Bagaimana bentuk akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam dalam seni bangunan?

Ilustrasi patung sebagai bentuk akulturasi budaya di Indonesia. Foto: Pexels.com

Setiap negara tentunya akan mengalami akulturasi kebudayaan yang terjadi melalui lingkungan masyarakat, termasuk juga di Indonesia.

Menurut jurnal Akulturasi Budaya Lokal dengan Budaya Islam dalam Tradisi Kematian (Angalle Allo) di Kelurahan Malakaji Kecamatan Tompobulu Kabupaten Gowa yang disusun oleh Irmawati, akulturasi budaya merupakan proses bercampurnya dua unsur budaya atau lebih yang bersifat melengkapi, tanpa menghilangkan corak budaya yang lama.

Proses akulturasi akan terjadi apabila tiap-tiap kebudayaan yang saling berpadu itu seimbang.

Berikut ini bentuk-bentuk akulturasi antara kebudayaan Islam dengan kebudayaan Indonesia yang telah berkembang sebelumnya, menurut jurnal Perpaduan Budaya Lokal, Hindu Buddha, dan Islam di Indonesia oleh Nur Rokhman.

Bentuk-bentuk Akulturasi yang Dilihat dari Seni Bangunan

Seni bangunan yang berkembang pada masa Islam di Indonesia menunjukkan adanya perpaduan antara unsur kebudayan Islam dengan kebudayaan Indonesia yang telah ada.

Berikut ini contoh bentuk-bentuk akulturasi budaya dari seni bangunan:

Dengan adanya perpaduan budaya, bangunan masjid dan menara di Indonesia memiliki bentuk yang unik. Masjid hasil akulturasi budaya ini memiliki ciri-ciri, sebagai berikut:

  • Atapnya bersusun atau bertingkat, biasanya memiliki tingkatan dalam jumlah ganjil.

  • Tak memiliki menara dalam bangunan masjid. Umumnya di sejumlah negara, masjid memiliki menara untuk memberi informasi dan melantunkan adzan. Namun, di Indonesia kedua hal itu dapat dilakukan dengan pemukulan bedug.

  • Pintu masjid yang berbeda-beda tergantung latar belakang kebudayaan yang memengaruhinya. Contohnya pintu masuk Masjid Kudus yang menyerupai pintu masuk dalam bangunan agama Hindu.

Pemakaman mayat pada zaman Islam di Indonesia dipengaruhi oleh pandangan dan budaya yang berkembang sebelumnya. Kebiasaan zaman sebelum kedatangan dan perkembangan Islam juga masih dilakukan oleh masyarakat muslim.

Contohnya, mayat akan dimasukkan ke dalam kubur batu pada zaman kuno di Indonesia. Kemudian, pada zaman masuknya Islam, mayat tersebut dimasukkan ke dalam peti.

Masyarakat Indonesia masih berpandangan bahwa makam merupakan kediaman terakhir seseorang yang abadi. Oleh sebab itu, makam pada budaya di Indonesia disesuaikan dengan kedudukan orang yang dikubur.

Misalnya, makam para raja atau orang-orang penting menurut sejarah akan dibangun layaknya istana. Seolah makam ini disamakan oleh orang tersebut dan akan dikelilingi oleh makam keluarganya serta pengiringnya semasa hidup.

Ilustrasi lukisan sebagai bentuk akulturasi budaya di Indonesia. Foto: Pexels.com

Selain seni bangunan, bentuk-bentuk akulturasi budaya di Indonesia juga dapat tercermin dari hasil seni ukirnya. Dalam ajaran Islam, penganutnya dilarang untuk mengukir, membuat patung, dan melukis makhluk hidup.

Para seniman di zaman keislaman Indonesia mengembangkan seni ukir dengan membuat motif-motif alam, seperti daun dan bunga. Kalau terpaksa harus melukis manusia dan binatang, merekaakan menggabungkan dengan unsur alam. Contohnya, lukisan manusia tanpa wajah.

4. Aksara dan seni sastra

Berkembangnya pengaruh kebudayaan Islam di Indonesia juga berdampak pada bidang seni sastra dan aksara. Huruf arab biasanya digunakan untuk menulis dan menjadi sebuah kesenian yang dikenal dengan seni kaligrafi.

Dalam bidang seni sastra berkembang karya sastra hikayat, babad, dan suluk. Hikayat merupakan karya sastra yang berisi cerita sejarah atau dongeng. Kemudian babad ialah cerita sejarah yang bercampur dengan mitos dan kepercayaan masyarakat. Sedangkan suluk, yakni kitab-kitab yang isinya menjelaskan soal pelajaran agama (tasawuf).

Selain akulturasi bidang seni rupa, sejarah juga mencatat akulturasi Hindu, Buddha dan Islam juga terjadi dalam hal seni bangunan. Hal ini nyata terlihat misalnya pada bangunan pemujaan. Jika pada masa praaksara pemujaan terhadap arwah nenek moyang diwujudkan dengan bangunan punden berundak, pada masa Hindu-Buddha diwujudkan dalam bentuk candi.

