Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

HP Bebas Pulsa
0800 1234 000

Jatah Terbatas

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Info Beasiswa Terkini
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Cibinong, Bogor Jawa Barat
Lokasi Rumah Dekat CCM (Cibinong City Mall)

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Penyerahan Jepang terhadap Sekutu (Menyerahnya Jepang)

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Cari di Pusat Ilmu Pengetahuan

Pasifik Tengah

Asia Tenggara

Pasifik Barat Daya

Amerika Utara

  • Kepulauan Aleutian
  • Ellwood
  • Estevan Point Lighthouse
  • Fort Stevens
  • Lookout Air Raids
  • Balon api
  • Proyek Hula

Jepang

Manchuria

  • Manchuria (1945)
  • Sakhalin
  • Kep. Kuril
  • Shumshu

Perang Tiongkok-Jepang Kedua
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Menyerahnya Jepang pada bulan Agustus 1945 menandai kesudahan Perang Alam II. Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah tak ada sejak Agustus 1945, sementara invasi Sekutu ke Jepang hanya tinggal saat. Walaupun hasrat untuk melawan sampai titik kesudahan dibicarakan secara terbuka, pemimpin Jepang dari Dewan Penasihat Militer Jepang secara pribadi memohon Uni Soviet untuk memerankan sebagai mediator dalam perjanjian damai dengan syarat-syarat yang menguntungkan Jepang. Sementara itu, Uni Soviet juga bersiap-siap untuk menyerang Jepang dalam usaha memenuhi janji kepada Amerika Serikat dan Inggris di Konferensi Yalta.

Pada 6 Agustus dan 9 Agustus, Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Pada 9 Agustus, Uni Soviet melancarkan penyerbuan mendadak ke koloni Jepang di Manchuria (Manchukuo) yang melanggar Pakta Netralitas SovietJepang. Kaisar Hirohito campur tangan setelah terjadi dua peristiwa mengejutkan tersebut, dan memerintahkan Dewan Penasihat Militer untuk menerima syarat-syarat yang dinegosiasikan Sekutu dalam Deklarasi Potsdam. Setelah berlangsung perundingan di balik layar selama beberapa hari, dan kudeta yang gagal, Kaisar Hirohito menyampaikan pidato radio di depan rakyat pada 15 Agustus 1945. Dalam pidato radio yang dinamakan Gyokuon-hōsō (Siaran Suara Kaisar), Hirohito membacakan Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi, sekaligus mengumumkan kepada rakyat bahwa Jepang telah menyerah kepada Sekutu.

Pendudukan Jepang oleh Komandan Tertinggi Sekutu dimulai pada 28 Agustus. Upacara kapitulasi dipersiapkan pada 2 September 1945 di atas kapal tempur Amerika Serikat Missouri. Dokumen Kapitulasi Jepang yang ditandatangani hari itu oleh pejabat pemerintah Jepang secara resmi mengakhiri Perang Alam II. Warga sipil dan bagian militer di negara-negara Sekutu merayakan Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day). Walaupun demikian, sebagian pos komando terpencil dan personel militer dari kesatuan di pelosok-pelosok Asia menolak untuk menyerah selama berbulan-bulan bahkan sampai bertahun-tahun setelah Jepang menyerah. Sejak kapitulasi Jepang, sejarawan terus berdebat tentang etika penggunaan bom atom. Perang antara Jepang dan Sekutu secara resmi habis ketika Perjanjian San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Empat tahun kemudian Jepang dan Uni Soviet menandatangani Deklarasi Bersama SovietJepang 1956 yang secara resmi mengakhiri perang antara kedua negara tersebut.

Kekalahan Jepang

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Pendaratan Sekutu di Ajang Perang Operasi Samudra Pasifik, Agustus 1942 sampai Agustus 1945.

Pada tahun 1945, Jepang telah hampir dua tahun bersambung mengalami kekalahan berkepanjangan di Pasifik Barat Daya, kampanye militer Mariana, dan kampanye militer Filipina. Pada Juli 1944 setelah Saipan jatuh, Jenderal Hideki Tōjō diangkat sebagai perdana menteri oleh Jenderal Kuniaki Koiso yang mencetuskan Filipina sebagai tempat pertempuran berikutnya yang menentukan.[1] Setelah Filipina jatuh, giliran Koiso yang diganti oleh Admiral Kantarō Suzuki. Pada paruh pertama tahun 1945, Sekutu sukses mendiami Iwo Jima dan Okinawa. Setelah didiami Sekutu, Okinawa dihasilkan menjadi kawasan singgahan untuk menyerbu ke pulau-pulau utama di Jepang.[2] Setelah kekalahan Jerman, Uni Soviet diam-diam mulai mengerahkan kembali pasukan tempur Eropa-nya ke Timur Jauh, di samping sekitar empat puluh divisi yang telah diletakkan di sana sejak tahun 1941, sebagai penyeimbang kekuataan jutaan Tentara Kwantung.[3]

Operasi kapal-kapal selam Sekutu dan penyebaran ranjau di lepas pantai Jepang telah menghancurkan sebagian akbar armada dagang Jepang. Sebagai negara dengan sedikit sumber daya alam, Jepang bergantung kepada bahan mentah yang diimpor dari daratan Asia dan dari wilayah pendudukan Jepang di Hindia Belanda, terutama minyak bumi.[4] Penghancuran armada dagang Jepang, ditambah dengan pengeboman strategis kawasan industri di Jepang telah meruntuhkan ekonomi perang Jepang. Produksi batu bara, besi, besi baja, karet, dan pasokan bahan mentah lainnya hanya dipersiapkan dalam banyak kecil dibandingkan pasokan sebelum perang.[5][6]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Kapal tempur Jepang Haruna karam di tempat bersandarnya di pangkalan angkatan laut Kure pada peristiwa Pengeboman Kure 24 Juli 1945.

Sebagai dampak kerugian yang dialami, daya Angkatan Laut Kekaisaran Jepang secara efektif sudah habis. Setelah serangkaian pengeboman Sekutu di galangan kapal Jepang di Kure, Prefektur Hiroshima, kapal-kapal perang Jepang yang tersisa hanyalah enam kapal induk, empat kapal penjelajah, dan satu kapal tempur. Namun, semua kapal tersebut tak memiliki bahan bakar yang cukup. Walaupun sedang ada 19 kapal perusak dan 38 kapal selam yang sedang operasional, pengoperasian mereka menjadi terbatas dampak kekurangan bahan bakar.[7][8]

Persiapan pertahanan

Menghadapi probabilitas penyerbuan Sekutu ke pulau-pulau utama Jepang, dimulai dari Kyushu, Jurnal Perang Markas Akbar Kekaisaran menyimpulkan,

Kami tak mampu lagi memimpin perang dengan ada sedikit pun hasrat untuk menang. Satu-satunya jalan yang tersisa adalah mengorbankan nyawa seratus juta rakyat Jepang sebagai bom hidup supaya musuh kehilangan semangat bertempur.[9]

Sebagai usaha darurat yang terakhir untuk menghentikan gerak maju Sekutu, Komando Tertinggi Kekaisaran Jepang merencanakan pertahanan Kyushu secara habis-habisan. Usaha yang dinamakan dengan sandi Operasi Ketsu-Go [10] ini dimaksudkan sebagai perubahan strategi yang radikal. Berlainan dari sistem pertahanan berikat seperti yang dipakai sewaktu menginvasi Peleliu, Iwo Jima, dan Okinawa, kali ini semuanya dipertaruhkan di pantai. Sebelum pasukan dan perlengkapan didaratkan transpor amfibi di pantai, mereka akan diserang oleh 3.000 pesawat kamikaze.[8]

Bila strategi ini tak mengusir Sekutu, Jepang akan mengerahkan 3.500 pesawat kamikaze tambahan berikut 5.000 kapal bunuh diri Shin'yō ditemani kapal-kapal perusak dan kapal-kapal selam yang sedang tersisa--hingga kapal terakhir yang operasional--untuk menghancurkan Sekutu. Bila Sekutu menang dalam pertempuran di pantai dan sukses mendarat di Kyushu, hanya akan tersisa 3.000 pesawat untuk mempertahankan pulau-pulau Jepang yang lain. Walaupun demikian, Kyushu akan dipertahankan "hingga titik darah penghabisan".[8] Strategi membikin pertahanan terakhir di Kyushu didasarkan pada asumsi bahwa Uni Soviet akan tetap mempertahankan netralitas.[11]

Serangkaian gua digali dekat Nagano di Honshu. Gua-gua yang dinamakan Markas Akbar Kekaisaran Bawah Tanah Matsushiro tersebut akan dihasilkan menjadi Markas Angkatan Darat pada saat terjadinya invasi Sekutu serta rumah perlindungan untuk Kaisar Jepang dan keluarganya.[12]

Dewan Penasihat Militer

Pengambilan keputusan perang Jepang berpusat di Dewan Penasihat Militer yang ada bagian enam pejabat tinggi: perdana menteri, menteri luar negeri, menteri angkatan darat, menteri angkatan laut, kepala staf umum angkatan darat, dan kepala staf umum angkatan laut.[13] Saat kabinet pemerintah Suzuki terbentu pada April 1945, keanggotaan dewan terdiri dari:

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Kabinet Suzuki, Juni 1945

  • Perdana Menteri Admiral Kantarō Suzuki
  • Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō
  • Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami
  • Menteri Angkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai
  • Kepala Staf Umum Angkatan Darat Jenderal Yoshijirō Umezu
  • Kepala Staf Umum Angkatan Laut Admiral Koshirō Oikawa (kemudian diganti oleh Admiral Soemu Toyoda)

Secara hukum, Angkatan Darat dan Angkatan Laut Kekaisaran Jepang memiliki hak untuk mencalonkan (atau menolak pencalonan) masing-masing menteri. Sebagai hasilnya, Jepang mampu menghindari pembentukan pemerintahan yang tak diingini, atau terjadinya pengunduran diri yang mampu menjatuhkan pemerintah yang sedang berlangsung.[14][15]

Kaisar Hirohito dan Penjaga Cap Pribadi Kaisar Kōichi Kido juga ada di beberapa pertemuan, setelah dimohon Kaisar.[16] Seperti yang dilaporkan Iris Chang, "Jepang sengaja menghancurkan, menyembunyikan, atau memalsukan sebagian dari dokumen rahasia perang mereka"[17][18]

Perbedaan pendapat di kalangan pemimpin Jepang

Kabinet Suzuki, dalam berbagai bidang, semakin menentukan meneruskan perang. Untuk Jepang, kapitulasi hampir tak terpikirkan. Dalam 2000 tahun sejarahnya, Jepang tak pernah diinvasi bangsa asing atau kalah dalam perang.[19] Hanya Menteri Angkatan Laut Mitsumasa Yonai yang dikenal memiliki hasrat untuk mengakhiri perang.[20] Menurut sejarawan Richard B. Frank:

Walaupun Suzuki pastinya melihat perdamaian sebagai tujuan jangka panjang, beliau tak memiliki rencana untuk mewujudkannya dalam jangka saat dekat atau dengan syarat-syarat yang mampu diterima Sekutu. Komentarnya dalam konferensi negarawan senior tak memberikan tanda-tanda dirinya menginginkan habisnya perang semakin awal ... .; Pilihan Suzuki untuk pos-pos kabinet yang paling penting, dengan pengecualian satu orang, bukanlah juga tokoh pendukung perdamaian.[21]

