Apa yang terjadi dalam hidup simson

Kita mungkin masih ingat, tahun 1997 adalah tahun Princess Diana –atau Lady Diana– meninggal; lalu seminggu setelahnya, Mother Teresa juga meninggal. Ketika itu berita kematian Lady Diana lebih heboh, lebih populer, dibandingkan berita kematian Mother Teresa; lebih banyak orang yang berduka atas Lady Diana dibandingkan atas Mother Teresa. Itu sebabnya pada tahun-tahun tersebut banyak orang menulis semacam opini, mencoba menawarkan penjelasan mengapa bisa demikian.

Kubu yang lebih kritis mengatakan kira-kira seperti ini: “Mother Teresa itu pahlawan (hero), sementara Lady Diana cuma selebriti; memangnya apa sih, yang dicapai Lady Di, yang bisa dibandingkan dengan semua yang telah dikerjakan, dan juga pengorbanan, Mother Teresa. Jadi, kalau masyarakat kita hari ini lebih berduka atas kematian seorang selebriti dibandingkan kematian seorang hero, itu membuktikan masyarakat kita luar biasa dangkal”. Demikian salah satu opini yang Saudara mungkin sering lihat. Tapi yang menarik, ada opini lain yang mirip tapi juga berbeda, dari kubu yang lain; kubu ini juga setuju bahwa hero-nya adalah Mother Teresa, sementara Lady Diana cuma selebriti, tapi ini justru dipakai jadi alasan yang positif. Menurut kubu ini, orang-orang lebih berduka atas Lady Diana daripada Mother Teresa, karena Mother Teresa tepat sekali adalah seorang hero, dia tidak mempedulikan penampilan misalnya, sementara Lady Diana sangat peduli; dan justru inilah sebabnya kita lebih senang dengan Lady Diana, karena kita lebih nyambung dengan Lady Diana. Mother Teresa sepertinya tidak mencari kebahagiaan pribadi –dan kita tidak nyambung dengan yang seperti ini; kita lebih nyambung dengan Lady Diana yang mencari kenyamanan dan kebahagiaan pribadi. Mother Teresa seperti sosok yang kokoh, kuat, yang melakukan tugasnya dengan sempurna; sementara Lady Diana lemah, dan dia sendiri mengakui kelemahannya –inilah yang lebih nyambung dengan kita. Itu sebabnya kita lebih suka Lady Diana dibandingkan Mother Teresa, kita lebih berduka dengan kematian Lady Diana dibandingkan kematian Mother Teresa. Sepertinya masuk akal. Dua pendapat ini lucu, karena keduanya seperti berlawanan, tapi juga setuju pada satu dasar yang sama. Mereka setuju siapa yang hero dan siapa yang cuma selebriti, tapi yang satu jadi mengatakan, “Tuh, ‘kan, memang masyarakat kita hancur, hero bisa kalah populer dibandingkan selebriti”; sementara yang satunya mengatakan, “Ya, wajar kita lebih senang sama selebriti dibandingkan hero, karena hero itu terlalu ideal, ‘gak nyambung dengan kehidupan kita, tapi kalau selebriti ‘kan manusia, seperti kita.”

Saudara, dua sikap ini mewakili bagaimana dunia melihat heroisme. Kita sudah pernah bicara tentang bedanya Superman dengan Spider-Man. Superman, setidaknya yang versi komik zaman dulu, adalah seorang hero menurut bayangan orang pada awal abad 20, sosok yang sempurna, moralnya tinggi, kuat, tinggi, ideal, tidak terkalahkan; sedangkan Spider-Man muncul di abad 20 belakangan, yang gambaran ‘hero’-nya sudah berbeda. Spider-Man memang hero, tapi anti-hero, hero yang ada pergumulan, yang ada jerawat, ada kesulitan uang, dsb. Dan, Spider-Man ini laku keras; mengapa? Karena orang merasa lebih bisa nyambung dengan hero yang kayak begini. Kalau Saudara teruskan sampai sekarang, melihat gambaran-gambaran hero di film-film Marvel, Disney, atau yang manapun, Saudara tidak akan lagi menemukan gambaran hero yang ideal semacam Superman tahun 60-an. Tahun 60-an budayanya adalah hero-worship, sedangkan sekarang zaman sudah berubah. Kalaupun hari ini muncul figur hero ideal, instink pertama generasi zaman sekarang bukan lagi mengagumi, sebaliknya mencurigai, ‘koq, bisa dia se-perfect itu?? pasti ada busuknya, cuma saja kita tidak lihat’. Itu sebabnya kalaau Saudara melihat figur-figur hero zaman sekarang –hero Marvel misalnya– mereka tetap punya power, tapi Tony Stark ada narsisnya, Black Widow ada masa lalu yang gelap, bahkan Captain America yang pertamanya muncul di komik sebagai representasi idealisme bangsa Amerika, di film-film yang belakangan dia malah melawan pemerintahnya sendiri, tidak mau tunduk pada birokrasi, dsb. Dan, kita senang karena kita nyambung dengan tokoh-tokoh hero yang seperti ini. Kita tidak mau tokoh hero yang agung, noble, seperti zaman dulu, yang bicaranya berwibawa, ‘ayo masyarkat, kita hidup tenteram, ya’. Mendengar yang seperti ini, reaksi kita malah curiga, orang se-perfect ini, ada apa di balik kalimatnya. Inilah sebabnya Saudara tidak usah heran, bahwa selebriti hari ini, yang hidupnya hancur-hancuran itu, digemari habis-habisan. Hari ini yang laku bukan selebriti yang berkarakter, tapi yang cuma curhat-curhat urusan hidupnya. Hari ini sudah ganti, bukan lagi hero-worship, melainkan celebrity-worship. Dan, yang di-worship dari selebriti bukan terutama urusan bagaimana mereka lebih cantik atau lebih ganteng, tapi ke-tersambung-an ini, bahwa kita nyambung dengan mereka karena mereka juga ada sifat jelek, ada kelemahan, ada hasrat, ada cari kebahagiaannya sendiri; mereka ‘gak sok agung-lah, ya –mereka memang bukan tokoh panutan. Itulah yang membuat dunia menggemari mereka.

Sama juga, kalau hari ini ada pendeta yang bermoral tinggi, yang rambutnya selalu rapi, yang hidupnya sempurna, mungkin ini pendeta ideal bagi Saudara-saudara dari generasi yang lebih berumur. Tapi coba Saudara tanya generasi muda yang di bawah 40, bagaimana tanggapannya. Kalau mereka bertemu pendeta seperti itu, mereka akan melihatnya dengan pandangan agak curiga. Mereka lebih nyambung dengan pendeta yang punya hobi, ‘wah, ini pendeta juga punya hobi, saya lebih suka, lebih related’; bukan heroisme yang dicari. Pendeta ideal hari ini adalah yang nyantai, boleh ada sedikit karakter flaw-nya, bisa ada pikun-pikunnya, bisa lupa giliran khotbah, kalau nyanyi juga bisa fals, karena yang seperti itu lebih related dengan kita.

