Apa yang menyebabkan lahan pertanian di Indonesia lebih sempit dibandingkan dengan Thailand brainly

Oleh :
Prof. Dr. Ir. S. Minardi, M.P.

Assalamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu,
salam sejahtera untuk kita semua

Yang terhormat Rektor/Ketua Senat Universitas Sebelas Maret Sekretaris Senat dan seluruh Anggota Senat Universitas Sebelas Maret Para Pejabat Sipil, Militer dan Kepolisian Para Pimpinan di tingkat Universitas, Fakultas, Program Pasca¬sarjana, Lembaga, Biro, UPT dan Jurusan serta Program Studi di lingkungan Univ. Sebelas Maret Seluruh civitas akademika Universitas Sebelas Maret Tamu Undangan, teman sejawat dosen dan staf administrasi,  mahasiswa

dan seluruh keluarga yang berbahagia.

Pada kesempatan yang berbahagia ini, ijin dan per¬kenankanlah saya memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala ridla, rahmat, dan hidayah-Nya sehingga pada hari ini saya memperoleh kesempatan dan kepercayaan untuk menyampai¬kan pidato pengukuhan saya sebagai Guru Besar dalam Bidang Ilmu Tanah (Pengelolaan Tanah) pada Fakultas Pertanian, Universitas sebelas Maret.
Rasa hormat dan terima kasih saya sampaikan kepada Ibu-ibu, Bapak-bapak, dan hadirin sekalian yang telah berkenan hadir dan dengan kesabaran sejenak untuk mengikuti dan mendengar¬kan uraian pidato saya dengan judul :

OPTIMALISASI PENGELOLAAN LAHAN KERING UNTUK PENGEMBANGAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN

Hadirin yang saya hormati,

Penurunan produksi bahan pangan nasional yang dirasakan saat ini lebih disebabkan oleh semakin sempitnya luas lahan pertanian yang produktif (terutama di pulau Jawa) sebagai akibat alih fungsi seperti konversi lahan sawah, ditambah isu global tentang meningkatnya degradasi lahan (di negara berkembang). Salah satu alternatif pilihan yang diharapkan dapat meningkatkan potensi produksi tanaman dalam rangka memenuhi kebutuhan pangan adalah pendayagunaan lahan kering. Selain karena memang tersedia cukup luas, sebagian dari lahan kering belum diusahakan secara optimal sehingga memungkinkan peluang dalam pengembangannya.

Hadirin yang saya hormati, Secara umum sistem pertanian di Indonesia, khususnya yang menyangkut budidaya pertanian tanaman pangan dapat di¬kelompok¬kan ke dalam dua bagian yaitu pertanian lahan basah/ sawah dan pertanian lahan kering. Seperti diketahui, pem¬bangunan pertanian di Indonesia selama ini terfokus pada peningkatan produksi pangan, terutama beras (Manuwoto, 1991), sehingga sebagian besar dana dan daya telah dialokasikan untuk program-program seperti intensifikasi, jaringan-jaringan pengairan dan pencetakan sawah. Usaha intensifikasi pertanian di lahan sawah lebih efektif apabila dibandingkan dengan lahan kering, sehingga wajar kalau lahan sawah memberikan sumbangan yang paling besar terhadap tingginya peranan subsektor tanaman pangan sebagai bagian dari sektor pertanian. Sebaliknya, ciri usahatani bukan sawah ternyata telah menyebabkan kurang diprioritaskannya pertanian lahan kering di dalam proses pening¬katan produksi pangan. Namun, dengan semakin meningkatnya alih fungsi lahan, disinyalir peluang penggunaan lahan sawah untuk usaha pertanian makin hari makin menyempit sehingga pengalihan usaha ke lahan kering makin terasa diperlukan (Departemen Pertanian, 2004). Beberapa laporan menunjukkan : Pada periode 1999-2002 terjadi pengurangan lahan sawah sebesar 563.156 ha di seluruh Indonesia,karena alih fungsi dan 30% (157.150 ha) di antaranya terjadi di pulau Jawa. Untuk memenuhi kebutuhan pangan luas lahan sawah yang diperlukan pada tahun 2010 sekitar 9,29 jt ha (Nasution, 2004). Luas lahan terkonversi/alih fungsi di Pulau Jawa sejak periode 1978-1998 mencapai 1,07 jt ha,sehingga produksi padi yang hilang akibat konversi tersebut adalah 4,7 jt ton/tahun. Beberapa komoditas tanaman pangan utama telah mencapai batas yang tak dapat ditingkatkan lagi (levelling off), produktifitas dalam lima tahun cenderung konstan. Rerata nasional masing-masing pada tanaman :  Padi berkisar 4,6- 4,7 ton/ha, Jagung berkisar 2,8 – 3,3 ton/ha, Kedele 1,2 – 1,3 ton/ha dan. Kacang tanah 1,1 – 1,2 ton/ha Departemen Pertanian (2007) menyebutkan Impor beras meningkat berkisar 2,5 juta ton/th dan impor Jagung meningkat dari 1,28 menjadi  2,73 ton/ha  di tahun 2004. Selain alih fungsi, lahan sawah yang selama ini sudah terlanjur dianggap sebagai tulang punggung pertanian dan peng¬hasil pangan nasional, nampaknya sudah mulai sakit-sakitan karena jenuh oleh masukan pupuk buatan/kimia yang berlebih dalam rangka memacu pemenuhan produksi beras. Dikatakan oleh Notohadiparwiro (1989), penggunaan pupuk buatan/kimia yang berkonsentrasi tinggi dan tidak proporsional pada lahan sawah berdampak pada penimpangan status hara dalam tanah. Dampak lain adalah menyusutnya kandungan bahan organik tanah karena berkurangnya penggunaan pupuk organik. Dilapor¬kan, sekitar 60 persen areal sawah di Jawa kandungan bahan organiknya kurang dari 1 persen (Sugito, et al., 1995., Syekhfani, 1993)). Sementara, sistem pertanian dapat menjadi berkelanjutan (sustainable) apabila kandungan bahan organik tanah lebih dari 2 persen (Handayanto, 1999). Dalam kaitannya dengan memposisikan lahan kering sebagai sumberdaya pertanian masa depan, maka pemanfaatan lahan kering perlu diperluas dan lebih memberikan aspek penting, utamanya untuk pengembangan pertanian tanaman pangan sebagai penopang kehidupan berbagai masyarakat, dengan tetap menjaga peranannya sebagai stabilisasi dan peningkatan fungsi ekosistem.

Dalam kesempatan ini saya coba untuk menyajikan :

  1. Tinjauan tentang sifat/karakteristik, dan luasan lahan kering (Literature  review).
  2. Potensi lahan kering dan peluang   pemanfaatannya untuk pertanian tanaman pangan
  3. Optimalisasi pengelolaan lahan kering.

