Apakah buku self improvement non fiksi?

Apakah buku self improvement non fiksi?


Kalau dipikir-pikir, sebagian besar buku yang aku baca genrenya adalah pengembangan diri atau lebih dikenal dengan Self-Improvement. Makin bertambahnya usia, bacaanku memang semakin berubah. Kalau dulu lebih sering baca novel klasik atau misteri (dua genre ini adalah bacaan kesukaanku) atau kalau non-fiksi yang lebih cenderung ke sosial politik, sekarang lebih sering baca non-fiksi pengembangan diri. Sebenarnya membaca itu perjalanan personal dan sesuai kebutuhan, jadi bacaan apapun gak masalah selama itu memenuhi kebutuhan kita. Dan sejak awal pandemi, kondisi mental memang butuh semacam healing, jadi mulailah aku membaca banyak jenis buku pengembangan diri. Lantas apa sih manfaat baca buku pengembangan diri? Kenapa memilih jenis bacaan semacam ini ketimbang novel inspiratif?
Aku paham, banyak memang yang menyatakan kalau bacaan pengembangan diri itu membosankan dan terkesan kebanyakan motivasi. Banyak juga yang bilang kalau bacaan semacam ini susah dicerna. Memang sih, bagi yang terbiasa baca novel akan terasa susah dan membosankan untuk membaca genre ini. Tapi bagiku, membaca buku jenis pengembangan diri ini lebih baik dibaca ketika kita benar-benar butuh. Dalam artian, ketika kita membaca buku pengembangan diri untuk mengusir bosan, kebanyakan malah makin bosan karena gak dapet apa yang dicari. Kembali lagi, membaca itu sesuai kebutuhan. Ada yang butuh hiburan, ada yang butuh insight baru, ada yang butuh wawasan baru. Jadi ya agak kurang tepat aja ketika kita butuh hiburan, malah baca buku sejenis Atomic Habits. Yang ada malah otak panas dan bosan.
Mengapa membaca buku pengembangan diri? Untuk alasan pribadi, aku membaca buku jenis ini adalah untuk menambah pandangan dan mindset baru. Ketika aku merasa hidupku ada yang salah, sudah dapat dipastikan mindset-ku sedang perlu perbaikan, sehingga aku akan mencari pandangan baru. Sebagai contoh, kenapa aku jadi gampang tersinggung atau mengalami emosi negatif lainnya? Nah, kemudian aku berusaha mencari jawaban lewat buku Filosofi Teras. Atau misal, kenapa sih akhir-akhir ini imanku jadi turun? Gimana biar bisa lebih rajin ibadah? Nah, aku berusaha menemukan jawabannya di buku spiritual semacam Reclaim Your Heart. Dan lain sebagainya.
Lantas, mengapa lebih memilih baca non-fiksi ketika ada novel yang memuat nilai-nilai serupa? Sebenarnya jawaban ini sudah pasti sangat subjektif. Gimana ya, pelajaran yang diambil dari novel itu kan tersirat dan kita gak akan tau nilai yang dimuat kalau kita belum selesai membacanya. Sementara kalau buku non-fiksi kan biasanya langsung ditunjukin ini buku tentang apa dan untuk perbaikan apa. Misalnya, aku butuh membangkitkan kepercayaan diri. Kalau non-fiksi kan bisa langsung nyari yang judulnya memuat hal serupa, misalnya How to Respect Myself. Sementara kalau novel, aku pun bingung untuk mencari "novel yang ngasih pelajaran tentang kepercayaan diri tuh apa ya?". Butuh waktu lama untuk menemukan. Maka dari itu, kalau misal aku butuh pandangan baru dengan tema tertentu, aku lebih sering memilih baca non-fiksi pengembangan diri.
Di sini aku tidak meng-unggulkan bacaan non-fiksi ketimbang fiksi ya. Balik lagi, sesuai kebutuhan. Kalau misal lagi butuh pandangan dan pelajaran baru yang mendesak, aku pribadi lebih sering memilih non-fiksi. Akan tetapi kalau misal aku lagi butuh pandangan baru tapi tidak mendesak, tentu saja aku memilih fiksi. Lawong itu sangat menghibur. Misal aku baru tau pas udah selesai baca, kalau Pride and Prejudice itu memuat nilai tentang tata krama bangsawan, atau misal The Great Gatsby itu mengajarkan supaya gak terlalu bucin dan lain sebagainya. Jadi sekali lagi, membaca itu disesuaikan dengan kebutuhan, bukan untuk keren-kerenan. Sekian dan terima kasih bagi yang sudah membacanya.