Dalam bentuk candi, unsur kebudayaan praaksara tidak ditinggalkan, sebagaimana terlihat pada struktur bertingkat-tingkat pada bangunan candi, mirip dengan punden berundak pada masa praaksara. Proses akulturasi yang sama juga terlihat pada letak dan bentuk makam.

Pada masa Islam, meski makamnya sudah lebih sederhana dan tidak besar, makam dibangun di tempat yang berbukit, mirip dengan konsep punden berundak.

Sebagai contoh tampak pada bangunan makam raja-raja Jawa seperti yang ada di Imogiri, Jogyakarta yang dibangun di atas bukit, di mana bangunan makam yang teratas adalah makam Sultan Agung, raja Mataram.

Contoh lainnya juga bisa dilihat pada makam Sunan Gunung Jati, yang juga terletak di perbukitan Gunung Jati, Cirebon, serta makam Sunan Muria yang terletak di lereng gunung Muria, Tempur, Keling, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah. Bangunan di atas bukit ini jelas masih menunjukkan konsep dari bangunan punden berundak-undak.

Sementara itu, pada makam Islam yang sering kita jumpai bangunan kijing atau jirat, yaitu bangunan makam yang terbuat dari tembok batu bata, yang terkadang disertai bangunan rumah atau cungkup di atasnya. Padahal, dalam ajaran Islam tidak dikenal aturan tentang adanya kijing dan cungkup. Adanya bangunan tersebut jelas dipengaruhi oleh ciri bangunan candi dalam periode Hindu-Buddha.

Wujud akulturasi lain adalah dalam hal ukiran bangunan makam. Hiasan pada jirat batu kubur berupa susunan bingkai meniru bingkai pada panel relief bangunan candi. Pada dinding rumah, makam, dan gapura terdapat corak dan hiasan yang mirip dengan corak pada hiasan pada Pura Ulu watu di Bali dan Pura Sakenan Duwur di Tuban, Jawa Timur.

Bentuk akulturasi lain dalam hal seni bangunan lain terlihat pada bangunan masjid di Indonesia, terutama di pulau Jawa, bangunan masjid di Jawa berbentuk seperti pendapa, yaitu balai atau ruang besar tempat rapat, dengan komposisi ruang yang berbentuk persegi dan beratap tumpang.

Bagian atap bangunan masjid di Timur Tengah biasanya berbentuk kubah, tetapi di Jawa diganti dengan atap tumpang dengan jumlah susunan bertingkat dua, tiga dan lima. Hal ini mirip dengan bentuk bangunan pura, rumah ibadah agama Hindu.

Karena itu, pada masjid-masjid kuno kurang dikenal penggunaan menara di masjid sebagai sarana untuk menyerukan adzan sebagai tanda datangnya waktu shalat, sebagaimana lazim di Timur Tengah. Tercatat hanya ada beberapa bangunan masjid yang menggunakan menara, seperti Masjid Agung Cirebon, Masjid Menara Kudus, Masjid Agung Banten, dan Masjid Tambora di Jakarta.

Namun, meski demikian, di awal-awal perkembangannya hanya ada dua masjid yang memiliki menara, yaitu Masjid Menara Kudus dan Masjid Banten. Menara Masjid Kudus berbentuk seperti Candi Langgam (Jawa Timur) namun beratp tumpang, sedangkan menara Masjid Agung Banten yang dibangun pada zaman Belanda, mirip bangunan mercusuar.

Adanya kentongan atau bedug yang dibunyikan di masjid sebagai pertanda masuknya waktu shalat menunjukkan adanya unsur Indonesia asli. Bedug atau kentongan tidak ditemukan pada masjid-masjid di Timur Tengah.

Sementara itu, masjid yang dibangun di dalam kompleks makam atau di tempat yang dianggap keramat disebut masjid-makam, masih menggunakan ornamen yang bercorak Hindu-Buddha.

Gapura beratap dan berpintu yang merupakan jalan masuk kompleks makam keramat disebut kori agung. (warisan Hindu), sedangkan gapura yang merupakan jalan masuk kompleks makam disebut candi bentar (juga warisan Hindu). Selain itu, ada juga gapura yang berbentuk candi.

Terakhir, dalam hal letak bangunan masjid. Dalam ajaran Islam letak bangunan masjid tidak diatur secara khusus. Namun, di Indonesia penempatan masjid, khususnya masjid agung, diatur sedemikian rupa sesuai dengan komposisi macapat, di mana masjid ditempatkan di sebelah barat alun-alun dan dekat dengan istana (keraton) yang merupakan simbol bersatunya rakyat dan raja.

Baca juga: Akulturasi Hindu Buddha Islam bidang sastra