Hadirin yang saya hormati,
1.    Tinjauan tentang sifat/karakteristik lahan kering (Literature review) Lahan kering selalu dikaitkan dengan pengertian bentuk-bentuk usahatani bukan sawah yang dilakukan oleh masyarakat di bagian hulu suatu daerah aliran sungai (DAS) sebagai lahan atas (upland) atau lahan yang terdapat di wilayah kering (kekurangan air) yang tergantung pada air hujan sebagai sumber air (Manuwoto, 1991., Satari et.al, 1977). Untuk memudahkan pengutaraan dalam penyajian ini, yang dimaksud lahan kering adalah lahan atasan, karena kebanyakan lahan kering berada di lahan atasan. Belakangan ini pengertian yang tersirat dalam istilah lahan kering yang digunakan masyarakat umum banyak mengarah kepada lahan kering dengan kebutuhan air tanaman tergantung sepenuh¬nya pada air hujan dan tidak pernah tergenang air secara tetap (Notohadiprawiro, 1989). Membayangkan lahan sawah, maka secara mudah dapat di¬gambarkan suatu hamparan lahan dengan petak-petak hamparan yang ditanami padi dan tergenang air. Keluaran hasil pokoknya adalah padi, meskipun beberapa palawija juga dihasilkan dari sawah. Keadaan sangat berbeda apabila diminta untuk mem¬bayang¬kan sistem usahatani pada lahan kering. Menurut peng¬gunaannya BPS (2006) mengelompokkan lahan kering ke dalam sembilan (9) jenis penggunaan, meliputi usaha tani lahan kering (tegalan/kebun, padang rumput, tanah tidak diusahakan, tanah hutan rakyat dan perkebunan) dan usaha tani lainnya (pekarangan/ bangunan, tanah rawa, tambak dan kolam/empang). Dari sembilan jenis penggunaan, ternyata rawa (yang tidak ditanami padi), tambak dan kolam juga digolongkan sebagai lahan kering. Keadaan seperti ini tentu saja akan membuat sulit untuk meng¬gambarkan keadaan lapangan dari usaha tani lahan kering. Secara umum, lahan kering daerah tropika basah dan setengah kering didominasi oleh jenis tanah yang termasuk dalam golongan/ordo Alfisol, Ultisol dan Oksisol. golongan/ordo Oksisol meliputi 35% luasan, diikuti oleh Ultisol 28% dan sisanya Alfisol 4% (NAP, 1982 cit Syekhfani, 1991). Oksisol dan Ultisol umumnya terdapat di daerah lembab yang mengalami tingkat pelapukan dan pencucian yang tinggi. Tanah-tanah yang termasuk dalam ordo ini didominasi oleh mineral liat kaolinit dan oksida-oksida besi dan aluminium (Juo and Fox, 1981); dicirikan oleh tingkat kemasaman yang kuat, level unsur-unsur Ca, K dan Mg rendah dan proporsi kompleks pertukaran dijenuhi oleh aluminium. Defisiensi unsur N, P, K, Ca dan Mg umum dijumpai di lapang (miskin unsur hara) (Sanchez, 1992; Kang dan Juo, 1983), fiksasi P dan anion lain kuat, kadar lengas dan kapasitas simpan lengas tanah rendah dan rentan terhadap erosi (Sudjadi, 1984., Notohadiprawiro, 1989). Sifat/karakteristik seperti dimiliki oleh tanah-tanah yang didominasi Alfisol, Ultisol dan Oksisol, menyebabkan produktivitas atau kesuburan tanahnya rendah (Luthful Hakim, 2002), sehingga menjadi kendala dalam pengembangannya. Selain mempunyai tingkat kesuburan rendah, umumnya lahan kering memiliki kelerengan curam, dan kedalaman/solum dangkal yang sebagian besar terdapat di wilayah bergunung (kelerengan > 30%) dan berbukit (kelerengan 15−30%), dengan luas masing-masing 51,30 juta ha dan 36,90 juta ha (Hidayat dan Mulyani 2002). Lahan kering berlereng curam sangat peka terhadap erosi, terutama apabila diusahakan untuk tanaman pangan semusim. Keterbatas¬an air pada lahan kering juga mengakibatkan usaha tani tidak dapat dilakukan sepanjang tahun. Ditinjau dari segi luasannya, potensi lahan kering di Indo¬nesia tergolong tinggi dan masih perlu mendapat perhatian yang lebih bagi pengembangannya, namun apabila ditinjau dari sifat/ karakteristik lahan kering seperti diuraikan tersebut di atas, sangat diperlukan beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pem¬batas yang menjadi kendala dalam pengembangannya. Apabila dikaji lebih jauh dari data penggunaan lahan kering yang ada, menunjukkan bahwa ketergantungan pertanian pada usahatani lahan kering jauh lebih besar daripada lahan basah/ sawah yang hanya 7,8 juta ha, dan separuh areal luasannya 3,24 juta ha berada di Jawa (Anonim, 2007).

Survai Pertanian-BPS memberikan angka-angka luasan lahan kering khususnya dalam hal penggunaannya dan secara ringkas dapat disebutkan dari yang terbesar berturut-turut adalah hutan rakyat (16,5%), perkebunan (15,8%), tegalan (15,0%), ladang (5,7%), padang rumput (4,0%). Lahan kering yang kosong dan merupakan tanah yang tidak diusahakan seluas (14,0%) dari total lahan kering, sudah barang tentu merupakan potensi yang besar untuk dapat dimanfaatkan.

Hadirin yang saya hormati,
2.    Potensi lahan kering dan peluang pengembangannya untuk pertanian tanaman pangan Berdasarkan sifat/karakteristik lahan kering seperti saya utarakan di atas, peluang pengembangan untuk pertanian sesungguh¬nya masih terbuka lebar, (mengingat luasnya yang sangat besar) dibandingkan lahan sawah, meskipun tidak semua lahan kering sesuai untuk pertanian. Dari total luas lahan kering yang ada, sebagian besar terdapat di dataran rendah dan sesuai untuk budidaya pertanian penghasil bahan pangan (seperti padi gogo, jagung, kedele, kacang tanah). Lahan kering juga penghasil produk pertanian dalam arti luas lainnya, seperti perkebunan (antara lain kelapa sawit, kopi, karet), peternakan, kehutanan dan bahkan perikanan (darat), apalagi di luar Jawa yang memiliki lahan sangat luas dan belum banyak dimanfaatkan (kurang dari 10%)  (Soepardi dan Rumawas, 1980). Dari sebagian Luasan lahan kering yang tidak diusahakan secara optimal, dapat menjadi alternatif pilihan dan merupakan peluang untuk pengembangannya, mengingat selama ini potensi itu terkesan seperti terabaikan. Utomo, M. (2002) melaporkan bahwa lahan kering di Indo¬nesia cukup luas, dengan taksiran sekitar 60,7 juta hektar atau 88,6% dari luas lahan, sedangkan luas lahan sawah hanya 7,8 juta hektar atau 11,4% dari luas lahan, sebagian besar banyak ter¬sebar pada dataran rendah yakni hamparan lahan yang berada pada ketinggian 0 – 700 m dpl (60,65%) dan dataran tinggi yang terletak pada ketinggian >700 m dpl.(39,35%) dari total luasan lahan kering di Indonesia (Hidayat dan Mulyani, 2002). Data terbaru, menyebutkan Indonesia memiliki lahan kering sekitar 148 juta ha (78%) dan lahan basah (wet lands) seluas 40,20 juta ha (22%) dari 188,20 juta ha total luas daratan (Abdulrachman, et al. 2005). Lebih lanjut dijelaskan oleh Abdulrachman, et al. (2005), bahwa dari total luas lahan kering 148 juta ha, yang sesuai untuk budi daya pertanian hanya sekitar 76,22 juta ha (52%), sebagian besar terdapat di dataran rendah (70,71 juta ha atau (93%) dan sisanya di dataran tinggi. Di wilayah dataran rendah, lahan datar sampai bergelombang (lereng < 15%) yang sesuai untuk pertanian tanaman pangan mencakup 23,26 juta ha sedang pada lahan dengan lereng15−30%, lebih sesuai untuk tanaman tahunan (47,45 juta ha). Di dataran tinggi, lahan yang sesuai untuk tanaman pangan hanya sekitar 2,07 juta ha, dan untuk tanaman tahunan 3,44 juta ha. Hadirin yang saya hormati, Untuk mencoba mengkaji peluang dengan melihat sifat/ karakteris¬tik dan potensi dari lahan kering dalam pengem¬bangan¬nya untuk pertanian tanaman pangan, ijinkanlah saya mengajak hadirin untuk meninjau potensi lahan kering di Jawa tengah, khususnya untuk wilayah Karesidenan Surakarta dalam hal menyediakan bahan pangan pokok. Dari data BPS Propinsi Jawa Tengah dalam Angka (2005), diketahui luas penggunaan lahan sawah 30,61% (996.197 ribu ha) dan lahan bukan sawah atau lahan kering  69,39% (2,26 juta ha). Kalau dilihat pada masing-masing kabupaten di wilayah Karesi¬denan Surakarta, ada tiga kabupaten yaitu Wonogiri, Boyolali, dan Karanganyar yang mempunyai luas lahan kering sangat dominan di atas 70%. Secara keseluruhan dapat dilihat dari penggunaan lahan kering yang terluas, berturut-turut, adalah : Wonogiri 85,97%, Boyolali 77,47%, Karanganyar 71,93%,  Klaten 60,59%, Sragen 56,36%, dan Sukoharjo 50,74%, sedangkan lahan sawah terluas di Klaten 62.23% dan Sukoharjo 57.39% berikut berturut-turut Sragen 43,64%., Boyolali 29.61%, Karanganyar 28.08% kemudian Wonogiri 24.03%, dari total luas penggunaan lahan yang ada di masing-masing kabupaten (dikutip dan diolah dari masing-masing BPS pada Kabupaten dalam angka tahun 2006 – 2007). Dari penggunaan lahan tersebut nampak bahwa luas areal penggunaan lahan kering jauh lebih besar dibanding areal penggunaaan lahan basah/sawah, meskipun secara keseluruhan sumbangan subsektor tanaman pangan yang paling tinggi masih didapat dari hasil penggunaan lahan sawah. Dapat dijelaskan di sini, penyebab utamanya karena lahan sawah didukung dari segi produksi jenis tanaman pangan utama yaitu padi, seperti yang ditunjukkan pada Kabupaten Sragen dengan persentase produksi padi yang didominasi oleh padi sawah 98,28%, sedangkan produksi padi ladang/gaga di lahan kering hanya sebesar rata-rata  1,72% demikian halnya untuk Kabupaten Wonogiri 86,82% padi sawah dan 13,18% padi ladang/gaga dan persentase hasil yang serupa hampir dijumpai di kabupaten lain yang ada di wilayah Surakarta.

