Muslimin, bukan ormas tertentu.

Dengan demikian, menyangkut maraknya fenomena aliran sesat di tanah air dewasa ini, hendaknya kita menahan tangan-tangan kita dari segala tindakan anarkis maupun main hakim sendiri. Di sisi lain, sungguh tidak layak mereka yang bukan ahli agama berteriak lantang membela kesesatan para penista dan penoda agama tersebut tatkala para ulama yang berkompeten telah memfatwakan kesesatannya berdasarkan dalil-dalil yang terang. Hanya orang-orang yang mengidap 'kelainan akidah'-lah yang tidak terbesit kemarahan sedikitpun dalam hatinya tatkala agamanya dilecehkan.

Bagi mereka yang mendalam ilmunya, sikap terbaik adalah menegakkan hujah kepada para penganut aliran sesat itu agar kembali kepada Islam yang benar. Sedangkan bagi yang awam, sikap terbaik adalah dengan menjauhi mereka agar terhindar dari segala syubhat yang mereka hembuskan. Mengakhiri tulisan ini, berikut saya kutip sepuluh kriteria aliran sesat yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia agar kita dapat terhindar dari kesesatan dan penyimpangan dalam beragama. Sepuluh kriteria tersebut yaitu:

1. Mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam.

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar'i [Al-Qur'an dan Al-Sunnah].

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an.

4. Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur'an.

5. Melakukan penafsiran Al-Qur'an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.

Page 2

Munculnya beraneka rupa paham dan aliran sesat di tanah air kerapkali disikapi secara ekstrem oleh sebagian umat Islam. Sikap ekstrem dimaksud secara umum terbagi menjadi dua, yakni main hakim sendiri dengan menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat, atau memasang badan membela para penganut paham dan aliran sesat tersebut dengan berdalih bahwa "hanya Tuhan-lah yang berhak memvonis sesat tidaknya suatu golongan". Bila kita mencermati secara jeli, maka sikap kelompok pertama yang menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat sesungguhnya dilatarbelakangi oleh satu model beragama yang lebih mengedepankan sikap-sikap emosional. Sementara kelompok kedua yang begitu toleran terhadap para pengikut dan penjaja kesesatan, boleh jadi dilatarbelakangi oleh faktor kejahilan terhadap ajaran Islam, mengikuti hawa nafsu sehingga terjebak taklid buta pada apa yang diajarkan guru-gurunya, atau adanya kepentingan-kepentingan duniawi yang menyebabkan seseorang yang sejatinya alim memilih untuk diam seribu bahasa atau bahkan cenderung melakukan pembelaan terhadap eksistensi aliran sesat tersebut.

Mungkin ada sebagian pihak yang berargumen bahwa menyerahkan sepenuhnya vonis soal sesat tidaknya satu golongan kepada Allah adalah tindakan yang paling bijak, sedangkan kita sebagai hamba-Nya cukuplah beribadah menurut apa yang kita yakini, janganlah mencela satu golongan yang berbeda pemahaman dengan kita. Sepintas lalu, ucapan tersebut berasa menyejukkan dan menunjukkan satu sikap kedewasaan dalam beragama. Benarkah demikian? Bagi siapapun yang mau berfikir, tentu bakal menyadari betapa batilnya ucapan tersebut. Sungguh, Allah telah menurunkan kitab suci dan para Nabi sebagai petunjuk bagi umatnya untuk membedakan jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Sekiranya hal itu diungkapkan oleh seseorang yang memang benar-benar awam dalam masalah agama, maka sungguh layak kita apresiasi karena ucapan demikian menunjukkan satu sikap tahu diri akan posisinya yang awam. Akan tetapi perlu ditegaskan, ucapan tersebut mesti disudahi dengan kalimat penutup "berhubung saya awam, maka saya akan terus belajar sehingga dapat mengetahui mana yang haq mana yang batil, mana yang lurus mana yang menyimpang", sebagai konsekuensi dari sikap tahu diri atas keawamannya. Terkecuali bagi orang-orang yang memang merasa 'bangga' atas kebodohannya.