Kembali ke Lady Diana, pernah ada kolom opini yang menganalisa, alasannya kita suka dengan Lady Diana meskipun kita tahu dia bukan mama yang perfect, dia mencari pria ke sana-ke mari, dsb., karena ini justru melegakan bagi banyak orang karena inilah tokoh publik yang membebaskan kita dari beban berat heroisme, dari beban berat tugas serta kewajiban. Kita benci dengan hal-hal itu, kita benci dengan manusia-manusia yang agung, yang membuat kita merasa gagal. Lagipula kita sudah melihat berkali-kali, orang-orang yang katanya agung itu, satu demi satu boroknya terbongkar, ternyata munafik, ada dosa-dosa tersembunyi, dsb. Kita hari ini menolak gambaran heroisme; yang diteriakkan oleh zaman ini adalah authenticity, yang penting apa adanya, transparan; bahwa kita harus dibebaskan dari belenggu moral, tanggung jawab dsb., yang penting apa adanya sajalah.

Bagi kita, orang Kristen, model seperti ini adalah model yang problematik. Kita bisa langsung dengan tajam mengatakan, bahwa kebebasan seperti ini adalah kebebasan yang palsu; dan bukan cuma palsu, kebebasan seperti ini sebenarnya hanyalah suatu bentuk baru dari hero-worship. Seorang penulis sekuler bahkan bisa mengenali hal ini; dia mengomentari celebrity-worship dengan mengatakan, “Masyarakat hari ini menyembah para selebriti sebagai substitusi, karena masyarakat zaman sekarang sudah tidak terlalu religius. Tapi ujungnya apa? Ujungnya, kita membuat seleb-seleb ini jadi bintang, karena kita merasa lebih bisa nyambung dengan mereka. Tapi tetap saja, kamu toh, tidak bisa seterkenal mereka, tidak bisa secantik mereka, maka ujung-ujungnya menyembah seleb-seleb begini cuma berakhir dengan perasaan insecurity, insignificance, bahkan perasaan kotor karena kita tidak pernah akan bisa menyamai para seleb itu.” Jadi, apa bedanya dengan menyembah ala hero-worship yang noble, yang agung, yang model zaman dulu itu? Tetap sama saja. Sampai di sini, kalau Saudara tebak kira-kira khotbah ini mau mengarah ke mana? Mungkin ada beberapa yang menebak, “Nah, itu sebabnya kita, orang Kristen harus kembali ke heroisme tahun 60-an, heroisme model Mother Teresa, ‘kan Pak.” Tidak, Saudara. Alkitab tidak memberikan konsep hero yang satu ataupun yang lainnya, Alkitab tidak memberikan kepada kita selebrity-worship ataupun hero-worship. Lalu apa yang Alkitab berikan?

Alkitab memberikan kita salah satunya adalah kisah ini, yang kita akan coba lihat bersama-sama, sebenarnya kisah ini bicara apa. Waktu kita melihat Simson, yang pasti kita tidak melihatnya sebagai hero model konsep jadul tadi; kita lebih gampang melihat Simson sebagai anti-hero, karena dia meniduri banyak wanita Filistin, dia bunuh orang di sana-sini, bahkan di bagian yang kita baca ini sebenarnya dia bikin guyonan setelah membunuh orang. Dalam terjemahan bahasa Indonesia hal ini berusaha dimunculkan, tapi ada sedikit yang hilang; ini bisa kita lihat di pasal 15:16, “dengan rahang keledai bangsa keledai itu kuhajar”. Di sini terjemahan bahasa Indonesia berusaha dengan baik untuk mengeluarkan makna aslinya, tapi sebenarnya terjemahan yang lebih persis dengan bahasa aslinya adalah: “dengan rahang keledai, aku telah menumpuk mayat bangsa ini”. Di sini Simson tidak langsung mengatakan bangsa ini bangsa keledai, tapi mengatakan, “dengan rahang keledai, aku telah menumpuk mayat bangsa ini”, yang dalam bahasa Ibrani ada permainan bunyi, karena istilah ‘keledai’ dan ‘tumpukan mayat’, bunyinya mirip dalam bahasa Ibrani, yaitu chamowr dan chamor. Kalau Saudara mendengar kalimat ini dalam bahasa Ibraninya, Saudara akan lebih jelas mendengar permainan bunyi tersebut, yaitu “bilhi hahamowr hamorw hamoratayim”, yang memang makna sebenarnya mau mengatakan ‘dengan rahang keledai, aku membunuh bangsa keledai’. Jadi Simson ini guyonan setelah dia membunuh seribu orang dengan rahang keledai. Bisa Saudara bayangkan darah ada di mana-mana, dia lalu bikin guyonan.

Sebagaimana kita sudah pernah bahas dalam PA, Simson adalah hakim yang paling terakhir diceritakan di dalam kitab Hakim-hakim. Ini bukan karena dia hebat, tapi sebenarnya karena dia itu yang paling hancur. Simson jelas kuat; waktu orang Filistin mau membunuh dia, mereka sampai harus datang beribu-ribu orang lalu berkemah seperti mau perang –hanya demi satu orang ini. Ketika orang Israel mau menangkap Simson untuk diserahkan kepada orang Filistin, mereka pun harus turun        3000 orang –demi satu orang ini– karena memang Simson terkenal otot-ototnya sangat kuat. Dan            lagi, Saudara juga tahu salah satu poin dari kisah Simson adalah betapa Simson itu lemah secara spiritual. Salah satu contohnya di ayat 11, ketika orang Israel mengonfrontasi Simson, “Kamu kenapa sih, cari gara-gara dengan orang Filistin, jadi bikin susah kita semua”, apa jawaban Simson di ayat 11? Simson tidak menjawab ‘karena Allah berkata demikian dan demikian’, dia hanya bilang, “Ya,               gua cuma mau balas dendam aja; Seperti          mereka memperlakukan aku, demikianlah aku memperlakukan mereka.” Dan yang menarik, kalau Saudara membaca bagian sebelumnya, alasan ini adalah juga alasan orang Filistin mau membunuh Simson (ayat 10), “Kami maju untuk mengikat Simson dan memperlakukan dia seperti dia memperlakukan kami.” Jadi ini alasan yang sama, bisa dibilang ini anjing lawan anjing, tidak ada yang lebih tinggi di sini.

Saudara juga harus sadar, yang ancur bukan cuma Simson tapi juga bangsa Israel. Kalau Saudara membaca kisah Hakim-hakim, Saudara harus membacanya secara keseluruhan, sehingga Saudara akan menangkap suatu pola, bahwa hakim-hakim yang awal masih cukup oke, lalu berangsur-angsur makin parah. Demikian juga bangsa Israel, ada pola yang sama. Di bagian-bagian awal, ketika mereka ditindas, mereka masih berseru kepada Tuhan, tapi di bagian kisah Simson, ketika orang Filistin menindas mereka, orang Israel ini berseru pun tidak. Waktu Allah membangkitkan Ehud dan Debora, bangsa Israel merespons dengan ikut bangkit dan berperang; tapi di zaman Simson, pertama-tama Simson sendiri perangnya karena balas dendam, dan bangsa Israel pun merespons dengan bahkan mengatakan kepada Simson, “Kamu ‘gak tahu ya, orang Filistin itu ‘kan bos-            bos kita, kenapa kamu cari gara-gara sama bos?”             –mereka tidak rasa perlu berperang. Jadi dalam bagian ini, sebetulnya realitas rohani di balik             semua yang terjadi adalah: Israel sedang menghadapi bahaya yang luar biasa besar. Orang Filistin berbeda dari  dengan penindas-penindas sebelumnya (Amon, Midian, Moab); orang Filistin     itu tidak kejam-kejam banget. Orang Amon, Midian, dan Moab sangat kejam, tapi orang Filistin tidak terlalu kejam, sehingga orang Israel sepertinya  agak nrimo dengan penindasan ini. Kalau ini dibiarkan, maka dalam satu dua generasi, orang Israel akan terasimilasi, mereka akan kehilangan iman mereka. Dan, sekali lagi, satu tema besar dalam kitab Hakim-hakim adalah menjaga keutuhan bangsa Israel, mereka tidak boleh kawin campur, dsb. Itu sebabnya dalam hal ini Tuhan membangkitkan Simson bukan karena diminta, Tuhan membangkitkan Simson untuk cari gara-gara dengan orang Filistin, demi menyelamatkan bangsa Israel ini. Tapi perhatikan, baik Simson maupun bangsa Israel, tidak melihat semua urusan background spiritual ini.

Jalannya Simson bisa masuk ke dalam konflik dengan orang Filistin, kalau Saudara baca mulai dari pasal 14:1, apa ceritanya? Ceritanya, Simson menikahi gadis Filistin, lalu orang-orang Filistin bikin taruhan dengan dia dalam acara pernikahan itu, tapi mereka main curang sehingga Simson kalah, maka Simson balas dendam, dia membunuh beerapa dari mereka. Setelah itu, bapak istrinya, yang aldalah orang Filistan, balas dendam dengan tidak mengizinkan Simson bertemu istrinya. Simson lalu balas dendam dengan membakar ladang-ladang mereka, maka kemudian orang Filistin balas dendam dengan membunuh istrinya serta keluarga istrinya. Simson kembali balas dendam dengan membunuh ratusan dari mereka; dan itulah yang menyebabkan orang Filistin datang ribuan orang demi Simson seorang. Itu sebabnya mereka mengatakan, “kami hanya mau memperlakukan dia seperti dia memperlakukan kepada kami”, dan Simson pun mengatakan yang sama. Itu saja urusannya, main balas dendam. Ini film kungfu, bukan Alkitab kayaknya.

Namun yang menarik, Saudara perhatikan di ayat 20 tetap dikatakan bahwa Simson memerintah sebagai hakim di antara orang Israel. Ini sedikit salah terjemahan, karena hakim-hakim pada waktu itu tidak memerintah. Mereka juga bukan betul-betul menghakimi seperti hakim di zaman sekarang, mereka bukan pejabat resmi atau semacamnya. Mereka biasanya adalah warlords, military chieftains, kepala suku yang kerjanya berperang. Istilah ‘hakim’ di sini sebenarnya lebih tepat diterjemahkan sebagai ‘penyelamat’ (deliverer), karena polanya adalah: para hakim ini dibangkitkan ketika Israel mengalami krisis, lalu mereka menyelamatkan bangsa Israel. Waktu di ayat terakhir ini dikatakan ‘Simson menjadi hakim di Israel dua puluh tahun lamanya’, makna yang perlu kita tarik dari kalimat ini adalah: meskipun Simson begitu dangkal secara moral dan spiritual, penuh motivasi yang ngawur, egonya tinggi, pendendam, Allah menyelamatkan bangsa Israel melalui dia, dua puluh tahun Allah menjaga umat-Nya lewat Simson yang seperti ini.

Lebih lanjut lagi, pola terbalik ini kita lihat bukan cuma pada figur hakimnya tapi juga dalam karakter bangsa Israel; kita melihat bagaimana Simson menyelamatkan bangsa Israel, yaitu dengan cara bangsa Israel ini menyerahkan dia ke dalam tangan orang Filistin. Simson pada dasarnya dikhianati oleh bangsanya sendiri, karena Israel seperti nyaman-nyaman saja di bawah Filistin, mereka menolak Simson. Tapi lihatlah, apa yang datang melalui penolakan ini? Simson memang secara rohani masih rendah sekali, tapi dia bukan orang yang bodoh dalam hal strategi militer. Simson bertanya kepada orang Israel, “Apa kamu sendiri mau bunuh aku?” Orang Israel menjawab, “Enggak, kami hanya mau ikat kamu, lalu kami serahkan kamu ke tangan orang Filistin”; dan Simson mengatakan, “O, ya, udah, oke.” Lalu melihat Simson terikat, orang Filistin bersorak-sorak. Mereka mengira Simson sudah takluk, tapi ini justru kesempatan bagi Simson untuk membunuh lebih banyak lagi dari antara mereka. Perhatikan di ayat 14 tadi, kapan Roh Allah berkuasa atas Simson? Yaitu jutru melalui penolakan dan pengkhianatan bangsa Israel. Bangsa Israel menolak Simson dengan cara menolak keselamatan yang datang melalui Simson, namun justru lewat cara inilah keselamatan datang bagi mereka. Yang tadinya berusaha mereka hindari, justru terjadi lewat semua ini. Ini satu hal yang lucu.

Lewat gambaran ini kita jelas melihat Simson itu bukan tokoh hero dalam arti heroisme tahun 60-an, tapi dia juga bukan anti-hero, dalam arti bukan selebriti yang semua kerusakan serrta kejelekannya dirayakan. Simson dan bangsa Israel tidak menyadari realitas rohani dari semua yang terjadi ini; dan itulah yang dikritik lewat kisah ini, karena kalau Saudara baca kisahnya, mau tidak mau Saudara harus membadingkannya dengan hakim-hakim sebelumnya, dan Saudara tahu ini hakim yang paling ancur, ini zaman yang bangsa Israel juga sudah hancur. Dan meski demikian, ini bukan dirayakan seperti “O, nyambung ya..”, tapi ini justru dipakai oleh Tuhan untuk mendatangkan keselamatan lewat diri Simson. Lucu, ya. Jadi Alkitab itu kompleks, bukan hero-worship dan juga bukan celebrity-worship, tapi yang lain.

Kita melanjutkan. Pola ini adalah pola yang paling jelas hadir dalam akhir hidup kisah Simson (Saudara bisa membaca sendiri di rumah pasal-pasal berikutnya). Yang menarik adalah bahwa Simson ini seorang nazir, dan ada 3 hal yang seorang nazir harus jaga, yaitu: dia tidak boleh menyentuh mayat, dia tidak boleh minum alkohol, dan dia tidak boleh mencukur rambutnya. Simson jelas banyak menyentuh mayat –bahkan dia banyak bikin mayat—dan dia juga banyak minum-minum, tapi satu hal yang tersisa adalah: dia tidak mencukur rambutnya.

Saudara tentu tahu kisah Simson dengan Delila. Delila tanya, apa rahasia kekuatannya. Simson bilang, ikat dia saja dengan tali jenis A; tapi ternyata gagal. Delila merengek-rengek. Simson lalu bilang untuk ikat dia dengan tali jenis B; dan gagal lagi. Delila merengek-rengek lagi. Begitu sampai tiga kali. Akhirnya Simson menceritakan urusan rambutnya. Sampai di sini, kita mungkin mengatakan Simson bodoh; tapi yang menarik, dan yang selalu membingungkan bagi saya adalah: Simson tentu sudah tahu bahwa Delila minta info tersebut untuk mengkhianati dia, dan sudah 3 kali kejadian seperti itu, lalu kenapa Simson masih mau-mau saja tidur di pangkuan wanita ini?? Kita gampang saja mengatakan, memang bodoh banget Simson ini; tapi seperti kita lihat di awal tadi, sebetulnya Simson tidak sebodoh itu, dia juga mengerti siasat perang. Belakangan setelah Delila mengkhianati dia untuk keempat kalinya, dan mencukur rambutnya, ada dikatakan di pasal 16:20 demikian: Simson mengatakan:  “Seperti yang sudah-sudah, aku akan bebas dan akan meronta lepas.” Tetapi tidaklah diketahuinya, bahwa TUHAN telah meninggalkan dia. Ada petunjuk (hint) tambahan di sini mengenai alasannya Simson masih tetap mau tidur di pangkuan Delila, yaitu dia masih mengira bahwa seperti yang sudah-sudah dia akan meronta lepas dan bebas.

Simson masih tidak tahu bahwa Tuhan telah meninggalkan dia, sepertinya karena ada sesuatu yang lebih dalam dari sekedar kebodohan. Seorang komentator mengatakan, karena Simson sebenarnya tidak sungguh-sungguh percaya bahwa rambutnya, ataupun sumpah nazarnya, adalah dasar dari kekuatannya (ini memang agak spekulatif, tapi ada benarnya). Dia sudah mengira bahwa kekuatannya itu adalah kekuatan-nya, sehingga apapun yang dia lakukan, dia tidak akan pernah kehilangan power itu. Dengan kata lain, Simson tidak lagi bisa melihat ketergantungannya akan Tuhan. Dia tidak lagi melihat kekuatannya sebagai pemberian atas dasar anugerah Tuhan. Dia hanya melihat kekuatannya sebagai kekuatannya sendiri, hak miliknya sendiri. Ini menarik, karena kalau Saudara bandingkan dengan orang Filistin, Saudara menemukan gambaran yang seperti berbeda tapi sebenarnya mirip.

Orang Filistin mengira kekuatan Simson itu atas dasar magis, maka mereka bisa percaya saja kebohongannya Simson soal tali A, tali B, dsb. Yang namanya kekuatan magis, biasanya bergantung pada sesuatu yang ada di luar, yang bukan diri kita, dan harus dimanipulasi sesuai aturannya. Misalnya –ini cuma omongan ngawur saja—“ramuan cinta membutuhkan 3 sendok teh bunga mawar yang tumbuh di atas Gunung Salak”, ini berarti Saudara tidak bisa cari bunga mawar yang dari Gunung Semeru, harus dari Gunung Salak, dan kalau diminta 3, maka harus 3, tidak bisa 2. Itu namanya magis, harus persis tepat seperti yang dikatakan; dan ini selalu eksternal. Inilah konsep ‘tombol supranatural’, Saudara bisa memanipulasi apa yang ada di luar diri Saudara demi memenuhi keinginan Saudara. (Kalau menyambung sedikit dengan tema “panggilan”, inilah yang banyak orang Kristen pikir, ‘beritahu saya, Pak, formulanya, exact manipulation-nya, bubuk bunga mawar dari mana yang saya perlukan, untuk membuat Tuhan memberitahu kepada saya dengan siapa saya harus menikah, pekerjaan apa yang saya harus ambil’, dan seterusnya). Orang Filistin itu berpikir bahwa Simson pasti menggunakan suatu kuasa magis di luar tubuhnya; itu sebabnya mereka bisa percaya urusan tali A, tali B, dsb. Simson sendiri mengira dia tidak perlu apa-apa di luar tubuhnya, selain dirinya sendiri. Jadi ini dua ekstrim yang sama-sama hancur. Itu sebabnya kita melihat, yang berikutnya terjadi adalah: Allah meninggalkan Simson. Sekarang dia lemah seperti manusia pada umumnya, maka dia ditangkap, diborgol, matanya dibutakan. Yang ironis, kita membaca di pasal 16 ini, bahwa Simson, orang yang telah membakar bulir-bulir gandum orang Filistin, sekarang harus kerja paksa menggiling bulir-bulir bagi orang Filistin; untuk pertama kalinya dalam kitab Hakim-hakim, ada hakim dari Tuhan yang dikalahkan oleh musuh Israel.

Berikutnya, pasal 16:22 dikatakan bahwa selagi Simson di penjara seperti ini, rambut kepalanya mulai tumbuh lagi. Tentu saja ini satu hal yang masuk akal, karena rambut setelah dicukur memang pasti tumbuh, kecuali orang yang memang sudah tidak tumbuh rambutnya atau rontok. Lalu mengapa hal ini musti dicatat? Apa makna kalimat ini? Saya rasa, poinnya adalah: orang Filistin membiarkan rambut Simson tumbuh kembali. Mereka ini tidak buta, mereka pasti lihat rambut Simson tumbuh kembali, tapi kenapa mereka membiarkan Simson tumbuh rambutnya? Yaitu karena seperti dikatakan tadi, mereka punya konsep bahwa kekuatan Simson itu dari luar. Memang dalam budaya pada waktu itu mengenai janji orang nazir, sederhana saja, setelah Saudara rambutnya tidak dicukur, tidak minum-minum, dsb., maka Saudara berada dalam satu kondisi atau status kudus, yang hanya dalam periode tertentu; begitu rambut dicukur, maka periodenya berakhir, dan meski rambutnya memanjang kembali, tidak ada pengaruhnya, tidak bisa bikin efek apapun. Jadi, kalau kita bilang kekuatan Simson keluar dari kuasa Tuhan di balik janji nazir itu, maka kalau dicukur, ya, sudah selesai, dan meski tumbuh lagi tetap saja kuasanya sudah berhenti. Keyakinan diri orang-orang Filistin ini, yang membiarkan rambut Simson tumbuh kembali, membuat kita menyadari bahwa yang ada dalam pikiran mereka adalah: kekuatan Simson datang dari kuasa-kuasa magis eksternal ini, ada manipulasi rambut-lah, ada manipulasi janji-lah, dsb., yang membuat Simson bisa kuat, dengan demikian kalau sudah dicukur, dipanjangkan lagi pun sudah tidak ada pengaruhnya, sudah selesai –karena memang kekuatannya dari sana. Tapi Saudara tentu tahu, kekuatan Simson bukan berasal dari rambutnya, atau kuasa janji nazirnya, atau apapun, melainkan dari Allah, yang kepada-Nya dia bernazar.

Selanjutnya, kita bisa melihat bahwa orang-orang Filistin itu hanya mengerti konsep ‘allah’ yang bisa dimanipulasi, yang conditional, yang memberikan A jika Saudara melakukan A dengan tepat, memberikan B kalau Saudara melakukan B dengan tepat. Tapi Saudara lihat di bagian ini, kitab Hakim-hakim menunjukkan kepada kita bahwa Allah Alkitab itu lain. Allah Alkitab adalah Allah yang beranugerah, Allah yang setia meskipun kita tidak setia kepada Dia; Allah yang memang bekerja melalui janji, nazar, rambut, dsb., tapi juga tidak diikat atau dibatasi hanya pada janji-janji tersebut atau manipulasi-manipulasi tersebut. Tumbuhnya rambut Simson ini dicatat, bukan bertujuan untuk membuat kita berpikir, ‘O, rambutnya tumbuh lagi, berarti dia akan kuat lagi, karena kekuatannya bergantung pada rambutnya’; bagian ini dicatat untuk membuat kita menyadari, ‘O, orang Filistin berpikir kekuatan Simson sudah hilang, maka mereka tidak peduli rambutnya tumbuh lagi atau tidak’. Orang Filistin berpikir, janji Simson sudah terpatahkan, maka Allahnya sudah tidak lagi berkuasa menolong dia; ‘rambutnya kita biarin panjang saja, karena tidak ada gunanya; Allah ‘kan pakai kondisi, pakai aturan, pakai segala macam formulasi kayak begini; Simson sudah lewat waktunya, kita ‘gak perlu lagi takut pada dia’. Mereka tidak mengerti bahwa Allah ini adalah Allah yang beranugerah, Allah yang kuasa-Nya dan berkat-Nya bukan diikat oleh kesetiaan hamba-hamba-Nya. Jadi sekali lagi, ini hero atau anti-hero?

Saudara, ini menunjukkan bahwa sebenarnya konflik utama dalam kisah ini bukanlah antara Simson dan orang Filistin, tapi antara Yahweh, Allah yang sejati, dengan Dagon, allah palsu orang Filistin. Siapa yang lebih kuat? Siapa yang harusnya disembah oleh orang Israel? Sejak awal Allah Israel sudah bekerja terus-menerus untuk mengonfrontasi orang Filistin, meskipun orang-orang Israel tidak mau, meskipun orang-orang Israel tidak peduli dengan hal itu. Di sini kita bisa melihat bahwa memang itulah tujuan akhirnya; bukan cuma melawan orang Filistin, tetapi realitas spiritual di balik itu, bahwa ada kuasa Dagon di atas orang-orang Israel. Dan kita melihat, orang Filistin sendiri menyadari adanya realitas spiritual ini. Simson dan orang Israel tidak menyadari realitas rohani ini tapi orang-orang Filistin sangat menyadarinya; di pasal 16:23, orang-orang Filistin itu mengatakan, “Dewa kita –yaitu Dagon– telah menyerahkan Simson, musuh kita, ke dalam tangan kita”.

The last final showdown ini setting-nya di kuil Dagon, yang kita tahu di sana ada pilar tinggi, dsb. Mereka merayakan dan memuji Dagon di situ. Tetapi Simson belum selesai. Simson minta dia dibawa ke tempat, di mana dia bisa merasakan pilar-pilar yang menyangga kuil tersebut. Di bagian atas ada atap yang sangat besar, sementara di bawahnya ada banyak orang, ada patung Dewa Dagon sendiri, dan juga pemimpin-pemimpin bangsa Filistin; dan  di atap itu sendiri ada 3000 orang lagi. Jadi di bawah sudah ada begitu banyak orang dan di atas ada 3000 orang.  Lalu untuk kedua kali dalam hidupnya Simson berdoa. Dari sini kita melihat, bahwa sebelumnya, waktu Simson mau bertindak, dia tidak pernah berdoa dulu; dia hanya pernah berdoa di bagian awal, waktu dia minta air karena kehausan, sedangkan waktu dia mau bertindak, dia tidak pernah merasa perlu berdoa, dia merasa kekuatan yang dia gunakan adalah kekuatan dirinya sendiri. Tapi sekarang dia gagal, untuk pertama kalinya dia buta dan lemah, dan dia kembali meminta sebelum bertindak.

Dia mengatakan di ayat 28 (terjemahan aslinya), “Allah yang berdaulat (sovereign), ingatlah aku; tolong kuatkan aku sekali ini saja, supaya lewat satu pukulan terakhir ini aku bisa membalaskan dendam kepada orang Filistin demi kedua mataku.” Saudara, ini satu bagian yang seringkali dibaca sebagai urusan pembalasan dendam doang, tapi ada pembacaan lain yang mengatakan bahwa ini sebenarnya adalah tempat di mana Simson exercising his faith.  Justru Simson di sini sedang melakukan tindakan iman. Mengapa demikian? Karena meski di bagian ini kita tidak membaca adanya perkataan tentang menyelamatkan orang Israel, kita cuma membaca alasan balas dendam lagi, tapi paling tidak kita melihat ada semacam kerendahan hati di sini. Simson setidaknya mulai mengenali bahwa Allah Israel itu pertama-tama berdaulat; sekali lagi, setting-nya ini dia sedang berdiri di kuil dewa lain dan dia pada dasarnya mengatakan “Allahku, yaitu Yahweh, yang berdaulat”.

Ini Simson yang cukup berbeda dari Simson sebelumnya yang pokoknya bertindak duluan, yang mengira kekuatannya adalah kekuatan dirinya, yang setelah berhasil membunuh orang dengan kekuatan tersebut dia juga tidak pernah bersyukur kepada Tuhan, dsb.; juga waktu minta air, dia bukan meminta belas kasihan tapi mengatakan, “Tuhan, Kamu sudah bikin aku menang, masa’ sekarang Kamu biarkan aku mati??” –seperti menuntut. Kalau Saudara masih belum yakin, kita tahu di dalam Ibrani 11:32-34 dikatakan Simson sebagai salah satu tokoh iman; dan dari seluruh kisah Simson, cuma di bagian inilah Simson bisa dilihat sebagai orang yang sedang menunjukkan imannya. Yang menarik, kalau Saudara membaca kembali Ibrani 11, ayat 34 yang merupakan konklusinya mengatakan: ‘Mereka telah luput dari mata pedang, telah beroleh kekuatan dalam kelemahan’; inilah tandanya orang-orang yang beriman, yaitu telah beroleh kekuatan dalam kelemahan (strength to weakness). Jadi, ini satu hal yang insightful, bahwa Simson telah direndahkan sampai pada debu dan telah sungguh melihat kelemahannya. Dengan demikian, tindakan kekuatannya yang terakhir ini berbeda dari tindakan-tindakan kekuatan yang sebelumnya.

Dalam pasal 16:28 ini Simson pertama kalinya minta Tuhan untuk mengingat dia. Ini satu permintaan yang begitu rendah hati demi attention. Kalau Saudara meminta orang untuk mengingat Saudara, berarti Saudara tahu dan sadar bahwa Saudara bisa dilupakan, dan juga boleh dilupakan. Yang kedua, dia meminta, “Kuatkanlah aku sekali ini saja”; ada pengakuan atas ketergantungannya akan anugerah Tuhan. Saudara, apa sih pencobaannya Simson? Yaitu berpikir bahwa dia diberkati Tuhan karena dia hebat; dia tidak mengira bahwa apa yang dipunyainya itu diberikan oleh karena anugerah, dia mengira itu kekuatannya sendiri –inilah dosanya yang terutama. Dosa terutama Simson bukanlah urusan wanita, bukan urusan Delila, bukan urusan kebodohannya, dsb., melainkan bahwa dia mengira kekuatannya datang dari dirinya sendiri. Jadi, di bagian akhir ini Saudara lihat, betapa sulitnya untuk orang bisa mengingat bahwa apa yang kita lakukan itu bisa kita lakukan oleh karena anugerah Tuhan, kecuali kita direndahkan sampai ke dalam debu, seperti Simson.

Simson akhirnya menempatkan diri di antara dua pilar tengah kuil itu, dia mendorongnya, dan di ayat 30 dia mengatakan, “Biarlah kiranya aku mati bersama-sama orang Filistin ini.” Lalu dengan segala kekuatannya dia mendorong pilar itu, dan runtuhlah seluruh kuil itu berikut atap-atapnya ke atas para pemimpin bangsa Filistin beserta semua orang di situ. Dan Saudara perhatikan satu hal yang menarik dikatakan di ayat 30, bahwa dalam kematiannya, Simson membunuh lebih banyak orang dibandingkan semasa dia hidup. Ternyata, momen yang paling penting dalam hidup Simson justru adalah momen kematiannya. Momen di mana dia paling menunjukkan imannya, terlihat dari bagaimana dia menjemput kematiannya. Di dalam momen inilah justru dia menjalankan peran menjadi penyelamat, yang Tuhan telah berikan kepada bangsa Israel itu.

Kalau kita melihat kisah ini, kita tahu ini bukan cerita hero-worship, dan juga bukan celebrity-worship. Sebagaimana pola yang sudah kita pakai berkali-kali, lagi-lagi kisah-kisah seperti ini ada untuk kita bisa melihat The True Hero di balik semua tokoh-tokoh ini. Apa paralelnya dengan Tuhan Yesus?

Kita melihat perbedaannya lebih dulu; yang pasti kematian Simson paling tidak berbeda dalam 2 hal, dibandingkan dengan kematian Yesus. Yang pertama, Simson berada di kuil Dagon sebagai akibat ketidakmampuannya untuk hidup di bawah kuasa Tuhan, bagi kemuliaan Tuhan; Simson bisa jatuh sampai sedalam itu, adalah karena ketidaktaatannya. Tapi Tuhan Yesus tidak seperti ini. Tuhan Yesus justru naik ke atas kayu salib karena ketaatan-Nya, karena Dia justru hidup bagi sesama-Nya dan bagi kemuliaan Bapa, bukan kemuliaan-Nya sendiri. Yang kedua, dalam kematian Simson, dia akhirnya mencapai peran terbatas yang diberikan Tuhan bagi Simson untuk memulai penyelamatan bangsa Israel. Tapi dalam kematian Yesus, lewat kematian-Nya Yesus mencapai penyelamatan yang final, yang satu kali untuk selamanya (1 Petrus 3; Ibrani 10). Itulah perbedaannya, tapi dalam banyak hal kematian Simson memang adalah gambaran –atau paling tidak bayang-bayang– akan kematian Tuhan Yesus. Kalau kita meneliti dan merenungkan ini, kita akan lebih melihat jelas apa itu salib, lebih bisa benar-benar mengagumi dan menyembah Yesus yang mati bagi kita.

Dalam hal kemiripannya, baik Simson maupun Yesus, dikhianati oleh seseorang yang bertindak seakan-akan seorang sahabat, yaitu Delila di dalam kasus Simson, Yudas di dalam kasus Tuhan Yesus. Tentu saja kita bukan mau mengatakan Yudas terhadap Yesus itu seperti Delila terhadap Simson, tapi kita tahu Yesus lebih patut mendapatkan kesetiaan dibandingkan Simson. Bukan cuma dikhianati oleh teman dekat mereka, keduanya juga diserahkan kepada orang-orang kafir, keduanya juga dibelenggu dan disiksa, keduanya juga ditaruh di panggung untuk diolok-olok. Dan satu hal yang menarik, baik Tuhan Yesus maupun Simson, mati dengan tangan yang terentang. Tapi yang paling menarik dalam kemiripan antara dua figur ini adalah: meskipun keduanya seperti terpukul oleh musuhnya sampai mati, dalam kematian itu mereka justru meremukkan musuh-musuhnya. Simson meremukkan orang-orang Filistin dan juga Dagon; Yesus dalam kematian-Nya meremukkan kuasa gelap dan dosa. Simson membawa seluruh kuil jatuh menimpa Dagon dan pengikut-pengikutnya sehingga kemenangan Dagon diputar balik. Boleh dibilang Simson membuat satu pemisahan, karena setelah zaman itu, tidak pernah lagi orang Israel dan orang Filistin bercampur. Ketika orang Filistisn menindas orang Israel di bagian-bagian berikutnya, orang Israel tidak pernah terima penindasan tersebut, mereka selalu berusaha melawan balik; demikian yang Saudara lihat dalam kisah Saul. dst., dan ini pada dasarnya adalah karena Simson. Ini satu kejadian yang permanen, karena kalau Saudara bagian dari suatu bangsa yang pernah dibunuh sekian banyaknya oleh bangsa tertentu, mana mungkin Saudara berteman lagi dengan mereka –itulah sebabnya orang Israel dan Filistin tidak pernah lagi bercampur.

Hal yang kedua, dalam salib Saudara melihat kemenangan Yesus atas kuasa gelap ini lebih jelas. Kolose 2:15, kita melihat bahwa kuasa setan dilucuti oleh Yesus; bagaimana caranya? Yaitu lewat mengambil hukuman atas dosa-dosa kita, yang adalah kematian; kalau hukumannya diambil, maka umat Tuhan mau dituduh atau dianiaya seperti apapun, itu ‘gak ngaruh, karena kematian –penalti yang terakhir itu—sudah diambil oleh Kristus. Kristus juga mengambil seluruh kuasa dosa dalam hidup kita, dan menggantinya dengan kuasa Roh Kudus yang memampukan kita mematahkan belenggu dari berhala-berhala dalam hidup kita. Dari semua yang kita lihat di sini, kematian Simson maupun hidup Simson dikisahkan bukanlah untuk kita hero-worship dia, atau kita merayakan selebriti satu ini yang penuh dengan kerusakan, tetapi semata-mata diberikan untuk kita lebih mengerti The True Hero di balik semua itu.

Satu hal lagi yang mirip dalam kedua tokoh ini, keduanya adalah penyelamat yang sendirian. Hakim-hakim yang sebelumnya –Otniel, Ehud–waktu berperang melawan penindas-penindas Israel, mereka berperang bersama seluruh Israel, yang bangkit bersama mereka. Tapi di zaman Debora dan Barak, hanya ada dua suku yang dibawa oleh Debora dan Barak; lalu sampai pada zaman Gideon, hanya sisa 300 orang yang dibawa Gideon untuk berperang. Sampai di zamannya Simson, hanya satu orang yang mau berperang melawan orang Filistin, yaitu Simson sendirian, sementara seluruh umat Israel tidak lagi mau berperang; bahkan Simson sendiri berperang dengan motivasi yang ngawur sampai pada akhir hidupnya. Kalau kita melihat lewat gambaran ini, dengan cara yang sama Yesus Kristus juga melakukan tindakan penyelamatan sendirian, bukan karena diminta, tapi bahkan ditolak.

Melalui kisah dalam Hakim-hakim ini kita melihat bahwa di satu sisi, Simson adalah hakim yang paling hancur dibandingkan semua hakim sebelumnya. Di sisi lain, dalam diri Simson kita melihat satu pola yang lain, bahwa lebih dari semua hakim-hakim sebelumnya, pola ‘Kristus’ makin nyata ditunjukkan di sini: kekalahan diubah jadi kemenangan; orang yang ditolak, dibelenggu, sendirian, dan akhirnya mati, justru adalah momen orang ini menang. Inilah yang kita lihat makin jelas dalam diri Yesus Kristus, dan inilah Injil. Injil adalah Yesus menjadi lemah, supaya lewat kelemahan-Nya ada kekuatan. Namun tentu saja satu hal yang membedakan Simson dengan Kristus adalah peran Simson berakhir dengan kematiannya, setelah mati maka ia dikubur dan periode Simson sebagai hakim atas Israel berakhir; tapi dalam kematian Yesus, dalam penguburan-Nya kita tahu, bukan cuma ada satu bab yang selesai tapi juga satu bab baru yang terbuka, karena justru kematian-Nya menyebabkan Yesus bertakhta lebih jauh dan lebih luas daripada sebelumnya. Ini benar-benar kematian yang malah menghidupkan, kematian yang malah membangkitkan, kematian yang malah membuat kita jadi kuat. Ini pola kuasa kebangkitan Yesus. Waktu kita menjadi orang Kristen, kita juga musti ingat hal ini, bahwa kita bukan dipanggil untuk hanya menjadi kuat, melainkan untuk menjadi kuat lewat cara dan pola yang seperti Kristus, yaitu lewat kelemahan kita dan bukan cuma kekuatan kita, lewat apa yang kita tidak yakin dan bukan cuma dari apa yang kita yakin.

Kembali pada hal yang sudah kita bicarakan minggu-minggu sebelumnya, kapan kita bisa mengatakan kuasa Kristus betul-betul bekerja di tengah-tengah sebuah Gereja? Bagaimana kita bisa mengevaluasi bahwa apa yang terjadi selama ini, membuat kita bisa yakin bahwa Tuhan bekerja di tengah-tengah kita? Karena kalau cuma masalah sukses, siapa yang bisa yakin itu dari Tuhan atau bukan? Saudara bisa lihat jelas, kesuksesan yang dari Tuhan, adalah kesuksesan justru yang datang dalam kegagalan, kesuksesan yang datang lewat hal-hal yang jelek/rusak, yang Tuhan justru pakai untuk membuat kekuatan. Ini satu hal yang harusnya jadi pengharapan kita; waktu kita mau mengevaluasi diri sebagai sebuah Gereja, kita perlu bertanya hal ini. Waktu Saudara mau mengevaluasi diri Saudara, panggilan Saudara, sebagai seorang pelayan atau sebagai seorang jemaat, Saudara perlu bertanya hal ini. Yang perlu kita tanya bukanlah ‘saya ada talenta apa, dan seberapa talenta saya ini dipakai Tuhan’ –tentu ini salah satu kriteria yang bisa kita pakai– tapi juga dalam tempat-tempat di mana ‘saya ada kelemahan apa’, kemudian melihat di dalam beberapa bulan atau beberapa tahun belakangan ini bagaimana Tuhan bekerja melalui kelemahan ini. Kelemahan tersebut ujungnya hanya jadi batu sandungan bagi orang lain, atau malah menjadi satu kekuatan, malah Tuhan bekerja lewat itu. Saudara, salah satu hal yang membuat saya bisa lebih yakin sebagai seorang pengkhotbah, bukanlah karena saya khotbahnya selalu bagus, tapi karena dalam momen-momen ketika saya bisa kurang persiapan, ketika rasa kurang yakin dengan khotbahnya, ternyata Tuhan tetap bekerja. Ini sulit dijelaskan.

Kembali lagi, waktu kita hari ini dipanggil sebagai sesuatu, dan kita melihat ‘saya ada kelemahan ini dan itu’, apa yang kita lakukan? Hanya self-pity, ‘yah, saya memang ‘gak bisa, diri saya memang seperti ini’ –jadi self-worship; atau kita menjadi orang yang hero-worship, ‘jadi hamba Tuhan harus kayak begini, jadi pelayan Tuhan harus kayak begitu, jemaat harus kayak begini dan begitu’ lalu akhirnya kita tidak sanggup menjalankannya. Tidak demikian, Saudara. Pola yang kita perlu lihat adalah: apakah Tuhan bekerja lewat kelemahan ini, dan kita rela atau tidak dipakai oleh Tuhan lewat kelemahan ini. Kalau kita tidak pernah rela mengalami kelemahan itu, maka kelemahan itu tidak bisa dipakai; kalau kita tidak pernah rela untuk menunjukkan kelemahan itu, kita juga tidak bakal bisa dipakai. Kalau kita KTB hanya mau dengan orang-orang yang ngobrolnya enak, ya, kita tidak bakal dipakai kelemahannya demi kemuliaan Tuhan. Kalau Saudara hanya mau melayani di tempat yang Saudara yakin ada talenta banyak, Saudara tidak akan pernah dipakai untuk memperlihatkan kelemahan Saudara dipakai oleh Tuhan.

Ada banyak orang waktu diajak ikut Paduan Suara, menjawab, “Ah, saya ‘gak bisa nyanyi”; kalau demikian berarti Saudara pikir Saudara baru bisa dipakai Tuhan dalam kekuatanmu. Saudara jadi sama seperti Simson yang berpikir kekuatanmu adalah kekuatan-mu, dan bukan anugerah Tuhan. Tentu saja syarat Paduan Suara juga bukan ‘pokoknya Saudara datang saja dengan segala kelemahanmu, tidak apa-apa, kita terima semua orang, fals atau tidak itu tidak penting; kita terima semua, kita tidak bicara kekuatan tapi kelemahan, koq’; kalau seperti itu, sebenarnya Saudara juga sedang tidak merasa lemah. Orang yang mengasihani diri, yang kerjanya selalu minta maaf, ‘maaf ya, saya ini lemah, lho’, itu bukan sedang mengalami kelemahan, tapi justru sedang mencari-cari kekuatan, karena orang lain jadinya tidak bisa bilang “iya, lu emang parah!” Orang yang selalu bilang dirinya lemah, lemah, dan lemah, dia bukan sedang mengakui kelemahannya; orang yang mengakui kelemahannya, justru adalah orang yang justru berkata, “iya, saya tidak benar kalau kayak begini, saya musti berubah, saya musti bertambah”. Kalau Saudara mengakui kelemahan, Saudara akan berubah.

Kalau orang lihat di cermin ada jerawat di wajahnya, maka dua reaksi yang mungkin: yang satu bilang ‘ah, cuma jerawat, biar aja’, satunya lagi, ‘waduh jerawat, ini musti diberesin’. Yang mana dari dua reaksi ini, orang yang sedang mengalami kelemahan? Tentu bukan yang pertama; bagi dia itu bukan kelemahan. Sedangkan yang kedua, yang merasa ada sesuatu dan harus melakukan sesuatu, dia mengakui ada kelemahan; dan orang yang terbuka seperti ini barulah kelemahannya bisa dipakai, karena bagaimana mungkin kelemahan bisa dipakai kalau mengakuinya saja tidak mau.

Kembali ke paduan suara –satu contoh sederhana saja– yang dituntut ada pada Saudara bukanlah suara yang bagus, bukan kemampuan musik yang hebat, tapi keterbukaan untuk belajar dan bertumbuh. Ini satu hal yang sama bagi semua jenis pelayanan, yaitu keterbukaan untuk bertumbuh, keterbukaan untuk mengakui kelemahan. Mengapa? Karena kita melihat dalam cerita Alkitab berkali-kali, bahwa Allah justru memakai pola ini; Saudara mau menjadi orang Kristen, berarti Saudara ikut dalam pola Yesus Kristus, dalam pola ‘Saudara menjadi lemah, dan kelemahan Saudara itu malah dipakai demi kekuatan Allah Alkitab, kekuatan Gereja Tuhan’. Ini hal yang sulit, dan kita semua mengalami ini. Saya juga mengalami pergumulan mengenai hal ini. Kita semua mengalami bahwa kita tidak ingin mengerjakan hal-hal yang kita rasa tidak ahli, tidak ada talenta; tapi bagaimana jika, inilah Gereja, tempat tubuh Kristus, di mana kita justru bisa terbuka akan kelemahan tersebut, karena Allah kita adalah Allah yang tidak terikat dengan kesetiaan umat-Nya, kehebatan umat-Nya, kebodohan atau kepintaran umat-Nya, tapi Allah yang beranugerah. Dan Saudara lihat itu dalam hidup Anak-Nya sendiri.

Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah (MS)
Gereja Reformed Injili Indonesia Kelapa Gading

Apa yang terjadi dengan kehidupan orang tua Simson?

Jawaban: Orang tua Simson tidak tahu bahwa Tuhanlah yang membuat Simson melakukan hal itu,sehingga orang tua Simson menentang keinginan Simson untuk meminang Gadis Filistin,namun pada akhirnya orang tua Simson menuruti keinginan Simson untuk meminang Gadis Filistin tersebut.

Apa yang terjadi dalam hidup Simson dalam Kitab Hakim

Membunuh singa dan beberapa orang filistin Ketika itu, simson dalam perjalanan ke tempat orang filistin bertemu dengan singa yang mengaum namun dibunuh dengan tangan kosong oleh simson, dan simson juga membunuh ratusan orang filistin yang jahat.

Apa yang menjadikan hidup Simson hancur?

Salah satu alasan utama dari kegagalan Simson adalah karena ia telah menjadikan Tuhan sebagai “ban serep”, artinya ia hanya menghampiri Tuhan pada waktu terjepit saja. Simson jatuh karena “lelah”. Simson jatuh karena dia berjalan hanya sendirian saja (a lone ranger).

Apakah Simson bertobat?

Simson, sekarang dengan sikap bertobat dan iman yang dibaharui kepada Allah, berseru kepada Tuhan, dan doanya dikabulkan. Pertunjukan iman Simson ini berakibat namanya tercantum dalam daftar pahlawan iman (lihat Ibrani 11:32).