Dari luas areal lahan kering yang ada, peluang untuk meningkat¬kan produksi pertanian tanaman pangan masih sangat besar.

Hadirin yang saya hormati, Sekilas akan saya coba meninjau potensi lahan kering di masing-masing kabupaten di wilayah Karesidenan Surakarta hubungannya dengan produksi bahan pangan pokok yang ber¬sumber dari data BPS Kabupaten tahun 2006-2007. Produksi pertanian tanaman pangan terutama bahan pangan yang dihasilkan dari penggunaan lahan kering, tampak bahwa Kabupaten Boyolali menduduki persentase tertinggi untuk jagung (42.15%) dan ubi kayu (26.55%), diikuti Wonogiri untuk ubi kayu (25.78%) dari total produksi 6 (enam) kabupaten di wilayah Karesi¬denan Surakarta. Kabupaten yang lain berpotensi penghasil tanaman pangan pokok tertinggi, seperti ubi jalar adalah Sukoharjo (48.94%), dan Karanganyar (25.07%) untuk tanaman kedele adalah Karanganyar (63.86%) dan Wonogiri (30.81%), sedang penghasil kacang tanah tertinggi adalah Wonogiri (54.33%) dan Sukoharjo (19.69%). Secara umum penggunaan lahan kering yang kurang potensial memberikan tanaman bahan pangan adalah Sragen. Masih bersumber dari data BPS Kabupaten dalam angka 2007, menunjukkan bahwa beberapa kabupaten di antaranya potensial untuk tanaman pangan dan hortikultura. Dapat dikemukakan di sini beberapa tanaman buah-buahan yang umum seperti mangga, rambutan, nangka, jambu biji, sawo, pepaya, dan buah-buahan lain hampir merata dihasilkan pada semua kabu¬paten dan bahkan ada yang merupakan sentra bagi komoditas unggulan. Sukoharjo misalnya, dari data potensi pertanian didapatkan rambutan adalah tanaman buah-buahan tertinggi produksinya dibanding tanaman lain, sedang untuk jenis sayur-sayuran yang menjadi andalan adalah jenis kacang panjang, selain hasil sayuran seperti cabai merah, mentimun, dan bawang merah. Peluang bisnis yang cukup menjanjikan ditunjukkan dengan produktivitas yang tinggi dan terus meningkat tiap tahunnya adalah durian (Klaten), durian dan pepaya (Boyolali). Pencanangan trade mark Sragen sebagai Kota beras organik, memberikan peluang ber¬kembangnya pertanian organik, termasuk yang tengah dirintis untuk komoditas lain seperti melon, kacang, kedele, kacang hijau, serta sayur-sayuran. Jeruk Keprok Tawangmangu, duku Matesih, durian, rambutan, alpokat, salak Tawangmangu, ketela rambat, ubi kayu, kacang tanah, jagung kuning, dan komoditas agrobisnis seperti cabai, bawang, kentang, telah menjadi komoditas unggulan di Kabupaten Karanganyar. Untuk Kabupaten Wonogiri komoditas tanaman pertanian unggulan lebih banyak dihasilkan dari per¬kebunan seperti cengkeh, jambu mete, kopi, dan kakao. Dilapor¬kan hasil tanaman cengkeh dan kakao mengalami kenaikan, dan diharapkan menjadi tanaman unggulan daerah. Dari hasil pengamatan data rata-rata tanaman bahan pangan dan holtikultura pada lahan kering di beberapa kabupaten di wilayah Surakarta kalau diperhatikan menunjukkan produksi yang berbeda. Perbedaan produksi yang terjadi, dimungkinkan selain produktivitas tanahnya yang memang rendah, barangkali karena pengaruh musim dan bisa jadi kemungkinan tanaman bahan pangan tersebut tidak semua ditanam di lahan kering tetapi ada juga yang ditanam di lahan sawah. Berdasar pada produksi tanaman pertanian dari penggunaan luas lahan yang ada (meliputi penggunaan lahan kering dan penggunaan lahan sawah) kalau dihubungkan dengan keadaan ekonomi di sektor pertanian, maka nampak bahwa secara total sektor pertanian masih merupakan penyumbang terbesar bagi perekonomian di beberapa kabupaten setempat meskipun belum semua kabupaten yang ada di wilayah Surakarta mampu mem¬berikan sumbangan yang besar bagi  pendapatan daerah. Kalau dicermati dari data produksi pertanian yang ada terhadap sumbangannya pada Pendapatan Domestik Regional Bruto Daerah (PDRB) pada tahun 2006, berturut-turut terbesar adalah Kabupaten Wonogiri (50,91%), Boyolali (35,24%), Sragen (32,64%), Klaten (22,66%), Sukoharjo (21,91%), dan Karanganyar (16,72%) dari total sumbangan yang didapat baik dari sektor pertanian maupun non pertanian yang ada pada masing-masing kabupaten setempat (dikutip dan diolah dari masing-masing BPS pada Kabupaten dalam angka tahun 2006 – 2007).

Informasi seperti diungkapkan di atas, mengisyaratkan masih rendahnya produksi tanaman pertanian pada budidaya lahan kering terhadap sumbangan pendapatan daerah. Karenanya opti¬malisasi pengelolaan lahan kering untuk pengembangan tanaman pertanian perlu dilakukan agar dapat memberikan peningkatan produksi sekaligus meningkatkan pendapatan petani dan daerah. Pengelolaan lahan kering untuk budidaya pertanian sangatlah berbeda dengan budidaya tanah sawah. Permasalahan dalam pengelolaan yang timbul pada lahan kering umumnya sangat ditentukan dalam memilih tanaman yang sesuai dengan karakte¬ristik lahan sehingga dapat meningkatkan hasil tanaman, baik untuk pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan dan kehutanan yang mempunyai daya hasil tinggi baik dari segi kualitas maupun nilai ekonominya.

Hadirin yang saya hormati,
3.    Optimalisasi pengelolaan lahan kering
Diperlukan upaya strategis dalam pengelolaan lahan kering agar dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pertanian secara optimal mengingat beberapa kendala antara lain :

  1. Sebagian besar lahan kering tingkat kesuburannya rendah dan sumber pengairan terbatas kecuali dari curah hujan yang distribusinya tidak bisa dikendalikan sesuai dengan kebutuhan.
  2. Topografi umumnya tidak datar, berada di daerah lereng dan perbukitan, memiliki tingkat erosi relatif tinggi yang berpotensi untuk menimbulkan degradasi kesuburan lahan.
  3. Infra struktur ekonomi tidak sebaik di lahan sawah.
  4. Keterbatasan biofisik lahan, penguasaan lahan petani, dan infrastruktur ekonomi menyebabkan teknologi usaha tani relatif mahal bagi petani lahan kering.
  5. Kualitas lahan dan penerapan teknologi yang terbatas menyebabkan variabilitas produksi pertanian lahan kering relatif tinggi.