Nah, apabila kita sebagai umat Islam meyakini bahwa para Sahabat Nabi merupakan generasi terbaik dari umat ini, selayaknyalah kita meneladani bagaimana sikap mereka terhadap para penganut aliran sesat. Khalifah Abu Bakar radliyallâhu'anhu yang merupakan Sahabat Nabi yang paling utama bertindak tegas dengan menumpas para nabi palsu seperti Al-Aswad Al-Ansi dan Musailimah Alkadzab berikut segenap pengikutnya. Lihatlah, betapa tegas sikap Abu Bakar terhadap para penjaja dan pengikut kesesatan. Beliau tidak pernah mengatakan "biarlah mereka tetap berada di atas keyakinannya, karena yang mengetahui sesat tidaknya suatu golongan hanya Allah belaka." Justru berdasarkan Firman Allah dan Sabda Nabi SAW, Abu Bakar menyimpulkan bahwa para nabi palsu beserta orang-orang yang membenarkannya telah keluar dari Islam, bahkan menodai ajaran Islam sehingga beliau tak ragu-ragu untuk memeranginya. Namun satu hal yang layak dicatat, umat Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq tidaklah bertindak sendiri-sendiri dalam memerangi para pengikut nabi palsu tersebut. Mereka bersatu padu di bawah komando jihad Khalifah untuk memerangi para penista agama. Di sinilah kita mendapatkan satu pelajaran bahwa yang berhak mengambil tindakan fisik terhadap para pengikut aliran sesat [baik dengan memerangi atau memenjarakan] adalah pemerintah kaum Muslimin, bukan ormas tertentu.

Dengan demikian, menyangkut maraknya fenomena aliran sesat di tanah air dewasa ini, hendaknya kita menahan tangan-tangan kita dari segala tindakan anarkis maupun main hakim sendiri. Di sisi lain, sungguh tidak layak mereka yang bukan ahli agama berteriak lantang membela kesesatan para penista dan penoda agama tersebut tatkala para ulama yang berkompeten telah memfatwakan kesesatannya berdasarkan dalil-dalil yang terang. Hanya orang-orang yang mengidap 'kelainan akidah'-lah yang tidak terbesit kemarahan sedikitpun dalam hatinya tatkala agamanya dilecehkan.

Bagi mereka yang mendalam ilmunya, sikap terbaik adalah menegakkan hujah kepada para penganut aliran sesat itu agar kembali kepada Islam yang benar. Sedangkan bagi yang awam, sikap terbaik adalah dengan menjauhi mereka agar terhindar dari segala syubhat yang mereka hembuskan. Mengakhiri tulisan ini, berikut saya kutip sepuluh kriteria aliran sesat yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia agar kita dapat terhindar dari kesesatan dan penyimpangan dalam beragama. Sepuluh kriteria tersebut yaitu:

1. Mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam.

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar'i [Al-Qur'an dan Al-Sunnah].

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an.

4. Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur'an.

5. Melakukan penafsiran Al-Qur'an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.


Lihat Sosbud Selengkapnya

Page 3

Munculnya beraneka rupa paham dan aliran sesat di tanah air kerapkali disikapi secara ekstrem oleh sebagian umat Islam. Sikap ekstrem dimaksud secara umum terbagi menjadi dua, yakni main hakim sendiri dengan menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat, atau memasang badan membela para penganut paham dan aliran sesat tersebut dengan berdalih bahwa "hanya Tuhan-lah yang berhak memvonis sesat tidaknya suatu golongan". Bila kita mencermati secara jeli, maka sikap kelompok pertama yang menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat sesungguhnya dilatarbelakangi oleh satu model beragama yang lebih mengedepankan sikap-sikap emosional. Sementara kelompok kedua yang begitu toleran terhadap para pengikut dan penjaja kesesatan, boleh jadi dilatarbelakangi oleh faktor kejahilan terhadap ajaran Islam, mengikuti hawa nafsu sehingga terjebak taklid buta pada apa yang diajarkan guru-gurunya, atau adanya kepentingan-kepentingan duniawi yang menyebabkan seseorang yang sejatinya alim memilih untuk diam seribu bahasa atau bahkan cenderung melakukan pembelaan terhadap eksistensi aliran sesat tersebut.

Mungkin ada sebagian pihak yang berargumen bahwa menyerahkan sepenuhnya vonis soal sesat tidaknya satu golongan kepada Allah adalah tindakan yang paling bijak, sedangkan kita sebagai hamba-Nya cukuplah beribadah menurut apa yang kita yakini, janganlah mencela satu golongan yang berbeda pemahaman dengan kita. Sepintas lalu, ucapan tersebut berasa menyejukkan dan menunjukkan satu sikap kedewasaan dalam beragama. Benarkah demikian? Bagi siapapun yang mau berfikir, tentu bakal menyadari betapa batilnya ucapan tersebut. Sungguh, Allah telah menurunkan kitab suci dan para Nabi sebagai petunjuk bagi umatnya untuk membedakan jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Sekiranya hal itu diungkapkan oleh seseorang yang memang benar-benar awam dalam masalah agama, maka sungguh layak kita apresiasi karena ucapan demikian menunjukkan satu sikap tahu diri akan posisinya yang awam. Akan tetapi perlu ditegaskan, ucapan tersebut mesti disudahi dengan kalimat penutup "berhubung saya awam, maka saya akan terus belajar sehingga dapat mengetahui mana yang haq mana yang batil, mana yang lurus mana yang menyimpang", sebagai konsekuensi dari sikap tahu diri atas keawamannya. Terkecuali bagi orang-orang yang memang merasa 'bangga' atas kebodohannya.

