Apakah batal air wudhu jika bersentuhan dengan suami?

loading...

Batalkah wudhu jika tersentuh suami? Bagaimana dalilnya? Lalu, siapa saja yang bisa membatalkan wudhu bagi seorang perempuan yang sudah bersuami?

Dalam pandangan 4 mazhab , tentang wudhu perempuan yang bersentuhan dengan suaminya, terdapat beberapa pendapat. Mengutip tulisan Ustadz Wahyudi Abdurrahim, Lc, M.M dalam laman tanya jawab agama, ia menjelaskan pandangan 4 mazhab tersebut.

Baca juga: Cara Wudhu yang Benar Berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah

1. Mazhab Syafi'iyah - Membatalkan Wudhu

Menurut mazhab ini, batal wudhunya karena istri bukan mahram, meskipun antara mereka berdua melakukan sentuhan dengan tanpa syahwat. Dalilnya adalah firman Allah berikut:

وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan [basuh] kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air [kakus] atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik [bersih] [QS. Al-Maidah: 6]

Menurut Imam Syafii, kata لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ adalah bersentuhan antara kulit laki-laki dan perempuan bukan mahram meski tanpa jimak. Istidlalnya sebagai berikut:

Pada permulaan ayat, Allah Subhanahu wa ta'ala menyebutkan mengenai mandi jinabah. Kemudian bersentuhan dengan perempuan diathafkan ke al-ghaith [buang air besar] dengan huruf athaf أَوْ. Dari sini bisa dipahami bahwa menyentuh perempuan termasuk hadas kecil seperti orang melakukan buang air besar. Ini berbeda dengan jinabah yang diharuskan mandi besar. Jadi yang dimaksudkan لَامَسْتُمُ di sini adalah menyentuh dengan tangan dan bukan bermakna jimak.

Secara bahasa, لامس maknanya adalah لمس yaitu menyentuh. Pernyataan ini dikuatkan dengan qiraat lain yang menggunakan kata لمس dan bukan لامس. Semua itu, maknanya adalah sentuhan antara dua kulit.
Pernyataan ini juga dikuatkan dengan firman Allah:

فَلَمَسُوهُ بِأَيْدِيهِمْ [الأنعام/7]

Mereka juga menggunakan dalil hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia berkata, Seorang laki-laki yang mencium istrinya dan menyentuh tubuhnya dengan tangannya merupakan bagian dari الملامسة [saling bersentuhan]. Barangsiapa yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya maka hendaknya ia berwudhu kembali. [HR Malik dalam kitab al-Muwatha].

Dalam kitab Hasyiyatu al-Baijuri dikatakan, “Ketahuilah bahwa bersentuhan dapat membatalkan wudhu jika terpenuhi 5 perkara, yakni:
1] bersentuhan dengan lawan jenis.
2] harus bersentuhan dengan kulit, bukan dengan rambut, kuku atau gigi
3] tanpa adanya penghalang
4] sampai batas-batas dimana sentuhan dapat menimbulkan syahwat
5] dengan orang yang bukan mahram.

Baca juga: Kebaikan-kebaikan bagi Orang Sabar yang Disebutkan dalam Al-Qur'an

2. Mazhab Hanafiyah - Tidak Membatalkan Wudhu

Menurut mazhab Hanafiyah, bersentuhan dengan perempuan sekali tidak membatalkan wudhu secara mutlak, baik dengan istri, maupun perempuan lain yang bukan mahram. Baik bersentuhan dengan syahwat maupun tidak.

Imam Syarkasyi dari kalangan mazhab Hanafiyah mengatakan, “Bagi yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya, baik dengan syahwat atau tidak, ia tidak diwajibkan berwudhu. [Kitab al-Mabsuuth jilid 1 hal 121].

Dalil yang dijadikan sebagai pegangan sebagai berikut:

Hukum asal adalah suci. Artinya seseorang yang telah berwudhu tidak serta merta dapat batal kecuali jika ada dalil sharih yang shahih. Banyak terdapat dalil dari hadis Nabi Muhammad saw bahwa Nabi Muhammad saw mencium Aisyah dan beliau tidak berwudhu kembali. Di antaranya hadis berikut:

[كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُولِ اللهِ صلى الله عليه وسلم وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ، فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي] متفق عليه.

ADA begitu banyak pendapat di antara ulama soal suami-istri. Misalnya saja soal wudhu. Apakah batal wudhu seorang suami ketika menyentuh istrinya, dan atau sebaliknya?

Para ulama fikih berselisih pendapat tentang masalah ini, ada berbagai pendapat yang cukup banyak. [Lihat al-Majmu’ 2:34 Imam Nawawi]. Di sini kami akan sebutkan tiga pendapat saja:

Pendapat Pertama: Menyentuh wanita membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat atau tidak, tetapi kalau ada pembatasnya seperti kain, maka tidak membatalkan wudhu.