Seusai perang, Perdana Menteri Suzuki dan pejabat lain dari pemerintahannya mengaku mereka secara rahasia merundingkan perdamaian, tapi secara terbuka tak mampu mengumumkannya. Mereka mengutip konsep Jepang tentang haragei (seni berkomunikasi dengan sikap dan daya kepribadian dan bukan melewati kata-kata) untuk membenarkan ketidakselarasan antara aksi di muka umum dan aktivitas di balik layar. Namun, sebagian sejarawan menolak interpretasi ini. Robert J. C. Butow menulis:

Berlandaskan argumen yang sangat ambigu, pembelaan soal haragei menimbulkan kecurigaan bahwa dalam masalah politik dan diplomasi, secara sadar menggantungkan diri pada seni menggertak mungkin mampu dianggap sebagai pengelabuan disengaja yang diperkirakan didasarkan hasrat mengadu domba untuk keuntungan sendiri. Walaupun keputusan ini tak berlandaskan dengan kepribadian Admiral Suzuki yang banyak dipuji, pada kenyataannya dari saat beliau diangkat sebagai perdana menteri sampai hari beliau mengundurkan diri, tak ada seorang pun yang mampu memastikan apa yang berikutnya akan diceritakan atau dilakukan Suzuki.[22]

Pemimpin Jepang selalu menginginkan penyelesaian perang dengan negosiasi. Perencanaan praperang mereka mengharapkan perluasan wilayah secara cepat, konsolidasi, konflik yang tak terhindarkan dengan Amerika Serikat, dan penyelesaian perang yang memungkinkan Jepang mempertahankan paling tak beberapa wilayah baru yang telah mereka duduki.[23] Pada tahun 1945, pemimpin-pemimpin Jepang sepakat bahwa perang tak berlangsung dengan lancar, tapi mereka tak sepakat mengenai cara-cara terbaik dalam bernegosiasi untuk mengakhiri perang. Kalangan pemimpin Jepang terbelah menjadi dua kubu. Faksi "damai" menginginkan inisiatif diplomatik dengan membujuk pemimpin Uni Soviet Joseph Stalin supaya bertindak sebagai mediator penyelesaian perang antara Jepang dan Amerika Serikat beserta sekutunya. Sebaliknya, faksi garis keras semakin menentukan bertempur dalam satu pertempuran terakhir yang "menentukan" sampai jatuh korban begitu banyak di pihak Sekutu yang mengakibatkan mereka mau menawarkan syarat-syarat yang semakin lunak.[24] Kedua kubu terbentuk berlandaskan pengalaman Jepang dalam Perang Rusia-Jepang empat puluh tahun sebelumnya. Dalam perang tersebut terjadi serangkaian pertempuran yang memakan kerugian akbar yang tak menentukan pemenang, tapi diakhiri oleh Pertempuran Tsushima yang dimenangkan Jepang.[25]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Admiral Kantarō Suzuki menjabat Perdana Menteri Jepang dalam bulan-bulan sebelum perang habis.

Pada kesudahan Januari 1945, beberapa pejabat Jepang yang dekat dengan Kaisar mempertimbangkan syarat-syarat kapitulasi yang akan melindungi letak Kaisar Jepang. Proposal-proposal yang dikirim melewati arus Amerika Serikat dan Inggris tersebut disusun oleh Jenderal Douglas MacArthur menjadi dokumen 40 halaman, dan kemudian, pada 2 Februari, dua hari sebelum Konferensi Yalta, diberikan kepada Presiden Franklin D. Roosevelt. Menurut laporan, dokumen tersebut dihalau oleh Roosevelt tanpa pertimbangan apa pun. Semua proposal mencakup syarat bahwa letak kaisar tetap dipertahankan, walaupun mungkin sebagai penguasa boneka. Namun pada saat itu, kebijakan Sekutu hanyalah menerima penyerahan tanpa syarat.[26] Selain itu, proposal-proposal ini dihalau keras oleh pejabat pemerintahan Jepang yang berpengaruh, dan oleh karenanya tak mampu diceritakan mewakili hasrat Jepang yang sebenarnya untuk menyerah pada saat itu.[27]

Pada Februari 1945, Pangeran Fumimaro Konoe memberi Kaisar Hirohito suatu memorandum yang menganalisis situasi dan menyampaikan kepada Hirohito bahwa bila perang diteruskan, kekaisaran akan menghadapi revolusi internal yang semakin berbahaya daripada kalah dalam perang.[28] Menurut buku harian Pengurus Rumah Tangga Kaisar Hisanori Fujita, Kaisar yang menunggu pertempuran menentukan (tennōzan) menjawab bahwa sedang terlalu dini menawarkan perdamaian, "Kecuali kita membikin satu lagi kemenangan militer."[29] Sedang pada bulan Februari tahun yang sama, divisi perjanjian Jepang menulis tentang kebijakan Sekutu terhadap Jepang mengenai "penyerahan tanpa syarat, pendudukan, perlucutan senjata, penghapuskan militerisme, reformasi demokrasi, hukuman untuk penjahat perang, dan status kaisar."[30] Pelucutan senjata oleh Sekutu, penjatuhan hukuman untuk penjahat perang Jepang, dan khususnya pendudukan dan penghapusan letak kaisar tak diterima oleh pimpinan Jepang.[31][32]

Pada 5 April, Uni Soviet mengumumkan tak akan memperbarui Pakta Netralitas Soviet-Jepang[33] yang ditandatangani tahun 1941 setelah terjadinya Peristiwa Nomonhan.[34] Pada Konferensi Yalta Februari 1945, negara-negara Barat yang tergabung dalam Sekutu telah menyepakati konsesi yang substansial dengan Soviet untuk mengamankan janji dari Soviet untuk mencetuskan perang terhadap Jepang tak semakin dari tiga bulan setelah Jerman menyerah. Walaupun secara hukum Pakta Netralitas tetap berlangsung sampai setahun setelah Uni Soviet membatalkannya (hingga 5 April 1946), pembatalan sepihak ini secara jelas tapi terselubung menunjukkan niat perang Uni Soviet.[35] Menteri Luar Negeri Rusia Vyacheslav Molotov, di Moskow, dan Yakov Malik, duta akbar Soviet di Tokyo, sungguh-sungguh mencoba meyakinkan Jepang bahwa "masa berlangsung Pakta tersebut belum berakhir".[36]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Menteri Luar Negeri Shigenori Tōgō

Pada serangkaian rapat tingkat tinggi pada bulan Mei 1965, keenam bagian Dewan Penasihat Militer dengan serius membahas cara mengakhiri perang. Namun tak seorang pun dari mereka setuju dengan syarat-syarat yang diajukan Sekutu. Mengingat siapa pun yang secara terbuka mendukung kapitulasi Jepang terancam bahaya pembunuhan oleh perwira angkatan darat yang sangat setia, rapat-rapat tersebut tertutup untuk siapa pun kecuali keenam bagian Dewan Penasihat Militer, Kaisar, dan penjaga cap pribadi kaisar. Tak ada perwira eselon dua atau eselon tiga yang diizinkan ada.[37] Pada rapat-rapat tersebut, hanya Menteri Luar Negeri Tōgō yang menyadari probabilitas sekutu negara-negara Barat sudah membikin konsesi dengan Soviet untuk mengajak mereka bertempur melawan Jepang.[38] Sebagai hasil rapat-rapat tersebut, Tōgō diberi wewenang untuk mendekati Uni Soviet, mempersilakan mereka untuk tetap mempertahankan netralitas, atau semakin fantastis lagi, mau membentuk aliansi.[39]

Sejalan dengan tradisi pemerintahan baru mengumumkan tujuan-tujuan mereka, setelah rapat bulan Mei habis, staf Angkatan Darat mengeluarkan dokumen berjudul "Kebijakan Fundamental untuk Disertai Berikutnya dalam Melaksanakan Perang" yang mencetuskan rakyat Jepang akan berjuang sampai punah daripada menyerah. Kebijakan ini diadopsi oleh Dewan Penasihat Militer pada 6 Juni (Tōgō menentangnya, sementara kelima bagian lain mendukung).[40] Dokumen-dokumen yang diajukan Suzuki pada pertemuan yang sama menyarankan bahwa dalam usaha awal diplomatik dengan Uni Soviet, Jepang mengambil pendekatan sebagai berikut:

Rusia harus diberi kenal dengan jelas bahwa kemenangannya atas Jerman adalah berkat Jepang, karena kita tetap netral, dan Soviet akan diuntungkan bila menolong Jepang mempertahankan posisinya di alam internasional, karena musuh mereka di masa depan adalah Amerika Serikat.[41]

Pada 9 Juni, orang keyakinan kaisar Kōichi Kido menulis "Rancangan Rencana Pengendalian Situasi Krisis" yang memperingatkan bahwa pada kesudahan tahun kemampuan Jepang untuk memainkan perang modern akan habis dan pemerintah akan tak mampu mengemudikan kerusuhan sipil. ".... Kita tak kenal pasti apakah kita akan bernasib sama seperti Jerman dan terjatuh dalam kondisi yang sulit sampai kita tak mampu sampai tujuan tertinggi menjaga Rumah Tangga Kekaisaran dan mempertahankan tata negara nasional."[42] Kido mengusulkan Kaisar sendiri ikut ambil bagian, dengan menawarkan untuk mengakhiri perang dengan "syarat-syarat yang sangat murah hati". Kido mengusulkan Jepang melepaskan wilayah yang dijajah Eropa, asalkan mereka diberi kemerdekaan, dan negara kita dilucuti, serta untuk sementara harus "puas dengan pertahanan minimum". Berbekal penugasan Kaisar, Kido mendekati beberapa bagian Dewan Penasihat Militer. Tōgō sangat mendukung. Suzuki dan Menteri Angkatan Laut Admiral Mitsumasa Yonai keduanya sangat berjaga-jaga mendukung; masing-masing bertanya dalam hati, apa yang dipikirkan satu sama lain. Menteri Angkatan Darat Jenderal Korechika Anami bersikap ambivalen, bersikeras diplomasi harus menunggu "hingga Amerika Serikat menderita kerugian besar" dalam Operasi Ketsu-Go.[43]

Pada bulan Juni 1845, Kaisar sudah kehilangan keyakinan terhadap kesempatan sampai kemenangan militer. Jepang sudah kalah dalam Pertempuran Okinawa. Kaisar juga sudah mendapat kabar tentang kelemahan angkatan darat di Cina, begitu pula soal angkatan laut dan angkatan darat yang mempertahankan pulau-pulau utama Jepang. Kaisar menerima laporan dari Pangeran Higashikuni; darinya Kaisar mengambil kesimpulan bahwa "bukan saja pertahanan lepas pantai, divisi yang dipersiapkan untuk diterjunkan di pertempuran yang menentukan juga tak memiliki banyak senjata yang memadai."[44] Menurut Kaisar:

Kita sudah diberi kenal besi asal bom yang dijatuhkan musuh sudah dipakai untuk membikin sekop. Hal ini berfaedah kita tak terletak dalam posisi melanjutkan perang.[44]

Pada 22 Juni, kaisar memanggil keenam bagian Dewan Penasihat Militer untuk rapat. Tak seperti kebanyakan, Kaisar membuka pembicaraan: "Kita menginginkan rencana konkrit untuk mengakhiri perang, tanpa dirintangi kebijakan yang ada, akan dipelajari dengan cepat dan usaha-usaha dilakukan untuk mengimplementasikannya."[45] Pertemuan menyetujui untuk mengundang bantuan Soviet dalam mengakhiri perang. Negara-negara netral lain seperti Swiss, Swedia, dan Vatikan dikenal berniat memainkan peranan dalam membuat perdamaian, tapi mereka terlalu kecil sampai mereka tak mampu memainkan semakin dari sekadar menyampaikan syarat-syarat kapitulasi Sekutu serta penerimaan atau penolakan dari Jepang. Uni Soviet diharapkan mampu dibujuk untuk bertindak sebagai wakil pengusaha yang merundingkan Jepang dalam bernegosiasi dengan Sekutu Barat.[46]

Usaha berurusan dengan Uni Soviet

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Pada 30 Juni, Tōgō memerintahkan Duta Akbar Jepang untuk Moskwa Naotake Satō untuk berupaya membuat "hubungan persahabatan yang sempit dan tidak berkesudahan." Satō bermaksud membicarakan status Manchuria dan "masalah apa saja yang akan diangkat Rusia."[47] Satō kesudahannya berjumpa dengan Menteri Luar Negeri Soviet Vyacheslav Molotov pada 11 Juli, namun pertemuan tak menghasilkan apa-apa. Pada 12 Juli, Tōgō memerintahkan Satō untuk menyampaikan kepada Soviet bahwa,

Yang Agung Kaisar mempertimbangkan fakta bahwa perang yang sekarang dari hari ke hari membawa kemalangan dan pengorbanan untuk rakyat dari semua pihak-pihak yang bertempur, hasrat dari dalam hati supaya mampu segera dihentikan. Namun selama Inggris dan Amerika Serikat bersikeras soal penyerahan tanpa syarat, Kekaisaran Jepang tak punya pilihan lain kecuali bertempur dengan segenap tenaga untuk kehormatan dan keberlangsungan tanah air.[48]

Kaisar mengusulkan untuk mengirim Pangeran Konoe sebagai Utusan Luar Biasa, walaupun beliau tak mampu tiba di Moskwa sebelum dimulainya Konferensi Potsdam.

Satō memberi kenal Tōgō bahwa dalam kenyataan, Jepang hanya mampu mengharapkan "penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara ke situ". Semakin jauh lagi Satō menyebut bahwa pesan-pesan Tōgō "tidak jelas soal pandangan pemerintah dan militer dalam hal penghentian perang," serta mempertanyakan apakah inisiatif Tōgō didukung oleh unsur-unsur kunci dalam bangun kekuasaan Jepang.[49]

Pada 17 Juli, Tōgō menjawab,

Walaupun para penguasa, dan juga pemerintah yakin bahwa daya perang kita sedang mampu menimbulkan pukulan berfaedah terhadap musuh, kami tak mampu merasakan kedamaian hati yang betul-betul pasti. ... .. Namun, mohon betul-betul diingat, bahwa kita tak mempersilakan mediasi Rusia untuk hal-hal seperti penyerahan tanpa syarat.[50]

Dalam jawabannya, Satō memperjelas,

Sudah benda/barang tentu dalam pesan aku sebelumnya menyebut penyerahan tanpa syarat atau syarat-syarat yang hampir setara, aku membikin pengecualian soal mempertahankan [Rumah Tangga Kekaisaran].[51]

Pada 21 Juli, berucap atas nama kabinet, Tōgō mengulangi,

Mengenai soal penyerahan tanpa syarat kami tak mampu menyetujuinya berlandaskan kondisi bagaimana pun. ... .. Dalam usaha menghindari kondisi seperti itu kita sedang mencari damai, ... .. melewati jasa patut Rusia. ... .. Ditinjau dari sudut pandang dalam negeri dan luar negeri, membikin pernyataan segera tentang syarat-syarat tertentu adalah merugikan dan tak mungkin.[52]

Ahli kriptografi Amerika Serikat yang bergabung dalam Proyek Magic telah memecahkan sebagian akbar sandi Jepang, termasuk kode Purple yang dipakai oleh kantor-kantor perwakilan Jepang untuk menyandikan koresponden diplomatik. Sebagai kesudahannya, pesan antara Tokyo dan kedutaan-kedutaan Jepang bocor ke pemimpin Sekutu hampir sama cepatnya dengan penerima di alamat tujuan.[53]

Maksud-maksud Soviet

Urusan keamanan mendominasi keputusan Soviet soal Timur Jauh.[54] Di antara hasrat yang paling utama adalah mendapat akses tak terbatas ke Samudra Pasifik. Kawasan lepas pantai Soviet di Pasifik yang lepas es sepanjang tahun, khususnya Vladivostok, mampu diblokade melewati udara dan laut dari Sakhalin dan Kepulauan Kuril. Bila keduanya didapatkan berfaedah Rusia mendapat akses lepas ke Selat Soya yang memang menjadi sasaran utama.[55][56] Sasaran kedua adalah perjanjian kontrak Jalur Kereta Api Timur Jauh Cina, Jalur Kereta Api Manchuria Selatan, Dairen, dan Lushun.[57]

Untuk sampai tujuannya, Stalin and Molotov dengan semangat bernegosiasi dengan Jepang, memberikan Jepang hasrat palsu akan perdamaian dengan Uni Soviet sebagai mediator.[58] Pada saat yang bersamaan, dalam transaksi Soviet dengan Amerika Serikat dan Inggris, Soviet bersikeras untuk secara sempit menaati Deklarasi Kairo, ditegaskan kembali di Konferensi Yalta bahwa Sekutu tak akan menerima perdamaian bersyarat atau perdamaian sendiri-sendiri dengan Jepang. Kepada semua negara-negara Sekutu, Jepang harus menyerah tanpa syarat. Untuk memperpanjang perang, Uni Soviet menentang semua upaya yang dilakukan untuk memperlunak syarat-syarat kapitulasi.[58] Bila perang tak segera habis, Uni Soviet sedang punya cukup saat untuk memindahkan pasukan-pasukan mereka ke ajang perang Pasifik, untuk berikutnya mendiami Sakhalin, Kepulauan Kuril, dan probabilitas Hokkaido[59] (invasi dimulai dengan pendaratan di Rumoi, Hokkaido).[60]

Proyek Manhattan

Pada 1939, Albert Einstein dan Leó Szilárd menulis sepucuk surat kepada Presiden Roosevelt yang mendesaknya untuk mendanai penelitian dan pengembangan bom atom. Roosevelt setuju dan hasilnya adalah proyek riset sangat rahasia yang dinamakan Proyek Manhattan. Proyek ini dipimpin Jenderal Leslie Groves dengan J. Robert Oppenheimer sebagai direktur pengarah bagian ilmiah. Bom atom pertama dengan sukses diledakkan dalam percobaan Trinity 16 Juli 1945.

Sementara proyek hampir habis, pemimpin perang Amerika mulai mempertimbangkan untuk memakai bom atom terhadap Jepang. Groves membentuk komite pencari sasaran yang berjumpa pada bulan April dan Mei 1945. Komite ini menyusun daftar sasaran bom atom. Mereka menentukan 18 kota-kota di Jepang. Masuk dalam daftar di urutan paling atas adalah Kyoto, Hiroshima,[61] Yokohama, Kokura, dan Niigata.[62][63] Pada kesudahannya Kyoto dihapus dari daftar atas desakan Menteri Perang Henry L. Stimson yang pernah mengunjungi Kyoto sewaktu bulan madu, dan mengetahui kota ini sangat penting dalam bidang kebiasaan dan sejarah.[64]

Pada bulan Mei, Harry S. Truman diangkat sebagai Presiden Amerika Serikat yang baru setelah Franklin Roosevelt wafat pada 16 April 1945. Truman menyetujui pembentukan komite Interim, suatu kumpulan penasihat yang melapor mengenai bom atom.[63] Komite Interim terdiri dari George L. Harrison, Vannevar Bush, James Bryant Conant, Karl Taylor Compton, William L. Clayton, dan Ralph Austin Bard, serta ditolong dewan penasihat yang terdiri dari ilmuwan Oppenheimer, Enrico Fermi, Ernest Lawrence, dan Arthur Compton. Dalam laporan tanggal 1 Juni 1945, komite berkesimpulan bom atom harus dipakai secepat mungkin terhadap instalasi-instalasi perang berikut rumah-rumah pekerja di sekelilingnya, dan tak perlu memberi peringatan atau peragaan sebelumnya.[65]

Mandat yang diberikan kepada komite tak termasuk penggunaan bom atom, walaupun penggunaannya sudah diperkirakan bila sudah habis.[66] Komite mengkaji kembali penggunaan bom atom setelah ada protes dalam bangun Laporan Franck dari ilmuwan Proyek Manhattan. Pada rapat 21 Juni, komite menegaskan kembali bahwa tak ada alternatif lain selain memakai bom atom.[67]

Acara-acara di Potsdam

Pemimpin daya utama Sekutu berjumpa dalam Konferensi Potsdam 16 Juli-2 Agustus 1945. Uni Soviet, Kerajaan Bersatu, dan Amerika Serikat, masing-masing diganti oleh Stalin, Winston Churchill (kemudian Clement Attlee), dan Truman.