Beberapa tindakan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan, sudah barang tentu diperlukan sentuhan inovasi teknologi guna meningkatkan produktivitasnya. Teknologi penge¬lola¬an lahan kering yang umum dilakukan meliputi : a)    Tindakan konservasi tanah dan air, b)    Pengelolaan kesuburan tanah (pengapuran/pemberian kapur, pemupukan dan penambahan bahan organik), c)    Pemilihan jenis tanaman pangan (tanaman berumur pendek tahan kekeringan merupakan pilihan

yang tepat untuk dilakukan pada wilayah yang beriklim kering).

a)    Tindakan konservasi tanah dan air, Tindakan konservasi tanah dan air, bertujuan untuk me¬lindungi tanah terhadap kerusakan yang ditimbulkan oleh butir-butir air hujan yang jatuh, memperlambat aliran permukaan (run off), memperbesar kapasitas infiltrasi dan memperbaiki aerasi serta memberikan penyediaan air bagi tanaman (Utomo, W.H,  1983). Pada lahan kering, tindakan konservasi lebih ditujukan pada upaya mengurangi erosi dan kehilangan unsur hara (Syekhfani, 1991).

Menurut Arsyad (2000), ada beberapa cara yang dapat dilakukan sebagai tindakan konservasi, antara lain :

  1. Cara mekanik (pengolahan tanah, pengolahan tanah menurut kontur, pembuatan guludan, terras dan tanggul),
  2. Cara vegetatif (penanaman tanaman yang dapat menutupi tanah  secara terus menerus, pola pergiliran tanaman, penanaman strip/alley cropping, sistem penanaman agro¬forestry dan pemanfaatan sisa-sisa tanaman sebagai mulsa dan bahan organik),
  3.  Pemanfaatan Agrokimia.

Cara mekanik seperti pengolahan tanah menurut kontur, pem¬buatan guludan, terras terbukti berhasil di Cina Selatan, Bali (Indonesia), Nepal dan Hugo (Filipina), namun dibutuhkan biaya mahal dan memakan waktu serta tenaga (Syekhfani, 1991). Lebih lanjut dikatakan oleh Syekhfani, (1991). bahwa pendekatan secara kombinasi antara cara mekanik dan vegetatif adalah yang umum dilakukan karena lebih menguntungkan. Beberapa hasil penelitian yang berkaitan dengan tindakan koservasi melalui cara vegetatif, seperti yang dilaporkan Haryati, et al. (1995) bahwa budidaya lorong/alley cropping dapat menurun¬kan laju erosi tanah sebesar 0,7 ton/ha/th dan aliran permukaan sebesar 1,51 m3/ha/th pada musim ke VI penanaman dengan produksi jagung 0,73 ton/ha. Lal (1994) menambahkan bahwa kemampuan budidaya lorong dalam menurunkan laju erosi dan aliran permukaan terbukti lebih rendah dibanding sistem penanaman agroforestry. Melengkapi kelebihan budidaya lorong, Basri (1994) melaporkan, bahwa mengembalikan bahan organik dan sisa-sisa pangkasan ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah, serta mempertahankan kandungan bahan organik tanah. Hasil penelitian tentang pola pergiliran tanaman yang dilaku¬kan International Institut of Tropical Agriculture (IITA), Ibadan, Nigeria memberikan pengaruh yang besar dalam memperbaiki kerusakan tanah (Lal, 1994). Penelitian Noeralam (2002) yang dilakukan pada penerapan pola tanam (kacang tanah-jagung-kedele) dengan teknik pe¬manen¬an air (rorak bergulud + mulsa vertikal) dapat menurunkan aliran permukaan dan besarnya erosi tanah masing-masing sekitr 88% dan 94% serta dapat memperbaiki kualitas tanah pada lahan kering di Malang, Jawa timur. Hasil penelitian lain yang me¬nunjukkan tindakan konservasi, seperti penggunaan sisa-sisa tanaman (jerami padi dan jagung) sebagai mulsa yang disebarkan di atas permukaan tanah pada lahan pertanaman pangan menurunkan laju erosi tanah sebesar 80 sampai 100% (Kurnia, et al. 1997). Menurut Abdurachman dan Sutono (2005) menurunnya produktivitas lahan kering, antara lain disebabkan karena terjadi erosi terutama pada lahan yang dimanfaatkan untuk usaha tani tanaman semusim seperti tanaman pangan tanpa tindakan konservasi (Kurnia et al. 2005). Hasil penelitian menunjukkan budidaya tanaman pangan semusim tanpa disertai konservasi tanah menyebabkan erosi berkisar antara 46−351 t/ha/tahun (Sukmana 1994). Erosi bukan hanya mengangkut material tanah, tetapi juga unsur hara dan bahan organik, baik yang terkandung di dalam tanah maupun yang berupa input pertanian. Santoso et al. (2004) menyarankan, penerapan teknik konservasi mekanik sebaiknya dikombinasikan dengan teknik vegetatif, karena efektif dalam mengendalikan erosi dan lebih cepat diadopsi petani.  Pengaturan pola tanam dengan mengusahakan permukaan lahan selalu tertutup oleh vegetasi dan/atau sisa-sisa tanaman atau serasah, juga berperan penting dalam konservasi tanah. Pengaturan proporsi tanaman semusim dan tahunan pada lahan kering juga penting; makin curam lereng sebaiknya makin tinggi proporsi tanaman tahunan.

Penelitian penggunaan mulsa sebagai tindakan konservasi secara vegetatif yang dilakukan oleh Kurnia (1996), ternyata dapat mencegah hilangnya unsur hara makro N, P, dan K dan dilaporkan bahwa perbandingan jumlah unsur hara N, P, dan K yang hilang akibat erosi tanah pada penggunaan mulsa jerami padi dan Mucuna sp, berturut-turut sekitar 5,1% dan 26,8% dibandingkan perlakuan kontrol.

b)    Pengelolaan kesuburan tanah (pemupukan, pengapuran dan penambahan bahan organik). Pengelolaan Kesuburan Tanah tidak terbatas pada pening¬katan kesuburan kimiawi, tetapi juga kesuburan fisik dan biologi tanah. Dapat diartikan bahwa tindakan pengelolaan kesuburan tanah tidak cukup dilakukan hanya dengan memberikan pupuk saja, tetapi juga perlu disertai dengan pemeliharaan sifat fisik tanah sehingga tersedia lingkungan yang baik untuk pertumbuhan tanaman, dan kehidupan organisme tanah. Pemupukan adalah salah satu teknologi pengelolaan ke¬suburan tanah yang diharapkan dapat meningkatkan produktivitas tanah pada level yang tinggi, namun penerapan input teknologi pertanian seperti penggunaan pupuk kimia/anorganik dan penga¬puran harus dilakukan secara tepat sesuai dengan kebutuhannya (seimbang). Penelitian Santoso et al. (1995) menunjukkan bahwa penggunaan pupuk anorganik yang tidak tepat (takaran tidak seimbang) serta waktu pemberian dan penempatan pupuk yang salah, dapat mengakibatkan kehilangan unsur hara sehingga respons tanaman menurun. Hara yang tidak termanfaatkan tanaman juga dapat berubah menjadi bahan pencemar. Santoso et al. (1995) menganjurkan pentingnya penggunaan pupuk yang berimbang dan perlunya pemantauan status hara tanah secara berkala. Praktek penggunaan pupuk oleh petani pada lahan kering jarang yang dilakukan secara intensif meskipun pada saat ini sudah dilakukan tetapi dengan takaran rendah, namun perlu diwaspadai karena dalam jangka panjang dapat menimbulkan ketidakseimbangan kandungan hara tanah sehingga menurunkan produktivitas tanaman. Selain pemupukan, pengapuran/pemberian kapur juga penting dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan kering yang umumnya bersifat masam, dengan tujuan untuk mengurangi keracunan aluminium (Al) dan meningkatkan reaksi tanah/pH tanah (Anonim, 2001). Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa pengapuran dapat memperbaiki sifat-sifat tanah dan meningkatkan produksi beberapa jenis tanaman (Handayanto, 1998). Disarankan, pengapuran harus dilakukan secara berkala dan diikuti dengan pemupukan N, P, K dan unsur hara lain tergantung kepada status hara yang ada di dalam tanah. Penelitian yang dilakukan Purwanto (1998), menunjukkan bahwa pemberian dolomit terbukti meningkatkan hasil kacang tanah di tanah Alfisol Jumantono Karanganyar. Hasil penelitian di daerah Kubang Ujo Jambi, menunjukkan bahwa penggunaan pupuk P alam, pengapuran (2,0 ton CaCO3/ha) dan bahan organik (5,0 ton/ha) dapat meningkatkan hasil tanaman kedele sebesar 95% dibandingkan kontrol (Anonim, 2001). Penerapan teknologi pemupukan organik juga sangat penting dalam pengelolaan kesuburan tanah karena mengandung hara makro N, P, dan K dan hara mikro dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan pertumbuhan tanaman juga berfungsi sebagai bahan pembenah tanah (Sutanto, 2002). Pupuk organik dapat bersumber dari sisa panen, pupuk kandang, kompos atau sumber bahan organik lainnya. Bahan organik tanah itu sendiri dapat diartikan semua bahan berasal dari tanaman atau hewan, baik masih hidup atau sudah mati yang terdapat dalam tanah (Tate, 1987). Selain menyumbang hara yang tidak terdapat dalam pupuk anorganik, seperti unsur hara mikro, pupuk organik juga penting untuk memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Setiyono, 1996). Pendapat yang sama dikatakan Suriadikarta et al. (2002), bahan organik memiliki peran penting dalam memperbaiki sifat kimia, fisik, dan biologi tanah. Meskipun kontribusi unsur hara dari bahan organik tanah relatif rendah, peranannya cukup penting karena selain unsur NPK, bahan organik juga merupakan sumber unsur esensial lain seperti C, Zn, Cu, Mo,Ca, Mg, dan Si. Mengingat jumlah dan kualitas bahan organik yang banyak dijumpai di lapangan, maka pemilihan terhadap bahan organik yang digunakan perlu dipertimbangkan karena penggunaan bahan organik dipandang sebagai yang paling sesuai dalam penerapan konsep teknologi masukan rendah. Pushparajah (1995), Handa¬yanto, dan Ismunandar (1999), Heal et al. (1997) dan Suntoro (2001), menyebutkan beberapa parameter penting yang dipakai dalam menentukan kualitas bahan organik sebagai sumber pupuk organik, antara lain nisbah C/N rendah, kandungan lignin, kandungan polifenol yang juga rendah, lebih efektif untuk mereduksi Al dalam larutan tanah. Pada umumnya lahan kering memiliki tingkat kesuburan tanah yang rendah, terutama pada tanah-tanah yang tererosi, sehingga lapisan olah tanah menjadi tipis dan kadar bahan organik rendah. Kondisi ini makin diperburuk dengan terbatasnya penggunaan pupuk organik, terutama pada tanaman pangan semusim. Selain itu, secara alami kadar bahan organik tanah di daerah tropis cepat menurun, mencapai 30−60% dalam waktu10 tahun (Brown dan Lugo 1990 cit Suriadikarta et al. 2002).

Penelitian yang dilakukan Minardi (2006) pada lahan kering di tanah Andisol Tawangmangu, menunjukkan bahwa penggunaan bahan organik Gliricida sepium, pupuk kandang dan jerami padi dengan dosis yang sama 10 ton/ha pada tanaman jagung manis, ternyata hasil tertinggi jagung manis (ton/ha) didapat pada peng¬gunaan Gliricida sepium (8,40 ton/ha ) > pupuk kandang (6,02 ton/ha) > jerami padi (5,87 ton/ha). Kemampuan peng¬guna¬an bahan organik terhadap perbedaan hasil jagung manis, lebih dipengaruhi oleh peran asam-asam organik terutama asam humat dan fulvat yang berasal dari hasil dekomposisi bahan organik terutama pada Gliricida sepium sehubungan dengan kemampuan¬nya dalam mengurangi aktivitas aluminium dalam tanah melalui penukaran anion organik terhadap ion hidroksida aluminium, yang selanjutnya akan memberikan kontribusi pada berkurangnya aktivitas aluminium dalam memfiksasi phosfat. Perubahan pening¬katan ketersediaan P akan berakibat pada peningkatan nilai serapan dan konsentrasi phosfat jaringan tanaman, yang selanjut¬nya berpengaruh pada hasil tanaman jagung manis, dalam hal ini berat tongkol per tanaman.

c)    Pemanfaatan Agrokimia Pemanfaatan Agrokimia merupakan tindakan konservasi tanah dengan menggunakan bahan/preparat kimia sintetis atau alami yang lebih ditujukan pada perbaikan sifat-sifat tanah dan mengurangi besar erosi tanah. Menurut Arsyad (2000), ada bebe¬rapa jenis bahan kimia yang dipakai sebagai soil conditioner seperti PVA, PAA, DAEMA, PAM dan Emulsi bitumen yang sering digunakan untuk memperbaiki struktur tanah. Pemanfaatan bebe¬rapa bahan kimia sintetis tersebut sudah mulai dirintis oleh Puslit¬bangtanak untuk dicoba memperbaiki sifat fisik tanah pada Entisol, Ultisol, Oxisol dan Alfisol.

Stem, et al. (1991) menyatakan bahwa penggunaan Polya¬crilamide (PAM) pada tanah Alfisol dapat menurunkan aliran permukaan (run off) sebesar 2-3 kali dibandingkan dengan tanpa penggunaan PAM/kontrol. Hasil tersebut tidak jauh berbeda dengan penelitian yang dilakukan Ginting (1975) di Jonggol yang menunjukkan bahwa penggunaan Polyacrilamide (PAM) dapat menurunkan besarnya erosi tanah sekitar 11,85% dibanding kontrol.

Hadirin yang saya hormati, Uraian saya yang singkat tentang pengelolaan lahan kering untuk pengembangan tanaman pertanian secara kuantitatif memiliki potensi yang sangat penting tetapi secara kualitatif dihadapkan pada permasalahan majemuk baik dari segi teknis maupun sosial ekonomi. Sifat/karakteristik dan luasan lahan yang ada mengakibatkan pengelolaan usaha tani lahan kering menjadi sangat beragam pada setiap wilayah. Berdasar dari data lahan kering yang cukup luas dengan aneka ragam jenis komoditas yang diusahakan (bahkan ada komoditas yang menjadi andalan) di beberapa kabupaten yang ada di wilayah Karesidenan Surakarta; seharusnya menjadi peluang untuk dioptimalkan pengembangan¬nya untuk pertanian khususnya tanaman pangan. Dengan meng¬andalkan teknologi pengelolaan yang tersedia, seperti pendekatan secara kombinasi antara tindakan konservasi diikuti dengan inten¬sifikasi usahatani merupakan satu pilihan yang lebih menguntung¬kan karena dapat mengurangi resiko kegagalan panen. Sebagai contoh yang mungkin dapat dikaji untuk dapat dikembangkan pada wilayah yang mempunyai permasalahan yang sama adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh P3HTA tentang pola usahatani lahan kering. Diinformasikan bahwa pola tanam : jagung + kacang tanah (atau kedele) + ubikayu, diikuti jagung + kedele (atau kacang hijau), dan diikuti kacang tunggak lebih efisien dalam memanfaatkan sumberdaya pertanian dan lebih produktif (BTP NTB, 2004). Menurut Suntoro (2007) dalam rangka penganekaragaman hasil usaha taninya (diversifikasi), petani disarankan menerapkan sistem tumpang sari tanaman jarak pagar dengan tanaman pangan semusim lain seperti jagung, kacang tanah, kedele, atau padi gogo. Dari segi konservasi tanah, tumpang sari membuat penutupan tanah oleh daun lebih sempurna sehingga mengurangi terjadinya erosi. Tumpang sari akan memperpendek musim paceklik. Selama petani belum dapat memetik hasil secara optimal, petani mendapatkan hasil dari tanaman selanya. Tanaman tumpang sari dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan makan rumah tangga hariannya. Secara teknis budidaya sistem tumpang sari ini akan mengoptimalkan faktor produksi (lahan dan sinar matahari).

Keuntungan menerapkan pola tanam tumpangsari (inter¬cropping)  atau  multi cropping   menurut Bahar, (1987) adalah :

  1. mengurangi resiko kegagalan panen;
  2. peningkatan produksi secara keseluruhan, penggunaan tenaga kerja lebih efisien dgn tersebar kegiatan sepanjang tahun;
  3. efisiensi penggunaan tanah, air, dan sinar matahari sebagai sumber daya alam;
  4. pengawetan kesuburan tanah dapat dipertahankan karena  adanya tanaman sepanjang tahun;
  5. pengendalian gulma (dengan pola tanam tidak memberi  kesempatan tumbuhnya gulma);
  6. memperbaiki gizi keluarga petani yang diperoleh dari ber¬bagai   tanaman.

Hasil Praktek Lapang Kesesuaian Lahan yang dilakukan mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian di Kabupaten Karanganyar dan Wonogiri, menyebutkan bahwa sebagian besar intensifikasi usahatani lahan kering yang dilakukan oleh petani masih bersifat tradisional, artinya pemilihan jenis tanaman dan pengaturan pola tanam yang melibatkan tanaman semusim dan tanaman tahunan belum ditujukan untuk lebih dikembangkan secara produktif. Usahatani tanaman pertanian bahan pangan seperti tanaman jagung, ubi kayu, ubi jalar, kedele, kacang tanah, kacang hijau, dan beberapa jenis tanaman lain, demikian juga tanaman sayuran seperti kacang panjang, terong, mentimun, cabai merah, kangkung, kubis, dan bayam, sudah banyak dilakukan petani, namun pengembangannya belum secara optimal. Upaya untuk lebih mengoptimalkan usahatani lahan kering, dilakukan dengan mengatur pola tanam agar dapat mengurangi resiko kegagalan panen, misalnya dengan pola tumpangsari atau tumpang gilir, memilih tanaman yang toleran terhadap cekaman lingkungan biotik dan abiotik pada lokasi tertentu, sehingga akan  memperbesar peluang panen dan mengatur perubahan cara tanam, cara pengolahan tanah dan waktu tanam.
Beberapa hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan jenis tanaman agar optimalisasi pengembangan per¬tanian tanaman pangan dapat berhasil, antara lain :

a) memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi agro¬klimat setempat, b) memilih jenis tanaman yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat (tanaman disenangi petani, teknologi¬nya mudah, tidak memerlukan masukan tinggi, sesuai dengan ketersediaan tenaga kerja), c) sejalan dengan kebijakan pemerintah daerah setempat,

d) mendukung usaha konservasi tanah dan air.

Ke depan (sebagai tantangan), yang harus dilakukan adalah melibatkan peran serta petani (sebagai pelaku aktif) dan masya¬rakat pedesaan dalam meningkatkan dan mengembangkan lahan kering yang ada secara optimal dan lestari dengan memanfaatkan pilihan teknologi yang benar untuk meningkatkan produktivitas pertanian, pendapatan petani, dan kesejahteraan masyarakat (Soemarno, 2007). Menggunakan teknologi yang murah, seder¬hana, dan efektif dalam rangka optimalisasi pengembangan lahan kering (saat ini) perlu mendapat perhatian yang lebih besar. Seperti teknologi pengelolaan padi gaga dan palawija sebagai bagian dari sistem usaha tani (farming system) yang dipilih harus disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi. Namun, pada kenyataan¬nya sering menjadi kendala yang menentukan tingkat efektivitas penyampaian teknologi pengelolaan yang ada, karena akses penyuluh apalagi petani relatif terbatas. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang secara langsung lebih mendekatkan sumber teknologi dengan petani sebagai calon pengguna tekno¬logi. Menurut Soemarno, (2007) peran pemerintah sangat penting terutama dalam memberikan fasilitas dan pembinaan kemampuan aparat dalam menjalankan fungsi lembaga pemerintah yang berorientasi pada kepentingan rakyat. Beberapa upaya yang telah dilakukan sebagai alternatif pilihan dalam pengembangannya tidak seluruhnya saya bahas dengan tuntas mengingat keragaman lahan kering yang dimiliki pada masing-masing wilayah. Namun saya percaya, upaya yang ditujukan untuk lebih mengoptimalkan lahan kering untuk pengembangan tanaman pertanian sudah banyak dilakukan. Beberapa fakta yang dapat saya kemukakan di sini, antara lain kerjasama beberapa kabupaten dengan Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret dalam penanganan pengembangan potensi lahan kering untuk kesesuaian tanaman. Dari browsing internet, saya temukan rencana pengoptimalan sebanyak 70 persen lahan kering di Boyolali utara oleh Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan (Distanbunhut), Kabupatan Boyolali di Kecamatan Juwangi, Wonosegoro, Kemusu, Karanggede, dan Andong dengan sistem pola tanam, misalnya penanaman padi yang setelah panen kemudian diselingi tanaman palawija, adalah bukti peran pemerintah daerah maupun dinas dalam upaya mendayagunakan lahan kering untuk pengembangan pertanian.

Pemahaman dan penerapan perubahan paradigma akan penting¬nya posisi lahan kering untuk pengembangan pertanian akan berhasil kalau secara tulus diikuti kemauan politik dari legislatif maupun ekskutif dengan melakukan proteksi bagi lahan pertanian yang produktif agar tidak terkonversi, serta penegakan aturan dan kebijakan yang dilaksanakan dengan penuh konsis¬tensi. Mengingat (kondisi sekarang ini), selain masih lemahnya kerangka hukum, koordinasi antar lembaga terkait dan birokrasi serta kebijakan makro ekonomi masih belum berfihak pada petani.

Hadirin yang  saya hormati, Mengakhiri uraian yang singkat ini, saya akan coba me¬rangkum beberapa pokok pikiran yang terkait pada upaya pengelolaan lahan kering dengan memanfaatkan potensinya untuk pengembangan produksi tanaman pertanian. Jumlah areal yang bercirikan usahatani lahan kering men¬capai luasan terbesar dibanding lahan sawah namun kontribusi pada subsektor pertanian masih rendah, sehingga masih perlu mendapat perhatian yang lebih dalam pengembangannya. Mengoptimalkan pemanfaatan lahan kering dapat melalui peningkatan produktivitas lahan pertanian yang telah diusahakan saat ini, atau perluasan lahan pertanian tanaman pangan dengan memanfaatkan lahan kering terlantar atau yang belum diusahakan secara optimal dengan memilih sistem pertanaman yang sesuai dengan daya dukung tanah dan iklim setempat. Berbagai teknologi pengelolaan lahan kering telah tersedia, mencakup pengendalian erosi (konservasi tanah dan rehabilitasi lahan), pengelolaan kesuburan tanah dan pengelolaan sumber daya air secara efisien adalah tindakan yang dapat dilakukan untuk menanggulangi faktor pembatas biofisik lahan.

Dalam menggali potensi lahan kering yang ada di masing-masing wilayah diperlukan pemilihan paket teknologi yang sesuai dengan kondisi spesifik lokasi, mengingat tingkat keragaman yang ada pada lahan kering baik lingkungan fisik maupun sosial ekonomi¬¬nya (secara teknis dapat dilaksana¬kan, secara ekonomis menguntungkan, secara sosial tidak bertentangan, ramah dan aman lingkungan serta berkelanjutan).

Hadirin yang saya hormati, Menutup pidato pengukuhan ini, dengan segala kerendahan hati saya mohon kesabaran hadirin, perkenankanlah sekali lagi saya memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas limpahan nikmat, rahmat, dan hidayah-Nya kepada saya dan keluarga.

Banyak pihak yang terlibat dalam membantu, memberikan dorongan, dukungan dan doanya sehingga saya memperoleh kehormatan menyandang jabatan Guru Besar. Untuk itu, ijinkanlah saya pada kesempatan ini menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

  1. Menteri Pendidikan Nasional yang telah memberikan keper¬cayaan kepada saya untuk memangku jabatan Guru Besar dalam bidang Ilmu Tanah Umum pada Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
  2. Rektor Universitas Sebelas Maret, Prof. Dr. dr. M, Syamsulhadi, Sp.KJ (K) selaku Ketua Senat, Sekretaris Senat dan seluruh anggota Senat Universitas yang telah menyetujui dan mengusul¬kan saya untuk menduduki jabatan Guru Besar.
  3. Dekan Fakultas Pertanian Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS dan segenap anggota senat Fakultas, Semua Ketua Jurusan di lingkungan Fakultas Pertanian, Staf edukatif dan nonedukatif yang telah banyak membantu proses pengajuan jabatan Guru Besar.
  4. Kepada Guru-guru saya, di Sekolah Dasar Masehi Kudus, SMP Negeri 3 Kudus, SMA Negeri 2 Surakarta, saya sampai¬kan perghargaan yang setinggi-tingginya. Berkat jasa dan pengabdian beliau, hari ini saya berkesempatan men¬duduki jabatan tertinggi di lingkungan akademisi.
  5. Rasa hormat dan terima kasih juga saya sampaikan kepada         Ir. Djoko Isbandi, MSc. (Almarhum), Ir. Suseno Prawirowardoyo (Almarhum), semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT dan Ir. Toeranto Sugiyatmo sebagai pembimbing pada jenjang strata 1/S1; Kepada Prof. Dr. Ir. Syekhfani, MS., Prof. Dr. Ir. Moch.Munir, MS., Dr. Ir. Muji Santosa, MS. dan Prof. Ir. Eko Handayanto, MSc. Ph.D., selaku pembimbing Strata 2/S2 .
  6. Kepada Prof. Ir. Eko Handayanto, MSc. Ph.D., Prof. Dr. Ir. Syekhfani, MS., dan Prof. Dr. Ir. Suntoro, MS., masing-masing selaku promotor dan ko-promotor disertasi/S3 saya; Prof. Dr. Ir. Soemarno, MS., Prof. Dr. Ir. Syamsulbahri, MS, Prof. Dr. Ir. M.Luthfi Rayes, MSc., dan Dr. Ir. Suyanto Simoen, MS. APU selaku penguji disertasi yang secara tulus memberikan saran, arahan dan evaluasinya yang sangat besar manfaatnya.
  7. Segenap civitas akademika Fakultas Pertanian, khususnya rekan-rekan sejawat di Jurusan Ilmu Tanah. Terima kasih atas kerjasamanya selama ini.
  8. Terimakasih, saya sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Djoko Purnomo, MP, yang pernah mengajak untuk bersama-sama melanjutkan studi S3, waktu itu saya tidak bersedia dengan alasan usia, tapi akhirnya tahun berikutnya saya mengikuti saran beliau, untuk melanjutkan dan dapat menyelesaikan S3 dan saat ini saya juga mengikuti jejak beliau berkesempatan menduduki jabatan Guru Besar.
  9. Selamat jalan kepada keponakan yang juga rekan seangkatan saya waktu bersama-sama menempuh S3 di Universitas Brawijaya Malang, almarhum Ir. Holly Purwanto, MP (terima¬kasih, sebagai kawan kamu banyak membantu dan sebagai keponakan kamu mau mengerti), semoga kamu mendapat chusnul chotimah dan mendapatkan kebahagiaan di surga, amin.  Kepada Dimas dan Diajeng yang sekaligus sahabat saya : Dr. Ir. Purwanto, MS, Dr. Ir. Rob. Sudaryanto, MS.,            Dr. Ir. WS Dewi, MP., Dr. Ir. Mth. Budiastuti, MSi., dan Dr. Ir. Eni Lestari, MSi., terimakasih atas kerjasamanya.
  10. Kedua orang tua saya, Bapak Ibnu Sami’an (almarhum) dan Ibu Hj. Saenah yang selalu mengingatkan saya untuk selalu mengerti dan berharap putra-putrinya semua dapat berhasil dalam meniti hidup, yang saat ini (meskipun usia ibu sudah sepuh) masih menyempatkan kerso rawuh dan sabar menunggui saya berdiri di mimbar terhormat untuk me¬nyampai¬kan pidato pengukuhan saya, maturnuwun ibu. Kepada Bapak Suwardi (almarhum) dan Ibu Siti Srikanah (almarhumah), yang telah mengasuh, mendidik, membesarkan saya dengan penuh kesederhanaan dan berambisi anaknya berhasil pada jenjang sekolah tertinggi (Alhamdulillah berhasil), kepada beliau saya haturkan rasa hormat dan terima kasih, semoga amal ibadahnya diterima Allah SWT. Rasa hormat dan terimakasih juga saya sampaikan kepada bapak ibu mertua saya Bapak Soeseno (almarhum) dan Ibu Sumirah (almar¬hu¬mah) yang dengan penuh kasih sayang selalu mendoakan untuk keberhasilan putra-putrinya. Kepada Sesepuh dan pinisepuh yang telah memberikan bekal keteladanan kepada saya dalam meniti hidup dengan petuah-petuah: eling, sabar, ulet, ojolali, lan ojo dumeh dengan segala hormat dan kerendahan hati saya ucapkan terima kasih.
  11. Saudara-saudara kandung saya Mbakyu Asih Minarsi sekaliyan, Adik Asih Minarti sekaliyan, Adik Asih Darwati sekaliyan, Adik Ketut Darwanto sekaliyan Adik Sri Handayani (almarhumah), Adik Ani Saptaningsih (almarhumah), Adik Samsul Komar S.Pd., M.Pd. sekaliyan dan Adik Asri Renggowati, S.Kar. sekaliyan dan seluruh keponakan saya. Tidak lupa juga pada saudara ipar saya, Mas Teguh Suharyo sekaliyan, Mbakyu Retna Sulistyowati dan Kangmas Prof. Dr. Rustopo, S.Kar., MS. dan putra-putranya mas Bondet Wrahatnolo, S,Sos, M.Sn. dan Mas Bondan Aji Manggolo, S,Sn., M.Sn. yang membantu memberikan ilustrasi dalam penyajian pada pidato pengukuhan ini, sehingga memberikan nuansa lain, saya sampaikan terima kasih atas bantuannya, terima kasih atas doa dan dorongan semangatnya.
  12. Tidak lengkap kiranya apabila saya tidak mengucapkan terima kasih kepada Isteri tercinta Ir. Setie Harieni, MP dan anakku tersayang Danar Praseptiangga, S.TP, M.Sc. yang lebih punya hak dalam menerima penilaian atas jabatan saya ini, kepada mereka kucurahkan rasa kasih sayang atas doa, kesetiaan, kesabaran, pengertian, dorongan moral dan pengorbanannya.

Akhirnya saya mengucapkan terima kasih kepada hadirin sekalian yang telah dengan sabar mengikuti pidato pengukuhan saya. Mohon maaf apabila ada kata-kata yang kurang berkenan, semoga Allah SWT selalu melimpahkan rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Amin.

Wabillahi taufiq wal hidayah Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