Nah, apabila kita sebagai umat Islam meyakini bahwa para Sahabat Nabi merupakan generasi terbaik dari umat ini, selayaknyalah kita meneladani bagaimana sikap mereka terhadap para penganut aliran sesat. Khalifah Abu Bakar radliyallâhu'anhu yang merupakan Sahabat Nabi yang paling utama bertindak tegas dengan menumpas para nabi palsu seperti Al-Aswad Al-Ansi dan Musailimah Alkadzab berikut segenap pengikutnya. Lihatlah, betapa tegas sikap Abu Bakar terhadap para penjaja dan pengikut kesesatan. Beliau tidak pernah mengatakan "biarlah mereka tetap berada di atas keyakinannya, karena yang mengetahui sesat tidaknya suatu golongan hanya Allah belaka." Justru berdasarkan Firman Allah dan Sabda Nabi SAW, Abu Bakar menyimpulkan bahwa para nabi palsu beserta orang-orang yang membenarkannya telah keluar dari Islam, bahkan menodai ajaran Islam sehingga beliau tak ragu-ragu untuk memeranginya. Namun satu hal yang layak dicatat, umat Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq tidaklah bertindak sendiri-sendiri dalam memerangi para pengikut nabi palsu tersebut. Mereka bersatu padu di bawah komando jihad Khalifah untuk memerangi para penista agama. Di sinilah kita mendapatkan satu pelajaran bahwa yang berhak mengambil tindakan fisik terhadap para pengikut aliran sesat [baik dengan memerangi atau memenjarakan] adalah pemerintah kaum Muslimin, bukan ormas tertentu.

Dengan demikian, menyangkut maraknya fenomena aliran sesat di tanah air dewasa ini, hendaknya kita menahan tangan-tangan kita dari segala tindakan anarkis maupun main hakim sendiri. Di sisi lain, sungguh tidak layak mereka yang bukan ahli agama berteriak lantang membela kesesatan para penista dan penoda agama tersebut tatkala para ulama yang berkompeten telah memfatwakan kesesatannya berdasarkan dalil-dalil yang terang. Hanya orang-orang yang mengidap 'kelainan akidah'-lah yang tidak terbesit kemarahan sedikitpun dalam hatinya tatkala agamanya dilecehkan.

Bagi mereka yang mendalam ilmunya, sikap terbaik adalah menegakkan hujah kepada para penganut aliran sesat itu agar kembali kepada Islam yang benar. Sedangkan bagi yang awam, sikap terbaik adalah dengan menjauhi mereka agar terhindar dari segala syubhat yang mereka hembuskan. Mengakhiri tulisan ini, berikut saya kutip sepuluh kriteria aliran sesat yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia agar kita dapat terhindar dari kesesatan dan penyimpangan dalam beragama. Sepuluh kriteria tersebut yaitu:

1. Mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam.

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar'i [Al-Qur'an dan Al-Sunnah].

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an.

4. Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur'an.

5. Melakukan penafsiran Al-Qur'an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.


Lihat Sosbud Selengkapnya

Page 4

Munculnya beraneka rupa paham dan aliran sesat di tanah air kerapkali disikapi secara ekstrem oleh sebagian umat Islam. Sikap ekstrem dimaksud secara umum terbagi menjadi dua, yakni main hakim sendiri dengan menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat, atau memasang badan membela para penganut paham dan aliran sesat tersebut dengan berdalih bahwa "hanya Tuhan-lah yang berhak memvonis sesat tidaknya suatu golongan". Bila kita mencermati secara jeli, maka sikap kelompok pertama yang menghalalkan tindakan anarkis terhadap para penganut aliran sesat sesungguhnya dilatarbelakangi oleh satu model beragama yang lebih mengedepankan sikap-sikap emosional. Sementara kelompok kedua yang begitu toleran terhadap para pengikut dan penjaja kesesatan, boleh jadi dilatarbelakangi oleh faktor kejahilan terhadap ajaran Islam, mengikuti hawa nafsu sehingga terjebak taklid buta pada apa yang diajarkan guru-gurunya, atau adanya kepentingan-kepentingan duniawi yang menyebabkan seseorang yang sejatinya alim memilih untuk diam seribu bahasa atau bahkan cenderung melakukan pembelaan terhadap eksistensi aliran sesat tersebut.