BACA JUGA: Manfaat Wudhu, Mulai dari Refleksi Syaraf hingga Penghapus Dosa

Pendapat ini populer dalam madzhab Syafi’i. Pendapat berlandaskan dengan berbagai argumen, yang paling masyhur dan kuat adalah firman Allah dalam surat An-Nisa’: 43.

أَوْ لاَمَسْتُم النِّسَآءَ

“Atau kamu telah berjima’ dengan istri.” [QS. An-Nisa’: 43].

Mereka mengartikan kata لاَمَسْتُمُ dalam ayat tersebut dengan menyentuh. [Lihat al-Umm 1:30 oleh Imam Syafi’i dan al-Majmu’ 2:35 oleh Imam Nawawi].

Pendapat Kedua: Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu secara mutlak baik dengan syahwat maupun tidak berdasarkan beberapa dalil berikut:

Dalil Pertama

Ketika seseorang berwudhu, maka hukum wudhunya itu hukum asalnya suci dan tidak batal sehingga ada dalil yang mengeluarkan dari hukum asalnya. Dalam hal ini, pembatal itu tidak ada, padahal kita ketahui bersama bahwa menyentuh isteri adalah suatu hal yang amat sering terjadi.

Seandainya itu membatalkan wudhu, tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada umatnya dan masyhur di kalangan sahabat, tetapi tidak ada seorang pun dari kalangan sahabat yang berwudhu hanya karena sekedar menyentuh istrinya. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 21:235].

Dalil Kedua

Dari Aisyah d bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mencium sebagian istrinya kemudian keluar menuju shalat dan tidak berwudhu lagi. Saya [Urwah] berkata: Tidaklah dia kecuali Anda kan? Lalu Aisyah tertawa.

BACA JUGA: Wudhu, Inilah 5 Hal yang Dimakruhkan

[Shahih. Riwayat Tirmidzi: 86, Abu Dawud: 178, Nasa’i: 170, Ibnu Majah: 502 dan dishahihkan al-Albani dalam al-Misykah: 323. Lihat pembelaan hadis ini secara luas dalam at-Tamhid 8:504 Ibnu Abdil Barr dan Syarh Tirmidzi 1:135-138 Syaikh Ahmad Syakir].

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu sekalipun dengan syahwat. Demikian ditegaskan oleh Syaikh al-Allamah as-Sindi dalam Hasyiyah Sunan Nasa’i 1:104.

Dalil Ketiga

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Saya pernah tidur di depan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan kedua kakiku berada di arah kiblatnya. Apabila beliau sujud, maka beliau menyentuhku lalu saya pun mengangkat kedua kakiku, dan bila beliau berdiri, maka aku membentangkan kedua kakiku seperti semula. [Aisyah] berkata: “Rumah-rumah saat itu masih belum punya lampu”. [HR. Bukhari: 382 dan Muslim: 512].

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh istri tidaklah membatalkan wudhu. Adapun takwil al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 1:638 bahwa kejadian di atas bisa jadi karena ada pembatasnya [kain] atau kekhususan bagi Nabi, maka takwil ini sangat jauh sekali dari kebenaran, menyelesihi dhahir hadis dan takalluf [menyusahkan diri].

[Periksa Nailul Authar asy-Syaukani 1:187, Subulus Salam as-Shan’ani 1:136, Tuhfatul Ahwadzi al-Mubarakfuri 1:239, Syarh Tirmidzi Ahmad Syakir 1:142].

Dalil Keempat

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pada suatu malam saya pernah kehilangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dari tempat tidur maka saya mencarinya lalu tanganku mengenai pada kedua punggung kakinya yang tegak, beliau shalat di masjid seraya berdoa: “Ya Allah saya berlindung dengan ridha-Mu dari kemurkaan-Mu…”. [HR. Muslim: 486].

Hadis ini menunjukkan bahwa istri menyentuh suami tidaklah membatalkan wudhu. Adapun penjelasan Imam Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim 4:152 bahwa kejadian tersebut bisa jadi karena ada pembatas kainnya, maka menyelisihi dhahir hadis. [Lihat at-Tamhid 8:501 Ibnu Abdil Barr dan Tafsir al-Qurthubi 5:146].

BACA JUGA: Wudhu Sebelum Tidur, Ini 7 Manfaatnya

Dalil Kelima

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat sedangkan saya tidur terbentang di depannya layaknya jenazah sehingga apabila beliau ingin melakukan witir, maka beliau menyentuhku dengan kakinya”.

[HR. Nasai 1/102/167. Imam Za’ilai berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat shahih dan dishahihkan Imam Nawawi dalam al-Majmu’ 2:35].

Hadis ini menunjukkan bahwa menyentuh wanita tidaklah membatalkan wudhu dengan kaki atau anggota badan lainnya. Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata dalam at-Talkhis hal. 48: “Sanadnya shahih, hadis ini dijadikan dalil bahwa makna “Laamastum” dalam ayat adalah jima’ [berhubungan] karena Nabi menyentuh Aisyah dalam shalat lalu beliau tetap melanjutkan [tanpa wudhu lagi -pent]”.