DAFTAR PUSTAKA

Abdurachman, A. dan S. Sutono. 2005. Teknologi pengendalian erosi lahan berlereng. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering : Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. Adiningsih, J.S. dan M. Sudjadi. 1993. Peranan sistem bertanam lorong (alley cropping) dalam meningkatkan kesuburan tanah pada lahan kering masam. Risalah Seminar Hasil Penelitian Tanah dan Agroklimat. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Anonim, 1998. Statistik Sumberdaya Lahan. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Bogor. ———-, 2001. Teknologi pengelolaan sumberdaya lahan. Ekspose hasil-hasil penelitian Puslittanak di Pulau Kalimantan. Kerjasama antara Puslittank dengan Bappeda Tk. I Propinsi Kalimantan Timur. ———-, 2007. Statistik Indonesia. BPS. Jakarta. Arsyad, S. 2000. Pengawetan Tanah dan Air. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Bahar, F .1987. Makalah Pelatihan Teknis Proyek Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nusa Tenggara. Badan Litbang Pertanian. BPS. 2005. Jawa Tengah Dalam Angka 2005. Badan Pusat Statistik. Jawa Tengah. Basri, I.H. 1994. Agroforestry sebagai solusi sistem usahatani berkelanjutan Ultisol di daerah tropika basah (studi kasus Sitiung). Prosiding Lokakarya Nasional Agroforestry. Bogor. BTP NTB, 2004. Pengkajian Sistem Usahatani Jagung pada Lahan Kering di Lombok Timur. Laporan tahunan, BPTP Nusa Tenggara Barat. Departemen Pertanian.  2004. Basis data, Departemen Pertanian, Jakarta. —————————–.  2007. Basis data, Departemen Pertanian, Jakarta. Ginting, F.  1975. Pengaruh tanaman, soil conditioner dan lereng, serta sifat-sifat hujan terhadap erosi. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Bogor. Handayanto, E. 1998. Pengelolan Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian. Universitas Brawijaya. Malang. ——————–,   1999. Komponen biologi tanah sebagai bioindikator kesehatan dan produktivitas tanah. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Biologi Tanah. Fakultas Pertanian Universitas brawijaya. Malang. ——————- dan Ismunandar. 1999. Seleksi bahan organik untuk peningkatan sinkronisasi nitrogen pada Ultisol Lampung. Habitat 109, 37-47. Haryati, U., Haryono dan A. Asbdulrachman.  1995. Pengendalian erosi dan aliran permukaan serta produksi tanaman pangan dengan  berbagai tehnik konservasi pada tanah Typic Eutropepts di Ungaran. Jawa Tengah. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk. No. 13 : 40-50. Heal, O.W., Anderson, J.M. and Swift, M.J. 1997. Plant litter quality and decomposition : An Historical overview in G. Cadish and K.E. Giller (ed.), Driven by Nature Plant Litter Quality and Decomposition. CAB International, Wallingford. p. 3 – 33. Hidayat dan Mulyani, 2002. Lahan Kering untuk pertanian dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Depar¬temen Pertanian. Jakarta. Juo, A.S.R. and R.L. Fox, 1981. Phosphate sorption characteris¬tics of some denchmark soils of West Africa. Soil Sci. 124 : 370-376. Kang, B.T. dan A.R.S. Juo, 1983. Management of Low activity clay soils in Tropical Africa for food crop production. Proceeding of 4th International Soil Classification Workshop, Rwanda. Kurnia, U. 1996. Kajian metode rehabilitasi lahan untuk mening¬katkan dan melestarikan produktivitas tanah. Disertasi Doktor, Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Kurnia, U., N. Sinukaban, F.G. Suratmo, H. Pawitan dan H. Suwardjo. 1997. Pengaruh teknik rehabilitasi lahan terhadap produktivitas dan kehilangan air. Pemberitaan Penelitian Tanah dan Pupuk, No. 15 : 10-18. Lal, R. 1994. Sustainable land use systems and soil resilience. In Soil Resilience and Sustainable land use. Proceding of a Symposium held in Budapest. Luthful Hakim, 2002. Strategi Perencanaan dan Pengelolaan Lahan Kering Secara Berkelanjutan Di Kalimantan. Makalah Falsafah Sains, Program Pascasajana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Manuwoto. 1991. Peranan Pertanian Lahan Kering di dalam Pembangunan Daerah. Simposium Nasional Penelitian dan Pengembangan Sistem Usahatani Lahan Kering yang Berkelanjutan.  Malang 29-31 Agus¬tus 1991.

Minardi, S. 2006. Pengaruh Penggunaaan Macam Bahan Organik dan Pupuk P Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Jagung Manis Pada Andisol Tawangmangu. Agrineca.           Vol. 7 No. 2.  Juli 2007. Nasoetion, L.I. 2004. Masalah Pengkonversian Lahan Pertanian ke Lahan Non-Pertanian dan Beberapa Alternatif Kebijakan untuk Mengatasi Dampak Negatifnya. Makalah disampai¬kan pada Seminar Keprofesian Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah, Bogor, 27 Oktober 1988. Noeralam, A. 2002. Teknik pemanena air yang efektif dalam pengelolaan lengas tanah pada usaha tani lahan kering. Program Pasca Sarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Notohadiparwiro, T.  1989. Dampak Pembangunan Pada Tanah, Lahan dan Tata Guna Lahan. Pusat Studi Lingkungan. Universitas Gajah Mada. Yogjakarta. ————————-. 1989. Pertanian Lahan Kering Di Indonesia : Potensi, Prospek, Kendala dan Pengembangannya. Lokakarya Evaluasi Pelaksanaan Proyek Pengembangan Palawija. USAID. Bogor Purwanto, H. 1998. Pengaruh Pemberian Dolomit Terhadap Hasil Kacang Tanah. Tesis. Program Pasca Sarjana. Univer¬sitas brawijaya. Malang. Pushparajah, E. 1995. Soil Organic Matter : Its Role and Management, in  Pushparajah, E, (ed.), The Establesment of Experiment for The Menagement of Acid Soils. IBSRAM. Tech. Notes. No. 5. p. 31 – 54.

Sanchez, P.A. l992. Sifat dan Pengelolaan Tanah Tropika. (Trnsl, Johana T. Jayadinata) dari judul asli: Properties and Management of Soil in the Tropics. John Willey & Sons. New York. Penerbit Institut Tehnologi Bandung. Bandung.

Santoso, D., I P.G. Wigena, Z. Eusof, and C.Xuhui. 1995. The Asian land management of sloping lands network: Nutrient balance study on sloping land. In A.Maglinao and A. Sajjapongse (Eds.). International Workshop on Conser¬vation Farming for Sloping Upland in South East Asia: Challenge, Opportunities, and Prospects. IBSRAM Proc. No. 14. Bangkok, Thailand. p. 103−108 ————- dan A. Sofyan. 2005. Pengelolaan hara tanaman pada lahan kering. dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering: Menuju pertanian produktif dan ramah lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 73−100. Satari, G., Sadjad, S. dan Sastrosoedardjo. 1977. Pendayagunaan tanah kering untuk budidaya tanaman pangan menjawab tantangan tahun 2000. Konggres Agronomi, Perhimpunan Agronomi Indonesia. Jakarta. Setijono, S. 1996. Intisari Kesuburan Tanah. Penerbit IKIP Malang. Malang. Soemarno. 2007. Optimalisasi Pengelolaan Lahan Kering Dalam Rangka Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Jurusan Ilmu Tanah. Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Malang. Soepardi, G. dan F. Rumawas, 1980. Lahan dan Tanah, kaitannya dengan transmigrasi. Dies Natalis Institut Pertanian Bogor (18 September 1980). Bogor. Stem, R., M.C . Laker and A.J. Van der Merwe. 1991. Field studies on effect of soil conditioners and mulch on runoff form kaolinitic and illitic soil. Ausrtralian Journal Soil Res. No. 29 : 249-261. Sudjadi, M. 1984. Problem soils in Indonesia and their manage¬ment. dalam : Ecology and Management of  Problem Soils in Asia. FFTC Book Series No. 27. Taipe, h. 50-57. Sugito, Y., Y. Nuraini dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas brawijaya. Malang. Sukmana, 1994. Budi daya lahan kering ditinjau dari konservasi tanah, dalam Prosiding Penanganan Lahan Kering Marginal melalui Pola Usaha Tani Terpadu. Jambi, 2 Juli 1994. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Bogor. Suntoro (2001). Kajian Imbangan K, Ca, Mg dan Ketersediaan P Dalam Budidaya Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) Melalui Penambahan Bahan Organik. Disertasi Program Pascasarjana. Universitas Brawijaya. Malang. ———   (2007).  “Minyak jarak & alternatif bioenergi”.  Kumpulan artikel Menegemen Lahan Ramah Lingkungan. Media cetak Solo Pos dan Suara Merdeka. Suriadikarta, D.A., Trihatini, D. Setyorini, dan W. Hartatiek. 2002. Teknologi pengelolaan bahan organik tanah dalam Teknologi Pengelolaan Lahan Kering Menuju Pertanian Produktif dan Ramah Lingkungan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. hlm. 183−238. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Penerbit Kanisius. Yogjakarta. Syekhfani. 1993. Pengaruh sistim pola tanam terhadap kandungan bahan organik dalam mempertahankan kesuburan tanah. Makalah disajkan dalam Seminar Nasional Budidaya Pertanian Olah Tanah Konservasi di Universitas Lampung. Bandar Lampung. Tate, R. l. 1987. Soil Organic Matter Biological and Ecological Effects. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons, New York Chichester Brisbane Toronto Singapore. Utomo, M. 2002. Pengelolaan Lahan Kering untuk Pertanian Berkelanjutan. Makalah utama pada Seminar Nasional IV pengembangan wilayah lahan kering dan pertemuan ilmiah tahunan himpunan ilmu tanah Indonesia di Mataram, 27-28 Mei 2002.

Utomo, WH. 1994. Erosi dan Konservasi Tanah. Penerbit IKIP Malang. Malang.