Negosiasi

Perang melawan Jepang merupakan aib satu dari berbagai isu yang diceritakan di Potsdam. Truman mendapat berita tentang suksesnya percobaan Trinity pada awal konferensi, dan menyampaikan informasi tersebut ke delegasi Inggris. Kesuksesan percobaan bom atom mengakibatkan delegasi Amerika Serikat mempertimbangkan kembali mengenai perlunya partisipasi Soviet (seperti dijanjikan di Yalta).[68] Prioritas teratas Sekutu adalah mempersingkat perang dan mengurangi korban di pihak Amerika Serikat. Kedua hal tersebut mungkin mampu ditolong dengan keadaan campur tangan Uni Soviet, namun probabilitas harus dibayar dengan membolehkan Soviet mencaplok wilayah-wilayah di luar wilayah yang dijanjikan untuk mereka di Yalta, dan mungkin Jepang akan terbagi dua seperti Jerman.[69]

Dalam kesepakatan dengan Stalin, Truman memutuskan untuk memberikan pemimpin Soviet kabar tentang keberadaan senjata baru yang kuat tanpa memberitahukan rinciannya. Namun, Sekutu lainnya tak menyadari bahwa intelijen Soviet telah menyusup dalam Proyek Manhattan pada tahap awal, sehingga ketika Stalin mengetahui keberadaan bom atom, beliau tak terkesan dengan potensinya.[70]

Deklarasi Potsdam

Pemimpin negara-negara utama Sekutu memutuskan untuk mengeluarkan pernyataan yang dinamakan Deklarasi Potsdam yang menetapkan "penyerahan tanpa syarat" dan memperjelas guna kapitulasi Jepang untuk letak kaisar dan untuk Hirohito secara pribadi. Pemerintah Amerika Serikat dan Inggris saling bertentangan mengenai butir terakhir. Amerika Serikat mau menghapus posisi kaisar dan probabilitas mengadilinya sebagai penjahat perang. Sebaliknya, Inggris mau mempertahankan posisi kaisar, mungkin dengan Hirohito yang tetap bertahta. Pernyataan-pernyataan dalam rancangan Deklarasi Potsdam mengalami berbagai revisi sebelum versi yang diterima kedua belah pihak habis.[71]

Pada 26 Juli 1945, Amerika Serikat, Inggris, dan Cina merilis Deklarasi Potsdam yang mengandung syarat-syarat kapitulasi Jepang dengan peringatan, "Kami tak akan menyimpang dari ketentuan-ketentuan ini. Tak ada alternatif. Kami tak membolehkan keadaan penundaan." Untuk Jepang, deklarasi menetapkan syarat-syarat sebagai berikut:

  • Penghapusan "selama-lamanya dari kekuasaan dan pengaruh tokoh-tokoh yang telah menipu dan menyesatkan rakyat Jepang ke arah dimulainya penaklukan dunia"
  • Pendudukan "titik-titik dalam wilayah Jepang yang akan ditentukan oleh Sekutu"
  • "Kedaulatan Jepang akan dibatasi pada pulau-pulau Honshu, Hokkaido, Kyushu, dan Shikoku, serta pulau-pulau kecil seperti yang kami tetapkan." Seperti telah diumumkan dalam Deklarasi Kairo 1943, wilayah-wilayah Jepang akan disita sampai wilayah sebelum perang, termasuk Korea dan Taiwan, begitu pula wilayah-wilayah yang dijajahnya baru-baru ini.
  • "Daya militer Jepang harus sepenuhnya dilucuti"
  • "Keadilan yang keras harus dijatuhkan kepada semua penjahat perang, termasuk semua yang telah memainkan kekejaman terhadap orang kita yang ditawan".
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Di lain pihak, deklarasi menegaskan bahwa:

  • "Kami tak bermaksud memperbudak Jepang sebagai suatu ras atau menghancurkannya sebagai suatu bangsa, ... .. Pemerintah Jepang harus menghapus semua penghalang untuk kebangkitan dan makin menguatnya kecenderungan demokrasi di antara rakyat Jepang. Kebebasan berucap, beragama, dan berpikir, begitu pula peghormatan untuk hak asasi manusia yang fundamental harus ditegakkan."
  • "Jepang harus dibolehkan memiliki industri-industri yang akan menunjang ekonomi dan memungkinkan untuk membayar tuntutan pampasan yang serupa dan berpihak kepada yang ada, ... .. Partisipasi Jepang dalam hubungan dagang internasional harus dibolehkan."
  • "Kesatuan pendudukan Sekutu akan ditarik dari Jepang segera setelah tujuan-tujuan tersebut dicapai dan telah berdirinya suatu pemerintahan yang bertanggung jawab dan ada tujuan damai berlandaskan dengan hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas."

Satu-satunya pasal yang menyebut tentang "penyerahan tanpa syarat" dicantumkan pada kesudahan deklarasi:

  • "Kami mengimbau pemerintah Jepang untuk mencetuskan sekarang juga kapitulasi tanpa syarat dari semua angkatan bersenjata Jepang, dan untuk memperlihatkan jaminan yang cukup dan layak atas maksud patut mereka terhadap hal tersebut. Pilihan lain untuk Jepang adalah "penghancuran sepenuhnya dan segera."

Tak dituturkan tentang Kaisar Hirohito apakah termasuk ke dalam aib satu dari tokoh yang "menyesatkan rakyat Jepang", atau juga seorang penjahat perang, bahkan sebaliknya bagian dari "pemerintah yang bertanggung jawab dan berharapan damai". Pasal "penghancuran sepenuhnya dan segera" probabilitas adalah peringatan terselubung soal kepemilikan bom atom oleh Amerika Serikat (yang telah dicobakan dengan sukses pada ahad konferensi).[72]

Reaksi Jepang

Pada 27 Juli, pemerintah Jepang menimbang-nimbang cara menanggapi Deklarasi Potsdam. Empat tokoh militer dari Dewan Penasihat Militer bermaksud menolaknya, tapi Tōgō membujuk kabinet untuk tak memainkannya sampai beliau mendapat reaksi dari Uni Soviet. Dalam suatu telegram, Duta Akbar Jepang untuk Swiss Shunichi Kase berpendapat bahwa penyerahan tanpa syarat hanya berlangsung untuk militer dan bukan untuk pemerintah atau rakyat, dan beliau minta supaya dipahami bahwa pemilihan bahasa yang hati-hati dalam Deklarasi Potsdam sepertinya "telah mengalami pemikiran yang mendalam" dari pihak pemerintah-pemerintah yang menandatanganinya--"mereka rupa-rupanya telah bersusah payah berupaya menyelamatkan muka kita pada berbagai pasal-pasal."[73] Pada hari berikutnya, surat-surat kabar Jepang melaporkan bahwa Jepang telah menolak pokok Deklarasi Potsdam yang sebelumnya telah disiarkan dan dijatuhkan sebagai selebaran udara di atas Jepang. Dalam usaha mengatasi persepsi publik, Perdana Menteri Suzuki berjumpa dengan pers, dan memberi pernyataan,

Aku menganggap Proklamasi Bersama sebagai pengulangan kembali Deklarasi di Konferensi Kairo. Mengenai hal tersebut, Pemerintah tak menganggapnya memiliki nilai penting sama sekali. Aib satu hal yang mampu dilakukan adalah mengabaikannya (mokusatsu). Kami tak akan memainkan apa-apa kecuali menanggungnya sampai kesudahan untuk mendatangkan kesudahan perang yang sukses.[74]

Guna kata mokusatsu adalah mengabaikan atau tak menanggapi.[74] Walaupun demikian, pernyataan Suzuki, terutama kalimat terakhir hanya menyisakan sedikit ruang untuk interpretasi yang aib. Pers Jepang dan pers luar negeri mengartikannya sebagai penolakan, dan tak ada pernyataan semakin lanjut yang disampaikan ke muka umum atau arus diplomatik untuk mengubah kesalahpahaman ini.

Pada 30 Juli, Duta Akbar Satō menulis bahwa Stalin probabilitas sedang berucap dengan Sekutu Barat mengenai transaksinya dengan Jepang. Menurut Satō, "Tak ada alternatif selain penyerahan tanpa syarat dengan segera bila kita mau mencegah partisipasi Rusia dalam perang."[75] Pada 2 Agustus, Tōgō menulis kepada Satō, "Sulit untuk Anda untuk mewujudkan hal itu ... .. terbatas saat kita untuk berlangsung ke persiapan mengakhiri perang sebelum musuh mendarat di pulau-pulau utama Jepang, di lain pihak sulit untuk memutuskan syarat-syarat damai yang nyata di tanah air secara sekaligus."[76]

Hiroshima, Manchuria, dan Nagasaki

Hiroshima: 6 Agustus

Kesukaran mendengarkan berkas ini? Lihat bantuan.

Pagi 6 Agustus 1945, pesawat pengebom B-29 Enola Gay yang diterbangkan Kolonel Paul Tibbets menjatuhkan suatu bom atom di kota Hiroshima, sebelah barat daya Pulau Honshu. Sepanjang hari itu berbagai laporan yang membingungkan sampai di Tokyo bahwa Hiroshima telah menjadi korban agresi udara yang meratakan kota dengan "ledakan dahsyat dan kilatan yang membutakan". Tak lama kemudian Jepang menerima siaran radio Presiden Truman yang mengumumkan penggunaan bom atom yang pertama kali, dan berjanji,

Kita sekarang siap untuk memusnahkan dengan cepat dan secara tuntas setiap usaha produktif yang dimiliki Jepang di atas permukaan tanah di setiap kota. Kita akan menghancurkan dok-dok mereka, pabrik-pabrik mereka, dan komunikasi mereka. Kita tegaskan sekali lagi; kita akan secara tuntas menghancurkan daya Jepang untuk bertempur. Hal itu untuk menyelamatkan rakyat Jepang dari kehancuran total berlandaskan ultimatum 26 Juli yang dikeluarkan di Potsdam. Pemimpin-pemimpin mereka dengan segera menolak ultimatum. Bila mereka sekarang tak menerima syarat-syarat kita, mereka tinggal menunggu hujan kehancuran dari udara, tak seperti apa yang pernah mereka saksikan di atas muka bumi ini.... [77]

Pada awal mulanya, sebagian orang tak percaya Amerika Serikat telah membikin bom atom. Jepang kenal ada tentang betapa sulitnya membikin bom atom. Angkatan Laut dan Angkatan Darat Kekaisaran Jepang masing-masing memiliki program bom atom secara terpisah sampai makin mempersulit usaha mereka.[78] Kepala Staf Umum Angkatan Laut Admiral Soemu Toyoda menyebut bila memang ada Amerika Serikat sudah membikin suatu satu bom, mereka sekarang sudah tak punya lagi.[79] Ahli strategi Amerika Serikat yang menanti reaksi seperti Toyoda, merencanakan untuk menjatuhkan suatu bom atom kedua tak lama setelah bom atom pertama untuk meyakinkan Jepang bahwa Amerika Serikat punya banyak persediaan.[80][81]

Invasi Soviet dan Nagasaki: 8-9 Agustus

Tokyo menerima laporan terinci tentang skala kehancuran yang tak diduga sebelumnya di Hiroshima. Namun dua hari telah lewat sebelum pemerintah mengadakan pertemuan untuk menimbang-nimbang situasi yang sudah berubah. Pukul 04.00 tanggal 9 Agustus 1945, Tokyo menerima berita bahwa Uni Soviet telah melanggar Pakta Netralitas,[33] mencetuskan perang terhadap Jepang,[82] dan melancarkan invasi ke Manchuria.[83]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Kejutan ganda berupa Hiroshima yang dijatuhi bom atom dan invasi Soviet langsung mengubah sikap Perdana Menteri Suzuki dan Menteri Luar Negeri Tōgō Shigenori secara drastis. Keduanya sepakat pemerintah harus segera mengakhiri perang.[84] Namun, pemimpin senior Angkatan Darat Kekaisaran Jepang menanggapi pengeboman Hiroshima dan invasi Soviet secara tenang, dan sangat meremehkan skala agresi. Mereka memulai persiapan untuk memberlakukan darurat militer dengan dukungan Menteri Perang Korechika Anami dengan maksud menghentikan siapa pun yang mencoba berbaik.[85] Hirohito memerintahkan Kido untuk "mengendalikan situasi dengan cepat" karena "Uni Soviet sudah mencetuskan perang dan hari ini telah memulai peperangan terhadap kami."[86]

Dewan Penasihat Militer berjumpa pada pukul 10.30. Suzuki yang baru tiba dari pertemuan dengan Kaisar berucap bahwa melanjutkan perang sudah tak mungkin. Tōgō Shigenori menyebut bahwa mereka mampu menerima syarat-syarat Deklarasi Postdam, tapi mereka perlu jaminan mengenai posisi Kaisar. Menteri Angkatan Laut Yonai berucap bahwa mereka harus membikin beberapa proposal diplomatik. Mereka tak mampu lagi menunggu kesempatan yang semakin patut.

Di tengah-tengah rapat, tak lama setelah pukul 11.00 datang berita Nagasaki di pesisir barat Kyushu telah dijatuhi bom atom kedua ("Fat Man") oleh Amerika Serikat. Sampai rapat habis, pendapat enam bagian Dewan Penasihat Militer terbelah menjadi 3 lawan 3. Suzuki, Tōgō, dan Admiral Yonai menentukan usulan Tōgō untuk menambah satu syarat tambahan di Deklarasi Potsdam. Sebaliknya Jenderal Anami, Umezu, dan Admiral Toyoda bersikeras untuk menambah tiga syarat-syarat semakin lanjut yang merevisi Potsdam: Jepang mengurusi pelucutan aku, Jepang mengurusi semua penjahat perang Jepang, dan tak boleh ada pendudukan atas Jepang.[87]

Setelah pemboman atom Nagasaki, Truman memberikan pernyataan lain:

Pemerintahan Britania, China, dan Amerika Serikat telah memberikan cukup peringatan kepada Jepang mengenai apa yang dipersiapkan untuk mereka. Kita telah memberikan syarat-syarat umum untuk mereka untuk menyerah. Peringatan tersebut diabaikan; syarat-syarat kita pun dihalau. Sejak saat itu, Jepang telah menyaksikan apa yang mampu dilakukan oleh bom atom kita. Mereka bisa meramalkan apa yang akan dilakukan bom tersebut di masa depan.

Alam akan mencatat mencatat bahwa bom atom pertama dijatuhkan di Hiroshima, suatu pangkalan militer. Itu karena kita berkeinginan bahwa agresi pertama ini sebisa mungkin menghindari pembunuhan warga sipil . Tapi agresi itu hanya peringatan mengenai apa yang akan datang. Jika Jepang tak menyerah, bom harus dijatuhkan di industri-industri perangnya, dan sayangnya ribuan nyawa warga sipil akan melayang. Aku mendorong warga sipil Jepang untuk segera meninggalkan kota-kota industri dan menyelamatkan diri dari kehancuran.

Aku menyadari pentingnya bom atom yang tragis ini.

Produksi dan penggunaannya tak dianggap enteng oleh Pemerintah ini. Tapi kita kenal bahwa musuh-musuh kita mencarinya. Sekarang kita kenal mereka nyaris mendapatnya. Dan kita kenal bencana yang akan menimpa Bangsa ini, dan semua bangsa yang cinta damai, semua peradaban, jika mereka telah menemukannya terlebih dahulu.

Itulah karenanya kita merasa terdorong untuk memainkan upaya penemuan dan produksi yang panjang dan tak pasti dan memakan biaya.

Kita memenangkan aduan penemuan melawan Jerman.

Setelah menemukan bom kita telah memakainya. Kita telah memakainya terhadap mereka yang menyerang kita tanpa peringatan di Pearl Harbor, terhadap mereka yang membikin kelaparan dan memukuli dan menghukum mati tahanan perang Amerika, terhadap mereka yang tak mematuhi hukum peperangan internasional. Kita telah memakainya untuk memperpendek penderitaan perang, untuk menyelamatkan ribuan nyawa pemuda Amerika.

Kita akan terus memakainya sampai kita benar-benar menghancurkan kemampuan Jepang dalam bertempur. Hanya kapitulasi Jepang yang akan menghentikannya.[88]

Campur tangan istana, reaksi Sekutu, dan jawaban Jepang

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Menteri Perang Korechika Anami

Rapat kabinet lengkap dilangsungkan mulai pukul 14.30 tanggal 9 Agustus 1945. Sebagian akbar saat rapat diselesaikan untuk memperdebatkan soal kapitulasi. Seperti halnya Dewan Penasihat Militer, pendapat kabinet terpecah dua. Sikap Tōgō atau pun sikap Anami masing-masing tak mendapat dukungan mayoritas.[89] Anami menyebut kepada menteri kabinet yang lain bahwa, sewaktu disiksa, seorang pilot B-29 Amerika Serikat yang tertangkap menyebut kepada para interogator bahwa Amerika Serikat memiliki 100 bom atom dan Tokyo serta Kyoto akan dijatuhi bom "dalam beberapa hari berikut". Pilot Marcus McDilda memang berbohong. Beliau sama sekali tak kenal tentang Proyek Manhattan, dan hanya menyebut hal tersebut kepada para interogator karena itulah yang dia pikir mereka mau dengar supaya penyiksaan segera habis. Kebohongan McDilda yang mengakibatkan dirinya diklasifikasikan sebagai tawanan perang prioritas tinggi, probabilitas telah menyelamatkan dirinya dari hukuman penggal.[90] Pada kenyataannya, bom atom ketiga Amerika Serikat akan siap untuk dipakai sekitar 19 Agustus, dan bom atom keempat pada bulan September 1945.[91] Bom atom ketiga probabilitas akan dijatuhkan di Tokyo.[92]

Rapat kabinet ditunda pada pukul 17.30 tanpa ada konsensus. Rapat kedua berlangsung dari pukul 18.00 sampai 22.00 juga habis tanpa konsensus. Setelah rapat kedua habis, Suzuki dan Tōgō berjumpa Kaisar, dan Suzuki mengusulkan rapat kekaisaran darurat yang dimulai sesaat sebelum tengah malam pada malam 9-10 Agustus.[93] Suzuki mengajukan proposal empat syarat Anami sebagai konsensus yang diambil Dewan Penasihat Militer. Bagian dewan yang lainnya ikut bersuara, seperti halnya Hiranuma Kiichirō, ketua Penasihat Kaisar yang menjelaskan ketidakmampuan Jepang untuk mempertahankan aku dan juga menceritakan masalah dalam negeri seperti kekurangan bahan makanan. Kabinet berdebat, namun tak menghasilkan konsensus. Pada kesudahannya, sekitar pukul 02.00 (10 Agustus 1945), Suzuki lalu bertanya kepada Kaisar Hirohito mempersilakannya untuk menentukan di antara dua sikap. Walaupun pernyataan Kaisar tak direkam, berlandaskan akal para peserta rapat, berikut ini adalah pernyataan Kaisar Hirohito:

Aku telah berpikir serius tentang situasi sekarang di tanah air dan luar negeri, serta telah berkesimpulan bahwa meneruskan perang hanya mampu berfaedah penghancuran bangsa dan perpanjangan pertumpahan darah dan kekejaman di alam. Aku tak tahan melihat rakyat tak berdosa menderita semakin lama lagi. ... ..

Aku sebelumnya diberi kenal oleh pihak-pihak yang mendukung perpanjangan peperangan bahwa pada bulan Juni divisi baru akan diletakkan di posisi-posisi perbentengan [timur Tokyo] siap menanti penyerbu ketika mereka tiba. Sekarang sudah bulan Agustus dan fortifikasi sedang belum habis. ... ..

Ada pihak yang menyebut kunci keberlangsungan negara terletak pada pertempuran menentukan di tanah air. Namun, pengalaman masa lalu menunjukkan selalu ada ketidaksesuaian antara rencana dan hasilnya. Aku tak percaya bahwa ketidaksesuaian dalam kasus Kujukuri mampu dikoreksi. Mengingat ini adalah kecenderungan yang akan terus terjadi, bagaimana kita mampu mengusir para penyerbu?[Beliau lalu menyebut beberapa contoh spesifik tentang meningkatnya daya destruktif bom atom]

Sudah benda/barang tentu tak tertahankan untuk aku untuk melihat dilucutinya prajurit Jepang yang setia dan berani. Begitu pula sama tak tertahankannya membiarkan prajurit yang telah mengabdi kepada aku dihukum sebagai provokator perang. Meskipun begitu, saatnya telah tiba untuk menanggung derita yang tak tertahankan. ... ..

Aku menelan air mata dan memberikan persetujuan untuk usulan tersebut dan menerima proklamasi Sekutu berlandaskan garis akbar yang dibicarakan Menteri Luar Negeri.[94]

Menurut Jenderal Sumihisa Ikeda dan Admiral Zenshirō Hoshina, Ketua Dewan Penasihat Kaisar Hiranuma Kiichirō kemudian menghadap ke arah kaisar dan bertanya: "Yang Mulia, Yang Agung juga bertanggung jawab (sekinin) atas kekalahan ini. Permintaan maaf seperti apa yang akan diajukan kepada pendiri kekaisaran dan para leluhur kekaisaran lainnya?"[95]

Setelah Kaisar meninggalkan ruangan, Suzuki mendesak kabinet untuk menerima hasrat Kaisar dan sukses. Dini hari 10 Agustus 1945, Kementerian Luar Negeri mengirimkan telegram ke Sekutu (melalui Departemen Politik Federal Swiss dan khususnya Max Grässli) mengumumkan bahwa Jepang menerima Deklarasi Potsdam tapi tak akan menerima syarat-syarat apa pun yang akan "merugikan hak prerogatif" kaisar. Hal tersebut berfaedah tak keadaan perubahan dalam bangun pemerintahan di Jepang[96], bahwa Kaisar Jepang tetap dalam posisinya memegang kekuasaan sebenarnya di dalam pemerintahan.[97]

12 Agustus

Jawaban Sekutu ditulis oleh James F. Byrnes dan disetujui oleh pemerintah Inggris, Cina, dan Uni Soviet, walaupun Uni Soviet setuju dengan rasa enggan. Sekutu mengirimkan balasan (lewat Departemen Urusan Politik Swiss) atas penerimaan Jepang terhadap Deklarasi Potsdam pada 12 Agustus 1945. Mengenai status kaisar, dicantumkan,

Mulai dari saat kapitulasi, kekuasaan kaisar dan Pemerintah Jepang untuk mengatur negara akan tunduk kepada Komandan Tertinggi Sekutu yang akan mengambil langkah-langkah yang menurutnya layak berlandaskan dengan syarat-syarat kapitulasi yang berlangsung. ... .. Bangun kesudahan pemerintahan Jepang akan, berlandaskan dengan Deklarasi Potsdam, akan didirikan oleh hasrat rakyat Jepang yang diungkapkan secara lepas.[98]

Presiden Truman memerintahkan operasi-operasi militer (termasuk pengeboman B-29) supaya diteruskan sampai pernyataan resmi kapitulasi Jepang diterima. Namun, para koresponden berita dengan aib menginterpretasikan komentar Carl Andrew Spaatz tentang B-29 yang tak lagi diterbangkan pada 11 Agustus (karena cuaca buruk) sebagai pernyataaan bahwa gencatan senjata sudah berlangsung. Dalam usaha menghindari pihak Jepang mendapat bekas Sekutu telah mengabaikan usaha-usaha perdamaian dan meneruskan pengeboman, Truman kemudian memerintahkan penghentian pengeboman.[99][100]

Kabinet Jepang mempertimbangkan jawaban Sekutu, dan Suzuki berpendapat bahwa mereka harus menolaknya dan bertahan pada jaminan eksplisit soal sistem kekaisaran. Anami kembali ke sikap dirinya bahwa tak akan ada pendudukan atas Jepang. Setelah itu, Tōgō menyebut kepada Suzuki bahwa hasrat mendapat syarat-syarat yang semakin patut sudah tak ada, dan Kido menyampaikan hasrat Kaisar supaya Jepang menyerah. Dalam pertemuan dengan Kaisar, Yonai mengemukakan keprihatinannya mengenai kerusuhan sipil yang makin bertambah,

Aku kira syaratnya tak pantas, tapi bom-bom atom dan masuknya Soviet ke dalam perang, pada hakikatnya, adalah hadiah dari langit. Dengan demikian kita tak perlu menyebut bahwa kita selesai perang karena masalah dalam negeri.[101]

Pada hari itu, Hirohito menyampaikan kepada keluarga kekaisaran tentang keputusannya untuk menyerah. Aib seorang pamannya, Pangeran Asaka lalu bertanya apakah perang akan terus berlangsung bila kokutai (struktur negara/pemerintahan nasional) tak mampu dipertahankan. Kaisar dengan singkat menjawab "tentu saja".[102][103]

1314 Agustus

Dewan Penasihat Militer dan kabinet menghabiskan sepanjang hari 13 Agustus berdebat mengenai jawaban mereka atas tanggapan Sekutu, namun hasilnya sedang buntu. Sementara itu, Sekutu makin bertambah ragu-ragu menunggu jawaban Jepang. Pihak Jepang telah diinstruksikan untuk menjawab dalam teks polos, tapi ternyata menjawab dalam pesan tersandi.

Peningkatan lalu lintas komunikasi diplomatik dan militer juga dideteksi oleh Sekutu yang mengartikannya sebagai bukti Jepang sedang menyiapkan suatu "serangan banzai habis-habisan". Presiden Truman memerintahkan dilanjutkannya agresi udara terhadap Jepang dalam intensitas maksimum "sehingga bisa meyakinkan pejabat-pejabat Jepang bahwa kita sungguh-sungguh dan serius dalam membikin mereka menerima usulan damai kita tanpa ditunda."[104][105] Armada Ketiga Amerika Serikat mulai menembakkan meriam-meriamnya ke pantai Jepang. Dalam agresi udara terbesar sepanjang sejarah Perang Pasifik, Amerika Serikat mengerahkan semakin dari 400 pengebom B-29 untuk menyerang Jepang sepanjang hari 14 Agustus 1945, dan menambahnya lagi dengan 300 pesawat pengebom pada malam itu.[106] Total 1.014 pesawat dikerahkan dan semuanya kembali dengan selamat.[107] Dalam misi pengeboman terpanjang dalam sejarah perang,[108] B-29 dari Skuadrom Bombardemen 315 terbang 3.800 mil untuk menghancurkan pengilangan Nippon Oil Company di Tsuchizaki yang terletak di ujung utara Honshu. Pengilangan minyak tersebut merupakan satu-satunya pengilangan minyak Jepang yang sedang beroperasi di Jepang dan menghasilkan 67% dari kebutuhan minyak Jepang.[109] Seusai perang, agresi udara mampu dibenarkan asalkan mereka sudah berangkat ketika pernyataan kapitulasi Jepang diterima, namun hal ini hanya sebagian yang ada.[110]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Selebaran yang dijatuhkan di Jepang setelah pengeboman atom Hiroshima. Dalam selebaran ditulis, sebagian isi: Rakyat Jepang sedang menghadapi musim gugur yang sangat penting. Tiga belas pasal mengenai penyerahan diberikan kepada pemimpin-pemimpin militer Anda sekalian oleh kami, aliansi tiga negara untuk mengakhiri perang yang sia-sia ini. Usulan ini diabaikan oleh pemimpin-pemimpin militer Anda sekalian.... Amerika Serikat telah mengembangkan bom atom, yang tak pernah dicobakan terhadap negara mana pun sebelumnya. Kami telah memutuskan untuk memakai bom yang mengerikan ini. Satu bom atom memiliki daya destruktif sama dengan 2000 pesawat B-29."

Atas saran ahli operasi psikologis Amerika Serikat, pesawat-pesawat B-29 diberangkatkan pada 13 Agustus untuk menjatuhkan selebaran-selebaran di atas Jepang, menjelaskan ralyat Jepang tentang tawaran untuk menyerah dan sikap Sekutu.[104] Selebaran-selebaran ini berdampak drastis terhadap proses pengambilan keputusan Jepang. Pada dini hari 14 Agustus, Suzuki, Kido, dan Kaisar Hirohito menyadari bahwa hari itu akan habis dengan diterimanya syarat-syarat Amerika Serikat atau suatu kudeta militer.[111] Kaisar berjumpa dengan perwira angkatan darat dan angkatan laut paling senior. Sementara beberapa di antaranya menentukan untuk terus berjuang, namun tak demikian halnya dengan Marsekal Lapangan Shunroku Hata. Sebagai komandan Angkatan Darat Umum Kedua yang bermarkas di Hiroshima, Hata memerintahkan semua pasukannya mempertahankan bagian selatan Jepang. Mereka dikerahkan untuk bertempur dalam "pertempuran menentukan". Hata menyebut dirinya tak yakin mampu memukul daya invasi dan tak mempermasalahkan keputusan Kaisar. Kemudian Kaisar mempersilakan para pemimpin militer untuk memainkan pekerjaan sama dengannya mengakhiri perang.[111]

Dalam konferensi dengan menteri kabinet dan penasihat lainnya, Anami, Toyoda, dan Umezu sekali lagi mengemukakan hasratnya untuk meneruskan perang, tapi kemudian Kaisar berkata,

Aku telah mendengar baik-baik masing-masing pendapat yang diajukan untuk menolak sikap Jepang yang harus menerima jawaban Sekutu seperti apa keadaan dan tanpa klarifikasi semakin lanjut atau modifikasi, tapi pemikiran-pemikiran diri aku sendiri belum mengalami perubahan. ... .. Supaya keputusan aku bisa dikenal rakyat, aku memerintahkan untuk segera menyiapkan perintah kaisar sehingga aku mampu menyiarkannya ke seluruh negeri. Pada kesudahannya, aku mengimbau kepada Anda sekalian untuk berupaya segiat mungkin sehingga kita mampu berjumpa pada hari-hari penuh cobaan yang segera tiba.[112]

Kabinet segera memainkan rapat dan dengan suara bulat meratifikasi hasrat Kaisar. Mereka juga memutuskan untuk menghancurkan sebagian akbar dokumen yang berkaitan dengan kejahatan perang dan tanggung jawab perang dari para pemimpin-pemimpin tertinggi Jepang.[113][114] Segera seusai konferensi, Kementerian Luar Negeri mengirimkan perintah-perintah ke kedutaan di Swiss dan Swedia untuk menerima syarat-syarat kapitulasi yang ditentukan Sekutu. Pesan-pesan ini ditangkap dan diterima di Washington pada pukul 02.49 tanggal 14 Agustus 1945.[112]

Naskah Perintah Kekaisaran habis pada pukul 19.00, ditulis oleh ahli kaligrafi resmi istana, dan dibawa ke menteri kabinet untuk ditandatangani. Sekitar pukul 23.00, Kaisar Hirohito dengan bantuan seorang awak rekaman NHK membikin suatu rekaman gramafon mengandung pembacaan pidato naskah Perintah Kekaisaran tentang kapitulasi.[115] Rekaman tersebut diberikan kepada pengurus rumah tangga istana Yoshihiro Tokugawa yang menyembunyikannya dalam tempat penyimpanan di kantor sekretaris Permaisuri Kōjun.[116]

Percobaan kudeta militer (12 Agustus-15 Agustus)

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Larut malam 12 Agustus 1945, Mayor Kenji Hatanaka bersama Letnan Kolonel Masataka Ida, Masahiko Takeshita (ipar Anami), dan Inaba Masao, serta Kepala Bagian Urusan Militer Kolonel Okitsugu Arao berucap kepada Menteri Perang Korechika Anami[117] mengharapkan dukungan Anami, dan memohon kepadanya untuk memainkan apa saja yang mampu beliau lakukan untuk menghalangi diterimanya Deklarasi Potsdam. Jenderal Anami menolak untuk menyebut apakah dirinya mau menolong perwira-perwira muda yang mau memberontak.[118] Mereka sangat membutuhkan dukungan Anami, oleh karenanya mereka tak memiliki pilihan lain selain meneruskan rencana dan berupaya memainkan kudeta dengan daya sendiri. Hatanaka menghabiskan sebagian akbar 13 Agustus dan pagi 14 Agustus mengumpulkan rekan-rekan yang bersimpati, mencari dukungan dari pejabat tinggi di kementerian, dan menyempurnakan rencana kudetanya.[119]

Tak lama setelah bubarnya konferensi pada malam 13-14 Agustus yang memutuskan Jepang untuk menyerah, sekelompok perwira senior angkatan darat, termasuk Anami bersama-sama menjadi satu kumpulan di ruangan yang berdekatan. Perwira yang ada cemas mengenai probabilitas kudeta (karena probabilitas sedang dipikirkan oleh beberapa perwira yang hadir) untuk menghalangi penyerahan Jepang. Setelah terdiam, Jenderal Torashirō Kawabe mengusulkan supaya semua perwira senior yang ada menandatangani kesepakatan untuk melaksanakan kapitulasi seperti diperintahkan Kaisar, "Angkatan darat akan bertindak berlandaskan dengan keputusan kekaisaran sampai titik kesudahan." Surat kesepakatan tersebut ditandatangani oleh semua perwira berpangkat tinggi yang ada, termasuk Anami, Hajime Sugiyama, Yoshijirō Umezu, Kenji Doihara, Torashirō Kawabe, Masakazu Kawabe, dan Tadaichi Wakamatsu. "Selain pengumuman Anami, kesepakatan tertulis perwira-perwira angkatan darat paling senior berfungsi sebagai rem melawan setiap setiap usaha memainkan kudeta di Tokyo."[120]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Kudeta gagal setelah Shizuichi Tanaka meyakinkan perwira pemberontak untuk pulang ke rumah. Tanaka bunuh diri 9 hari kemudian.

Sekitar pukul 21.30 tanggal 14 Agustus 1945, kumpulan pemberontak pimpinan Hatanaka mulai memainkan usaha. Resimen Kedua dari Penjaga Kekaisaran Pertama telah memasuki kawasan istana sebagai tambahan untuk batalion sebelumnya. Probabilitas mereka dikerahkan sebagai perlindungan ekstra melawan pemberontakan Hatanaka. Namun, Hatanaka bersama Letnan Kolonel Jirō Shiizaki meyakinkan komandan Penjaga Kekaisaran Pertama, Letnan Kolonel Haga Toyojirō mengenai tujuan-tujuan mereka. Letkol Haga diberi kenal (bukan kondisi sebenarnya) bahwa Anami, Umezu, dan para komandan Angkatan Darat Distrik Timur, serta berbagai Divisi Penjaga Kekaisaran mendukung rencana mereka. Hatanaka juga pergi menemui Shizuichi Tanaka, komandan angkatan darat wilayah timur. Beliau berupaya membujuk Tanaka supaya mau menolong kudeta, namun dihalau. Hatanaka diperintahkannya pulang ke rumah, namun perintah ini diabaikannya.[116]

Pada awal mulanya, Hatanaka berkeinginan hanya dengan menunjukkan pemberontakan sudah dimulai dengan cara menguasai istana, para prajurit angkatan darat akan tergerak dan bangun melawan usaha penyerahan Jepang. Prinsip ini terus dipegangnya sampai hari-hari terakhir dan jam-jam terakhir sebagai optimisme buta. Rencana terus dijalankannya walaupun hanya sedikit didukung oleh atasan. Hatanaka dan rekan-rekan memutuskan para penjaga akan mengambil alih istana pada pukul 02.00. Jam-jam pergantian penjaga diselesaikan mereka mencoba untuk meyakinkan atasan di angkatan darat untuk bergabung dengan kudeta. Hampir pada saat yang bersamaan, Jenderal Anami memainkan seppuku dengan meninggalkan pesan "Aku dengan kematianku, dengan rendah hati memohon ampun kepada Kaisar untuk kejahatan besar".[121] Sampai sekarang tak jelas apakah kejahatan yang dimaksud adalah kalah dalam perang atau memainkan kudeta.[122]

Beberapa saat sebelum pukul 01.00, Hatanaka dan anak buahnya mengepung istana. Hatanaka, Letnan Kolonel Shiizaki, dan Kapten Shigetarō Uehara (dari Akademi Angkatan Udara) pergi ke kantor Letnan Jenderal Takeshi Mori untuk mempersilakannya mendukung kudeta. Mori sedang rapat dengan kakak ipar bernama Michinori Shiraishi. Kerja sama Mori yang menjabat komandan Divisi Penjaga Kekaisaran Pertama sangat penting untuk kesuksesan kudeta. Setelah ternyata menolak menolong kudeta, Mori dibunuh oleh Hatanaka yang takut Mori memerintahkan korps Penjaga Kekaisaran untuk menghentikan pemberontakan.[123] Uehara membunuh Shiraishi yang menjadi korban tewas kedua dan terakhir pada malam itu. Hatanaka kemudian memakai stempel resmi Jenderal Mori untuk menandatangani Perintah Strategis Divisi Penjaga Kekaisaran No. 584. Perintah ini meningkatkan banyak pasukan penjaga Istana Kekaisaran dan Kementerian Rumah Tangga Kekaisaran, dan "melindungi" Kaisar.[124]

Polisi istana dilucuti dan semua gerbang masuk diblokir.[115] Sepanjang malam itu, pasukan pemberontak pimpinan Hatanaka menangkap dan menahan delapan belas orang, termasuk staf kementerian dan awak radio NHK yang dikirim untuk merekam pidato penyerahan Jepang.[115]

Pemberontak di bawah pimpinan Hatanaka, menghabiskan beberapa jam berikutnya dengan tanpa hasil mencari Menteri Rumah Tangga Kekaisaran Sotaro Ishiwatari, Penjaga Cap Pribadi Kaisar Koichi Kido, dan rekaman pidato penyerahan Jepang. Keduanya bersembunyi di bawah "ruang lemari besi", suatu kamar akbar di bawah Istana Kaisar.[125][126] Usaha pencarian yang dilakukan Hatanaka makin sulit setelah terjadi pemadaman lampu untuk menghindari agresi udara Sekutu, bangun organisasi yang lawas, dan tata letak Kementerian Rumah Tangga Istana. Sebagian dari nama-nama ruangan tak dikenal oleh para pemberontak. Tokugawa yang menjabat pengurus rumah tangga istana ditangkap oleh pemberontak. Walaupun Hatanaka mengancam untuk merobek pokok perutnya dengan katana, Tokugawa berbohong dan menyebut dirinya tak kenal tempat rekaman tersebut dan tempat persembunyian orang yang sedang dicari.[127][128] Sewaktu sedang mencari-cari, prajurit pemberontak memutuskan hampir semua kabel telepon. Komunikasi terputus antara tawanan di istana dan alam luar.

Pada malam itu di Yokohama, kumpulan lain yang bersimpati dengan Hatanaka di bawah pimpinan Kapten Takeo Sasaki pergi ke kantor Perdana Menteri Suzuki dengan maksud membunuhnya. Ketika menemui kantor sedang kosong, mereka menembakinya dengan senapan mesin dan membakar gedung sebelum pulang ke rumah. Suzuki mendapat peringatan dari Hisatsune Sakomizu dan melarikan diri beberapa menit sebelum para pemberontak tiba. Setelah membakar rumah Suzuki, para pemberontak pergi ke rumah Kiichirō Hiranuma untuk membunuhnya. Hiranuma kabur lewat pintu samping, dan rumahnya dibakar para pemberontak. Sisa malam di bulan Agustus 1945 diselesaikan Suzuki di bawah perlindungan polisi, setiap malamnya tidur di tempat tidur berbeda-beda.[127][129]

Sekitar pukul 03.00, Hatanaka mendapat informasi dari Letnan Kolonel Masataka Ida bahwa Angkatan Darat Distrik Timur sedang menuju istana untuk menghentikan kudeta, dan Hatanaka harus menyerah.[130][131] Pada kesudahannya setelah melihat rencananya berantakan, Hatanaka mencoba tawar menawar dengan Kepala Staf Angkatan Darat Distrik Timur Tatsuhiko Takashima untuk paling tak memberinya sepuluh menit mengudara di radio NHK. Beliau mau menjelaskan kepada rakyat Jepang apa yang sedang diusahakan berikut argumennya. Permintaan Hatanaka dihalau.[132] Komandan Resimen Kedua Penjaga Kekaisaran Pertama mengetahui bahwa angkatan darat tak terletak di belakangan pemberontakan ini. Hatanaka diperintahkannya untuk meninggalkan kawasan istana.

Beberapa saat sebelum pukul 05.00, sementara rekan-rekan pemberontak meneruskan pencarian, Mayor Hatanaka pergi ke studio NHK. Dengan mangacungkan sepucuk pistol, beliau berupaya dengan sia-sia untuk mendapat sedikit saat siaran untuk menjelaskan aksinya.[133] Satu jam beberapa menit kemudian, setelah menerima telepon dari Angkatan Darat Distrik Timur, Hatanaka kesudahannya menyerah. Beliau bersama para perwira meninggalkan studio NHK.[134]

Pada dini hari, Shizuichi Tanaka mengetahui istana sudah didiami. Beliau pergi ke istana dan menghadapi para perwira pemberontak yang dicaci-makinya telah memainkan aksi yang berlawanan dengan semangat angkatan darat Jepang. Beliau meyakinkan mereka untuk kembali ke barak masing-masing.[127][135] Pada pukul 08.00 pemberontakan sudah sepenuhnya diduduki. Mereka hanya sukses menguasai kawasan istana sepanjang malam, namun kesudahannya gagal menemukan rekaman yang dicari.[136]

Hatanaka mengemudikan sepeda motor berkeliling di jalan-jalan ditemani Letnan Kolonel Shiizaki yang menunggang kuda. Keduanya membagikan selebaran yang menjelaskan motif dan aksi mereka. Satu jam sebelum siaran radio kaisar dimulai, beberapa menit sekitar pukul 11.00 tanggal 15 Agustus, Mayor Hatanaka menodongkan pistol ke pelipisnya untuk bunuh diri. Shiizaki menusuk dirinya dengan suatu pisau belati sebelum menembak aku. Di dalam saku Hatanaka ditemukan suatu puisi kematian: "Aku tak menyesal sekarang, awan gelap telah hilang dari kekuasaan kaisar."[129]

Kapitulasi

Siaran Perintah Kaisar tentang kapitulasi

Kesukaran mendengarkan berkas-berkas ini? Lihat bantuan.

Tepat pukul 12.00 tengah hari Saat Standar Jepang tanggal 15 Agustus diudarakan rekaman pidato Kaisar Jepang kepada rakyat yang mengandung Perintah Kekaisaran mengenai Penghentian Perang. Sebagian di antara isinya:

.... Walaupun selama tahun empat tahun semua telah menunjukkan yang terbaik--kekuatan angkatan laut dan angkatan darat yang telah bertempur dengan gagah berani, ketekunan dan kegigihan banyak pegawai negeri kami, dan pengabdian setia seratus rakyat kami--situasi perang mengembang tak selalu ke arah keuntungan Jepang, sementara situasi umum alam tak menguntungkan kebutuhan kita.

Musuh kita telah mulai memakai suatu bom baru yang kejam, membunuh dan melukai banyak orang tak berdosa, dayanya dalam menimbulkan kerusakan, sungguh, tak terkira. Selain itu, bila kita terus bertempur, tak hanya akan habis dengan kemusnahan bangsa Jepang namun juga akan membawa kepunahan total peradaban manusia.

Bila memang sudah demikian, bagaimana kita akan menyelamatkan berpuluh-puluh juta rakyat kami, atau menebusnya di depan arwah suci para leluhur kaisar? Ini adalah argumen mengapa kami telah menerima syarat-syarat Deklarasi Bersama.
....
Bila dipikirkan, berikutnya penderitaan yang akan dialami kekaisaran, pastinya akan sangat luar biasa. Kami mengetahui ketulusan hati Anda, rakyat sekalian. Namun, ke mana pun tuntutan saat dan nasib akan membawa kami, dengan menahan apa yang tak tertahankan, dan menderita penderitaan yang tak terperikan, kami menginginkan kedamaian tidak berkesudahan.

Kualitas rekaman yang rendah, ditambah dialek bahasa Jepang lawas yang dipakai Kaisar dalam naskah, membikin rekaman ini sangat sulit dipahami oleh sebagian akbar pendengar saat itu.[137]

Pada tengah hari 15 Agustus, siaran radio Jepang yang mengumumkan penyerahan Jepang juga diterima di Jakarta. Pidato radio tersebut sangat mengagetkan tak saja terhadap para pembesar pemerintah pendudukan Jepang, tapi juga terhadap semua tokoh Indonesia yang terkait dengan kemerdekaan yang akan datang. Tak lama setelah pidato radio itu, Soekarno, Mohammad Hatta, dan Achmad Soebardjo mendapat ketentuan tentang berita penyerahan itu dari Admiral Muda Maeda Tadashi.[138]

Pada 17 Agustus 1945, Perdana Menteri Suzuki dialihkan oleh paman Kaisar yang bernama Pangeran Higashikuni Naruhiko. Pergantian ini mungkin untuk mencegah kudeta semakin lanjut atau usaha pembunuhan;[139] Mamoru Shigemitsu menggantikan Tōgō sebagai menteri luar negeri.

Sementara itu, tentara Jepang sedang bertempur melawan tentara Soviet dan juga tentara Cina, dan sulit mengatur soal gencatan senjata dan penyerahan mereka. Pertempuran udara terakhir oleh penyerang Jepang melawan pengebom pengintai Amerika berlangsung pada tanggal 18 Agustus.[140] Uni Soviet terus menyerang sampai awal September dan mendiami Kepulauan Kuril.

Awal pendudukan dan upacara kapitulasi

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Personel Sekutu merayakan penyerahan Jepang di Paris.

Warga sipil Sekutu dan tentara bergembira mendengar berita habisnya perang. Alfred Eisenstaedt memotret suatu foto terkenal VJ day in Times Square, seorang pelaut Amerika Serikat mencium seorang wanita di Times Square. Di Australia, seorang laki-laki dipotret sedang menari dalam foto kegembiraan Dancing Man. Tanggal 14 Agustus dan 15 Agustus dirayakan sebagai Hari Kemenangan atas Jepang di negara-negara Sekutu.[141]

Uni Soviet memiliki rencana untuk menguasai Hokkaido.[142] Namun tak seperti pendudukan Soviet di Jerman Timur dan Korea Utara, rencana ini batal berkat ditentang Presiden Harry S. Truman.[142]

Pejabat-pejabat Jepang berangkat menuju Manila pada 19 Agustus untuk berjumpa Komandan Tertinggi Sekutu Douglas MacArthur dan menerima pengarahan singkat tentang rencana menguasai Jepang. Pada 28 Agustus, 150 personel militer Amerika Serikat diterbangkan ke Atsugi, Prefektur Kanagawa, dan pendudukan Amerika Serikat atas Jepang dimulai. Berikutnya mereka disertai oleh kedatangan USS Missouri bersama kapal-kapal pengiring yang mendaratkan Marinir ke-4 di pantai selatan Kanagawa disusul personel lainnya di kemudian hari.

MacArthur tiba di Tokyo pada 30 Agustus dan segera mengeluarkan beberapa undang-undang: Personel Sekutu dilarang menyerang rakyat Jepang. Personel Sekutu dilarang makan makanan orang Jepang yang cuma sedikit. Pengibaran bendera Hinomaru atau "Matahari Terbit" sangat dibatasi.[143]

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

MacArthur pada upacara kapitulasi. Bendera yang pernah dikibarkan Perry dipasang di latar belakangan.

Upacara resmi kapitulasi berlangsung pada 2 September 1945 ketika wakil-wakil dari Kekaisaran Jepang menandatangani Dokumen Kapitulasi Jepang di Teluk Tokyo di atas USS Missouri. Shigemitsu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil pemerintah sipil, sementara Jenderal Umezu membubuhkan tanda tangan sebagai wakil militer.

Di atas kapal Missouri pada hari itu dipasang bendera Amerika Serikat yang pernah dikibarkan di USS Powhatan oleh Komodor Matthew C. Perry pada tahun 1853 ketika pertama kali tiba di Jepang dalam dalam dua kali ekspedisinya. Kedatangan Perry telah mengakibatkan ditandatanganinya Konvensi Kanagawa yang memaksa Jepang membuka pelabuhan terhadap kapal-kapal asing.[144][145]

Setelah upacara resmi kapitulasi 2 September di atas kapal Missouri, penyelidikan-penyelidikan mengenai kejahatan perang Jepang segera dimulai. Dalam suatu pertemuan dengan Jenderal MacArthur pada bulan September, Kaisar Hirohito menawarkan diri untuk menanggung semua kejahatan perang, namun tawaran darinya dihalau dan Hirohito tak pernah dituntut.[146] Prosedur hukum untuk Pengadilan Militer Internasional untuk Timur Jauh dikeluarkan pada 19 Januari 1946.[147]

Selain 14 Agustus dan 15 Agustus, tanggal 2 September 1945 juga dirayakan sebagai Hari Kemenangan atas Jepang (V-J Day).[146] Di Jepang, tanggal 15 Agustus diperingati sebagai Hari Peringatan Habisnya Perang (Shuusen-kinenbi) dengan nama resmi "Hari Nasional Berkabung untuk Korban Tewas dalam Perang dan Berdoa untuk Perdamaian".[148] Di Korea, 15 Agustus diperingati sebagai Gwangbokjeol, dan Australia memperingati Hari Kemenangan di Pasifik (V-P Day). Presiden Truman mencetuskan 2 September sebagai V-J Day, tapi memberi catatan "Bukanlah hari untuk mencetuskan proklamasi resmi habisnya perang atau penghentian permusuhan."[149]

Kapitulasi berikutnya dan perlawanan militer Jepang

Setelah Jepang menandatangani dokumen kapitulasi, berbagai upacara kapitulasi lainnya berlangsung di berbagai wilayah yang dijajah Jepang di Pasifik. Tentara Jepang di Asia Tenggara menyerah pada 12 September 1945 di Singapura. Hari Penyerahan Kembali (25 Oktober), ditandai dengan pendudukan militer Taiwan.[150] Semua tentara Jepang yang dihasilkan menjadi tawanan perang Sekutu habis direpatriasi pada tahun 1947. Sampai kesudahan April 1949, Cina sedang menahan semakin dari 60.000 tentara Jepang sebagai tawanan perang.[151] Beberapa di antaranya seperti Shozo Tominaga tak direpatriasi sampai kesudahan 1950-an.[152]

Setelah Jepang menyerah, semakin dari 5.400.000 prajurit dan 1.800.000 pelaut Jepang ditawan oleh Sekutu.[153][154] Kerusakan pada infrastruktur di Jepang, ditambah peristiwa kelaparan serius pada 1946 makin menyulitkan usaha Sekutu memberi makan tawanan perang dan warga sipil Jepang.[155][156]

Perang antara Amerika Serikat dan Jepang secara resmi habis ketika Perjanjian San Francisco mulai berlangsung pada tanggal 28 April 1952. Jepang dan Uni Soviet secara resmi berbaik empat tahun kemudian, dimana mereka menandatangani Deklarasi Bersama SovietJepang 1956.[157]

Beberapa persembunyian terakhir tentara Jepang, terutama di pulau-pulau kecil di Samudra Pasifik sama sekali menolak untuk menyerah (mereka percaya deklarasi tersebut hanya propaganda atau menganggapnya terlalu bertentangan dengan kode kehormatan mereka). Beberapa di antara prajurit Jepang yang bersembunyi tak pernah mendengar berita tentang Jepang menyerah. Teruo Nakamura adalah tentara Jepang terakhir yang ditemukan dari persembunyiannya di Indonesia pada Desember 1974. Sementara itu, dua serdadu Jepang yang bergabung dengan gerilya komunis ketika perang habis, sedang terletak di Thailand sampai 1991.[158]

Upacara kapitulasi di seluruh ajang perang Pasifik
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Kaida Tatsuichi, komandan Resimen Tank ke-4 Jepang, dan ketua staf-nya Shoji Minoru menyimak pernyataan kapitulasi dari HMASMoresby di Timor.
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Brigadir Doidge Taunton, komandan pasukan Britania di Kalimantan menerima senjata dari komandan Jepang.
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu
Seorang pimpinan Jepang menyerahkan senjatanya kepada Letnan Britania dalam suatu upacara di Saigon.

Pustaka

Buku teks

  • Bix, Herbert (2001). Hirohito and the Making of Modern Japan. Perennial. ISBN0060931302.
  • Butow, Robert J. C. (1954). Japan's Decision to Surrender. Stanford University Press. ISBN978-0804704601.
  • Cook, Haruko Taya; Theodore F. Cook (1992). Japan at War: An Oral History. New Press. ISBN1565840399.
  • Dower, John (1999). Embracing Defeat: Japan in the Wake of World War II. W.W. Norton & Company Inc. ISBN0393046869.
  • Feifer, George (2001). The Battle of Okinawa: The Blood and the Bomb. Guilford, CT: The Lyons Press. ISBN1585742155.
  • Ford, Daniel, "The Last Raid". Air&Space Smithsonian, September 1995: 74-81
  • Frank, Richard B. (1999). Downfall: the End of the Imperial Japanese Empire. New York: Penguin. ISBN0141001461.
  • Hasegawa, Tsuyoshi (2005). Racing the Enemy: Stalin, Truman, and the Surrender of Japan. Harvard University Press. ISBN9780674016934.
  • Hoyt, Edwin P. (1986). Japan's War: The Great Pacific Conflict. New York: Cooper Square Press. ISBN0815411189.
  • The Pacific War Research Society (1965; English language: 1968). Japan's Longest Day. Palo Alto, California: Kodansha International.
  • Reynolds, Clark G. (1968). The Fast Carriers; The Forging of an Air Navy. New York, Toronto, London, Sydney: McGraw-Hill Book Company.
  • Skates, John Ray (1994). The Invasion of Japan: Alternative to the Bomb. Columbia, SC: University of South Carolina Press. ISBN0872499723.
  • Smith, John B.; Malcolm McConnell (2002). The Last Mission: The Secret Story of World War II's Final Battle. New York: Broadway Books. ISBN0767907787.
  • Spector, Ronald H. (1985). Eagle Against The Sun. Vintage. ISBN978-0394741017.
  • Wainstock, Dennis (1996). The Decision to Drop the Atomic Bomb. Greenwood Publishing Group. ISBN9780275954758.
  • Weinberg, Gerhard L. (1999). A World at Arms: A Global History of World War II. Cambridge University Press. ISBN0521558794.
  • Weintraub, Stanley (1995). The Last Great Victory: the End of World War II. Dutton Adult. ISBN0525936874.

Pranala luar

Overview
  • Agribudaya
  • Penyensoran
  • Demografi
  • Data ekonomi dan keuangan
  • Sejarah ekonomi
  • Pendidikan
  • Eugenik
  • Foreign commerce and shipping
  • Produksi industri
  • Militerisme
  • Nasionalisme
  • Statisme
  • Politik internal
Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

Apa yang membuat Jepang menyerah kepada Sekutu

KaisarPemerintahan
  • Konstitusi
  • Charter Oath
  • Dewan Penasihat
  • Parlemen Kekaisaran
  • Daijō-kan
  • Kementerian Rumah Tangga Kekaisaran
  • Kementerian of the Treasury
  • Kementerian Urusan Luar Negeri
  • Kementerian Agribudaya dan Komersial
  • Kementerian Komersial dan Industri
  • Ministry of Munitions
  • Badan Pengembangan Asia Timur (Kōain)
  • Hubungan luar negeri
  • Government and military commanders of World War II
  • Gozen Kaigi
  • Kementerian Urusan Kolonial
  • Kementerian Asia Timur Akbar
  • Kementerian Dalam Negeri
  • Imperial Rescript on Education
  • Imperial Way Faction (Kōdōha)
  • Kokutai
  • Aksi Mobilisasi Spiritual Nasional
  • Peace Preservation Law
  • Partai politik
  • Negara Shinto
  • Supreme Court of Judicature
  • Taisei Yokusankai
  • Tokkō
  • Tonarigumi
  • Tōseiha
  • Konferensi Asia Timur Akbar
MiliterSimbolSejarahTeritorial

Greater East Asia
Co-Prosperity Sphere

Teritorial yang didiamiTopik lainnya
  • Sonnō jōi
  • Fukoku kyōhei
  • Hakkō ichiu
  • Kooperasi Industri Jerman pra-Perang Alam II
  • Racial Equality Proposal
  • Shinmin no Michi
  • Shōwa Modan
  • Socialist thought
  • Yasukuni Shrine
  • International Military Tribunal for the Far East


Sumber :
wiki.edunitas.com, id.wikipedia.org, indonesia-info.net, p2k.kelas-karyawan.co.id, dsb-nya.