Pendapat Ketiga:

Rincian:

Batal wudhunya apabila menyentuh wanita dengan syahwat, dan tidak batal apabila tidak dengan syahwat. Dalil mereka sama seperti pendapat kedua, tetapi mereka membedakan demikian dengan alasan “Memang asal menyentuh tidak membatalkan wudhu, tetapi menyentuh dengan syahwat menyebabkan keluarnya air madhi dan mani, maka hukumnya membatalkan” [Lihat al-Mughni 1:260 Ibnu Qudamah].

Pendapat yang rajih [kuat] adalah pendapat kedua yaitu:

Menyentuh wanita tidak membatalkan wudhu baik dengan syahwat ataupun tidak, kecuali apabila mengeluarkan air mani dan madhi maka batal wudhunya atau minimal adalah pendapat ketiga.

Adapun pendapat pertama, maka sangat lemah sekali karena maksud ayat tersebut adalah jima’ [hubungan suami istri] berdasarkan argumen sebagai berikut:

Salah satu makna kata لَمَسَ dalam bahasa Arab adalah jima’ [al-Qamus al-Mukhith al-Fairuz Abadi 2:259].

BACA JUGA: Ini Nih Hal-hal yang Dimakruhkan dalam Wudhu

Para pakar ahli tafsir telah menafsirkan ayat tersebut dengan jima’ diantaranya adalah sahabat mulia, penafsir ulung yang dido’akan Nabi, Abdullah bin Abbas, demikian pula Ali bin Abi Thalib, Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Thawus, Hasan Al-Bashri, Ubaid bin Umair, Said bin Jubair, Sya’bi, Qotadah, Muqatil bi Hayyan dan lainnya.

[Lihat Tafsir Ibnu Katsir 1/550]. Pendapat ini juga dikuatkan Syaikh ahli tafsir, Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 5/102-103 dan Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid.

Mengompromikan antara ayat tersebut dengan hadis-hadis shahih di atas yang menegaskan bahwa Rasulullah  menyentuh bahkan mencium istrinya [Aisyah] dan beliau tidak berwudhu lagi.

Imam Ibnu Abdil Barr dalam at-Tamhid 8:506 dan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis menukil dari Imam Syafi’i bahwa beliau berkata: “Seandainya hadis Aisyah tentang mencium itu shahih, maka madzhab kita adalah hadis Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam”.

BACA JUGA: Benarkah Kaget Bisa Membatalkan Wudhu?

Perkataan serupa juga dikatakan oleh Imam Al-Baihaqi, pejuang madzbab Syafi’i. Hal ini menunjukkan bahwa kedua imam tersebut tidak menetapkan bahwa maksud لاَمَسْتُم dalam ayat tersebut bermakna “Menyentuh” karena keduanya menegaskan seandanya hadis Aisyah shahih, maka beliau berdua berpendapat mengikuti hadis.

Seandainya kedua imam tersebut berpendapat seperti hadis, maka mau gak mau harus menafsirkan ayat tersebut bermakna “jima” sebagaimana penafsiran yang shahih. [Syarh Tirmidzi 1/141 oleh Syaikh Ahmad Syakir].

Demikianlah jawaban yang kami yakini berdasarkan dalil-dalil yang shahih, bukan fanatik madzhab dan mengikuti apa kata banyak orang. Semoga Allah menambahkan ilmu dan memberikan keteguhan kepada kita. Wallahu A’lam. []

SUMBER: KONSULTASI SYARIAH

Apakah suami istri tidak boleh bersentuhan setelah wudhu?

Sebagaimana diketahui, setelah berwudhu, umat muslim dilarang bersentuhan dengan lawan jenis, terutama yang bukan mahramnya. Sebab hal itu dapat membatalkan wudhu.

Suami menyentuh istri Batalkah wudhu nya menurut 4 imam mazhab?

Imam Syarkasyi dari kalangan mazhab Hanafiyah mengatakan, “Bagi yang mencium istrinya atau menyentuh kulitnya, baik dengan syahwat atau tidak, ia tidak diwajibkan berwudhu. [Kitab al-Mabsuuth jilid 1 hal 121].

Apakah suami istri itu muhrim?

Karena memang istri atau suami kita adalah bukan mahram. Hal ini berbeda dengan jika kita bersentuhan dengan ibu, anak, keponakan, bibi, hal itu jelas tidak membatalkan wudhu, karena mereka adalah mahram yang jelas tidak bisa dinikah.

Siapa saja orang yang tidak membatalkan wudhu?

Ibu dan nenek, baik dari pihak bapak atau pun ibu dan seterusnya sampai ke atas..
Anak, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah..
Saudara perempuan seibu sebapak, seibu saja atau sebapak saja..
Saudara perempuan dari bapak..
Saudara perempuan dari ibu..
Anak perempuan dari saudara laki-laki dan seterusnya..

Bài mới nhất

Chủ Đề