Mungkin ada sebagian pihak yang berargumen bahwa menyerahkan sepenuhnya vonis soal sesat tidaknya satu golongan kepada Allah adalah tindakan yang paling bijak, sedangkan kita sebagai hamba-Nya cukuplah beribadah menurut apa yang kita yakini, janganlah mencela satu golongan yang berbeda pemahaman dengan kita. Sepintas lalu, ucapan tersebut berasa menyejukkan dan menunjukkan satu sikap kedewasaan dalam beragama. Benarkah demikian? Bagi siapapun yang mau berfikir, tentu bakal menyadari betapa batilnya ucapan tersebut. Sungguh, Allah telah menurunkan kitab suci dan para Nabi sebagai petunjuk bagi umatnya untuk membedakan jalan kebenaran dan jalan kesesatan. Sekiranya hal itu diungkapkan oleh seseorang yang memang benar-benar awam dalam masalah agama, maka sungguh layak kita apresiasi karena ucapan demikian menunjukkan satu sikap tahu diri akan posisinya yang awam. Akan tetapi perlu ditegaskan, ucapan tersebut mesti disudahi dengan kalimat penutup "berhubung saya awam, maka saya akan terus belajar sehingga dapat mengetahui mana yang haq mana yang batil, mana yang lurus mana yang menyimpang", sebagai konsekuensi dari sikap tahu diri atas keawamannya. Terkecuali bagi orang-orang yang memang merasa 'bangga' atas kebodohannya.

Nah, apabila kita sebagai umat Islam meyakini bahwa para Sahabat Nabi merupakan generasi terbaik dari umat ini, selayaknyalah kita meneladani bagaimana sikap mereka terhadap para penganut aliran sesat. Khalifah Abu Bakar radliyallâhu'anhu yang merupakan Sahabat Nabi yang paling utama bertindak tegas dengan menumpas para nabi palsu seperti Al-Aswad Al-Ansi dan Musailimah Alkadzab berikut segenap pengikutnya. Lihatlah, betapa tegas sikap Abu Bakar terhadap para penjaja dan pengikut kesesatan. Beliau tidak pernah mengatakan "biarlah mereka tetap berada di atas keyakinannya, karena yang mengetahui sesat tidaknya suatu golongan hanya Allah belaka." Justru berdasarkan Firman Allah dan Sabda Nabi SAW, Abu Bakar menyimpulkan bahwa para nabi palsu beserta orang-orang yang membenarkannya telah keluar dari Islam, bahkan menodai ajaran Islam sehingga beliau tak ragu-ragu untuk memeranginya. Namun satu hal yang layak dicatat, umat Islam di bawah kepemimpinan Abu Bakar as-Shiddiq tidaklah bertindak sendiri-sendiri dalam memerangi para pengikut nabi palsu tersebut. Mereka bersatu padu di bawah komando jihad Khalifah untuk memerangi para penista agama. Di sinilah kita mendapatkan satu pelajaran bahwa yang berhak mengambil tindakan fisik terhadap para pengikut aliran sesat [baik dengan memerangi atau memenjarakan] adalah pemerintah kaum Muslimin, bukan ormas tertentu.

Dengan demikian, menyangkut maraknya fenomena aliran sesat di tanah air dewasa ini, hendaknya kita menahan tangan-tangan kita dari segala tindakan anarkis maupun main hakim sendiri. Di sisi lain, sungguh tidak layak mereka yang bukan ahli agama berteriak lantang membela kesesatan para penista dan penoda agama tersebut tatkala para ulama yang berkompeten telah memfatwakan kesesatannya berdasarkan dalil-dalil yang terang. Hanya orang-orang yang mengidap 'kelainan akidah'-lah yang tidak terbesit kemarahan sedikitpun dalam hatinya tatkala agamanya dilecehkan.

Bagi mereka yang mendalam ilmunya, sikap terbaik adalah menegakkan hujah kepada para penganut aliran sesat itu agar kembali kepada Islam yang benar. Sedangkan bagi yang awam, sikap terbaik adalah dengan menjauhi mereka agar terhindar dari segala syubhat yang mereka hembuskan. Mengakhiri tulisan ini, berikut saya kutip sepuluh kriteria aliran sesat yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia agar kita dapat terhindar dari kesesatan dan penyimpangan dalam beragama. Sepuluh kriteria tersebut yaitu:

1. Mengingkari Rukun Iman dan Rukun Islam.

2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dalil syar'i [Al-Qur'an dan Al-Sunnah].

3. Meyakini turunnya wahyu setelah Al-Qur'an.

4. Mengingkari otensitas dan atau kebenaran isi Al-Qur'an.

5. Melakukan penafsiran Al-Qur'an yang tidak berdasarkan kaidah tafsir.

6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam.


Lihat Sosbud Selengkapnya

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề