Bagaimana cara Anda mengkritik karya seni orang lain

Show

Analisa Karya lazimnya ditempatkan pada Bab IV dalam Pengantar Karya. Analisa karya ini merupakan pembahasan dari karya yang telah dibuat dengan otokritik melalui deskripsi karya, analisis formal dan evaluasi atau penilaian. adapaun uraiannya sebagai berikut :

Dalam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan atau otokritik (mengkritik karya sendiri), biasanya terdapat unsur deskripsi karya seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan terakhir tahap evaluasi atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Unsur-unsur kritik seni tersebut di atas sistematikanya dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak, tergantung tujuan kritik seni itu dilakukan. Pada kritik jurnalistik, karena keterbatasan kolom, maka uraian kritik seni biasanya disesuaikan dengan gaya selera penulisan media massanya.Kritik seni awalnya merupakan kebutuhan untuk menjelaskan makna seni, dan kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari kegiatan berbincangbincang tentang seni, maka pada tahapan akhirnya akan dicoba dan dirumuskan pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni.

1. Deskripsi

Deskripsi dalam kritik seni adalah suatu penggambaran atau pelukisan dengan katakata apa-apa saja yang tersaji dalam karya seni rupa yang ditampilkan. Uraian ini berupa penjelasan dasar tentang hal-hal apa saja yang tampak secara visual, dan diharapkan dalam penjelasan tersebut dapat membangun bayangan atau image bagi pembaca deskripsi tersebut mengenai karya seni yang disajikan. Deskripsi bukan dimaksudkan untuk menggantikan karya itu sendiri, tetapi diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai gambaran visual mengenai citra yang ditampilkan secara jelas dan gamblang. Pada tahapan deskripsi ini, penilaian atau keputusan mengenai karya seni dapat ditangguhkan terlebih dahulu, karena kritik harus mendahulukan penjelasan-penjelasan dasar berupa suatu gambaran yang lengkap. Selain itu, uraian deskripsi juga tidak mengindahkan interpretasi atau tafsiran awal sebelum bukti-bukti, dan data-data, serta fakta konsep berkarya  berhasil dikumpulkan.

Uraian deskripsi biasanya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana apa adanya, dan juga berusaha menelusuri gagasan, tema, teknis, media, dan cara pengungkapannya. Uraian deskripsi meliputi uraian mengenai hal-hal yang diwujudkan pada karya secara kasat mata mengenai garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain, tanpa mencoba memberikan interpretasi dan penilaian, sehingga uraian deskripsi menjelaskan secara umum apa-apa saja yang terlihat dalam pandangan mata, tanpa harus memancing perbedaan pendapat atau berusaha memperkecil perbedaan penafsiran.


2. Analisis Formal
Anilis formal merupakan tahapan berikutnya sebagaimana deskripsi, yaitu mencoba menjelaskan obyek yang dikritik dengan dukungan beberapa data yang tampak secara visual. Proses ini dapat dimulai dengan cara menganalisis obyek secara keseluruhan mengenai kualitas unsur-unsur visual dan kemudian dianalisis bagian demi bagian seperti menjelaskan tata cara pengorganisasian unsur-unsur elementer kesenirupaan seperti kualitas garis, bidang, warna dan tekstur, serta menjelaskan bagaimana komposisi karya secara keseluruhan dengan masalah keseimbangan, irama, pusat perhatian, unsur kontras, dan kesatuan. Analisis formal dapat dimulai dari hal ihwal gagasan hingga kepada bagaimana tatacara proses pewujudan karya beserta urutannya.
Pada saat persoalan komposisi mulai dibicarakan, maka mulai diuraikan perkara tatacara pengukurannya yang disesuaikan dengan rancangan dan kandungan maknanya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis formal adalah semiotika, karena semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat menata pencerapan manusia dalam melihat berbagai gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dapat dihayati dan dimengerti secara bersama. Perbandinganperbandingan mulai dapat dilakukan sebagai suatu cara untuk mencapai intensitas perubahan pemikiran dalam sebuah proses pengubahan karya. Analisis formal tetap berangkat dari wujud nyata dalam karya dengan langkah kajian yang lebih bersifat menganalisis kualitas tanda, sehingga sampai pada proses ini pernyataan atau ungkapan seniman belum diperlukan sebagai sebuah data, kecuali jika diperlukan catatan-catatan yang berbeda dengan realitas karya yang disajikan. Tahapan ini telah menjelaskan karya secara obyektif mengenai kualitas tanda-tanda yang ada pada karya, dan dimulai telaah ke arah bagaimana menafsirkan bentuk.

3. Interpretasi 

Intepretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan dibalik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis pencipta karya, latar belakang sosial budayanya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu senimannya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan, makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses intepretasi dengan bahasa yang tepat. Guna menjelaskan secara tepat, maka seseorang yang melakukan penafsiran harus berbekal pengetahuan tentang proses pengubahan karya. (lihat Feldman, 1967 : 479) 

Sebuah karya seni membutuhkan penafsiran yang tepat jika dimaksudkan untuk membuat suatu penilaian yang kritis. Pada umumnya penguraian berdasarkan metode yang ilmiah tentang struktur bentuk karya, dan hubungan setiap elemen unsur rupa sangat bermanfaat untuk melandasi interpretasi. Bentuk penilaian pada karya seni rupa merupakan gabungan antara pribadi seniman dengan gagasan atau ide yang dijadikan konsep dalam berkarya, adanya permasalahan yang akan dikemukakan oleh seniman serta seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan, tema yang akan digarap dan bagaimana penggarapannya, materi yang dipilih untuk mewujudkan karya, teknik yang digunakan, serta pengalaman dan latar belakang seniman, kesemuanya saling terkait dan berhubungan untuk menunjang sebuah interpretasi yang tepat. 

4. Penilaian 

Sebuah penilaian berdasarkan atas deskripsi, analisis formal, dan intepretasi sebuah karya seni dengan data-data visual maupun penjelasan-penjelasan tambahan dari seniman. Penilaian dalam kritik seni, bukanlah seperti penilaian akhir anak sekolah seusai tes hasil belajar dengan skor angka puluhan dengan nilai 100 untuk hasil yang sempurna tanpa kesalahan, rentang angka 85 – 95 untuk kategori dianggap baik, rentang angka 70 – 84 dianggap cukup, dan 55 – 69 dikategorikan kurang, sedangkan skor 54 kebawah dianggap tidak berhasil atau tidak lulus tes. Penilaian kritik seni juga bukan dengan huruf A untuk hasil yang 

sangat baik, B untuk hasil yang baik, C untuk hasil yang cukup, D untuk hasil yang kurang, dan E untuk yang tidak lulus. 

Dalam kritik seni ukuran penilaiannya bisa secara generalisasi atau non generalisasi yang menganggap bahwa karya seni itu adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok analisa menganggap bahwa dalam menilai sebuah karya seni rupa adalah berdasarkan analisa unsurunsur dalam karya seni rupa tersebut secara terpisah-pisah, misalnya yang dinilai adalah komposisi, proporsi, perspektif, garis, warna, anatomi, gelap terang, dan sebagainya. Masingmasing nilai dijumlahkan kemudian dibagi banyaknya unsur yang dinilai. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok non generalisasi cenderung menilai karya seni tidak bagian demi bagian secara terpisah, tetapi menganggap karya seni sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisa atas unsur demi unsur dan menilai terpisah, tanpa kehilangan makna dan nilai sebagai karya seni rupa yang utuh dan bulat. 

Pada sisi yang lain, ada anggapan penilaian dalam karya seni dapat dilihat dari tingkat keberhasilan karya tersebut dalam menyampaikan pesan sesuai keinginan seniman penciptanya. Tahap evaluasi atau penilaian ini pada dasarnya merupakan proses menetapkan derajat karya seni rupa bila dibandingkan dengan karya seni rupa lainnya yang sejenis. Tingkat penilaiannya ditetapkan berdasarkan nilai estetiknya secara relatif dan kontekstual. Dalam menilai sebuah karya seni rupa sedapat mungkin mengkaitkan karya yang ditelaah dengan sebanyak mungkin karya seni rupa yang sejenis dengan maksud mencari ciri-ciri khususnya, kemudian menetapkan tujuan atau fungsi karya yang sedang ditelaah, menetapkan sampai seberapa jauh karya yang sedang ditelaah tersebut berbeda dari yang telah ada sebelumnya dan mencari karakteristiknya, dan terakhir menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan sudut pandang tertentu yang melatarbelakanginya

    • Bagaimana cara Anda mengkritik karya seni orang lain
      Pengertian Kritik Seni Assignment

      Pengertian Kritik Seni

      Istilah “kritik seni” dalam bahasa Indonesia sering juga disebut dengan istilah “ulas seni”, “kupas seni”, “bahas seni” atau “bincang seni”. Hal ini disebabkan istilah “kritik” bagi sebagian orang sering mempunyai konotasi negatif yang berarti kecaman, celaan, gugatan, hujatan, dan lain-lain (lihat Kamus Purwadarminta). Dalam Kamus Inggris-Indonesia disebutkan  kata critic adalah kata benda yang artinya pengecam, pengeritik, pengupas, pembahas. (John M. Echols dan Hassan Shadily, 1984 : 155) Istilah critic dalam bahasa Inggris sudah ada sejak tahun 1588, secara etymology berasal dari bahasa Latin criticus, bahasa Junani kritikos yang erat hubungannya dengan krinein yang berarti memisahkan, mengamati, menilai, dan menghakimi (Merriam Webster's Collegiate Dictionary).

      Lebih lanjut dalam Merriam Webster's Collegiate Dictionary disebutkan bahwa arti kritik adalah :

      1 a : one who expresses a reasoned opinion on any matter especially involving a judgment of its value, truth, righteousness, beauty, or technique  b : one who engages often professionally in the analysis, evaluation, or appreciation of works of art or artistic performances
      2 : one given to harsh or captious judgment

      Dalam rumusan Webster’s tersebut disebutkan bahwa maksud kritik adalah orang yang menyampaikan pendapatnya dengan alasan tertentu terhadap berbagai hal, terutama mengenai nilainya, kebenarannya, kebajikannya, kecantikannya atau tekniknya. Berikutnya dinyatakan bahwa arti kritik adalah orang yang melibatkan diri secara profesi dalam menganalisa, mengevaluasi atau memberi penghargaan kepada karya seni atas pencapaian artistiknya. Terakhir dinyatakan bahwa maksud kritik adalah seseorang yang memberikan pelilaian dengan cerdik atau tajam.

      Sedangkan pengertian criticism adalah :

      1 a : the act of criticizing usually unfavorably  b : a critical observation or remark  c : critique
      2 : the art of evaluating or analyzing works of art or literature
      3 : the scientific investigation of literary documents (as the Bible) in regard to such matters as origin, text, composition, or history

      Menurut penjelasan pertama di atas, tindakan mengkritik dalam kehidupan sehari-hari umumnya tidak mendukung atau menguntungkan bagi yang dikritik; suatu pengamatan yang kritis atau teguran. Padanan kata critique dalam batasan di atas berarti kupasan atau tinjauan. Dalam seni mengkritik berarti mengevaluasi atau meneliti karya seni atau literatur. Berikutnya mengkritik diartikan sebuah penyelidikan yang ilmiah dari naskah atau dokumen yang terkait dengan kesusateraan dalam hubungan dengan berbagai hal seperti keasliannya, teks, komposisi, atau sejarahnya.

      Berdasarkan pengertian tersebut di atas, istilah “kritik” dalam bahasa Indonesia dapat dianalogikan dengan istilah critic, criticism dan critique dalam bahasa Inggris. Pada umumnya istilah “kritik seni” terkait dengan masalah seni, dan bertujuan mendiskripsikan, menganalisis, mengintepretasi, dan menilai karya seni.

      Tujuan dari kritik seni adalah pemahaman pada karya seni, dan ingin menemukan suatu cara guna mengetahui apa yang melatar belakangi suatu karya seni dihasilkan serta memahami apa yang ingin disampaikan oleh pembuatnya, sehingga hasil kritik seni benar-benar maksimal, dan secara nyata dapat menyatakan baik buruknya sebuah karya. Akhir  tujuan dari kritik seni adalah supaya orang yang melihat karya seni memperoleh informasi dan pemahaman yang berkaitan dengan mutu suatu karya seni, dan menumbuhkan apresiasi serta tanggapan terhadap karya seni. (Feldman, 1967 : 448)

      Kritik seni berfungsi sebagai jembatan atau mediator antara pencipta karya seni dengan penikmat karya seni, serta antara karya seni itu sendiri dengan penikmatnya. Fungsi sebagai jembatan ini sangat penting dan strategis, karena tidak semua orang penikmat karya seni dapat mengetahui dengan pasti apa yang ingin disampaikan dan dikomunikasikan oleh pencipta karya seni dengan wujud karya yang dihadirkan. Pada sisi yang lain, kritik seni juga dapat dimanfaatkan oleh pencipta karya seni untuk mengevaluasi diri, sejauh mana karya seninya dapat ditangkap dan dimengerti oleh orang lain, sejauh mana prestasi kerjanya dapat dipahami manusia di luar dirinya. Kesemuanya merupakan umpan balik yang sangat berharga bagi pencipta karya seni untuk memperbaiki karya-karya seninya dimasa-masa mendatang.

    • Evaluasi pertemuan ke 1 Assignment

      1. Jelaskan pengertian kritik seni, tujuan dan fungsinya !

      2. Carilah artikel / tulisan tentang karya seni rupa di media massa, kemudian buatlah ringkasan dari artikel tersebut, scan atau foto artikel tersebut sebagai lampiran dari ringkasan yang dibuat


    • Konsep yang melatari kritik seni Assignment

      Dalam kesenian sering disebutkan bahwa karya yang dihasilkan tersebut dapat dikategorikan sebagai karya seni tradisional, konvensional atau klasik, kemudian dapat dikelompokkan sebagai karya seni moderen, dan terakhir dalam pembagian klasifikasi adalah karya seni post-modern atau kontemporer. Masing-masing kategori tentunya mempunyai ciri-ciri khusus yang membedakannya dengan kategori yang lain.

      Terkait dengan relasi pertandaan pra-modernisme, modernisme, dan post-modernisme, terlihat perbedaan relasi pertandaan yang sangat mencolok dalam bidang seni rupa dan desain. Pada masa klasik atau pra-modernisme, seni berfungsi menyampaikan pesan-pesan ideologis atau spiritual yang sudah mapan secara konvensional. Pada abad pertengahan, seni lebih banyak diwarnai upaya penyampaian tanda tentang wahyu, ajaran, atau kebenaran lewat ikon-ikon. Hal ini secara umum dapat digambarkan dalam sebuah prinsip: form follows meaning, yang artinya bentuk selalu bermuara pada makna-makna ideologis atau spiritual.

      Pada masa moderen, seni berusaha menolak keterkaitannya dengan makna-makna ideologis atau spiritual, dan berupaya menolak makna-makna yang berasal dari luar seni itu sendiri. Seni moderen berusaha melepaskan diri dari perangkap mitos, tradisi, kepercayaan, dan konvensi sosial. Sebagai gantinya, modernisme mengajukan prinsip: form follows function, yang artinya bahwa setiap ungkapan bentuk pada akhirnya akan menyandarkan maknanya pada aspek

      fungsi dari suatu obyek. Dalam seni murni, aspek fungsi dapat dijelaskan dengan istilah formalisme, yang maksudnya sebuah bentuk dikatakan bermakna bukan berdasarkan relasi strukturalnya dengan realitas di luar bentuk tersebut, tetapi relasi formal di antara elemen-elemen seni rupa seperti: garis, bidang, ruang, warna, dan tekstur, yang membangun bentuk tersebut, dan sekaligus menentukan fungsinya.

      Pada seni post-modernisme, relasi pertandaan lebih bersifat ironis dengan menolak acuan penanda pada makna ideologis yang konvensional, sekaligus juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Post-modernisme meminjam dan mengambil tanda-tanda dari periode klasik dan moderen, bukan untuk menjunjung tinggi makna-makna ideologis dan spiritualnya, tetapi untuk menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru dengan menanggalkan makna-makna konvensional, dan meleburkan diri dalam ajang permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, sebagaimana dikemukakan Derrida dan Baudrillard. Post-modernisme mengajukan satu prinsip baru pertandaan: form follows fun, yang maksudnya dalam post-modernisme bukan makna-makna ideologis yang ingin dicapai, tetapi justru kegairahan dalam bermain dengan penanda. (lihat Piliang, 1999 : 121 – 124)

      Kritik seni merupakan pembicaraan mengenai karya seni, sedangkan kritik seni rupa adalah pembicaraan mengenai karya seni rupa. Guna mewujudkan tujuan tersebut, maka diperlukan cara pertimbangan penilaian yang akan mempermudah dalam memahami karya seni rupa dengan segala aspeknya, baik faktor intraestetik maupun ekstraestetik.

      Kreasi dan apresiasi merupakan tindakan penciptaan karya seni oleh pencipta karya seni atau seniman dan pemanfaatan / penghargaan oleh pemakai seni (user) untuk memenuhi kebutuhan estetik sesuai dengan pedoman pada model pengetahuan yang ada dalam kesenian yang didukungnya, dan berpegang pada tradisi yang berlaku. Penciptaan atau kreasi karya seni dipengaruhi faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman dan

      pemakai seni / user. Pendekatan intraestetik, yaitu faktor yang semata-mata memandang nilai estetik yang terkandung dalam bentuk fisik karya seni (unsur struktur, bentuk, dll.) dengan kriteria yang ditetapkan universal oleh para ahli seni. ( bandingkan H. G. Blocker, 1979 : 22–24 ; M. Dufrenne, 1979 : 301-329; T. Munro, 1969 : 358 - 360)

      Faktor intraestetik sering juga disebut dengan penilaian formalisme yang menempatkan unsur-unsur estetika dalam suatu karya seni merupakan tinjauan utamanya. Melalui penilaian formalisme, maka kritik lebih bersifat mementingkan bentuk-bentuk visualnya. Penilaian formalisme menempatkan mutu artistik pada suatu kualitas yang terintegrasi dalam pengorganisasian secara formal dari suatu karya seni rupa. Menurut Edmund Burke Feldman, seorang formalis adalah yang melihat hubungan antara perencanaan dan perhitungan menjadi sesuatu yang jelas dan benar-benar sama bobotnya. Karya-karya Mondrian dianggap lebih jelas bagi kaum formalis karena dalam karyanya cenderung mengurangi suatu akibat yang bersifat kebetulan. (lihat Feldman, 1967 : 459)

      Pendekatan formalisme dalam menelaah karya seni rupa dengan cara memandang obyek utamanya atau karakteristik materialnya, sehingga masalah kecakapan dalam mengolah bentuk dan keterampilan teknis dari pembuat karya seni dalam mewujudkan karya seninya yang kasat mata merupakan pokok perhatian utama pendekatan ini. Penilaian formalisme dapat dilakukan dengan cara mengurai secara obyektif seluruh tampilan visual dengan pendekatan kontruktif dan struktural pada formalitas bentuknya. Pengorganisasian dari elemen-elemen visual merupakan bagian terpenting dalam penilaian mewujudkan sebuah karya seni.

      Formalisme sebagai suatu teori dalam kritik seni cenderung mengkesampingkan atau mengabaikan faktor ekstraestetik atau faktor-faktor di luar karya seni yang dinilai, seperti faktor nilai-nilai estetika yang berhubungan dengan latar belakang pencipta karya, faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, pendidikan, dan religi.

      Berlawanan dengan penilaian formalisme, penilaian ekspresifisme lebih tertarik dengan memperhatikan faktor perasaan dan emosi seniman dalam menghasilkan karyanya. Hal ini disebabkan dalam pendekatan ekspresifisme, faktor unsur-unsur pribadi dalam diri pencipta karya secara disadari atau tidak disadari akan hadir dalam karya-karya yang dihasilkannya. Pendekatan ekspresifisme lebih tertarik kepada karya seni rupa yang diwujudkan melalui proses pengungkapan perasaan dan gagasan-gagasan yang ada dalam diri seniman. Pendekatan ekspresifisme merupakan kombinasi dari pendekatan faktor intraestetik dan ekstraestetik dalam batas-batas tertentu.

      Faktor ekstraestetik, yaitu faktor-faktor di luar bentuk fisik karya seni seperti faktor sosial, budaya, ekonomi, teknologi, religi, dan pendidikan dari seniman menjadi pertimbangan penilaian karya seni yang dihasilkannya. Faktor ekstra-estetik ini disebut juga dengan penilaian instrumentalisme, karena tidak hanya mengkaji ungkapan perasaan atau emosi pencipta karya seni seperti pendekatan ekspresifisme, tetapi suatu kajian yang berkaitan dengan hal-hal yang melatar belakangi kehidupan seniman. Pendekatan instrumentalisme merupakan teori pendekatan karya seni rupa yang mencoba mengkaji kaitan antara karya seni yang dihasilkan dengan latar belakang penciptanya. Pendekatan ini sering digunakan untuk menilai karya seni rupa kontemporer, karena pendekatan ini mencurahkan perhatiannya kepada tema, narasi dan kontekstual gagasan dari karya seni kontemporer yang dihasilkan. Penilaian instrumentalisme cenderung memandang karya seni rupa sebagai tekstual yang dikaitkan dengan kontektual karya tersebut, dan menyadari bahwa karya seni sebagai bentuk “pengabdian” untuk menjalankan beberapa pesan dan tujuan di luar dirinya.

      Berdasarkan beberapa uraian penilaian di atas, tampaknya karya yang disajikan oleh seniman dapat mewakili ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, dari masing-masing seniman yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidupnya. Karya seni cenderung berbeda dalam corak dan ungkapan, dan mempunyai ciri khas masing-masing yang unik, seperti dalam seni kontemporer relasi pertandaan cenderung menolak acuan penanda pada makna

      ideologis yang konvensional, dan juga menolak fungsi sebagai referensi dominan dalam pertandaan sebagaimana prisip seni moderen. Seni kontemporer menciptakan satu mata rantai pertandaan yang baru, dan menghanyutkan diri dalam arena permainan bebas penanda-penanda dan petanda-petanda, dan setiap orang dibebaskan untuk menginterpreatsikan serta memaknai karya seni kontemporer secara terbuka sesuai dengan latar belakang sosial budaya dan pengalamannya.

    • Evaluasi Pertemuan ke 2 Assignment

      1. Jelaskan pengertian intraestetik !

      2. Uraiakan pengertian ekstraestetik !

      3. Apa yang dimaksud dengan seni tradisi?

      4. Jelaskan seni moderen !

      5. Uraikan definisi seni rupa postmodern !


    • Deskripsi, dan Analisis Formal Assignment

      Dalam melaksanakan kritik seni secara verbal maupun tulisan, biasanya terdapat unsur deskripsi karya seni, kemudian analisis formal karya seni, yang dilanjutkan dengan interpretasi, dan terakhir tahap evaluasi atau penilaian akan mutu yang dihasilkan dalam karya seni yang dikritik. Unsur-unsur kritik seni tersebut di atas sistematikanya dapat dilakukan secara berurutan atau secara acak, tergantung tujuan kritik seni itu dilakukan. Pada kritik jurnalistik, karena keterbatasan kolom, maka uraian kritik seni biasanya disesuaikan dengan gaya selera penulisan media massanya.Kritik seni awalnya merupakan kebutuhan untuk menjelaskan makna seni, dan kemudian beranjak kepada kebutuhan memperoleh kesenangan dari kegiatan berbincangbincang tentang seni, maka pada tahapan akhirnya akan dicoba dan dirumuskan pendapat atau tanggapan yang nantinya dapat difungsikan sebagai standar kriteria atau tolok ukur bagi kegiatan mencipta dan mengapresiasi seni.1. DeskripsiDeskripsi dalam kritik seni adalah suatu penggambaran atau pelukisan dengan katakata apa-apa saja yang tersaji dalam karya seni rupa yang ditampilkan. Uraian ini berupa penjelasan dasar tentang hal-hal apa saja yang tampak secara visual, dan diharapkan dalam penjelasan tersebut dapat membangun bayangan atau image bagi pembaca deskripsi tersebut mengenai karya seni yang disajikan. Deskripsi bukan dimaksudkan untuk menggantikan karya itu sendiri, tetapi diharapkan dapat memberi penjelasan mengenai gambaran visual mengenai citra yang ditampilkan secara jelas dan gamblang. Pada tahapan deskripsi ini, penilaian atau keputusan mengenai karya seni dapat ditangguhkan terlebih dahulu, karena kritik harus mendahulukan penjelasan-penjelasan dasar berupa suatu gambaran yang lengkap. Selain itu, uraian deskripsi juga tidak mengindahkan interpretasi atau tafsiran awal sebelum bukti-bukti, dan data-data, serta fakta konsep berkarya  berhasil dikumpulkan.

      Uraian deskripsi biasanya ditulis sesuai dengan keadaan karya sebagaimana apa adanya, dan juga berusaha menelusuri gagasan, tema, teknis, media, dan cara pengungkapannya. Uraian deskripsi meliputi uraian mengenai hal-hal yang diwujudkan pada karya secara kasat mata mengenai garis, bidang, warna, tekstur dan lain-lain, tanpa mencoba memberikan interpretasi dan penilaian, sehingga uraian deskripsi menjelaskan secara umum apa-apa saja yang terlihat dalam pandangan mata, tanpa harus memancing perbedaan pendapat atau berusaha memperkecil perbedaan penafsiran.


2. Analisis Formal
Anilis formal merupakan tahapan berikutnya sebagaimana deskripsi, yaitu mencoba menjelaskan obyek yang dikritik dengan dukungan beberapa data yang tampak secara visual. Proses ini dapat dimulai dengan cara menganalisis obyek secara keseluruhan mengenai kualitas unsur-unsur visual dan kemudian dianalisis bagian demi bagian seperti menjelaskan tata cara pengorganisasian unsur-unsur elementer kesenirupaan seperti kualitas garis, bidang, warna dan tekstur, serta menjelaskan bagaimana komposisi karya secara keseluruhan dengan masalah keseimbangan, irama, pusat perhatian, unsur kontras, dan kesatuan. Analisis formal dapat dimulai dari hal ihwal gagasan hingga kepada bagaimana tatacara proses pewujudan karya beserta urutannya.
Pada saat persoalan komposisi mulai dibicarakan, maka mulai diuraikan perkara tatacara pengukurannya yang disesuaikan dengan rancangan dan kandungan maknanya. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan dalam analisis formal adalah semiotika, karena semiotika merupakan ilmu tanda yang dapat menata pencerapan manusia dalam melihat berbagai gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dapat dihayati dan dimengerti secara bersama. Perbandinganperbandingan mulai dapat dilakukan sebagai suatu cara untuk mencapai intensitas perubahan pemikiran dalam sebuah proses pengubahan karya. Analisis formal tetap berangkat dari wujud nyata dalam karya dengan langkah kajian yang lebih bersifat menganalisis kualitas tanda, sehingga sampai pada proses ini pernyataan atau ungkapan seniman belum diperlukan sebagai sebuah data, kecuali jika diperlukan catatan-catatan yang berbeda dengan realitas karya yang disajikan. Tahapan ini telah menjelaskan karya secara obyektif mengenai kualitas tanda-tanda yang ada pada karya, dan dimulai telaah ke arah bagaimana menafsirkan bentuk.


    • Interpretasi dan Penilaian Assignment

      Interpretasi 

      Intepretasi adalah menafsirkan hal-hal yang terdapat di balik sebuah karya, dan menafsirkan makna, pesan, atau nilai yang dikandungnya. Setiap penafsiran justru dapat mengungkap hal-hal yang berhubungan dengan pernyataan dibalik struktur bentuk, misalnya unsur psikologis pencipta karya, latar belakang sosial budayanya, gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu senimannya. Penafsiran merupakan salah satu cara untuk menjernihkan pesan, makna, dan nilai yang dikandung dalam sebuah karya, dengan cara mengungkapkan setiap detail proses intepretasi dengan bahasa yang tepat. Guna menjelaskan secara tepat, maka seseorang yang melakukan penafsiran harus berbekal pengetahuan tentang proses pengubahan karya. (lihat Feldman, 1967 : 479) 

      Sebuah karya seni membutuhkan penafsiran yang tepat jika dimaksudkan untuk membuat suatu penilaian yang kritis. Pada umumnya penguraian berdasarkan metode yang ilmiah tentang struktur bentuk karya, dan hubungan setiap elemen unsur rupa sangat bermanfaat untuk melandasi interpretasi. Bentuk penilaian pada karya seni rupa merupakan gabungan antara pribadi seniman dengan gagasan atau ide yang dijadikan konsep dalam berkarya, adanya permasalahan yang akan dikemukakan oleh seniman serta seberapa jauh masalah tersebut dapat diselesaikan, tema yang akan digarap dan bagaimana penggarapannya, materi yang dipilih untuk mewujudkan karya, teknik yang digunakan, serta pengalaman dan latar belakang seniman, kesemuanya saling terkait dan berhubungan untuk menunjang sebuah interpretasi yang tepat. 

      Penilaian 

      Sebuah penilaian berdasarkan atas deskripsi, analisis formal, dan intepretasi sebuah karya seni dengan data-data visual maupun penjelasan-penjelasan tambahan dari seniman. Penilaian dalam kritik seni, bukanlah seperti penilaian akhir anak sekolah seusai tes hasil belajar dengan skor angka puluhan dengan nilai 100 untuk hasil yang sempurna tanpa kesalahan, rentang angka 85 – 95 untuk kategori dianggap baik, rentang angka 70 – 84 dianggap cukup, dan 55 – 69 dikategorikan kurang, sedangkan skor 54 kebawah dianggap tidak berhasil atau tidak lulus tes. Penilaian kritik seni juga bukan dengan huruf A untuk hasil yang 

      sangat baik, B untuk hasil yang baik, C untuk hasil yang cukup, D untuk hasil yang kurang, dan E untuk yang tidak lulus. 

      Dalam kritik seni ukuran penilaiannya bisa secara generalisasi atau non generalisasi yang menganggap bahwa karya seni itu adalah sesuatu yang unik dan tidak bisa digeneralisasikan begitu saja. Kelompok pertama disebut sebagai kelompok analisa menganggap bahwa dalam menilai sebuah karya seni rupa adalah berdasarkan analisa unsurunsur dalam karya seni rupa tersebut secara terpisah-pisah, misalnya yang dinilai adalah komposisi, proporsi, perspektif, garis, warna, anatomi, gelap terang, dan sebagainya. Masingmasing nilai dijumlahkan kemudian dibagi banyaknya unsur yang dinilai. Kelompok kedua disebut sebagai kelompok non generalisasi cenderung menilai karya seni tidak bagian demi bagian secara terpisah, tetapi menganggap karya seni sebagai satu kesatuan yang tidak mungkin dianalisa atas unsur demi unsur dan menilai terpisah, tanpa kehilangan makna dan nilai sebagai karya seni rupa yang utuh dan bulat. 

      Pada sisi yang lain, ada anggapan penilaian dalam karya seni dapat dilihat dari tingkat keberhasilan karya tersebut dalam menyampaikan pesan sesuai keinginan seniman penciptanya. Tahap evaluasi atau penilaian ini pada dasarnya merupakan proses menetapkan derajat karya seni rupa bila dibandingkan dengan karya seni rupa lainnya yang sejenis. Tingkat penilaiannya ditetapkan berdasarkan nilai estetiknya secara relatif dan kontekstual. Dalam menilai sebuah karya seni rupa sedapat mungkin mengkaitkan karya yang ditelaah dengan sebanyak mungkin karya seni rupa yang sejenis dengan maksud mencari ciri-ciri khususnya, kemudian menetapkan tujuan atau fungsi karya yang sedang ditelaah, menetapkan sampai seberapa jauh karya yang sedang ditelaah tersebut berbeda dari yang telah ada sebelumnya dan mencari karakteristiknya, dan terakhir menelaah karya yang dimaksud dari segi kebutuhan khusus dan sudut pandang tertentu yang melatarbelakanginya


    • Aspek yang dikritik Assignment

      Sebuah karya seni dibuat atau diciptakan bukan sekedar untuk ditampilkan untuk dilihat dan didengar saja, tetapi penuh dengan gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu yang hendak dikomunikasikan penciptanya. Di samping itu, penciptaan karya seni juga diharapkan dapat merespon ruang dan waktu di mana dia diciptakan. Di sini aspek ide atau gagasan, tema, teknik pengolahan material, prinsip-prinsip penyusunan atau pengorganisasian dalam mengelola kaidah-kaidah estetis, keunikan bentuk, gaya perseorangan, kreatifitas dan inovasi, turut dipertimbangkan. Para kritikus seni diharapkan mampu mengkomunikasikan serbaneka aspek-aspek tersebut di atas beserta nilainya kepada masyarakat. 

      Suatu karya seni yang baik, bukanlah sesuatu yang muncul tiba-tiba atau suatu manifestasi sembarangan, dan mencipta asal jadi. Penciptaan karya seni yang baik membutuhkan pemikiran dan perenungan yang dalam, serta adanya dorongan menyeluruh yang kuat dari berbagai aspek. Pada saat ide atau gagasan muncul dan hendak diwujudkan dalam sebuah karya seni, seniman tentunya mulai mempertimbangkan bahan dan teknik yang bagaimana yan sesuai untuk mewujudkan ide atau gagasan tersebut. Falsafah hidup merupakan salah satu aspek yang mendasari penampilan suatu karya seni menjadi baik. Hal ini bukan berarti seorang seniman harus menjadi filsuf seperti Emanuel Kant, Georg Wilhelm Friederich Hegel, dan sebagainya terlebih dahulu sebelum menjadi seniman. Jika seorang seniman dituntut menguasai filsafat seperti filsuf dengan melahirkan sistem filsafat baru yang lengkap, maka gagalah seniman tersebut dalam berkarya seni, dan akhirnya justru menjadi filsuf baru serta batal menjadi seniman. 

      Falsafah seorang seniman cukuplah falsafah seni yang dijadikan titik pangkal dalam konsep dan pangkal artistiknya. Jika dalam sejarah seni rupa moderen dikenal Piet Mondrian, Filippo Tornasso Marinetti, Ozenfant, Andre Bretton yang berurutan dikenal sebagai pelopor neo plastisisme, futurisme, purisme dan surealisme, karena mereka adalah seniman kreatif sekaligus pelopor yang selalu berfikir, merenung, menghakekati fenomena dengan pertanyaan apa, mengapa, bagaimana, ke mana, sejauh mana, dan sebagainya. Singkat kata Piet Mondrian berpendapat “We want to penetrate nature in such a way that the inner construction of reality is revealed us”. Baginya, alam selalu berubah dapat disiasati sampai pengalaman bentuk tertentu. Seni mempunyai pengertian yang intuitif dan matematis yang merupakan representasi fundamental dari alam kosmos. Bentuk matematik ini sebagai sesuatu yang universal. Berdasarkan pandangan filosofis tersebut diketahui siapa sesungguhnya Piet Pondrian. Pandangan semacam ini pada masanya merupakan hal baru dan masih segar dalam perkembangan seni rupa, sehingga sangat berharga karena kreatif. Landasan filosofis gerakan futurisme kutipannya sebagai berikut: “A new beauty … a rearing motorcar, which runs like a machine gun is more beautyful than the winged victory of Samothrace … we wish to glorifi, war …” (lihat Sudarmaji, 1979 : 26) 

      Keseimbangan pada rangkaian bunga di Cina menggunakan paradok Taoisme yang dikenal dengan istilah Yin Yang (Im Yang), yaitu mencari jalan tengah antara unsur positif dan negatif. Jika kedua unsur yang tampaknya saling bertentangan itu  dalam keadaan imyang, maka dapat dikatakan dalam keadaan selaras dan produktif. Apabila rangkaian bunga terdiri hanya salah satu unsur saja, positif atau negatif, maka dikatakan disharmonis atau berkeseimbangan kuno yang simetris. Bangsa Cina melihat keseimbangan dan harmoni dengan belajar kepada alam. Bukankah keseimbangan tampak pada sesuatu yang kelihatannya bertentangan seperti pria dan wanita yang merupakan sepasang pengantin? Hal ini serupa dengan konsepsi seni dan sistem simbolisme Jawa yang melihat keseimbangan atau keselarasan berdasarkan klasifikasi simbolis dua kategori. Sistem yang didasarkan pada dua kategori, oleh orang Jawa dikaitkan pada hal-hal yang berlawanan, bertentangan, bermusuhan, atau justru yang saling membutuhkan. Positif – negatif, baik – buruk, tinggi – rendah, panas – dingin, halus – kasar, kanan – kiri, siang – malam, dan lain-lain merupakan perbedaan yang mendasari sistem klasifikasi dua kategori. 

      Konsep klasifikasi dua kategori ini seperti gula Jawa atau gula kelapa yang wujudnya setengah lingkaran karena dicetak menggunakan bathok kelapa. Gula Jawa dalam wujud dan ukurannya dikenal dengan istilah lirang dan tangkep. Meskipun lirang wujudnya setengah dari tangkep (setengah lingkaran), lirang itu sendiri memiliki pengertian yang utuh. Ia tidak lazim disebut setengah tangkep. Selirang ditambah selirang menjadi dua lirang, tetapi dua lirang yang disatukan menjadi setangkep atau satu tangkep. (lihat Bahari, 2004) 

      Keutuhan wujud itu memang setangkep, meskipun lirang itu sendiri juga utuh sebagai kesatuan. Ringkasnya hal ini memberi pelajaran tentang prinsip satu ditambah satu sama dengan satu, walaupun dua juga. Klasifikasi dua kategori ini sering juga disebut sebagai dwitunggal atau dua menjadi satu. Dwitunggal ini juga merupakan simbol dari konsep jumbuhing kawulo-Gusti, yaitu suatu tingkat pencapaian tertinggi dalam perjalanan spiritual manusia. Pada tingkat mutakhir terjadi manunggal Subyek – Obyek, sehingga diperoleh pengetahuan mutlak atau kawicaksanan, kawruh sangkan paran dalam mencapai kesempurnaan. 

      Simbolisasi dua kategori ini secara visual juga sering diwujudkan dalam bentuk lingga dan yoni. Dalam alam pikiran orang Jawa ada kecenderungan kedudukan yang tinggi sering dikaitkan dengan hal-hal yang asing, formal, kanan, suci, dan halus. Sebaliknya kedudukan yang rendah dikaitkan dengan hal-hal yang dekat, informal, kiri, profan, dan kasar. 

      Orang Jawa berdasarkan kategori “kanan” dan “kiri” mewujudkannya dalam sopan santun dengan menganggap melakukan sesuatu dengan tangan kanan lebih baik, halus, dan beradab; sebaliknya melakukan sesuatu dengan tangan kiri dianggap tidak sopan, kurang ajar, dan biadab. Sejak masih kecil, anak-anak orang Jawa sudah diajarkan untuk makan menggunakan tangan kanan. Dalam pertunjukan wayang kulit, tokoh-tokoh yang jahat disusun berjajar di sebelah kiri dalang; sedangkan tokoh-tokoh yang baik dan pihak yang benar disusun di sebelah kanan dalang. 

      Dalam legenda Jawa, setelah Allah SWT menciptakan dunia, keturunan Nabi Adam dipisahkan menjadi dua garis, yaitu alur panengen atau keturunan kanan yang di dalamnya termasuk Nabi Muhammad SAW, tokoh-tokoh suci agama Islam, dan para Wali di Jawa yang menurunkan dinasti-dinasti “kanan” raja-raja Jawa. Garis keturunan kiri atau alur pangiwa meliputi para dewa Hindu, para pahlawan ceritera-ceritera Mahabharata dan Ramayana, yang menurunkan dinasti-dinasti “kiri” raja-raja Jawa. (Pigeaud, 1967 : 151) Hal ini mungkin sengaja diciptakan oleh pujangga kraton untuk mensyahkan proses integrasi unsur agama dan budaya Islam ke dalam krebudayaan kraton pada paruh kedua abad ke 18 hingga awal berikutnya. (lihat Koentjaraningrat, 1994 : 431) 

      Secara psikologis, langkah pertama lahirnya karya seni ialah pengamatan. Ilmu jiwa fenomenologi memberikan pelajaran kepada kita bahwa peristiwa mengamati itu sesungguhnya bukan peristiwa lepas yang berdiri sendiri sebagaimana pandangan yang pernah dianut ilmu jiwa unsur. Terhadap stimulus yang datang, seseorang akan menenangkap makna yang personal sesuai dengan pengalamannya. 

      Arti stimulus jelas berbeda bagi setiap individu karena dalam rangkaian pengalamannya yang disimpan dalam memorinya ketika menjalani masa lalu. Sebaliknya bisa berbeda lagi lantaran endapan cita-citanya ke masa depan. Sebagai contoh ketika seseorang mendapatkan stimulus bunga anyelir, orang tersebut seketika berseri wajahnya karena teringat pengalaman masa lampau yang menggembirakan dan tak terlupakan ketika ketemu Si Manis dengan anyelir yang mencuri hatinya, dan telah menjadi kekasihnya yang sangat dicintainya hingga sekarang. Sebaliknya bagi orang lain ketika menerima stimulus bunga anyelir justru langsung jatuh pingsan, karena dengan anyelir didekapan anaknya yang bungsu menjadi berkeping-keping digilas truk gandengan sewaktu aanak tersebut tertatih-tatih menyeberang jalan raya. (lihat Sudarmaji, 1979 : 26) 

      Tanggapan orang terhadap bunga anyelir seperti contoh di atas berbeda-beda, dan terbentuk suatu keadaan jiwa atau suasana hati (mood) yang berbeda. Seandainya harus mengungkapkan keluar ekspresi ini, yang melihat akan mendapatkan manifestasi yang sangat lain. Hal ini menunjukkan dengan jelas bahwa manifestasi karya seni adalah manifestasi perseorangan, sehingga dalam mengevaluasi sebuah karya seni tidak boleh terlalu kaku berpegang pada kriteria yang umum sifatnya atau justru apriori terlebih dahulu karena sudah mempunyai atau mempersiapkan kriteria sebelumnya. 

      Kondisi pribadi seseorang dan juga latar belakangnya mempengaruhi persepsi yang diterimanya. Setiap orang memberikan respon atau tanggapan kepada stimulus berdasarkan pengalaman atau cita-citanya. Sudah menjadi kodratnya bahwa setiap manusia berbeda dengan watak serta temperamentalnya. Banyak ahli ilmu jiwa yang mempelajari dan meneliti secara khusus watak manusia yang dinamakan karakterologi, seperti Ludwig Klages, Carl Gustav Jung, Heymans, Kretchmer, dan sebagainya. 

      Sebagai contoh, Carl Gustav Jung secara garis besar membagi manusia menjadi dua tipe, yang pertama adalah seseorang yang jiwanya selalu menoleh keluar atau exstrovert, dan tipe kedua justru kebalikannya yang jiwanya selalu menoleh ke dalam disebut introvert. Tipe extrovert mempunyai kecenderungan dengan mudah menanggapi peristiwa di luar dirinya. Wataknya riang gembira, terbuka dan tidak pendendam, suka meniru, dan suka bercanda atau tidak serius. Tipe introvert kebalikannya, cenderung tafakur dan punya hati tertutup. Kuat imajinasi dan fantasinya daripada mengamati dengan teliti. Teori watak Jung ini bersesuaian dengan hasil penelitian Viktor Lowenfeld, seorang sarjana Amerika berasal dari Austria yang berulangkali meneliti dan menyelidiki seni rupa anak. Berdasarkan hasil penelitiannya, Lowenfeld menggolongkan gambar anak menjadi dua kelompok, pertama yang menunjukkan adanya pengamatan yang kuat sehingga menghasilkan karya yang cenderung realistis disebutnya dengan anak tipe visual; kedua adalah kelompok anak yang imajinasinya kuat, dan menghasilkan karya yang cenderung non visual. 

      Secara psikologi manusia menangkap gejala di sekelilingnya secara pribadi atau personal terutamam dalam hubungan dengan penciptaan kesenian. Selain itu secara psikoanalis diketahui bahwa di samping dikendalikan oleh kesadarannya, manusia juga dikendalikan oleh alam bawah sadarnya. Bahkan pernah dikemukakan oleh Sigmund Freud, antara kesadaran dan ketidak sadaran manusia dapat diibaratkan berbanding sebagai gunung es di tengah lautan, atau satu berbanding sembilan. 

      1. Gaya Perseorangan / pribadi 

      Berhubung pribadi manusia yang terbentuk kokoh dan kuat, serta dibina oleh unsur dari dalam (internal), sekaligus juga unsur yang datang dari luar (eksternal), atau dengan kata lain unsur subyektif dan obyektif, maka para seniman yang bermutu akan menghasilkan karyakarya yang mempunyai ciri khas pribadi dengan simbol-simbol yang pribadi dalam perambahannya di dunia kesenirupaan. Dalam proses kelahiran karya seninya, terbuka peluang bagi pengembangan pribadi dalam karyanya, yang hasilnya terus diuji berulang-ulang melalui simbol-simbol dalam sistem pemberian makna bersama. Inilah yang menyebabkan timbulnya berbagai gaya individual dalam ciptaan atau tampilan seni. Dalam kerangka ini, dapat dikatakan bahwa fungsi dari seni itu beroperasi dalam konteks situasi yang berbeda-beda, dan ekspresi gaya berkaitan dengannya. Orang yang hidup dalam suatu lingkungan kebudayaan akan memberi pedoman untuk bertindak dalam suatu kerangka pola bagi kelakuan, yang terwujud dalam bentuk kebiasaan, kesepakatan, dan berbagai cara penanggulangan yang dipranatakan dalam kehidupan sosialnya, di mana perwujudan karya seni yang mencerminkan suatu kelompok juga menjadi ciri-ciri umum yang mendasari ciri-ciri pribadi. Pengertian ini menunjukkan meskipun gaya individual sangat menonjol dalam karya seni tersebut, akan diterima secara sosial jika terdapat asas-asas di dalamnya yang dapat dipahami secara bersama. 

      Perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagaimana dalam bahasa, menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama di antara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni, sebagai suatu kesatuan karya, dapat merupakan ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidup penciptanya. Pertama, karya seni berisikan pesan dalam idiom komunikasi, dan kedua merangsang semacam perasaan misteri; yaitu sebuah perasaan yang lebih dalam dan kompleks daripada apa yang tampak dari luar karya tersebut. 

      2. Tema 

      Tema merupakan gagasan yang hendak dikomunikasikan pencipta karya seni kepada khalayak. Tema yang hadir dalam sebuah karya seni, misalnya tema-tema sosial, budaya, religi, pendidikan, politik, pembangunan, dan sebagainya. Aspek yang dapat dikritisi dalam hal ini adalah sejauhmana tema tersebut dapat menyentuh penikmat karya seni pada nilai-nilai tertentu dalam kehidupannya sehari-hari atau mengingatkan pada hal-hal tertentu. 

      3. Kreatifitas 

      Pengertian orang kreatif adalah orang yang selalu berkreasi, sedangkan pengertian berkreasi adalah membuat sesuatu yang belum ada sebelumnya menjadi ada. Prinsip dasar dari kreatifitas, dan inovasi adalah memberi nilai tambah pada benda-benda, cara kerja, cara hidup dan sebagainya, agar senantiasa muncul produk baru dan lebih baik dari produk yang sudah ada sebelumnya. 

      Penciptaan sebuah karya seni mengandung pengertian mewujudkan suatu karya seni yang mempunyai arti dan nilai baru. Misalnya untuk membuat sebuah patung, seniman memanfaatkan batu sebagai media karyanya dengan cara memahatnya, sehingga menghasilkan sebuah patung yang tidak berwujud sebuah batu alam yang utuh lagi. Ketika batu alam untuk pertamakali dimanfaatkan sebagai media patung, maka orang yang pertamakali melakukannya dapat disebut sebagai orang yang kreatif dan inovatif. Bagaimana dengan orang berikutnya yang ingin membuat patung dengan memanfaatkan batu alam? Apakah masih bisa disebut sebagai seorang yang kreatif atau sekedar peniru saja? Meskipun masih menggunakan media batu alam yang sama, masih terbuka lagi kemungkinan kreatifitas dengan penggunaan bahan batu alam menjadi patung. Kreatifitas lain dapat muncul dari hal-hal seperti cara memahatnya, cara membentuknya, dan wujud akhir patung yang dihasilkan, mungkin secara prinsip sangat lain dari yang sudah diciptakan pematung sebelumnya. Seniman kreatif adalah orang yang selalu mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk membuat sesuatu yang baru dan asli. Guna mewujudkan keinginannya yang kreatif, maka harus sering melakukan percobaan-percobaan dengan menghubungkan beberapa hal menjadi sesuatu yang baru dan lebih berarti. 

      Kreatifitas di sini sangat erat kaitannya dengan gaya perseorangan, karena proses penciptaan karya seni merupakan perpaduan faktor internal dan eksternal. Dalam tinjauan psikologi telah disebutkan bahwa setelah persepsi akan memunculkan personalisasi, dan ditambah dengan kekayaan visi serta falsafah hidup yang hakiki, merupakan landasan dasar perseorangan yang berbeda dengan orang lainnya. Hal inilah yang menyebabkan karya Paul Klee menjadi khas, berbeda dengan rusli, tidak sama dengan Diego Rivera atau Jackson Pollock. 

      4. Teknik mewujudkan karya 

      Ketika seniman mempunyai gagasan, maka dipikirkannya bagaimana tata cara mewujudkan idenya tersebut, atau dengan kata lain bagaimana cara mentransformir wujud 

      yang idiil menjadi sensuil sehingga bernilai sebuah karya seni yang bermutu tinggi. Teknik untuk mewujudkan karya antara lain teknik dalam mengolah bahan untuk mewujudkannya dengan cara-cara khusus seperti teknik cor, teknik kerok, teknik tempel, dan teknik tuang untuk seni patung; teknik dusel dan teknik arsir untuk gambar; teknik kuas kasar, teknik palet, teknik transparan, dan teknik pointilis untuk seni lukis; teknik cetak tinggi, cetak dalam, dan cetak sdaring untuk seni grafis; dan teknik-teknik lainnya. Setiap bahan dan alat dapat digunakan untuk diolah guna menghasilkan efek-efek yang diinginkan sesuai dengan gagasan senimannya. 

      Aspek yang dinilai dalam hal ini adalah sejauhmana penggunaan teknik-teknik tersebut dapat menghasilkan efek-efek visual yang estetis dan khas, dan seberapa jauh teknik tersebut dapat memenuhi atau mewakili keinginan senimannya dalam mewujudkan karyanya. 

       Sumber: Buku Kritik Seni, Wacana Apresiasi dan Kreasi, karya Nooryan Bahari, Penerbit:  Pustaka Pelajar , Edisi kedua 2017


    • Evaluasi pertemuan ke 5 Assignment

      Soal-soal 

      1. Apa yang dimaksud dengan kritik seni? 

      2. Jelaskan tujuan dan fungsi kritik seni! 

      3. Apa pengertian dari unsur-unsur kritik seni? 

      4. Jelaskan apa yang dimaksud dengan istilah deskripsi, analisis formal, interpretasi, dan penilaian dalam kritik seni! 

      5. Uraikan aspek-aspek yang dikritik dalam kritik seni meliputi gaya perseorangan / pribadi, tema, kreatifitas, dan teknik dalam mewujudkan karya seni!


    • Pengertian seni terkait media dan teknik Assignment

      Seni dikenal dalam berbagai wujud dan penampilannya. Secara umum seni dibedakan menurut indra pencerapannya yaitu seni audio, seni visual, dan seni-seni audio visual. Seni audio adalah seni-seni yang dicerap melalui indra pendengaran. Termasuk di dalamnya seni musik atau suara, drama radio, puisi di radio dan lain-lain yang berhubungan dengan indra pendengaran. Seni visual adalah seni yang dicerap melalui indra penglihatan. Umumnya dikenal dengan sebutan seni rupa. Sedangkan seni-seni audio visual, adalah seni yang sekaligus dicerap baik dengan indra penglihatan maupun dengan indra pendengaran seperti seni tari, drama, film dan lain-lain. Di samping itu ada lagi seni lain yang tidak ditekankan pada jenis indra pencerapannya yaitu seni sastra. Termasuk dalam seni sastra adalah seni yang berbentuk prosa seperti roman, novel, cerpen, essay dan lain; . dan seni yang berbentuk puisi seperti syair, pantun, gurindan, talibun dan puisi-puisi dalam bentuk bebas lainnya. Ciri umum dari prosa adalah deskripsi keadaan atau imajinasi secara mendetail, sedangkan cirri umum dan puisi adalah ungkapan inti atau hakiki dari suatu pengalaman maupun imajinasi estetis.

      Untuk lebih mengenal prihal tentang batasan-batasan masing-masing seni ini, di sini dikemukakan beberapa prinsip tentang aneka seni yang dimaksud.

      Seni Rupa

      Seni Rupa yang berarti suatu keindahan ciptaan manusia yang dicerap dengan indra penglihatan. Misalnya seni lukis, seni pahat, seni patung, seni grafis, seni lingkungan (environmental art) seni instalasi, seni pertunjukan (performing art)  dan sebagainya. Rasa senang ditimbulkan oleh adanya keterpaduan dari unsur-unsur bentuk yang menunjang wujud utuh dari karya tersebut seperti aneka warnanya, selang seling garis dan aneka bentuk bidang-bidangnya, kemiripan obyek bentuk yang dilukiskannya dengan lukisanya, aspek tematik yang diungkapkannya, keunikannya,  teksturnya, dan lain-lain. Sedangkan keindahan, dalam pengertian sederhananya adalah sesuatu yang memberikan rasa senang tanpa pamrih pada orang yang melihatnya. Kesenangan yang ditimbulkannya muncul serta merta karena keindahan karya itu sendiri, bukan karena ada kepntingan lain yang membuatnya merasa senang.

      Seni Musik 

      Seni musik atau seni suara adalah seni yang dicerap melalui indra pendengaran. Rangkaian bunyi-  yang didengar dapat memberikan rasa senang dan rasa puas bagi yang mendengarnya  karena adanya keserasian susunan dari rangkaian tangga nada, bunyi-bunyi tersebut.

      Secara garis besar ada dua jenis seni musik yaitu musik vokal dan musik instrumental. Musik vokal adalah musik yang hanya mengandalkan suara manusia saja, sedangkan musik instrumental adalah musik yang diperoleh dari memainkan alat-alat musik.

      Seni Tari

      Seni tari juga adalah seni yang dicerap melalui indra penglihatan. Tetapi kekhusuannya adalah keindahan yang dinikmati adalah keindahan  gerakan-gerakan yang tubuh, terutama gerakan kaki dan tangan, dengan ritme-ritme teratur, biasanya memgikuti irama musik. Seni tari juga tidak terlepas dari seni rupa karena gerak-gerak yang diperlihatkan diserap dengan indra penglihatan.  Di Indonesia banyak tari daerah yag sangat terkenal seperti Serampang Dua belas di daerah etis Melayu, Seudati di Aceh, Jaipongan di Sunda Jawa barat, tari Cak di Bali, Tari Bedaya Srimpi dan gambyong di Jawa dan taritari daerah lainnya seperti tari-tari Selang, tari Ronggeng dan tari Tayub yang masih hidup doi lingkungan rakyat pedesaan di Indonesia. Di dunia Internasional ada beberapa jenis tari yang sangat dikenal seperti Balet, Waltz, Tango dan lain-lain. 

      Secara garis besar ada perbedaan antara tari daerah satu dan daeerah lainnya di Indonesia. Menurut pengamatan Mudji Sutrisno (1993 : 101), Pada tari jawa, gerak tubuh terkontrol dengan baik, torso teap tegak (Yogya lurus,Solo condong ke depan)., siku tidak boleh lebih tinggi dari pinggang. Tari Bali : tumpuan tidak ke satu sisi, siku tinggi di atas panggung. Tari minang dasarnya adalah silat, melindungi bagian-bagian tubuh yang vital, sedangkan pada tari Melayu sangat terpengarh kebudayaan Islam. Sikap kaki tidak “turn out”, lutut sangat dekat satu sama lain.

      Dewasa ini tari-tari tradisional kedaerahan banyak yang sudah domodifikasi dengan melepskannya dari keterkaitan tradisi. Tokoh-tokohnya antara lain Sardono W Kusumo,  

      Seni Drama (Theater)

      Seni drama adalah seni sastra yang dilakonkan yang umumnya di atas panggung. Maka, jika dilihat dari tempat di mana dimainkan,  seni drama sering juga disebut seni teater.

      Dalam kamus Webster New World Dictionary (1978 : 440) kata drama diartikan sebagai : Suatu komposisi sastra yang merupakan teks ceritera, umumnya konflik kemanusiaan, yang disampaikan melalui dialog dan aksi, yang dipertunjukkan di atas pentas oleh para pemain;  (2) suatu seni atau profesi menulis, aksi, atau menghasilkan permainan-permainan ; institusi teater (3) ber,main secara bersama-sama)  { (1) “a literary composition that teks the story, ususualy human conflict, by means of dialogue and action, to be performed on the stage by actors; (2) the art or profession of writing, acting, or producing plays: institution of teater. (3) plays collectively. }  

      Secara umum seni drama diartikan sebaga seni peran atau lakon yang dimainkan di atas panggung. Seni ini dinikmati sekaligus dengan indra penglihatan dan indra pendengaran. Dalam ungkapan lain, seni drama disebut juga dengan seni “teater” (panggung). Secara umum merupakan gambaran sebuah peristiwa duniawi yang digambarkan kembali di atas pangung. Keindahan seni drama terletak pada ketepatan alur cerita yang diperankan diperankan opeh para pemain di atas panggung.

      Saini KM dalam bukunya peristiwa Teater (1996), “seni teater adalah seni dunia ambang , yaitu ambang untuk menoleh kepada yang indrawi dari pengalaman sehari-hari dan menoleh juga kepada dunia nilai”. 

       Seni Sastra

      Seni sastra adalah seni yang dikemukakan melalui susunan rangkaian bahasa yang dapat menimbulkan rasa senang tanpa pamrih bagi orang yang membacanya. Secara garis besar seni sastra dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori besar yaitu prosa dan puisi. Prosa adalah seni sastra yang berusaha mendeskripsikan keadaan, keinginan, atau imajinasi secara mendetil. Sedangkan puisi adalah seni yang cenderung menyederhanakan deskripsi dengan menangkap inti permasalahan yang ingin diungkapkan, dinyatakan dicitacitakan dan sebagainya. Termasuk dalam kategori prosa adalah karya sastra yang berbentuk novel, cerita bersambung, cerita pendek, dan esai-esai yang mengemukakan kritik dan pemikiran-pemikiran budaya. Sedangkan yang termasuk dalam kategori puisi adalah, pantun, syair, dan puisi-puisi lain dalam berbagai bentuknya.

      Setelah macam-macam arti seni dikemukakan pada babdi atas, masalah pengenalan seni masih jauh dari jelas dan lengkap. Dalam kehidupan sehari-hari banyak produk yang disebut sebagai seni walau tujuan penciptaannya berbeda-beda. Ada seni yang diperuntukkan demi tujuan ekspresii belaka, tanpa terkait dengan tujuan praktis lainnya. Ada juga produk yang disebut seni, tetapi dugunakan untuk kepentingan menyampaikan suatu pesan, atau memperindah suatu produk lainnya. Dalam telaah teori seni, kedua jenis tujuan seni ditempatkan dalam kategori masing-masing yaitu kategori seni murni (fine art) dan kategori seni terapan (applied Art).

      Cabang-cabang seni demikian banyaknya, dan telaah terhadap masing-masing seni membutuhkan waktu dan pengetahuan lintas sektoral seni, maka dalam kesempatan ini yang dibahas dibatasi dalam bidang seni rupa saja. Pengetahuan tentang peggolongan dan uraian mengenai cabang-cabang pada masing-masing golongan perlu diketahui agar dapat membedakannya satu sama lain, 

      Materi yang akan dibahas antara lain adalah : Golongan atau kelompok seni murni beserta cabang-cabangnya dan golongan yang termasuk dengan seni terapan serta cabang-cabangnya.

      Seni Murni  (fine art)

      Seni murni adalah seni yang diciptakan khusus untuk megkomunikasikan nilai estetis dari seni itu sendiri tanpa tujuan lain di luar karya seni itu sendiri

      Seni murni, yang dalam istilah lain disebut seni eskpresif,  atau seperti disebut Immanuel Kant sebagai seni estetis, adalah seni yang fungsi utamanya mengkomunikasikan pengalaman estetis seniman penciptanya kepada pemerhati seni agar para pemerhati memperoleh pengalaman yang sama dengannya tanpa mengindahkan fungsi ekonomi dan fungsi kegunaan praktis yang diperoleh darinya. Gagasan tentang seni murni ini pertama dikemukakan Immanuel Kant dan lam bukunya “Kritik Pertimbangan Citarasa” (Critique Estetical Judment) pada abad ke-18 dengan istilah seni estetis yang dibedakannya dengan seni mekanis

      Pada seni mekanis  kesenangan muncul bersamaan dengan representasi yang diakibatkan oleh sensasi-sensasi. Sedangkan dalam seni estetis kesenangan muncul dari ekspresi. Seni estetis disebutnya juga sebagai seni murni. Suatu mode representasi yang secara intrinsik final. Seni ini dibuat tanpa tujuan lain di luar tujuan penciptaan karya seni itu sendiri. Dapat dikomunikasikan tanpa didasarkan pada konsep-konsep tertentu. Finalitas dalam bentuknya muncul secara bebas tanpa rintangan aturan-aturan tertentu. Dalam konteks ini ia berpendapat bahwa “seni murni adalah seni para jenius”. Kejeniusan di sini diartikannya  sebagai “bakat alam” (natural endowment), yang memberikan aturan-aturan sendiri dalam proses berkarya. Kant membedakan seni murni dalam tiga jenis yaitu, seni percakapan, seni formatif dan seni permainan sensasi-sensasi. Walaupun tidak dengan batasan yang sangat ketat, dalam kategorisasi akademis, seni-seni yang umum tergolong ke dalam jenis seni ini antara lain, musik, seni lukis, seni grafis, seni patung, seni instalasi, seni pertunjukan dan seni-seni lain yang tujuan penciptaannya semata-mata demi pengembangan nilai-nilai estetis seni itu sendiri.

      Seni Lukis

      Seni Lukis adalah seni rupa dua dimensional yang menampilkan citra visual melalui unsure warna , bidang dan garis. Sebagai karya seni murni, seni lukis merupakan bahasa ungkapan pengalaman artistic maupun ideologis dengan medium warna dan garis  

      Seni Gambar (Drawing)

      Seni gambar, yang dalam bahasa Ingris disebut Drawing, adalah cabang seni rupa dua dimensional yang produk akhirnya berupa gambar-gambar yang unsur-unsur bentuknya didominasi titik, garis dan bidang-bidang yang tidak berwarna (biasanya hanya hitam putih).  Seni gambar biasanya menggambarkan suatu figur-figur alamiah atau bentuk-bentuk geometeris, relatif sama dengan wujud obyeknya, dan tidak menonjolkan ekspresi maupun ungkapan nilai-nilai ekstrinsik dari wujud bentuk yang digambarkan.

      Secara garis besar, fungsi gambar dapat dilihat dari 3 jenis kegunaan  yaitu, sebagai notasi tentang benda atau situasi pada saat tertentu yang dianggap menarik oleh si penggambar, gambar hadir dan memuktikan dirinya seagai karya utuh yang bediri sendiri, dan gambar yang berfungsi sebagai media studi untuik karya-karya berikutnya sepertilukisan, patung, bangunan, mesin-mesin, dan produk-produklainnya.

      Seni Patung (Sculpture)

      Seni patung adalah bagian seni rupa yang yang merupakan pengucapan pengalaman artistik dalam bentuk tiga dimensional atau tri matra. Merupakan massa padat yang ditempatkan di dalam ruang . Walaupun ada juga yang bersifat seni pakai , pada umumnya seni patung adalah seni murni. Pengindraannya karya seni patung dapat dilakukan dari berbagai sudut pandang, muka, belakang, samping kiri, samping kanan, atas, dan variasi sudut pandang tertentu sebagaimana yang diinginkan pengindranya.

      Pada mulanya, seni patung adalah seni rupa tiga dimensional yang merepresentasikan bentuk-bentuk makhluk hidup ke dalam medium tiga dimensional.  Tetapi dalam perkembangan dewasa ini, seni patung dapat saja tidak merepresentasikan  bentuk dari wujud yang sudah ada sebelumnya, tetapi mempresentaskan wujud unik tanpa kaitannya dengan wujud-wujud benda atau apa saja yang pernah ada di alam ini.

      Grafis

      Sama dengan seni lukis, seni grafis juga adalah seni rupa dua dimensional. Perbedaaannya terletak pada hasil jadinya yang diperoleh melalui pencetakan. Satu pola gambar atau lukisan karya seni grafis dapat diperbanyak sampai jumlah tertentu, tanpa menghilangkan keasliannya karena pada umumnya seniman grafis ikut terlibat memperoses karyanya pada setiap cetakan yang dibuat, dan setiap hasil cetakannya ditandatangani oleh senimannya, demi menjaga eksklusivitasnya.

      Berbeda dengan produk-produk grafis lain, pada seni grafis hal yang diutamakan adalah nilai-nilai estetis dan keasliannya, dan bukan kecepatan perolehan jumlah cetakannya.tampilannya. Sesuai dengan proses dan teknik cetaknya, karya-karya seni grafis digolongkan dengan karya grafis cetak tinggi, cetak dalam, cetak datar atai lithografi dan offset, cetak tembus (sablon).

      Cetak Tinggi

      Proses cetak tinggi adalah proses mencetak dengan menggunakan klise yang dicukil dengan alat cukil tertentu  sehingga permukaan bahan yang dijadikan klise tersebut mempunyai perbedaan bagian tinggi dan bagian yang rendah. Pada permukaan bakan klise yang telah dicukil diberi tinta dengan alat peninta khusus yang biasanya berupa roll yang terbuat dari karet. Setelah permukaan bahan klise diberi tinta secara merata, maka permukaan bahan cetakan, biasanya kertas ataupun kain, dilekatkan ke permukaan klise yang telah diberi tinta agar bahan pewarna (cat) yang ada pada bahan klise, berpindah ke bahan cetakan sesuai dengan pola gambar yang diinginkan. Demikian dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh jumlah hasil cetakan yang diinginkan.

      Cetak dalam

      Proses cetak dalam adalah proses mencetak dengan memindahkan tinta yang telah dimasukkan ke dalam parit-parit cetakan ke permukaan bahan cetak (kertas). Cetakan terbuat dari bahan logam yang digores dengan dua cara yaitu :

      1.      Dry Point.:  Menggores dengan benda tajam sesuai dengan pola gambar yang diinginkan.(Dry Point).

      2.      Etsa :   Mengores bahan cetakan yang terbuat dari bahan logam dengan bahan kimia, misalnya  (Hno3). Agar tidak semua permukaan klise dari baghan logam terkena bahan kimia tersebut, maka terlebih dahulu ditutup dengan bahan yang tahan terhadap pengaruh bahan kimia sejenis (Hno3). Goresan dengan benda yajam hanya sampai pada bahan pelapis saja sampai mengenai permukakaan bahan logam klise, agar bahan kimia penggores/penggigit (HNO3) dapat masuk ke dalam ceruk-ceruk bahan pelapis sampai ke permukaaan bahan klise loga, dan “menggigit” atau “merusaknya”  secara kimiawi.

      Setelah bahan logam tergigit oleh bahan kimia tersebut sesuai dengan pola gambar yang diinginkan, maka proses selajutnya adalah memasukkan tinta ke dalam parit-parit pada klise. Tahap berikutnya dilakukan proses pencetakan dengan menggunakan alat press. Dalam alat press, tinta yang masuk ke dalam parit-parit klise dapat dipindahkan ke bahan cetakan atau kertas, melalui teknik “penekanan} atau “pressing”.

      Hasil cetakan dengan alat press ini berkesan cetakan timbul, karena bahan cetakan seperti kertas yang direncanakan menerima tinta dari bahan klise, ikut masuk ke dalam parit-parit klise cetakan sehingga setelah terlepas dari cetakan menunjukkan bekas-bekasnya yang menonjol ke luar (timbul)

      Cetak Datar (Lithografi dan offset)

      Cetak datar (lithografi) adalah proses cetak pada bahan sejenis batu berpermukaan datar yang berpori-pori sehingga dapat menyerap benda cair yang ada pada permukaannya. Pada bahan tersebut dioles atau dikuaskan bahan berbasis minyak sama dengan bahan tinta yang digunakan ( basis minyak) untuk mencetak pola gambarnya. Setelah pola gambar selesai, maka bahan cetakan tersebut disiram air sampai basah dan dapat mencegah melekatnya bahan berbesis minyak pada permukaannya., bahan pewarna berbasis minyak tetap melekat pada pola gambar yang dioleh dengan bahan mengandung minyak. Dengan terus menyiram dengan bahan air, maka pada waktunya bahan warna yang tertinggal pada bahan batu yang datar tersebut tinggal pada bagian-bagian yang terkena bahan yang dipakai membuat pola gambar. Setelah pola gambarnya kelihatan rapi dan bbenar-benar terpisah dengan bagian klise yang tidak terkena pola gambar, maka bahan cetakan (kertas) yang direncanakan menerima bahan pewarna pada cetakan dilekatkan pada permukaan cetakan. Dengan menggosok-gosokkannya sedemmikian rupa, atau dengan menggunakan alat press, bahan pewarna pada permukaan klise berpindah ke bahan cetakan (kertas) sesuai dengasn pola yang digambar pada bahan klise tersebut. Hal demikian dapat dilakukan berulang-ulang sebelum klise tersebut rusak karena terkeda gesekan berulang-ulang.

      Dengan teknologi lebih maju, prinsip cetak datar ini juga dikembangkan dalam teknologi cetak offset. Pada teknologi ini, bahan klise dibuat dari bahan logam (biasanya seng) yang telah telah diberi emulsi. Prinsip cetak ini adalah proses pemisahan minyak dengan air.

      Cetak Saring / Serigrafi

        Cetak saring, yang dikenal dalam masyarakat luas dengan sebutan cetak sablon, adalah proses cetak di mana pemindahan bahan pewarna ke bahan cetakan (kertas, seng, plastik dan sebagainya) dilakukan melalui pori-pori bahan klise cetakan yang terbuat dari sejenis kain yang alot dan kuat serta licin, seperti kain sutra, monyl, serat logam  dan bahan lain sejenisnya.

      Untuk mencetak gambar dengan pola  seperti yang diinginkan, maka kain monil yang direncanakan tidak akan mengantar bahan pewarna ke bahan cetakan, ditutup dengan sejenis bahan perekat yang tidak bersenyawa dengan bahan pewarna yang digunakan. Bahan yang sering digunakan adalah bahan chromatine yang berupakan campuran dari bahan gelatine dan chroom. Dengan demikian, terjadi pemisahan antara bagian kain yang sudah tertutup pori-porinya dan bagian yang proi-porinya masih terbuka.

      Selanjutnya, bahan pewarna dipindah ke bahan cetakan (kertas atau bahan lainnya) melalui pori-pori kain monil yang terbuka.

      Untuk membagi permukaan klise monil menjadi bagian tertutup dan terbuka sesuai dengan pola gambar yang diinginkan, dapat dilakukan dengan mengoles langsung bahan penutup (biasanya gelatin), dan dapat juga dilakukan dengan teknik penyinaran. Bahan gelatin dan sejenisnya yang yang masih berupa cairan yang biasa digunakan adalah bahan peka cahaya. Jika terkena cahaya, bahan tersebut akan mengering dan melekat secara permanen pada permukaan dan pori-pori bahan monyl. Bagian yang tidak terkena cahaya akan mudah terlepas jika terkena air.

      Agar bagian yang tidak terkena cahaya dapat sesuai dengan pola gambar yang diinginkan, pola gambar tersebut  terlebih dahulu dibuat pada sejenis bahan bahan tembus cahaya. Pada bahan tembus cahaya, pola gambar yang diinginkan tercetak rapi diberi bahan pelindung cahaya agar cahaya tidak tembus lagi pada bagian tersebut jika dihadapkan pada sinar pada proses penyinaran. Setelah proses pembuatan pelindung cahaya pada bahan tembus cahaya selesai dilakukan, maka bahan tersebut di tempelkan pada klise monyl yang sudah dibubuhi bahan gelatin atau chromatin di dalam ruang yang terlindung dari cahaya langsung.     

      Bahan cetakan diletakkan di bawah alat cetak saring yang sudah dibuatkan frame sedemikian rupa. Lalu diatas alat cetak tersebut di bubuhkan tinta. Dengan menyaput tinta tersebut dengan alat khusus yang biasanya disebut Rakel, maka sebagian tinta di atas permukaan alat cetak saringan, berpindah ke bahan cetakan yang berada di bawahnya.


      Fotografi

      Fotografi adalah salah satu cabang seni rupa, dalam hal ini seni grafis, yang hasil jadinya diperoleh dengan bantuan alat yaitu kamera.  Ditinjau dari arti katanya, fotografi mengandung arti “melukis atau menggambar dengan dengan sinar.

      Dalam kehidupan sehari-hari, sebuah kamera pada umumnya digungsinkan untuk merekam gambar-gambar orang atau benda, atau pemandangan yang diportret. Gambar-gambar tersebut dapat dijadikan sebagai bahan dokumentasi, tanda pengenal, hiasan dinding dan sebagainya.

      Dengan pesatnya kemajuan mekanisme alat kamera, banyak kemungkinan manipulasi gambar yang dapat direkam dengan alat-alat fotografi. Kemungkinan-kemungkinan manupulatip tersebut merangsang seni rupawan untuk melahirkan karya-karya yang khas dan unik, tidak sekedar merekam suatu peristiwa, bentuk umum dari obyek yang difotonya. Dengan alat fotografi mereka kemudian meereka membuat karya-karya yang unik dan mengekspresikan selera estetisnya. Maka dewasa ini dalam banyak kesempatan, dapat disaksikan karya-karya foto yang bernilai seni sangat tinggi, baik dinilai dari pengelolaan unsure-unsur rupa, prinsip-prisnsip desain, menghadirkan cita visual yang unik, dan sebagainya, tanpa kehendak menerangkan suatu fakta informatip dari gambar-gambar hasil karyanya. Gambar-gambar yang duihasilkan melulu dihadirkan sebagai karya seni yang mengandung nilai estetika murni.

      Demikian juga dalam bidang desain grafis, gambar-gambar yang dihadirkan melalui alat kamera bukan lagi gambar-gambar yang sekedar merekam citra bentuk visual dari obyeknya, tetapi memaniopulasi citra bentuk tersebut menjadi suatu gambar yang berada dalam suasana lain, menarik, menakjubkan dan unik.      

      Kompugrafi

      Dalam arti umumnya, istilah kompugrafi adalah singkatan dari frasa komputer grafis. Artinya, suatu kegiatan menghasilkan karya seni rupa dengan medium komputer. Sejalan dengan perkembangan teknologionya, medium komputerpun dewasa ini sudah dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan karya-karya seni rupa yang menakjuibkan, dan memiliki daya pikat yang kuat seperti karya-karya seni rupa lainnya seperti lukisan, patung dan sebagainya. Walaupun proses pembuatan karya seni rupa melalui medium komputer sangat banyak dibantu oleh kecanggihan alat-alat yang tersedia dalam komputer, untuk menghasilkan karya yang menakjubkan tentunya sipembuat sudah memiliki selera estetis yang tinggi, sehingga dapat menghasilkan karya kompugrafi yang cukup mempersonakan pemirsanya yang juga berselera tinggi dalam hal mata seni rupa.

      Seni Multi Media

      Seni multi media adalah seni yang tidak terikat pada batasan-batasan seni sesuai dengan penggolongan umumnya, tetapi memadukan berbagai kemungkinan medium seni baik audio maupun visual, dan mengikinkan juga memaduklan berbagai caban-cabang seni, sehingga tidk dapat dikategorikan pada stu cabang seni tertentu. 

      Seni Instalasi

      Seni instalasi belum memiliki kesepakatan arti yang baku baik bagi pengamat maupun bagi pelaku seni. Secara teknis seni instalasi lahir dari perkembanga lebih lanjut dari salah satu teknik dala seni rupa (patung) yaitu teknik “memasang” (assembling). Hal penting dari seni instalasi adalah di mana proses berkarya merupakan kesatuan unit penilaian yang turut menentukan ukuran dan nilai seni. Unsur “peristiwa” atau tepatnya proses kejadian suatu peristiwa telah dianggap sebagai representasi, sehingga di sini secara otomatis akan terjadi kontrak antara obyek dan penonton.

      Secara kebentukan instalasi masih merupakan seuah seni yang mengalami banyak perkembangan , mulai dari ekspresi yang dilahirkan hingga pada tingkat praksisnya, seperti penggunaaan efek teknologi multi media, gerakan (kinetis), mesin, lampu (laser), musik (bunyi), tari (gerak) dan vodeo sampai pada respon terhadap alam yang dibentuk dalam efek sebuah “pemasangan” (assembling).

      Seni instalasi berkembang pada tahun 1970-an, baik di Amerika maupun di Eropah. Tokoh-tokoh jenis seni ini antara lain : Nan June paik, Christo, Josep Beuys, Richard Long GENERA IDEA (Canada( Terry Allen, Judy Pfat, dan lain-lain.   

      Sesuai dengan namanya, seni instalasi adalah sejenis seni yang diciptakan dengan semangat instalasi (pasang-memasang) benda-bendavusual dua dan  tiga dimensional yang dikombinasikan dengan sehingga menimbulkan daya tarik tersendiri dan memberui kepuatan estetis bagi yang melihat atau mendengarnya.

      Seni Lingkungan (envinronmental art).

      Seni lingkungan atau envinronmental art. adalah seni yang   diekspresikan berdasarkan semangat lingkungan yang menempatkan pengindranya ikut sebagai bagian dari karya seni itu sendiri. Seni seperti ini biasanya dilakukan di luar ruangan. Setting wilayah operasional kegiatan seninya tidak memiliki batasan yang tegas dengan benda-benda lingnygan yang terdapat disekitarnya, sejauh mata memandang.

      Seni Rupa Pertunjukan (performance art)

      Seni Rupa pertunjukan adalah seni yang merupakan gabungan seni rupa dengan seni pertunjukan (teater, tari, musik, dan lain-lain), tetapi cenderung tidak terikat lagi dengan aturan-aturan baku yang umumnya ada pada masing-masing seni tersebut. Seni ini umumnya lebih dikenal dengan pengutamaan unsure-unsur improvisasi yang tinggi, yng umumnya dilakukan menanggapi fenomena social politik dan situasi dan kondisi yang berlangsung saat itu.  Seno pertunjukan merupakan salah satu gejala pada seni kontemporer dewasa ini. Tokoh-tokoh seni pertunjukan ini antara lain, John Cage, Robert Wilson, dan  Pina Bausch. Mereka secara luas memuka peluang media pertunjukan dengan menggunakan materi seni teater untuk menjaring banyak penonton. Dalam pertunjukan seni ini, batas-batas antara pemain dan penonton menjadi kabur.

      Happening Art (Seni Lingkungan)

      Happening art adalah perpaduan antara seni rupa dan seni pertunjukan. Allan Karpov (1959) memberi defenisi happening sebagai : memasang kejadian-kejadian yang dipertujukkan atau dipersepsikan pada lebih satu tempat dan waktu. (assembling of events performed or perceived in more than one time and place). “Happenning art” tidak berlangsung di satu tempat saja, tetapi dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya dan merespon lingkungan di mana dia sedang berada.  Dalam pertunjukannya terjadi pergumulan antara lingkungan, seniman yang aktif dan penonton. Tokoh utamanya adalah Allan Karpov dan kemudian diikuti tokoh-tokoh-tokoh lain seperti Jim Dine, Red Grooms, dan Al Hansen.

      Seni Terapan/Desain / Minor Art

      Seni terapan yang dewasa ini disebut desain adalah seni yang digunakan untuk mendukung suatu gagasan atau kepentingan di luar gagasan atau kepentingan untuk menciptakan karya itu sendiri. Misalnya seni musik untuk sebuah gagasan pemasaran dalam bentuk iklan di media audio, media visual, media audio visual; seni rupa yang digunakan untuk menghias atau menerangkan sutau manuskrip atau teks-teks verbal, desain grafis yang digunakan untuk menghias sampul buku, desain interior yang digunakan untuk memperindah sebuah ruangan, desain eksterior yang berfugsi sebagai penghias ruang luar bangunan, dan seni-seni terapan lainnya.seni.

      Desain Komunikasi Visual

      Desain komunikasi visual,  adalah rancangan visual untukmempromosikan suatu gagasan, barang dan maksud-maksud lain di luar gagasan estetiknya sendiri.. Gagasan yang dikemukakan dapat berupa pemasaran barang-barang produksi, pesan-pesan sosial,  iklan dan sebagainya. Desain komunikasi visual dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu komunikasi grafis dan komunikasi luar ruang (out door).

      Desain Grafis

      Seni terapan komunikasi grafis atau desain grafis adalah medium komunikasi visual yang disampaikan melalui teknologi grafis atau cetak mencetak. Termasuk di  dalamnya seperti, iklan surat kabar dan majalah, sampul buku, brosur, poster grafis, dan lain sebagainya yang dibuat dengan bantuan teknologi cetak mencetak

      Seni Ilustrasi

      Seni ilustrasi juga pada umumnya adalah seni rupa dua dimensional. Wujud fisiknya tidak jauh berbeda dengan seni lukis bila menggunakan warna penuh, dan seni gambar jika terdiri dari hanya garis-garis dan bidang yang tidak berwarna. Seni lustrasi dibedakan dengan seni lukis dan seni gambar, adalah karena fungsi yang diembannya yaitu fungsi perjelasan, penerangan suatu tulisan atau penghias halaman karya-karya berwujud tulisan seperti cerita pendek, buku pelajaran, majalah, komik, dan lain-lainnya. 

      Luar Ruang   (Out Door)

      Seni terapan komunikasi luar ruang (out door) atau desain komunikasi visual luar ruang adalah desain dan produk alat komunikasi yang ditempatkan di luar ruangan seperti Bill Board, papan reklame, iklan mobil, neon sign, neon box, dan medium-medium lain yang mungkin dilakukan.

      Desain Produk

      Desain produk adalah suatu rancangan visual tentang suatu produk pabrikasi, seperti alat-alat rumah tangga, furniture, mobil, motor dan benda-benda peralatan lainnya.

      Desain Interior

      Desain interior adalah desain visual yang digunakan untuk menciptakan atau menyusun materi-materi interior (ruang) pada bangunan, agar ruang tersebut tampak indah, praktis dan menyenangkan untuk dihuni (untuk rumah tinggal) dan mengajak orang untuk betah tinggal lebih lama memperhatikan isi ruangan (untuk rumah usaha : took, bar, dan sebagainya).  Desain interior merupakan bagian dari seni bangunan (arsitektur), yaitu khusus tata hias atau tata desain ruangannnya.

      Sebagai bagian dari arsitektur, maka prinsip-prinsip membuat desain interior tidak telepas dari prinsip-prinsip dalam ilmu dan seni arsitektur. 

      Desain Eksterior

      Desain eskterior adalah desain visual yang dibuat sebagai gambar rencana pembangunan elemen-elemen estetis pada luar ruang seperti taman-taman, halaman rumah dan sebagainya.

      Desain Busana

      Desain busana adalah gambar-gambar rancangan untuk membuat model-model busana.

      Desain tekstil

      Desain tekstil adalah cabang seni rupa terapan berupa pola gambar yang dipersiapkan untuk menentukan corak, tekstur kain dan kegunaan khusus  produk tekstil yang akan diproduksi oleh pabrik tekstil

      Kerajinan dan Kriya

      Kerajinan adalah cabang seni rupa yang perwujudan hasil jadinya sangat memerlukan kekeriyaan (craftsmanship) yang tinggi. Seni kerajinan juga sering diartikan sebagai seni “pekerjaan tangan” (Handicraft).

      Dalam bahasa Inggris , apa yang di Indonesia sering disebut kerajinan, disebut “craft”. Kata “craft” mengandung arti : keahlian, keprigelan, keterampilan khusus (special skill), seni (art), dan ketangkasan atau kecekatan (dexterity).  Lebih jauh, kata “craft” juga berarti: keterampilan di dalam mengolah atau merencanakan dengan tangan (Skill indeceiving or underhanded planning ); tipu muslihat (guile); kelihaian (slyness). Juga diartikan sebagai pekerjaan atau kesibukan yang membutuhkan keahlian atau keterampilan khusus; khususnya , beberapa seni-seni kerjinan tangan. (An occupation requiring special skill; especially , any of manual arts ).

      Dari penjelasan di atas, yang dimaksudkan dengan seni kerajinan adalah : seni yang  di dalam pembuatannya lebih mengutamakan keterampilan tangan.

      Seorang pembuat kerajinan, atau perajin, disebut craftman, artisan, a skllied workman, an artis.     

       Pembuatan karya kerajinan membutuhkan keahlian yang tinggi sehinga ampir-hampir si seniman tidak sempat menyisihkan perhatiannya untuk berekpresi. Pada mulanya, hampir semua karya yang sekarang dikategorikan dalam seni rupa adalah seni kerajinan atau kriya. Seni ini termasuk dalam seni terapan, karena produk-produk yang dihasilkannya umkumnya berfungsi sebagai barang keperluaan sehari-hari sepeti belanga, periuk, piring, jambangambunga dan benda-benda keperluan rumah tangga lainnya. Tetapi dalam perkembangannya deasa ini, seni kriya yang benar-benar seni kriya, dan merupakan seni terapan pun, karena desakan kemajuan industri banyak berpindah fungsi dari seni terapan ke seni murni. Misalnya seni keramik. Pada jaman dulu seni ini adlah terapan. Orang membuatnya untuk kebutuhan sehari-hari. Tetapi, karena sekarang banyak benda-benda untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari dibuat oleh mesin, para perajin keramik, demikian juga para perajin dengan bahan lainnya, memanfaatkan keahlian dan keterampilan khususnya mengolah bahan-bahan untuk membuat karya yang tidak lagi mementingkan fungsi praktisnya, tetapi lebih mengutamakan berekspresi dan mengeksporasi nilai estetisnya.

      Dilihat dari bahan yang digunakan, seni kerajinan atau kriya, dapat dikenal sebagai kerajinan kayu, logam, keramik, bambu, rotan dan bahan-bahan baku lainnya. Dan jika dilihat dari teknik perwujudan produknya, jenis-jenis kerajinan dikenal antara lain sebagai kerajinan ukir, kerajinan anyam, kerajinan tenun dan kerajinan membentuk (pada seni keramik).

      Sumber : Buku Ajar Wawasan Seni oleh Dermawan Sembiring

    • Evaluasi pertemuan ke 6 Assignment

      1. Seni apa saja yang termasuk dalam seni audio visual dan jelaskan alasannya 

      2. Jelaskan fungsi seni musik dalam seni film.

      3. Jelaskan beberapa jenis seni rupa

      4. Uraikan pengertian seni murni dan seni terap

      5. Jelaskan pengertian Kerajinan / Kriya


    • A. Aliran-aliran di Barat Assignment

        • Gaya Barok hadir akibat reformasi agama Katolik di Italia pada awal abad ke-17. Gaya ini menghadirkan kembali fusi baru seni arsitektur, lukisan, dan patung. Semua karya dalam gaya ini disubordinasikan kepada concetto, atau tema yang diperhitungkan dengan cermat untuk membangkitkan tanggapan emosional apresiator yang secara emosi dilibatkan dalam subyek karya seni.

          Karya seni yang dihadirkan dalam bentuk neka ragam yang tidak lazim di jaman dengan gaya hiasan abad 17, disebabkan pengaruh naturalisme dan klasikisme yang hidup sejamannya dicampur dengan gaya hiasan seni abad 17 yang khas. Tentu saja, Annibale Carracci dan Caravaggio, dua Pelukis Italia dengan tegas memutuskan hubungan dengan gaya Mannerism. Karya-karya besar dengan gaya hiasan seni abad 17 dibuat oleh Lorenzo Bernini Gian, seorang pematung dan arsitek yang merancang kolom pilinan di atas altar dari St. Mereda di Rome dengan deretan tiang batu luas didepan gereja itu. Arsitektur dengan gaya hiasan seni abad 17 juga dikembangkan oleh Bernini, Carlo Maderno, Francesco Borromini, dan Guarino Guarini yang mementingkan karya monumentalis, pergerakan, ruang yang dramatis, urutan pencahayaan bagi dekorasi ruang dalam yang megah dengan tekstur yang kontras dan bahan-bahan mewah untuk memberi kesan struktur bentuk yang megah dan menimbulkan kesenangan yang sensual. Hal ini diungkapkan dalam Encyclopedia Britannica sebagai berikut :

          The arts present an unusual diversity in the Baroque period, chiefly because currents of naturalism and classicism coexisted and intermingled with the typical Baroque style. Indeed, Annibale Carracci and Caravaggio, the two Italian painters who decisively broke with Mannerism in the 1690s and thus helped usher in the Baroque style, painted, respectively, in classicistic and realist modes. A specifically Baroque style of painting arose in Rome in the 1620s and culminated in the monumental painted ceilings and other church decorations of Pietro da Cortona, Guido Reni, Il Guercino, Domenichino, and countless lesser artists. The greatest of the Baroque sculptor-architects was Gian Lorenzo Bernini, who designed both the baldachin with spiral columns above the altar of St. Peter's in Rome and the vast colonnade fronting that church. Baroque architecture as developed by Bernini, Carlo Maderno, Francesco Borromini, and Guarino Guarini emphasized massiveness and monumentality, movement, dramatic spatial and lighting sequences, and a rich interior decoration using contrasting surface textures, vivid colours, and luxurious materials to heighten the structure's physical immediacy and evoke sensual delight.

          Seni Barok mempunyai rumusan baru dalam seni, yaitu mencapai kesatuan integral, dan penghematan penggunaan tenaga (exiting harnessing) dalam suatu ruang.Ciri khusus dalam arsitektur seni Barok adalah mencari bentuk-bentuk yang asli dan hiasan ornamennya sangat ramai, serta berkesan berlebih-lebihan. (lihat Bernard Myers, 1969 : 204)

          2.    Gaya Rococo

          Suatu gaya dalam mendisain ruang dalam (interor), seni dekoratif, lukisan, arsitektur, dan mematung dimulai di Paris pada awal abad 18, tetapi segera diadopsi seluruh Perancis dan kemudian ke negara-negara yang lain, terutama di Jerman dan Austria. Rococo ditandai oleh keringanan, kerapian, rahmat, kerapian, dan suatu penggunaan yang berlebihan dari membengkok, format yang alami di (dalam) barang-barang perhiasan. Kata Rococo/Rococo (Arsitektur Abad 18) berasal dari French/Perancis rocaille kata[an], yang menandakan rockwork yang shell-covered yang telah digunakan untuk menghias gua tiruan.

          Istilah Rococo berasal dari bahasa Prancis yang berarti “pekerjaan–batu” (rock-work). Pertama muncul pada tahun 1720 di Prancis dan kemudian bergabung dengan neoklasikisme pada tahun 1770-an. Dari Prancis gaya ini kemudian berkembang ke banyak negara di Eropa. Tendensi-tendensi Rococo dapat dilihat di banyak cabang seni seperti pada lukisan Fragonard, Boucher, Tiepolo, dan pada patung-patung Gunter serta pada karya arsitektur Boffrand. Gayanya sangat mengesankan pada dekorasi interior. Merupakan paduan antara arsitektur, lukisan dan patung, gaya Rococo menghadirkan gaya sangat mapan dan dalam tampilannya sering dipenuhi warna pastel riang, bentuk-bentuk kurvalinier, motif-motif fantastic yang aneh (grotesque)”, dan ditandai cita rasa yang bersifat simetris.

          3.    Naturalisme

          Dalam naturalisme dilukiskan segala sesuatu sesuai dengan keadaan alam (nature). Manusia beserta fenomenanya diungkapkan sebagaimana adanya seperti tangkapan mata, sehingga karya yang dilukiskan seperti hasil foto atau tangkapan lensa kamera. Jika yang dilukiskan sebuah pohon kelapa, maka lukisan tersebut berusaha menggambarkan secara persis pohon kelapa yang ada di alam dengan susunan, perbandingan, perspektif, tekstur, pewarnaan dan lain-lainnya disamakan setepat mungkin sesuai dengan pandangan mata kita melihat pohon kelapa tersebut apa adanya. Di Indonesia, pelukis yang dapat dikategorikan dalam naturalisme antara lain Saleh, Basuki Abdullah, Djajeng Asmara, Trubus, Gambir Anom, Sugeng Darsono, Dullah, sedangkan para pematungnya adalah Hendro Djasmara, dan Saptoto.

          4.    Realisme

          Berbeda dengan naturalisme, realisme cenderung melukiskan kenyataan pahit dari kehidupan manusia. Di Indonesia perbedaan ini cukup kelihatan, karena realisme cenderung ke sosialis, jadi disebut realisme sosialis yang dirumuskan sebagai karya seni yang mengabdi kepentingan rakyat dan melawan kaum borjuis serta feodal. Belinsky seorang Rusia menunjukkan cara bagaimana orang dapat melukis realistis dengan cara mencari subyek seni lukis di sekeliling kehidupan sehari-hari, dan jangan dibagus-baguskan atau diperindah, tetapi ditangkap sebagaimana adanya.

          5.    Romantisme

          Romantisme adalah gaya atau aliran seni yang menitikberatkan kepada curahan perasaan, reaksi emosional terhadap fenomena alam, dan penolakan terhadap realisme. Dalam seni lukis gerakan ini menghasilkan kebebasan baru dalam menata komposisi, melahirkan citra goresan kuas terbuka, pembaharuan dan drajat tingkatan warna yang lembut, hampir tidak kentara. Gerakan romantik pertama ditemukan di dalam seni sastra sekitar tahun 1780 dan terus bertahan sampai pertengahan abad ke-19. Manifestasi awal romantisme berlangsung di Jerman, tokoh besarnya pelukis pemandangan alam Caspar David Friedrich. Sementara di Inggris, dikenal pelukis Turner dan Constable sebagai pelukis romantisme yang handal, dan di Prancis dikenal nama-nama pelukis besar seperti Theodore Gericault, Delacroix dan Rousseau yang mengukirkan namanya dalam sejarah seni lukis dunia.

          6.    Impressionisme

          Dalam bahasa Indonesia arti impression adalah kesan, jadi karya impressionisme adalah karya seni lukis yang ingin mengungkap kesan. Sekelompok pelukis di Perancis pada akhir abad XVIII, mulai tidak senang dengan cara melukis akademi yang selalu menggambar di studio. Jika ingin melukis sapi di padang rumput, mereka mengambil sapi sebagai model dan dibawa ke studio. Kelompok pembaru mempunyai anggapan bahwa alam sebagai guru yang terbaik, membuat mereka menghambur ke jalan-jalan raya, ke ladang gandum, ke pinggir sunga Seine, dan lain-lain untuk menggambar secara langsung. Lantaran di luar Matahari langsung menyentuh mereka, tentu saja mereka menjadi blingsatan, dan melukis secara cepat-cepat, baik karena panas maupun karena gerakan perjalanan Matahari dari Timur ke Barat mempengaruhi bayangan dan pewarnaan. Secara otomatis mereka memperhatikan keberadaan dan gerakan cahaya. Lambat laun mereka memuja cahaya, dan menomorduakan unsur-unsur yang lainnya. Mereka perdalam ilmu fisika yang bersangkut-paut dengan cahaya. Tokoh-tokoh kelompok ini adalah C. Monnet, Ranoir, C. Pissarro, Sisley, E. Degas, dan lain-lain. Di Indonesia pengikut aliran ini antara lain Kusnadi, Solichin, dan Affandi yang akhirnya menjadi ekspresionis. (lihat Sudarmaji, 1979 : 16)

          7.    Post-Impressionisme

          Post Impresionisme adalah istilah yang secara umum digunakan menjelaskan perkembangan lanjut dari Impresionisme yang dilakukan beberapa pelukis seperti van Gogh, Gauguin, dan George Seurat. Pada karya-karya post impresionisme, kepentingan materi subjek sangat dihargai. Pendekatan utamanya  adalah pada nilai-nilai bentuk.

          Istilah ini Post Impresionisme dikenalkan oleh Roger Fry dan Clive Bell. Istilah ini kemudian  menjadi mapan setelah Fry menyusun pameran penting berjudul “Manet and the post-Impresionism”. di London pada tahun 1910.

          8.    Ekspresionisme

          Berbeda dengan impresionisme yang menangkap kesan sesaat terhadap subyek karya, seniman ekspresionisme lebih mengutamakan curahan batin sendiri secara bebas. Perkembangannya yang terjauh sampai kepada usaha sepenuhnya mengungkap dunia batin dan ituisi yang tidak bisa dicari identifikasinya di dunia kongkret kasat mata ini. Sebagai pemuka aliran ini antara lain Vincent van Gogh dan Paul Gaugauin. Ekspresionisme di Jerman sangat menonjol dengan tokoh-tokohnya: Ernast Ludwig Kirchner, Karl Schmidt Rottluf, Emil Nolde, Ernst Barlach (terutama patung), lalu W. Kandinsky, Paul Klee, dan lain-lain. Ekspresionisme di Perancis mendapat nama khusus ialah Fauvisme. Jika di Jerman suasana lukisannya nampak seram, pathos, dengan warna yang suram, maka Fauvisme di Perancis justru dengan warna-warna yang cemerlang. Barangkali karena iklim dan faktor geografi yang berbeda, membentuk perwatakan yang berbeda pula. Tokohnya: Henri Matisse, Andre Derrain, Maurice de Vlaminck, Roul Dufi, Kees van Dongen. Di Indonesia bisa disebut Affandi dan Zaini.

          9.    Fauvisme

          Kata fauvisme berasal dari frasa “wild beast” kata dalam bahasa Prancis mengandung arti “binatang buas yang liar”. Nama ini digunakan sekelompok seniman yang pameran bersama di  “Paris Salon d’Automme” pada tahun 1905. Anggota kelompok tersebut adalah Vlaminck, Derain, Marquet, Rouault, dan Henri Matisse. Semua berasal dari latar belakang percobaaan dan inspirasi berbeda. Kualitas umum dari karya yang dipamerkan adalah lukisan dengan warna-warna melengking (strident) dan pola-pola permukaan linier. Karya seperti ini secara kualitas formal tidak dihargai secara akademis, baik dari segi proporsi dan komposisi yang diinterpretasikan secara individual. Para fauvis juga menunjukkan persamaan dengan ekspresionisme Jerman. Dengan pengeksploiotasian warna-warna murni dan anti aturan akademik , mereka mendapat tempat penting dalam perkembangan seni lukis pada abad ke-20.

          10.                Suprematisme

          Suprematisme adalah gerakan yang didirikan oleh Kasimir Malevich di Moscow pada tahun 1913, yang berdiri sampai tahun 1920. Gerakan ini pendukung  abstrak murni yang didasarkan pada elemen-elemen sederhana dari lingkaran, segi empat, segi tiga dan salib. Contoh pertama yang dihasilkan adalah lingkaran hitam sempurna pada latar belakang putih. Semua karya-karya selanjutnya yang didasarkan pada abstrak geometris berhutang budi pada Suprematisme.

          11.                Kubisme

          Seni rupa yang kubistis mempunyai wujud bersegi-segi dan punya kesan monumental, terutama untuk seni patung. Bapak aliran kubisme adalah Pablo Picasso dan G. Braque. Sebelum menemukan kubisme, Picasso banyak dipengaruhi Goya, lalu El Greco, Lautrex, dan akhirnya Cezanne. Patung primitif Afrika dan lberia punya peranan besar hingga lahirlah ciptaan pertamanya. Dalam seni lukis Wanita Avignon, sedang dalam seni patung Kepala Wanita. Jenis-jenis atau fase kubisme agak banyak, namun yang berarti ialah kubisme analitis dan kubisme sintetis. Dalam hal yang analitis, seniman melihat obyek dari berbagai arah yang dibentuk dalam faset-faset kecil, lalu dilukiskan sekaligus. Model karya yang begini kita bisa melihat obyek lukisan yang dilihat dari depan, samping, belakang, dan sebagainya tergantung pada keinginan seniman. Melalui cara ini Picasso dianggap menemukan dimensi keempat dalam seni rupa. Kubisme sintetis bertolak dari bentuk abstrak menuju ke bentuk kongkret. Jadi kebalikan dari yang analitis dari bentuk kongkret ke bentuk abstrak. Tokoh utama kubisme sintetis ialah Juan Gris, katanya: Cezanne membuat silinder dari botol; aku membuat botol dari silinder. Pengikut kubisme tanpa menghiraukan analitis atau sintetis adalah Archipenko, Iplchitz, Henri Laurens, Brancusi (seni patung), Picasso, Braque, Juan Gris, Fernand Leger, Metzinger, dan lain-lain.

          12.                Futurisme

          Merupakan aliran seni rupa yang dibangun di luar Perancis pada tahun 1909 di Italia. Semboyannya seperti diucapkan Filippo Tornasso Marinetti ialah bahwa keindahan baru adalah mobil yang menggeram dan meluncur seperti peluru senapan. Itupun lebih bagus dari patung dewi kemenangan dari Samothrace. Mereka sangat mengagungkan peperangan. Dikatakan juga bahwa masa itu ialah mampusnya kesenian masa lampau. Lalu lahirlah seni untuk masa datang. Seni yang menguasai masa depan. Ada beberapa manifesto dilontarkan kaum futuris: Manifesto of futurist painting (1910) dan Technical manifesto (1910) yang dijadikan pedoman. Futurisme bisa dipandang sebagai pendobrakan faham kubisme yang dianggap statis dalam soal komposisi, garis, dan pewarnaan. Futurisme mengabdikan diri pada gerak. Sedemikian besar nafsu mengutarakan gerak hingga anjing lari lukisan G. Balla digambar tidak dengan kaki empat melainkan banyak sekali. Para tokohnya: Umberto Boccioni, Carlo Carra, Severini, Giacomo Balla, Ruigi Russalo.

          Futurisme (berorientasi ke masa depan), adalah suatu gerakan seni di Italia pada awal abad ke-20, yang cenderung menghubungkan seni dengan kecepatan mesin dan waktu yang memposisikan pengamat ditengah-tengah gambar. Seni rupa futuristik, pertama dipublikasikan penyair Filippo Marinetti melalui pameran yang diberi judul “ Futurism Manifesto” pada tahun 1909. Pada tahun-tahun berikutnya,  dengan bantuan Carlo Carra, Umberrto Boccioni, dan Luigi Russolo gagasannya diaplikasikan ke dalam lukisan . Menifesto futurisme kemudian menjadi issu yang berkembang dalam masyarakat. Tokoh-tokoh aliran ini mengabadikan  sensasi-sensasi dinamis dan “memasukkan” (interpenetration) figur-figur di dalam gerakan dengan menggunakan garis-garis diagonal yang dinamis.

          13.                Dadaisme

          Aliran dadaisme merupakan isyarat yang nihilistis dari aliran berikutnya, surealisme. Lahir di Zurich, merupakan produk yang histeris dari situasi perang dunia I. Sifatnya dapat dikatakan anti seni, anti perasaan dan cencerung merefleksi kekasaran dan kekerasan. Karyanya serba aneh seperti misalnya mengkopi lukisan Monalisa, tapi dikasih kumis. Tempat kencing diberi judul dan dipamerkan. Dilakukan juga metode kolase, bahkan dengan material lebih besar volumenya seperti kayu dan rongsokan barang bekas. Sedang dengan kubisme sintetis masih terbatas dengan sobekan koran, menaburi pasir. G. Gross, Max Ernst, Hans Arp, Marcel Ducham dan Picabia pernah berkecimpung dalam dadaisme.

          14.                Surealisme

          Pada awalnya gerakan dalam sastera, diketemukan oleh Apollinaire untuk menyebut dramanya. Pada tahun 1924 istilah itu diambil oper Andre Beton untuk manifesto kaum surealis. Dalam kreatifitas seninya kaum surealis berusaha membebaskan diri dari kontrol kesadaran, menghendaki kebebasan besar, sebebas orang bermimpi. Gerakan itu sangat dipengaruhi ajaran ilmu jiwa dalam, terutama psiko analisa Sigmund Freud. Dalam gerak selanjutnya terlihat ada tendensi menuju kepada bentuk-bentuk realistis namun dalam hubungan aneh seperti pada lukisan Salvador Dali, Sudibio dan Sudiardjo, yang disebut sebagai surealisme fotografis. Sedang pada Joan Miro dan A. Masson, disebut dengan surealisme amorfis.

          15.                Abstraksionisme

          Pada aliran-aliran sebelumnya, seniman masih bertolak dari kenyataan optis, maka pada aliran abstrak yang sangat banyak jenisnya, seniman berusaha menggali suatu kenyataan yang ada dalam batin para seniman. Mungkin dapat disebut dengan istilah fantasi, imaji kreatif, intuisi, atau istilah lainnya. Disebabkan hadir dari dunia batin, dunia dalam, maka akan muncul bentuk yang tidak ada identifikasinya dalam dunia optis yang orang lain bisa mengontrolnya. Jika suatu lukisan abstrak masih nampak bekas-bekas dengan alam, disebut orang semi abstrak atau abstrak impresionis. Sedang abstrak murni tidak sedikitpun dapat diidentifikasikan dengan alam yang dibagi menjadi dua. Pertama abstrak ekpresionis, yang kedua abstrak geometris. Abstrak murni sering juga disebut sebagai seni non obyektif atau figuratif. Abstrak geometris dapat dilihat pada karya-karya Piet Mondrian, Bart van Leck, Theo van Doesburg, yang dikenal dengan nama khususnya neo plastisisme, sedang Malevich dikenal sebagai penganut suprematisme.

          Abstrak ekspresionis di Amerika dapat dilihat dua kecenderungan, pertama dikenal sebagai color field painting dengan tokohnya Mark Rothko, Clyfford Still, Adolf Gotlieb, Robert Motherwell, Bornett Newman. Sesuai dengan namanya, lukisan mereka banyak menampilkan bidang lebar-lebar berwarna cerah. Sedang kecenderungan kedua dengan julukan action painting terdiri dari Jackson Pollock, Willem de Konning, Franz Kline, dan Jack Twarkov.

          Abstrak ekspresionisme di Perancis diikuti oleh H.Hartung, Gerard Schneider, G. Mathiew, dan Pierre Soulages. Lalu yang diberi nama khusus Tachisme adalah Wols, Aechinsky, Asger Yorn. Mendapatkan julukan abstrak impresionis adalah J. Bazaine, A. Manessier, N. de Stael, dan J. le Moal.

          16.                Konstruktifisme

          Konstruktifisme dapat dikategorikan dalam seni abstrak juga dan dominan dengan seni rupa tiga dimensional. Tokohnya A. Pevsner, Naum Gabo, Vladimir Tatlin, A. Rodchenko, A. Calder (yang lantaran patungnya bergerak-gerak dapat nama mobilisme). Patung yang bisa bergerak dengan banyak macam dan ragamnya, di Amerika dikenal dengan nama kinetic sculpture. Tenaga penggeraknya macam-macam, ada yang lantaran angin, air, baterai, dan listrik.

          Konstruktifisme adalah pergerakan seni rupa yang berkembang di Rusia pada awal abad ke-20. Para eksponen gerakan ini menciptakan patung, relief, konstruksi-konstruksi dan skema-skema arsitektur dengan material baru seperti plastik transparan, besi, kawat dan kaca. Secara umum mereka menggagas interaksi visual antara bentuk dan ruang dengan mengemukakan konsepsi-konsepsi ruang dan massa yang menempati ruang. Kelompok ini menerima pekerjaan pematrian (welding) dalam pembuatan patung sebagai teknik penciptaan karya. Pada tahun 1920 mereka membuat pameran besar yang diikuti tokoh-tokohnya antara lain : Antoine Pevner, Naum Gabo . Pada kesempatan yang sama mempublikasikan “Manifeto”nya, dengan mengulang klaimnya tentang seni dengan kecepatan mesin waktu dan menempatkan pengamat ditengah-tengah gambar.

          17.                Minimalisme

          Apa yang disebut minimal art adalah sikap yang lebih fundamental lagi dari aliran kunstruktifisme. Gerakan yang merupakan reaksi langsung terhadap abstrak ekspresionisme tahap permulaan ini, dari seni personal menjadi impersonal. Minimal art lahir karena situasi teknologi dan industri yang tinggi, di mana personalitas menjadi kurang. Daripada sculptural, minimal art cenderung architectural.

          Minimalisme adalah suatu paham berkesenian yang memunculkan unsur-unsur bentuk seni secara minimal dalam karyanya. Tampilan karya tersebut tampak sederhana. Misalnya pada karya seni lukis dan seni patung, bentuk-bentuknya disederhanakan sedemikian rupa sehingga yang diperlihatkan hanya esensi ( hakekat) yang mewakili citra visual yang ditampilkan.

          Istilah mininalisme dikenalkan oleh Barbara Rose pada pertengahan tahun 1960-an. Istilah ini tidak menunjukkan suatu gerakan kelompok maupun pribadi, tetapi hanya menunjukkan kecendrungan berkarya dengan penampilnan citra bentuk minimal.

          Perkembangan minimalisme berlangsung sekitar ahun 1960-an sampai dengan 1970-an, terutama di Amerika. Tokoh yang menganut aliran ini antara lain adalah Carl Andre, Ronald Bladen, Dean Flavin, Donald Judd, Sol Lewitt, Khisiso Sugo dan Katsuo di Jepang.

          18.                Op art

          Op art merupakan salah satu seni non obyektif dan non figuratif. Jadi termasuk dalam seni abstrak juga. Op art merupakan singkatan dari optical art alias rtetinal art. Wujudnya yang khas ialah susunannya yang geometris dengan selalu diulang-ulang biasanya teratur rapi, sehingga mata kita merasa dikecoh karena kelicikannya. Ia seperti mau mengeksploitasi kelemahan mata kita dengan ilusi ruang. Seperti halnya papan catur, ia menarik perhatian karena warnanya yang kontras. Jika kita lihat karya Piet Mondrian menghindari pengulangan, maka justru op art melakukan pengulangan sampai barangkali peninjau dalam keadaan trance sebagaimana mendengarkan bunyi gamelan kuda lumping. Tokoh kelompok ini antara lain Victor Vaserely, Bridget Riley, Yaacov Gipstein, Tadasuke Kawayama.

          19.                Pop art

          Pop art adalah gaya seni yang cenderung mengekspresikan spirit dunia pada jamannya (tahun 1960-an). Seniman Pop Art,  tidak ragu  mengkritik  beberapa keborokan jaman. Mereka mengangkat obyek murni/steril sebagai model-model, dan juga barang sehari-hari seperti  bola lampu listrik, kaleng bir, atau bungkus makanan dan sebagainya. Objek-obyek tersebut secara langsung akrab dengan pengamatnya. Tujuan pisikalnya lebih ditonjolkan daripada ungkapan intelektualnya. 

          Sebutan Pop Art diambil dari singkatan kata “popular” (yang dikenal umum). Jika dibandingkan dengan Dadaisme pada tahun 1920-an, gaya Pop Art ini tidak dihargai sebagai pendiri suatu mazhab seni yang mapan. Walau demikian tetap dihargai sebagai suatu fase perkembangan seni paruh kedua abad ke-20.

    • Aliran-aliran di Indonesia Assignment


      Para pengulas sejarah seni rupa Indonesia cenderung beranggapan bahwa seni rupa Indonesia modern lahir bersaman dengan lahirnya PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) pada tahun 1937, karena dalam PERSAGI-lah terdapatnya para eksponen yang mendukung lahirnya seni rupa Indonesia modern dan dilain fihak karena PERSAGI adalah organisasi modern pertama yang secara teratur berusaha untuk mengembangkan seni rupa Indonesia modern.

      Salah seorang eksponen yang paling vokal adalah S Sudjojono  (1914 -1986), seorang pelukis, kritikus, dan agitator yang berbakat; walaupun ia bukan ketuanya tetapi melalui tulisan-tulisan maupun bimbingannya ia telah berhasil membangun citra seni rupa Indonesia pada waktu itu. Pengaruhnya pada generasi muda besar sekali sehingga karena itu dapatlah kiranya dikatakan bahwa seni rupa Indonesia modern dibangun di atas fondasi pendapat-pendapatnya. Ungkapan bahwa “seni adalah jiwa ketok” (jiwa yang tampak) sangat terkenal dan menghujam sekali di hati para siswanya. Singkat kata Sudjojono  adalah bapak seni rupa Indonesia modern.

      Sebetulnya Indonesia mengenal Raden Saleh Syarif Bastaman (1814-1880) yang hidup satu abad lebih dahulu dan merupakan orang Indonesia pertama yang secara langsung  berkesempatan belajar melukis di Eropa dan bermukim di sana selama 20 tahun khususnya di negeri Belanda dan Perancis. Ia belajar seni lukis potret dari pelukis Belanda C. Kruseman dan seni lukis pemandangan dari A. Schelfhout. Sebelum itu, di Indonesia Raden Saleh mendapat didikan pertamanya dari pelukis Belgia A. Payen yang tinggal di Jakarta. Dalam lawatannya di Perancis ia sangat terpengaruh oleh karya-karya Delacroix, termasuk kesukaan pelukis Perancis kenamaan ini akan Afrika Utara. Hal yang terakhir ini dapat disaksikan misalnya pada lukisannya “Perburuan Singa” yang dilukisnya pada tahun 1870 dan pernah pula dilukiskan oleh Delacroix. Lukisan-lukisan yang terkenal, terutama karena dihubungkan  dengan perjuangan bangsa Indonesia adalah “Hutan Terbakar” dan “Antara Hidup dan Mati”. Tokoh utama dalam lukisan tersebut adalah banteng yang bagi banyak orang merupakan simbol perjuangan dan semangat bangsa Indonesia. Raden Saleh sempat berhasil memperoleh pengakuan yang pantas dari masyarakat maupun kalangan kritisi di Eropa, dan dari pemerintah Belanda ia mendapat gelar kehormatan Schilder des Konings dan medali Orde van de Eikenkroon. Sayang, Raden Saleh hanya berjuang untuk dirinya sendiri dan tidak berkeinginan untuk menularkan pengalaman dan keahliannya yang langka itu di Tanah Air sehingga sepeninggalannya terjadi kekosongan sampai datangnya generasi berikut, yaitu generasi Abdullah Surio Subroto (1787-1914), dan sementara itu kehadirannya pun hampir tidak diperhitungkan oleh generasi sesudahnya.

      Abdulllah juga pernah belajar di akademi seni rupa di Negeri Belanda, walaupun tujuan semula dari kedatangannya di Negeri Belanda adalah untuk meneruskan pelajarannya dalam ilmu ketabiban. Abdullah yang kemudian dikenal dengan tambahan ‘Senior’ di belakang namanya -untuk membedakannya dengan anak-anaknya yang juga melukis- berkembang menjadi pelukis pemandangan yang sukses dan banyak melukiskan gunung-gunung di sekitar tempat tinggalnya di Bandung. Karya-karyanya tergolong lembut dan di sani-sini agak menyentuh. Salah seorang anaknya, Basuki Abdullah, selain melukis pemandangan juga banyak melukis potret. Tekniknya bagus dengan virtuositas yang tinggi, namun tampaknya ia tidak luput dari bahaya bagi mereka yang memiliki vistuositas tinggi, yaitu kurangnya penjiwaan atau kurang menyatunya lukisan dengan ekspresi si pelukis. Maka kebanyakan karya Basuki terasa kurang berbobot.

      Yang hidup sezaman dengan Abdullah Sr adalah Mas Pirngadie (c. 1875-1936), yaitu seorang juru gambar di Dinas Purbakala yang juga melukis pemandangan, dan sementara itu di Sumatera Barat ada juga seorang tokoh yang sedikit lebih muda dari Abdullah dan Pirngadie, yaitu Wakidi. Ketiga-tiganya, yaitu Abdullah, Pirngadie, dan Wakidi, dikelompokkan menjadi satu dalam ‘Mooi-Indië’, yaitu panggilan bagi pelukis-pelukis yang tergabung dalam ‘Indische Schilders” (pelukis-pelukis Hindia Balanda) yang sebagian besar anggotanya adalah pelukis-pelukis Eropa yang sedang berada di Indonesia yang juga dulu disebut Hindia Belanda.

      Masyarakat Indonesia mulai berkenalan dengan teknik dan cara cipta atau gaya seni lukis Barat yang visioplastik melalui lukisan-lukisan yang dihadiahkan oleh Belanda kepada para pejabat di Indonesia, raja, atau bupati, yang ternyata sangat menarik minat para penerimanya. Sementara itu, sejak abad XVII sudah mulai ada pelukis Barat yang datang ke Indonesia, makin lama makin banyak dan akhirnya pada abad XX bermunculanlah tokoh-tokoh seperti Walter Spies, Le Mayeur, Rudolf Bonnet, Hofker, Dezentje, Adolf dan segudang nama lainnya di Indonesia yang kehadirannya jelas ikut mempercepat proses pengenalan masyarakat Indonesia akan trompe I’oeil ala Barat tadi. Namun yang paling efektif memperkenalkan tata cara lukis Barat ini adalah pendidikan di sekolah-sekolah lewat gambar-gambar ilustrasi dan buku-buku. Sayang, perkenalan ini berakhir dengan dilupakannya gaya melukis tradisional Indonesia yang kedekoratifan oleh sebagai masyarakat awam Indonesia; maka seni lukis Indonesia berangsur-angsur beralih dari ideoplastik ke visioplastik.

      Di Bali dengan masih bercokolnya agama Hindu yang secara tidak langsung menjadi sponsor seni rupa dengan patung, relief, dan lukisan-lukisannya, pengaruh Barat ini disambut oleh tradisi yang masih lebih kuat, dan lebih hidup daripada yang ada di  Jawa. Oleh karena itu, walaupun tujuan para pelukis Barat itu justru ke Bali sehingga Bali mendapatkan tekanan pengaruh barat yang lebih seru, namun Bali lebih sanggup menghadirkan gayanya yang asli dengan Le Mayeur, Bonnet, maupun Walter Speis talah melahirkan Sobrat, Ida Bagus Made, Mde Wija, Ketut Kobot, sampai Wayan Bendi, dan lusinan lainnya yang karya-karyanya selalu menimbulkan decakan kekaguman dari barang siapa yang melihatnya. Di Jawa sisa-sisa keasliannya tersingkir jauh-jauh di desa-desa yang kebetulan tidak terjamah oleh orang luar, seperti lukisan kaca atau beberapa ilustrasi manuskrip yang bergaya wayang kulit.

      Dengan makin banyaknya pelukis-pelukis Barat yang bermukim di Indonesia, demikian pula makin banyaknya jumlah pelukis pribum khususnya di Bandung dan Jakarta. Pada awal abad ini (1902) telah lahir di Jakarta -pada masa itu, Batavia- sebuah organisasi seni dengan nama Nederlands Indische Kunstkring yang banyak menyelenggarakan pameran, baik dari dalam maupun dari luar negeri; dari dalam umumnya karya-karya anggota Indische Schilders yang sebagai besar terdiri dari pelukis-pelukis Eropa di Indonesia, sedang pameran dari luar kebanyakan berasal dari Eropa, walaupun pernah juga memamerkan lukisan-lukisan dari India, dan Jepang. Pendirian ini kemudian diikuti di kota-kota atau propinsi lain dan karena kemudian jumlahnya makin membengkak, maka pada tahun 1916 didirikan Bond van Kunstringen. Selain mengadakan pameran, tugas Kunstring juga mendatangkan buku-buku atau alat dan bahan melukis. Oleh karenanya tidaklah mengherankan bahwa para pelukis pribumi banyak memperoleh kesempatan mendalami dan mengagumi karya-karya seni lukis Eropa, dan begitulah, Sudjojono  tertarik sekali pada karya-karya James Ensor dan Affandi tertarik pada lukisan-lukisan Van Gogh dan Kokoschka. Sementara itu Pascin dan Dufy juga banyak mempunyai pengagum. Baik Ensor maupun Van Gogh dan Kokoschka adalah tokoh-tokoh Eropa yang merupakan pelopor lahirnya ekspesionisme. Maka tidaklah mengherankan kalau Sudjojono  berucap bahwa “seni adalah jiwa ketok” dan Affandi menjadi tokoh nomor satu ekspresionisme di Indonesia, dan mereka pun berjuang untuk menjadikan seni lukis atau seni rupa Indonesia ekspresif, karena seni adalah ekspresi, dan dengan pandangan baru tentang seni ini mereka, khususnya Sudjojono  menentang keras karya-karya Mooe-Indië yang dianggapnya sekedar merupakan tour de force teknis saja, tanpa isian yang berarti. Bagi Sudjojono  para pelukis Mooi-Indië ini tidak lain adalah para pelukis yang hanya ingin mengabdikan keindahan alam Indonesia saja dan kurang tanggap terhadap kenyataan yang ada di sekitarnya yang tidak semuanya indah. Dengan lantang Sudjojono  mengecam mereka itu.

      Semua serba bagus dan romantik bagai sorga, semua serba enak, tenang, dan  damai. Lukisan-lukisan  tadi tidak lain hanya mengandung suatu arti: Mooi-Indië. Gunung , kelapa dan sawah menjadi trimurti bagi tabel pelukis-pelukis tadi. Gunung, kelapa dan sawah menjadi penarik hati mereka, seakan-akan tak bisa mereka lepas dari dogma tadi dan terus tertarik oleh barang tiga tadi sahaja. Begitu pbulik, begitu pelukis. Dan kalau ada seorang pelukis berani melukis hal-hal yang lain dari trimurti tabel tadi dan mencoba menjual lukisan-lukisannya pada toko-toko gambar di sini, maka kata si handelar:”Dat is neit voor ons, meneer”. Maksud dia: “Dat is neit voor de toeristen of de gepensionneerde Hollandes, meneer”. Dan pelukis yang demikian, kalau tidak mau dimakan penyakit tbc, lebih baik menjadi guru atau mencari pekerjaan klerk statistiek, ….

      Setelah revolusi fisik lahirlah di Bandung dan Yogyakarta akademi-akademi seni rupa yang secara formal mendidik para mahasiswanya bagaimana berolah seni dan bersamaan dengan itu masuk pula secara resmi pengaruh seni rupa dan pendidikan seni rupa Belanda, karena kedua akademi tersebut dibimbing oleh Belanda atau orang-orang yang terdidik di Belanda. Namun kemudian bermunculanlah tokoh-tokoh yang mendapatkan pendidikan di Amerika Serikat yang lambat laun mengubah wajah pendidikan di kedua akademi tadi. Masuk pula buku-buku dari Amerika yang karena isinya tidak begitu terserap oleh para mahasiswa maka gambar-gambarnyalah yang kemudian banyak berbicara. Hal terakhir ini telah menimbulka dampak yang agak serius, yaitu banyaknya timbul epigon-epigon yang kurang mengetahui latar belakang dari apa yang ditirunya. Hal ini juga disebabkan karena macam-macam gaya dan aliran dari Barat seperti realisme, impresionisme, surrealisme, kubisme dan lain lain yang di Barat timbulnya secara wajar dan logis, satu demi satu itu, datangnya di Indonesia secara serentak sehingga sering menimbulkan sikap eklektis yang dangkal, karena yang dipilihnya juga belum tentu dimengertinya.

      Seni abstrak dengan katagori “komposisi” bermunculan di mana-mana, namun sebaliknya, karya-karya berbobot yang merupakan hasil perjuangan gigih dan wajar lebih susah dicari. Di Bandung ada kecenderungan berolah bentuk yang merupakan hasil didikan Ries Mulder yang berniat untuk “… to provide an introduction to the language of form in the widest possible sense … dan karena itu bagi mereka objek atau tema itu tidak perlu benar; di Bandung tema-tema yang diangkat dari kehidupan rakyat yang begitu menonjol di Yogya, boleh dibilang tidak ada, sedang yang banyak mereka lukiskan adalah pemandangan, alam benda, atau komposisi yang kesemuanya tidak memerlukan kedalaman isi, karena “the picture is the thing” sebagaimana yang diucapkan Edouard Manet bahwa lukisan adalah persoalan bentuk bukan persoalan isi. “To the revolutionary and romantic generation of artist assembled in Jogja, Bandung art appeared alien dan cold, even meaningless, tulis Claire Holt. Adapun di Yogyakarta, dengan getolnya Sudjojono memperjuangkan ekspresi dalam lukisan, ia seakan-akan mempersetankan teknik melukis dengan maksuud agar teknik akademik dari Barat yang sulit itu tidak menjadi beban bagi para pelukis muda sehingga mereka dapat mencurahkan usahanya dalam ekspresi. Akibat daripadanya jelas, yaitu menjadi suramnya rata-rata palet seni lukis Yogyakarta, karena bercampurnya di atas kanvas oleh tindakan trial and error. Namun dibalik kesuraman warna palet seni lukis Yogya ini terdapatlah kesegaran dalam ekspresi yang ditimbulkan oleh kebebasan dan antusiasme yang besar. Bagi sebagian besar pelukis Yogyakarta seni mereka adalah asli dan nasinalistik walaupun mereka sadar bahwa mereka itu menggunakan bahasa dan idiom Barat.

      Dengan makin meningkatnya tekanan komunisme dalam politik di Indonesia pada akhir dekade limapuluhan maka bertambah pula pengaruh-pengaruh yang datang ke Indonesia, yaitu dari Mexico,. Lukisan-lukisan Diego Rivera, Orozco, atau Siqueiros yang diisi dengan muatan untuk memberondong penjajahnya itu dianggap cocok ditiru di Indonesia oleh para pelukis komunis untuk menyikat lawan-lawan partainya. Maka muncullah Diego-diego Indonesia seperti Amrus Natalsya, Suromo, Sembiring, yang gaungnya sekarang masih dapat disimak pada karya-karya Djoko Pekik yang merupakan satu-satunya yang tergolong konsekuen dengn gayanya. Periksa karya-karya Pekik “Keretaku Tak Berhenti Lama” (1989) atau “Pekerja Wanita” (1985)

      Sebenarnya tidak ada salahnya melukis dengan dimuati sesuatu, sejauh muatannya beres-beres saja dan muatan itu tidak mengganggu nilai-nilai kesenilukisannya, dan masalah inilah yang dulu dijadikan kaum Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) mendapatkan perlawanan dari kelompok “Manifes Kebudayaan” yang biasa disingkat secara sinis menjadi Manikebu oleh lawan kuburnya yang menuntut agar seni, politik, dan aspek-aspek kebudayaan lainnya itu berstatus sejajar atau setingkat; tidak boleh yang satu menunggangi yang lain. Sebagaimana kita ketahui  Lekra terkenal dengan slogannya “Politik adalah Panglima” yang mengandung maksud bahwa politik harus berada di atas aspek-aspek budaya lainnya, yang dalam praktek bisa berarti bahwa walaupun sebuah lukisan kurang memenuhi syarat estetik, misalnya bisa saja ia terpilih karena syarat-syarat politisnya sudah terpenuhi.

      Salah satu fase yang menarik dalam perkembangan seni rupa Indonesia modern adalah merebaknya masalah identitas nasional. Sejak kelahiran PERSAGI yang hampir bersamaan waktu dengan timbulnya polemik besar kebudayaan dalam dekade tigapuluhan, identitas nasional atau kepribadian nasional (menurut sebutannya dalam dekade limapuluh dan enampuluhan) selalu menjadi dambaan para seniman Indonesia. Hal tersebut tampaknya merupakan “the spirit of the age” ketika itu, sebagaimana yang banyak disebut-sebut dalam polemik, karena mereka menyadari sepenuhnya betapa kuatnya dominasi Barat. Mereka ingin agar seni rupa Indonesia modern tidak hanya jatuh dalam bayang-bayang seni rupa modern Barat sebagaimana yang banyak dituduhkan oleh kritisi mereka. Dalam bukunya ‘Seni Lukis, Kesenian dan Seniman’ (1946) Sudjojono  secara panjang lebar membahas masalah ini, dan semenjak Presiden Soekarno pun mencanangkan perlunya identitas nasional itu, maka silih berganti para budayawan dan pejabat negara mengamininya. Maka di akhir tahun limapuluhan dan awal eanmpuluhan masalah ini menjadi masalah nasional yang ditulis berbagai media, dibahas di banyak seminar, dan dicari oleh para praktisinya. Sentimen revolusi juga mewarnai usaha ini karena Belanda yang baru saja diperangi dalam revolusi fisik adalah wakil dari dunia Barat.

      Berbagai jalan telah dilalui oleh para seniman Indonesia untuk menemukan identitas nasional tersebut. Agus Djaya, sang ketua PERSAGI, dengan lukisan-lukisannya seperti “Arjuna Wiwaha” (1937) dan “Dalam Taman Nirwana” (1950), berusaha untuk mencari kepribadian nasional melalui relief-relief Borobudur, suatu produk budaya yang keindonesiaannya tidak disangsikan lagi. Relief-relief tersebut diolah kembali, diwarnai sesuai dengan interpretasinya sendiri, dan dengan demikian jadilah ia sebuah lukisan yang khas Agus. Otto Djaya, adiknya, mencarinya melalui tema-tema yang keindonesiaan seperti “Penggoda” (1950), “Wanita Impian” (1951), atau “Pelangi” (1951). Hal ini juga dilakukan oleh Surono (‘Ketoprak’, 1950), Hendra Gunawan (‘Mencari Kutu Rambut’, 1953), Batara Lubis (‘Gerobag Sapi’, 1955), Abas Alibasyah (‘Kesibukan Kota’, 1960, dan masih banyak yang lain. Bagi Widayat dan beberapa pelukis lain yang menganggap bahwa gaya dekoratif adalah gaya khas Indonesia, mengembangkan gaya ini dengan citarasa individual yang berbeda-beda; dan terciptalah dengan itu gaya dekoramagis Widayat, dekoraprimitf Suhadi, dan dekoratif ornamental ala Irsam.

      Pada akhir tahun enampuluhan seni lukis batik mulai dirintis oleh banyak pelukis. Walaupun semula menimbulkan polemik yang seru mengenai mungkin tidaknya teknik batik yang sulit itu melayani ekspresi dalam seni lukis, namun akhirnya ia berkembang biak seperti cendawan di musim hujan, dan disangkutpautkan pula dengan kepribadian nasional. Kali ini bukan subjek lukisannya yang digarap tetapi tekniknya. Teknik batik adalah Indonesia. Pelukis yang berhasil dan cukup lama menekuni teknik tersebut antara lain adalah: Amri Yahya, Abas Alibasyah, dan Tulus Warsito.


    • Ujian Tengah Semester Kritik Seni Assignment

        • 1.      Jelaskan dengan singkat pengertian Kritik Seni !

          2.      Apa yang dimaksudkan dengan "deskripsi" dalam Kritik Seni?

          3.      Apa yang dimaksudkan dengan "analisis formal" dalam Kritik Seni?.

          4.          Deskripsikan karya Wishler di bawah ini !

          Bagaimana cara Anda mengkritik karya seni orang lain


          5.      Buatlah Analis formal karya Vincent van Gogh di bawah ini !

          Bagaimana cara Anda mengkritik karya seni orang lain


    • Elemen seni rupa Assignment

      Dasar kesenirupaan yang diperlukan dalam kritik seni adalah pengetahuan mengenai medium seni dalam pengertian luas yang meliputi isi dan tema karya seni, dan dalam pengertian terbatas mencakup bahan baku yang digunakan mengungkap isi dengan kelebihan dan kekurangan bahan tersebut dalam mengungkapkannnya.

      Kepiawaian kritikus dalam menyelami isi dan tema yang disampaikan seorang pencipta karya seni harus dilatih dan diasah dengan sering mengamati dan menghayati karya seni. Pemilihan tema seorang seniman akan menunjukkan visi dan misi tertentu dari penciptanya, dan juga turut mempengaruhi kualitas karyanya. Sebagai contoh tema lukisan Basuki Abdullah adalah wanita-wanita cantik, meskipun model yang diambil adalah gadis petani dengan kesederhanaan dan pergumulannya dengan lumpur di sawah, akan hadir dalam karyanya dalam wujud wanita cantik jelita tanpa penderitaan sama sekali. Berbeda dengan S. Soedjojono dan Affandi lebih menunjukkan visi kerakyatannya. Rakyat bukan dijadikan sekedat obyek melulu, tetapi karena hidupnya benar-benar menyatu dengan rakyat, karena ia berasal dari kalangan mereka, maka suka duka rakyat terhayati sepenuhnya. Seniman yang menyatu dengan penderitaan dan kegembiraan rakyat, menjiwai seperti sedarah sedaging. Tidak mengherankan sudah seperti melekat pada ujung-ujung jari dan kuasnya sehingga terasa dalam goresan, pewarnaan, ritme, dan suasana secara menyeluruh. Hal semacam ini tidak mungkin diperoleh dari Basuki Abdullah dengan visi seorang turis.

      Latar belakang budaya dan sejarah merupakan modal dasar yang diperlukan dalam kritik seni, karena dalam pertumbuhan seni rupa banyak sekali gejala baru yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pertumbuhan yang mendahuluinya. Jika seorang kritikus tidak tahu hubungan sebab akibat yang berlangsung dari gejala sebelumnya, besar kemungkinan penilaian atau kesimpulan yang disampaikan bersalahan. Ketidaktahuannya akan sejarah, seorang seniman bisa saja mengira telah menemukan suatu corak atau teknik baru, padahal orang lain telah mendapatkannya beberapa abad yang lalu. Begitu juga seorang kritikus menganggap telah menemukan seniman pembaru, padahal apa yang dilakukan seniman tersebut sudah dilakukan sebelumnya oleh seniman lain. Sebaliknya karena tidak mengenal sejarah seni rupa bangsanya jauh ke masa silam, bahkan ke masa pra sejarah, seseorang yang diketahui melukis abstrak tahun enampuluhan di Indonesia ini, serta merta saja dihubungkan dengan W. Kandindky atau Malevich. Padahal latar belakang tradisi di Indonesia sudah kaya akan seni abstrak dan simbolis. Jangan heran jika di antara calon seniman yang datang daerah yang kaya akan seni abstrak dan simbolis itu, ketika belajar melukis diperguruan tinggi seni sudah menghasilkan karya abstrak yang sering mendapat predikat moderen, tanpa harus melewati naturalisme.

      Melalui pengenalan sejarah, seorang kritikus akan mengetahui bermacam-ragam cara mengungkapkan batin dengan media kesenirupaan. Mengetahui berbagai cara pengungkapan ini, di samping memperoleh pengetahuan yang siap digunakan untuk menilai, juga mempunyai wawasan atau perhitungan perkembangan karya seni ke depan.

      Pendekatan terhadap karya seni dapat dilihat dalam buku Approaches to Art in Education tulisan Laura H. Chapman (1978) yang mencoba melihat karya seni beserta unsur-unsurnya se bagai berikut :

      1.    Bentuk dan dimensinya

      Berdasarkan bentuk dan dimensinya terlihat adanya karya seni yang berdimensi dua dan berdimensi tiga. Pada karya seni dua dimensi yang bersifat datar, ada juga kesan-kesan volume, kedalaman, dan ruang, namun kesemuanya itu hanya merupakan tipuan pandang …

      Menurut asal katanya, “keindahan” dalam bahasa Inggris disebut beautiful dan bahasa Perancis beau, sedang Italia dan Spanyol bello yang berasal dari kata Latin bellum. Akar katanya adalah bonum yang berarti kebaikan, kemudian mempunyai bentuk pengecilan menjadi bonellum dan terakhir dipendekkan sehingga ditulis bellum. Menurut cakupannya orang harus membedakan antara keindahan sebagai suatu kwalita abstrak dan sebagai sebuah benda tertentu yang indah. Untuk perbedaan ini dalam bahasa Inggris sering dipergunakan istilah beauty (keindahan) dan the beautifull (benda atau hal yang indah). Dalam pembahasan filsafat, kedua pengertian itu kadang-kadang dicampuradukkan saja.

      Selain itu terdapat pula perbedaan menurut luasnya pengertian yaitu: a) Keindahan dalam arti yang luas; b) Keindahan dalam arti estetis murni; c) Keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya dengan penglihatan. Keindahan dalam arti yang luas, merupakan pengertian semula dari bangsa Yunani, yang didalamnya tercakup pula ide kebaikan. Plato misalnya menyebut tentang watak yang indah dan hukum yang indah, sedang Aristoteles merumuskan keindahan sebagai sesuatu yang selain baik juga menyenangkan. Plotinus menulis tentang ilmu yang indah dan kebajikan yang indah. Orang Yunani dulu berbicara pula mengenai buah pikiran yang indah dan adat kebiasaan yang indah. Tapi bangsa Yunani juga mengenal pengertian keindahan dalam arti estetis yang disebutnya symmetria untuk keindahan berdasarkan penglihatan (misalnya pada karya pahat dan arsitektur) dan ‘harmonia’ untuk keindahan berdasarkan pendengaran (musik). Jadi pengertian keindahan yang seluas-luasnya meliputi: - keindahan seni, keindahan alam, keindahan moral, keindahan intelektual. Keindahan dalam arti estetika murni, menyangkut pengalaman estetis dari seseorang dalam hubungannya dengan segala sesuatu yang dicerapnya. Sedang keindahan dalam arti terbatas, lebih disempitkan sehingga hanya menyangkut benda-benda yang dicerap dengan penglihatan, yakni berupa keindahan dari bentuk dan warna secara kasat mata.

      Pembagian dan pembedaan terhadap keindahan tersebut di atas, masih belum menjelaskan apakah sesungguhnya keindahan itu? Ini memang merupakan suatu persoalan fisafati yang jawabannya beranekaragam. Salah satu jawaban mencari ciri-ciri umum yang pada semua benda yang dianggap indah dan kemudian menyamakan ciri-ciri atau kwalita hakiki itu dengan pengertian keindahan. Jadi keindahan pada dasarnya adalah sejumlah kualita pokok tertentu yang terdapat pada sesuatu hal. Kualita yang paling sering disebut adalah kesatuan (unity), keselarasan (harmony), kesetangkupan (symmetry), keseimbangan (balance) dan perlawanan (contrast).

      Ciri-ciri pokok tersebut oleh ahli pikir yang menyatakan bahwa keindahan tersusun dari pelbagai keselarasan dan perlawanan dari garis, warna, bentuk, nada dan kata-kata. Ada pula yang berpendapat bahwa keindahan adalah suatu kumpulan hubungan-hubungan yang selaras dalam suatu benda dan diantara benda itu dengan si pengamat. Herbert Read dalam The Meaning of Art merumuskan definisi bahwa keindahan adalah kesatuan dari hubungan-hubungan bentuk yang terdapat diantara pencerapan-pencerapan inderawi kita (beauty is unity of formal relations among our sense-perceptions).

      Sebagian filsuf lain menghubungkan pengertian keindahan dengan ide kesenangan (pleasure). Misalnya kaum Sofis di Athena (abad 5 sebelum Masehi) memberikan batasan keindahan sebgai sesuatu yang menyenangkan terhadap penglihatan atau pendengaran (that which is pleasant to sight or hearing). Sedang filsuf Abad Tengah yang terkenal Thomas Aquinas (1225-1274) merumuskan keindahan sebagai id quod visum placet (sesuatu yang menyenangkan bila dilihat).

      Masih banyak definisi-definisi lainnya yang dapt dikemukakan, tapi tampaknya takkan memperdalam pemahaman orang tentang keindahan, karena berlain-lainannya perumusan yang diberikan oleh masing-masing filsuf. Kini para ahli estetik umumnya berpendapat bahwa membuat batasan dari istilah seperti ‘keindahan’ atau ‘indah’ itu merupakan problem semantik modern yang tiada satu jawaban yang benar. Dalam estetik modern orang lebih banyak berbicara tentang seni dan pengalaman estetis, karena ini bukan pengertian abstrak melainkan gejala sesuatu yang konkrit yang dapat ditelaah dengan pengamatan secara empiris dan penguraian yang sistematis. Oleh karena itu mulai abad 18 pengertian keindahan kehilangan kedudukannya. Bahkan menurut ahli estetik Polandia Wladyslaw Tatarkiewicz, orang jarang menemukan konsepsi tentang keindahan dalam tulisan-tulisan estetik dari abad 20 ini.

      Susunan karya seni sebenarnya lebih komplek dari setiap kesan yang ditangkap dari setiap deskripsi, sebab kesatuan itu bukan hanya ada diantara unsur saja, melainkan juga di antara dua aspek pada setiap unsur dan secara keseluruhan bentuk dan isi. Kesatuan diantara mendium, pikiran dan perasaan apapun yang menjelma padanya inilah kesatuan pokok dalam segala macam ungkapan. Kesatuan di antara kata dan artinya, nada musik dan rasanya, warna dan kekuatannya, bentuk dan yang disajikan mereka. Jika seniman menggunakan unsur-unsur medium sebagai penjelmaan gagasan, maka ia harus memilih, bukan hanya sekedar mengantarkan sesuatu arti, melainkan juga untuk menyampaikan suasana rasa. Supaya pilihan itu sesuai, maka nada rasa dari bentuk itu harus identik dengan nada rasa dan isi didalamnya yang dituangkan oleh seniman. Mendium sendiri masih harus mampu mengungkapkan lagi isi dan melalui hal itu akan lebih memperkuat nilai didalamnya. Inilah yang disebut dengan harmoni, yang berbeda dan tidak sekedar kesatuan belaka dari bentuk dan isi.

      Secara tersirat kesatuan atau harmoni merupakan prinsip dasar dan cerminan  bentuk estetis, terutama yang terkandung dalam karya seni. Kajian tentang bentuk estetis dalam karya seni Parker membagi dalam enam asas.

      1.    The principle of Organic unity (asas kesatuan/utuh)

      Asas ini berarti bahwa setiap unsur dalam sesuatu karya seni adalah perlu bagi nilai karya itu dan karyanya tersebut tidak memuat unsur-unsur yang tidak perlu dan sebaliknya mengandung semua yang diperlukan. Nilai dari suatu karya sebagai keseluruhan tergantung pada hubungan timbal-balik dari unsur-unsurnya, yakni setiap unsur memerlukan, menanggapi dan menuntut setiap unsur lainnya. Pada masa yang lampau asas ini disebut kesatuan dalam keanekaan (unity in variety). Ini merupakan asas induk yang membawakan asas-asas lainnya.

      2.    The principle of theme (Asas tema)

      Dalam setiap karya seni terdapat satu (atau beberapa) ide induk atau peranan yang unggul berupa apa saja (bentuk, warna, pola irama, tokoh atau makna) yang menjadi titik pemusatan dari nilai keseluruhan karya itu. Ini menjadi kunci bagi penghargaan dan pemahaman orang terdapat pada karya seni itu.

      3.    The principle of thematic variation (Asas variasi menurut tema).

      Tema dari suatu karya seni harus disempurnakan dan diperbagus dengan terus-menerus mengumandangkannya. Agar tidak menimbulkan kebosanan pengungkapan tema yang harus tetap sama itu perlu dilakukan dalam pelbagai variasi.

      4.    The principle of balance (Asas keseimbangan)

      Keseimbangan adalah kesamaan dari unsur-unsur yang berlawanan atau bertentangan. Dalam karya seni walaupun unsur-unsurnya tampaknya bertentangan tapi sesungguhnya saliang memerlukan karena bersama-sama mereka menciptakan suatu kebulatan. Unsur-unsur yang saling berlawanan itu tidak perlu hal yang sama karena ini lalu menjadi kesetangkupan, melainkan yang utama ialah kesamaan dalam nilai. Dengan kesamaan dari nila-nilai yang saling bertentangan terdapatlah keseimbangan secara estetis.

      5.    The principle of evolution (Asas perkembangan)

      Dengan asas ini dimaksudkan oleh Parker yaitu proses yang bagian-bagian awalnya menentukan bagian-bagian selanjutnya dan bersama-sama menciptakan suatu makna yang menyeluruh. Jadi misalnya dalam sebuah cerita hendaknya terdapat suatu hubungan sebab dan akibat atau rantai tali-temali yang perlu yang ciri pokoknya berupa pertumbuhan dari makna keseluruhan.

      6.    The principle of hierarchy (Asas tata jenjang)

      Kalau asas-asas variasi menurut tema, keseimbangan dan perkembangan mendukung asas utama kesatuan utuh, maka asas yang terakhir ini merupakan penyususnan khusus dari unsur-unsur dalam asas-asas tersebut. Dalam karya seni yang rumit kadang-kadang terdapat satu unsur yang memegang kedudukan memimpin yang penting. Unsur ini mendukung secara tegas tema yang bersangkutan dan mempunya kepentingan yang jauh lebih besar daripada unsur-unsur lainnya.

      Demikianlah ke-enam asas diatas menurut Parker diharapkan menjadi unsur-unsur dari apa yang dapat dinamakan suatu logika tentang bentuk estetis (a logic of aesthetic form). Di samping itu, persoalan teknik dan wujud juga turut mempengaruhi karya seni yang dihasilkan. Maksud persoalan teknik adalah persoalan bagaimana cara seseorang mentransformir wujud yang idiil menjadi sensuil sehingga ia bernilai. Ini terjadi dengan penggunaan media kesenirupaan. Unsur yang cukup penting adalah garis, warna, tekstur atau barik, ruang dan volume. Berdasarkan unsur tersebut orang kemudian memperoleh efek psikologis yang lebih kompleks lagi, misalnya dengan garis tertentu dapat menimbulkan irama, warna dengan nada tertentu juga menumbuhkan ritme juga. Selanjutnya keseimbangan, suasana, harmoni, dominasi,kontras, pusat perhatian, unity atau kesatuan, dan sebagainya. Unsur-unsur tersebut tidak merupakan sesuatu yang lepas atau berdiri sendiri, malainkan bagian dari kesatuan yang utuh sebuah karya seni. Unsur tersebut selayaknya simbol-simbol yang lain mengandung makna, baik karena perjanjian manusia, maupun sifatnya yang kodrati. Guna memahami setiap unsur tersebut, di bawah ini akan diuraikan unsur-unsur dalam karya seni.

      1.    Garis

      Garis mempunyai dimensi memanjang dan punya arah tertentu. Ia bisa pendek, panjang, halus, tebal berombak, lurus, melengkung, dan barangkali masih ada sifat yang lain. Di antara unsur seni rupa yang banyak, garis sangat dominan, apalagi di dunia timur. Garis hanya dapat disejajari warna. Garis sebuah unsur rupa yang diciptakan manusia dan berumur sangat tua, semenjak dunia mengenal seni lukis di gua beribu tahun yang lampau. Garis di tangan yang mahir, merupakan prinsip ekonomis dalam seni lukis. Artinya dengan sedikit goresan, dapat menghasilkan banyak. Pelukis timur pada umumnya sangat terpesona olah kekuatan garis dan memberikan kedudukan istimewa. Perhatikanlah karya-karya seniman Cina, Jepang, India, dan Indonesia. Garis yang diketemukan dalam kebudayaan manusia ini benar-benar dieksploitir semaksimal mungkin untuk menyampaikan pikiran dan perasaan. Lukisan Cina klasik yang bersifat grafis memberikan kesan puitis, lembut, penuh irama yang terkendali, serta menimbulkan kesan perasaan tenteram. Sebaliknya pelukis Vincent van Gogh yang menggunakan garis pendek, patah-patah menimbulkan kesan yang keras dan tegar. Ada kesan ledakan dan pemberontakan. Jika garis semacam itu ditunjang juga oleh warna keras menyala, sempurnalah kesan kekerasan dan pemberontakan itu. (lihat Sudarmaji, 1979 : 30) Di dunia barat, Hanry Matisse, Pablo Picasso, Paul Klee, Roul Dufi, merupakan tokoh-tokoh yang kuat dalam penggunaan garis. Jika garis digoreskan dengan jujur mengikuti kata batin, akan ditemukan identitas seseorang. Ia menjadi bersifat personal. Melalui garis dapat lahir bentuk, tapi sekaligus juga mengesankan tekstur, nada dan nuansa, ruang dan volume, kesemuanya melahirkan katakter khusus atau perwatakan dari seseorang.

      2.    Bidang

      Bidang (shape) adalah suatu bentuk yang sekelilingnya dibatasi oleh garis. Secara umum dikenal dua jenis bidang yaitu bidang geometris seperti lingkaran atau bulatan, segi empat, segi tiga dan segi-segi lainnya, sementara bidang dengan bentuk bebas terdiri dari aneka macam bentuk yang tidak terbatas.

      3.    Warna

      Mempelajari penggunaan warna, diperoleh kesan, dan pengertian yang berbeda dari seorang pelukis ke pelukis lainnya. Bahkan pada masa yang lalu dengan mudah menunjuk bangsa yang satu berbeda dari yang lainnya berkat kecenderungan penggunaan warnanya.

      Warna adalah gelombang cahaya dengan frekuensi berbeda yang  mempengaruhi penglihatan kita. Warna memiliki tiga dimensi dasar yaitu hue, nilai (value), dan intensitas (intensity). Hue adalah gelombang khusus dari spektrum dan warna. Misalnya, intensitas spektrum warna merah disebut hue merah. Nilai (value) adalah kecerahan dan kegelapan relatif dari warna, sedangkan intensitas adalah kemurnian dari hue warna.

      Sehubungan dengan seni rupa, dalam teori warna dikenal beberapa jenis kombinasi harmonis yaitu kombinasi monokromatis, analogus, komplementer, split komplementer, dan kombinasi warna triadik.

      Secara garis besar dapat ditandai adanya tiga fungsi warna. Dalam ilmu semiotik, pertama secara qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya. Misalnya sifat warna merah adalah qualisign, karena dapat dipakai tanda untuk menunjukkan cinta, bahaya, atau larangan. Kedua merupakan lambang atau simbol yang menjadi tanda berdasarkan kesepakatan bersama atau konsensus, misalnya bendera berwarna putih menandakan menyerah kepada musuh. Ketiga merupakan tanda ikon, karena mewakili acuannya, misalnya warna merah untuk darah, dan warna hijau untuk menggambarkan dedaunan. Pada masa pra moderen, warna-warna itu tidak pernah mewakili dirinya sendiri, biasanya ia menjadi simbol atau lambang sesuatu. Seniman pada waktu itupun terikat ketentuan umum dalam hal penggunaan warna.

      Pemilihan warna pada seorang seniman dapat merupakan mediuim ke arah penemuan jati dirinya sendiri, sehingga bersifat khas dan punya nilai tersendiri. Misalnya lukisan rembrandt, pastilah coklat gelap dengan bersitan sinar di sana sini, sebaliknya lukisan Affandi cenderung hijau kusam dengan bersitan merah dan kuning di sekitarnya. Warna erotis milik Titziano, warna yang ringan-ringan milik J.A. Watteau, dan lain sebagainya.

      4.    Tekstur atau Barik

      Tekstur adalah kesan halus dan kasarnya suatu permukaan lukisan atau gambar, atau ada perbedaan tinggi rendah permukaan suatu lukisan atau gambar. Tekstur juga merupakan rona visual yang menegaskan karakter suatu benda yang dilukis atau digambar.Ada dua macam jenis tekstur atau barik. Pertama adalah tekstur nyata, yaitu nilai permukaannya nyata atau cocok antara bagaimana tampaknya dengan nilai rabanya. Misalnya sebuah lukisan menampakkan tekstur yang kasar, ketika lukisan tersebut diraba, maka yang dirasakan adalah rasa kasar sesuai tekstur lukisan tersebut. Sebaliknya tekstur semu memberikan kesan kasar karena penguasaan teknik gelap terang pelukisnya, ketika diraba maka rasa kasarnya tidak kelihatan, atau justru sangat halus. Teksture yang dihadirkan pada lukisan Affandi merupakan kombinasi teksture kasar, karena teknik pelototan cat dari tube, dan sekaligus tekstur semu ketika hasil pelototan tersebut diratakan dengan tangannya atau kuas yang halus. Lukisan Ozenfat, Jan Vermer, patung Barbara Hepworth dan C. Brancussi, menunjukkan suatu cara penampilan teknis tekstur berbanding Affandi, Aming Prayitno, A. Rodin A. Bourdelle, dan sebagainya. Melalui teknik-teknik tertentu dalam membuat tekstur beserta variasi dan perkembangannya yang meningkat dapat dihasilkan karya yang baik.

      5.    Ruang dan Volume

      Ruang dan volume merupakan unsur pokok dalam seni tiga dimensi seperti seni patung dan arsitektur. Patung pra moderen cenderung menggunakan bentuk-bentuk volumetrik yang masif seperti patung-patung Budha di candi Borobudur dan patung-patung pra moderen di seluruh dunia umumnya. Dalam arsitektur yang tujuannya utamanya memang menciptakan ruang, otomatis unsur keruangan sangat dominan. Namun semenjak kaum konstrutifisme lahir, seperti Alexander Rodchenko, Naum Gabo, Antgoin Pevsner, dan kemudian Pablo Picasso, Henry Moore dan lain-lain, ruang dalam seni patung memegang peranan besar sekali. Patung-patung non obyektif atau non figuratif boleh dikatakan kekuatannya pada susunan-susunan ruang dan volume di samping penguasaan tekstur secara artistik. Dalam seni lukis, ruang dan volume dimanfaatkan secara ilusif karena teknik penggarisan yang perspektifis atau adanya tone (nada) dalam pewarnaan yang bertingkat dan berbeda-beda. Pada lukisan Piet Mondrian yang neo plastisis tidak diketemukan ruang, kecuali bidang-bidang datar. Berbeda dengan karya kubisme Fernand Leger yang volumetrik dan monumental.

      6.    Cahaya dan bayang-bayang

      Sama halnya dengan ruang, citra cahayapun dalam seni rupa terdiri dari dua jenis yaitu cahaya nyata dan cahaya semu. Cahaya nyata dalam karya seni rupa tiga dimensional menerangi benda-benda karya secara alamiah, dan memisahkan efek visual dari benda-benda tersebut menjadi bagian-bagian yang terang dan bagian-bagian yang gelap. Sementara citra cahaya pada karya-karya dua dimensional adalah ilusi terang yang diakibatkan oleh pembubuhan warna terang pada bagian tertentu dari subyek gambar atau lukisan yang membedakannya dengan warna gelap pada bagian lain secara bergradasi.

      7.    Sosok Gumpal

      Sosok gumpal adalah bentuk-bentuk yang ada di dalam ruang baik ruang nyata pada seni rupa tiga dimensional, dan ruang nyata dalam seni rupa dua dimensional.  Dalam seni rupa dua dimensional misalnya, sosok gumpal adalah semua bentuk-bentuk yang merespon ruang dalam bidang gambar. Sedangkan dalam seni rupa tiga dimensional, massa adalah kepejalan benda-benda seni rupa yang merespon ruang nyata.

      Hal lain seperti irama, proporsi, keseimbangan, dominasi, kesatuan, dan lain-lain adalah prinsip pengorganisasian dalam memanfaatkan unsur-unsur seni rupa tersebut di atas secara tertentu. Kesan ritmis diperoleh karena kecakapan memperlakukan warna dan garis secara khusus sehingga lukisan serasa bergerak-gerak bergelombang. Lukisan masa Manerisme menunjukkan kesan betapa cakapnya para seniman mengeksploitir sifat garis dan sapuan kuas seperti pada Tintoretto. Masa-masa terakhir dapat dilihat pada karya Vincen van Gogh, Jackson Pollock dan Willem de Kooning yang mengesankan kelincahan goresan dan gerak. Proporsi adalah perbandingan yang lahir karena ketepatan luas atau isi antara bagian satu dengan bagian yang lain. Balance atau keseimbangan dapat dibedakan yang simetris, asimetris, radial, dan occult balance. Adanya balance suatu hasil karya seni menjadi terasa stabil. Dominasi adalah tekanan-tekanan yang dapat menghilangkan kesan monoton. Mengenai unity atau kesatuan merupakan kriteria kunci dari pengorganisasian keseluruhan, karena sebuah karya seni rupa yang baik ialah jika unsur-unsurnya tidak terlepas sendiri-sendiri. Herbert Read menyatakan : “In a perfect world of art, all the element are interrelated; they cohere to form a unity which has a value greater than more sum of these element”.

      Dalam bukunya Art Form (1985 : 100-114), dijelaskan 8 jenis prinsip desain yakni : Skala, proporsi, kesatuan di dalam keberagaman, pengulangan bentuk dan irama, keseimbangan, kekuatan arah, keutamaan dan penunjang, dan kontras. Sedangkan dalam buku Dasar desain (1991 : 17-22) dijelaskan pengertian desain sebagai, (1) bentuk rumusan dari suatu proses pemikiran, (2) dituangkan dalam bentuk gambar dan merupakan pengalihan gagasan konkret dari perancang kepada orang lain, dan (3) setiap benda buatan mengungkapkan penampilan desain. Jika dalam Art Form dikemukakan 8 prinsip desain. Dalam Dasar Desain dikemukakan hanya 5 prinsip desain yakni : Kesederhanaan, keselarasan, irama, kesatuan yang terpadu, dan keseimbangan. Dari dua sumber di atas tampak persamaan dalam hal, irama, kesatuan, dan keseimbangan.

      1.    Skala

      Dalam konteks seni, desain adalah proses menyusun bentuk visual dan produk dari proses tersebut. Karya desain dipersepsikan sebaik dengan hasil yang akan diciptakan. Dalam hal ini ukuran sebuah gambar desain tidak selalu sama dengan produk yang akan dihasilkan. Maka dalam pembuatan gambar desain, diperlukan prinsip-prinsip penskalaan. Sedangkan yang dimaksudkan dengan skala, adalah perbandingan ukuran antara obyek yang digambarkan dan gambar desain yang dibuat. Misalnya, sebuah bangunan yang tingginya 25 meter dengan lebar 5 meter,  digambar dalam kertas dengan ukuran tinggi 25 cm dan lebar 5 cm, maka skala antara bangunan dengan gambar bangunan adalah 100 : 1. Prinsip skala banyak digunakan dalam menggambar teknik. Perhitungan skala tidak hanya mencakup ukuran totalnya saja, tetapi juga bagian-bagiannya.

      2.    Proporsi

      Jika skala adalah perbandingan ukuran antara obyek yang didesain dengan gambar desainnya, Proporsi adalah perbandingan ukuran dari bagian-bagian bentuk dengan bentuk keseluruhannya atau antara bentuk yang satu dengan yang lain. Pada gambar manusia, ada perbandingan yang lazim dan khusus antara ukuran panjang dan lebar bentuk kepala. Misalnya 5 (tinggi) dan 3 atau 3,5 lebar, perbandingan antara ukuran bentuk kepala dengan tinggi keseluruhan tubuh orang dewasa 1 : 8, perbandingan ukuran kaki dan tangan, perbandingan ukuran tinggi dan lebar hidung dengan bentuk kepala, dan perbandingan satu unsur bentuk dengan unsur bentuk lainnya. Perbandingan yang lazim, selalu terdapat pada bentuk-bentuk yang bercitra alamiah. Perbandingan seperti ini disebut ideal. Tetapi pada karya-karya kreatip, perbandingan yang umum tidak selalu digunakan, misalnya dengan membesarkan ukuran unsur yang satu dengan mengecilkan unsur yang lain seperti yang sering ditemui pada gambar-gambar kartun, atau gambar-gambar deformatip lainnya. Pelanggaran kaidah proporsi umum dalam hal ini ditujukan untuk menciptakan karakteristik tersendiri dari karya yang dibuat, baik agar tampak lucu, seram, aneh dan sebagainya.

      3.    Kesatuan dalam perbedaan

      Konsistensi dari suatu konsep menyebabkan aneka elemen di dalam karya muncul sebagai bagian yang disatukan bentuk. Para senirupawan membangun citarasa desain sebagai bagian dari cara pribadi di dalam melihat. Setiap karya seni memperoleh bentuk kesatuannya di dalam gagasan yang dioperasikan di dalamnya. Tetapi hal ini tidak berarti bahwa semua karya seni mesti memiliki gagasan intelektual di belakangnya.

      Kesatuan atau kepaduan muncul di dalam ketunggalan. Kesatuan terdiri dari keanekaragaman karakteristik visual di dalam desain, sementara keanekaan dioperoleh dari elemen-elemen yang tidak mirip satu dengan yang lainnya. Keseimbangan antara kualitas-kualitas yang mirip dengan yang tidak mirip memberikan daya tarik dan vitalitas baik kepada seni maupun kepada kehidupan.

      4.    Pengulangan dan irama

      Repetisi adalah pengulangan bentuk, sedangkan ritme adalah irama dari pengulangan bentuk-bentuk tersebut. Misalnya ada yang rapat, agak renggang, rapat lagi, semakin jarang dan sebagainya. Arus balik dari elemen-elemen desain menghasilkan kesinambungan dan penekanan dramatis. Repetisi ada yang eksak, yang membangun irama konstan (regular beat), dan ada juga yang beragam-ragam. Secara sederhana ritme dapat saja berupa pengulangan bentuk. Ritme dapat memberikan aneka pilihan pada basis tema atau mengindikasikan perkembangan progresif.

      5.    Keseimbangan

      Arti keseimbangan adalah tidak berat sebelah. Keseimbangan adalah hubungan antara kekuatan-kekuatan yang bertentangan. Secara umum dikenal dua tipe keseimbangan yaitu : simetris dan a simetris. Keseimbangan simetris adalah adalah keseimbangan “keduaan” (the two). Adanya kesamaan bentuk tempat antara bagian-bagian yang berlawanan. Bentuk pada bagian bawah dan atas, bagian kiri dan kanan, dan sisi-sisi dan sudut-sudut berlawaban lainnya. Keseimbangan seperti ini dicapai melalui kesamaan distribusi yang identik atau bagian-bagian yang sangat mirip pada sisi lain dari sumbu sentral. Suatu variasi dari keseimbangan simetris adalah keseimbangan memusat (radial balans). Kekuatannya berotasi keliling, radiasi dari, atau berkonvergensi pada hal yang aktual; atau termasuk titik sentral.

      Berbeda dengan keseimbangan simetris, keseimbangan a simeris dicapai dengan perbedaan bentuk dan ukuran bentuk bagian-bagian yang dipiosah pada sumbu sentralnya. Bentuk yang besar pada satu bagian diimbangi dengan beberapa bentuk pada bagian berlawanan darinya. Bentuk besar yang relatip statis, diimbangi dengan bentuk-bentuk kecil yang relatif dinamis, dan seterusnya.

      6.    Kekuatan Arah

      Garis-garis aktual menghasilkan arah garis atau kekuatan arah yang sangat menentukan pada struktur dasar karya. Karya seni rupa atau obyek yang didesain memuat arah garis yang secara besama tampak dalam komposisi yang terpadu. Garis-garis dengan kekuatan arah ini lebih menggundang perasaan dari pada sekedar untuk dilihat. Garis-garis vertikal dan horisontal mengesankan pengalaman manusia yang berdiri dan  rebah. Garis horisontal memberi perasaan tenang. Kadang-kadang berfungsi sebagai latar datar bagi garis-garis vertikal. Garis vertikal, di samping  juga mengesankan ketenangan, juga memberikan rasa seimbang. Gabungan garis horizontal dan garis vertikal lebih menghasilkan perasaan ketenangan (composure). Baik garis semu maupun garis nyata, secara relatif bersifat statis atau tanpa kesan gerak.

      Berbeda dengan garis-garis horizontal , garis-garis diagonal mengesankan ketegangan dan menggangu perasaan keseimbangan pelihatnya.. “Ketegangan” dinamik garis diagonal  dirasakan karena arah garis tersebut mengidentifikasikan apa yang secara umum bergerak.

      Format atau basis bentuk gambar dan arah dominan dari gerak semu di dalam desain merupakan sumber dari suasana hati atau sumber dari isi yang diekspresikan.

      7.    Utama dan penunjang

      Dengan menekankan ciri-ciri tertentu di dalam karya dan mensubbordinasikannya dengan yang lain, seniman membangun pusat perhatian pada karyanya untuk mengundang perhatian pengamat kepada citra yang ditonjolkannya pada karyanya. Dengan cara ini komunikasi dari muatan-muatan seninya yang semakin kuat. Jika muatan tersebut diekspresikan dengan pengulangan yang monoton, semua elemen karya secara relatif akan memberikan kesamaan bobot , maka penekanan prinsip desain menjadi tidak aktif. Oleh karena itu, pada karya seni selalu ada bagian atau bentuk yang lebih ditonjolkan dari pada bentuk-bentuk lainnya.

      8.    Kontras dan nuansa

      Kontras adalah interaksi dari elemen-elemen yang mengekpresikan pertentangan antara “keduaan”. Misalnya, kecil dan yang besar, kasar dengan  halus statis dan dinamis, gelap dengan terang dan sebagainya. Penekanan suatu elemen-elemen visual, dan ungkapan isi dapat dicapai melalui kontrastik dan nuansa. Kontras antara dua garis adalah kontras antara tebal tipis dari goresan kuas tunggal. Kontras bidang adalah kontras antara bidang geometrik teratur dan bidang-bidang organik yang tidak teratur. Kontras nilai warna terdapat antara area gelap terang warna pada permukaan karya. Kontras warna dapat juga dilihat dari berbagai cara termasuk kontras “corak warna” (hue), kontras komplemen, kontras antara redup dan cerah, atau kontras temperatur antara kualitas warna hangat dan dingin. Di samping itu kontrastik dan nuansa dapat juga terjadi antara massa padat dan massa kosong pada permukaan lukisan atau gambar.

      9.    Bentuk total

      Bentuk total adalah paduan dari unsur-unsur bentuk dan pengelolaan prinsip-prinsip desain menjadi suatu bentuk yang dilihat secara menyeluruh dengan mengabaikan unsur-unsur bentuk yang mendukungnya. Paduan unsur-unsur  bentuk total tersebut diapresiasi secara total  sebagai suatu kesatuan karya

      Isi

      Pada umumnya karya seni dihadirkan tidak sekedar sebagai permainan unsur-unsur bentuk yang dikelola dengan teori-prinsip-prinsip desain. Bentuk-bentuk  dihadirkan dengan penyampaian suatu gagasan atau pesan kepada pemerhatinya.. Seperti apa yang dikemukakan Leo Tolstoy pada bab sebelumnya bahwa “seni adalah sarana komunikasi gagasan dan perasaan’. Gagasan dan perasaan tersebut adalah gagasan-gagasan yang mengandung nilai-nilai tertentu. Sedangkan  nilai adalah sesuatu yang menimbulkan penghargaan bagi kehidupan.

      Dalam filsafat nilai-nilai, dikenal empat nilai utama yaitu nilai kebenaran, kebaikan dan keindahan dan kekudusan. Di samping nilai-nilai utama tersebut, dalam kehidupan sehari-hari dikenal beberapa konsep nilai yaitu nilai -nilai sosial,  religi, sejarah, dan juga nilai-nilai ekonomi. Nilai-nilai seperi inilah yang dikemukakan pada karya seni, sehingga karya tersebut dapat dikatakan karya yang bernilai.

      1.    Nilai Keindahan

      Seniman ingin mengkomunikasikan kepada masyarakat tentang gagasan-gagasan keindahan secara murni, terlepas dari tujuan-tujuan mengungkapkan pikiran, perasaan dan apresiasinya tentang kehidupan melalui karya seninya. Gagasan estetik murni ini dikomunikasikannya setelah dia tidak tertarik lagi pada gagasan-gagasan estetika sebelumnya, karena gagasan-gagasan masa lalu tersebut dianggapnya tidak lagi dapat “memagari” imajinasi-imajinasi dan spiritnya untuk menciptakan karya seni yang benar-benar orisinal, baik dari segi gaya, teknik, medium yang digunakan, serta aspek-aspek estetika lainnya.

      Gagasan estetik murni seperti ini dapat dilihat pada lukisan-lukisan ekspresionisme Van Gogh dan Affandi, Kubisme Picasso, Surrealisme Salvador Dali, dan karya-karya besar dari pelukis-pelukis besar lainnya.

      2.    Nilai kebaikan

      Seniman sebagai manusia dan anggota masyarakat ingin mengkomunikasikan misi kebaikan dan kebajikan yang dianutnya kepada masyarakat, atau mengingatkan kembali masyarakat tentang nilai-nilai yang dianut bersama melalui ungkapan simbolik untuk mengajak masyarakat senantiasa berbuat kebaikan dan kebajikan , maupun mengutarakan sikap kritis terhadap situasi moralitas masyarakat yang diamatinya. Dalam hal ini seni di samping mengkomunikaikan nilai-nilai estetis, juga bersifat paedagogis.

      3.    Nilai Kebenaran

      Nilai kebenaran berhubungan dengan pengetahuan dan pembiktian pendapat-pendapat dan dugaan-dugaan tentang segala hal. Dalam hal ini, seniman mengkomunikasikan gagasan-gagasannya tentang kebenaran dalam prilaku kehidupan, dan menjauhkan tindakan-tindakan yang bersifat kepalsuan, melalui simbol-simbol baik yang sudah dikenal masyarakat, atau simbol-simbol khusus yang ingin dikenalkan di dalam masyarakat.

      4.    Nilai religi

      Seniman berupaya melalui karyanya mengkonunikasikan nilai—nilai kekudusan yang mengarah kepada nilai-nilai kepercayaan kepada Tuhan yang maha Esa, atau mengekspresikan keimanannya melalui karya-karyanya. Misalnya relief-relief perjalanan Sidharta Gautama pada Borobudur, relief dewa-dewi pada karya-karya seni rupa di dunia timur dan barat, lukisan-lukisan riwayat kehidupan Jesus Kristus pada langit-langit rumah ibadah di Italia, lukisan-lukisan kaligrafi yang mengkomunikasikan ayat-ayat suci di dunia Islam dan sebagainya.

      5.    Nilai Sosial

      Seniman ingin mengkomunikasikan gagasan-gagasan sosialnya kepada masyarakat melalui karyanya, dengan memberi contoh-contoh yang dianggapnya cocok untuk dilaksanakan masyarakat, mencela gambaran kehidupan yang lebih mementingkan kehidupan individual yang  merugikan masyarakat banyak.

      6.    Nilai Ekonomi

      Seniman mengkomunikasikan prinsip-prinsip hidup yang efisien dan efektip dan mengemukakan citra kesederhanaan, dan menjauhkan sikap hidup mewah dan mubajir.

    • Evaluasi pertemuan ke 9 Assignment

      Buatlah resume Elementer Kesenirupaan !

    • Tipe Kritik Seni Assignment

      Menurut P.A. van Gastel kritik yang pertama dituliskan di dunia ini bentuknya sangat berlainan. Kebanyakan kritik berhubungan dengan seni sastera dan kadang-kadang dituliskan dalam sebuah ceritera, dimana pembaca yang cerdas dapat menangkap isi kritik terhadap karya lain, meski tidak diketemukan secara langsung. Beda antara macam-macam kritik terletak pada cara menimbang yang dipakai. Aristoteles adalah contoh seorang kritikus yang dalam  beberapa hal meletakkan dasar bagi kritik klasik. Baginya harus ada sebuah timbangan yang dapat menimbang sampai di mana suatu karya seni itu dapat dikatakan berhasil atau tidak berhasil. Hal semacam ini yang dilakukan dalam kritik klasik. Ukuran yang pasti ditentukan, dan diukur karya seni tersebut tingkatan nilainya dibandingkan dengan ukuran standar yang telah ditetapkan. Melalui cara ini ditentukan apakah karya seni yang dikritik tersebut dapat dikategorikan sangat baik, baik, kurang baik, atau buruk.

      Tata cara menimbang yang klasik semacam itu tampak obyektif, tetapi juga amat canggung. Ukuran-ukuran yang sudah ditentukan menolak perubahan dan perkembangan baru. Berhubung pada dasarnya manusia itu hidup, dan terus mengembangkan diri dengan karya-karyanya, tata cara menimbang yang klasik terasa seolah-olah tidak mau melihat kemajuan dan pembaruan dalam ukuran timbangannya. Hal ini membuat tata cara menimbang klasik dianggap sangat tidak relevan lagi dan tidak dapat dipertahankan tata caranya. Pada akhirnya timbul reaksi terhadap cara menimbang yang klasik dan obyektif itu, yaitu tata cara kritik romantis. Nama romantis digunakan, karena pada saat kemunculannya pada waktu peradaban di Eropa menginjak masa romantis. Kritik romantis menolak hukum timbangan seni yang ortodoks dan tidak dapat diubah. Kritikus romantis menimbang karya seni dengan mengingat daya kreatif yang ada dalam karya itu. Kritikus tidak boleh mengukur karya seni dengan ukuran yang sama sekali tidak dicoba untuk ditepati. Kritik romantis menolak metode yang hanya membanding-bandingkan karya seni pada efek atau akibat yang dapat ditimbulkan kepada pecinta seni. Kritik semacam ini akan membela sepenuhnya sang seniman. Dalam bentuknya yang negatif kemerdekaan itu bisa berubah menjadi kekejian, keonaran, dan kekacauan. Jika mau melaksanakan pendirian kritisi romantis dengan menepati segala konsekuensinya, maka harus diberikan kebebasan sepenuhnya kepada seniman untuk melaksanakan apa saja yang timbul di benaknya, asal saja dapat mencapai efek yang dimaksudkan atas publik. Bentuk timbangan seni semacam ini lupa bahwa semua di dunia ini, termasuk seni, terikat pada dalil kuno yang timbul dengan cara wajar.

      Berikutnya cara kritik impresionis. Nama ini timbul dari adanya suatu paham pendapat yang muncul di Perancis, kemudian menyebar ke seluruh dunia. Menimbang seni secara impresionis dalam banyak hal merupakan cara yang moderen pada masanya, dan banyak dipakai para kritisi. Kritikus seni impresionis, tidak memperdalam ukuran seni. Bahkan menimbang karya seni bukanlah tujuan utama. Kritikus seni impresionis sadar dan merasa yakin bahwa kedudukan istimewanya menjadikan sebagai perantara atau penghubung karya seni dengan masyarakat yang kurang memahami seluk beluk seni moderen. Seorang impresionis memakai impresi yang didapatkan untuk menghidupkan dan menjelaskan karya seni dihadapan masyarakat. Bentuk terburuk dari kritik semacam ini adalah kritikus impresionis terlalu banyak menuruti perasaan pribadinya dan tinjauannya menjadi subyektif, sehingga pembicaraannya tidak dapat diikuti lagi, atau justru berbeda pendapat. Bahaya dari kritik impresionis terlalu bersifat perseorangan, sering menjadi meleset dari tujuan sebenarnya.

      Selain itu masih ada yang disebut dengan istilah kritik moril. Ketiga tipe kritik di atas meliputi nilai artistic sebuah karya seni, sedangkan dalam kritik moril tumbuh suatu anggapan bahwa segala sesuatu yang ada di dunia ini adalah sebagai karya seni yang merupakan bagian dari moril. Kritik moril pernah mempunyai pengaruh yang hebat di dunia ini. Dalam peradaban Barat kritik moril sudah tidak dipakai lagi. Bisa dikatakan bahwa kritik moril masih dapat dijumpai dalam penerbitan buku yang khusus religius atau sosial. Masyarakat Timur perkembangannya berbeda dengan Barat. Bagi masyarakat Timur seni bukan sebagai suatu pernyataan jiwa manusia bebas yang dapat dinikmati dan peninjauannya lepas dari faktor moral kemasyarakatan. Masyarakat Timur lebih erat ikatannya daripada masyarakat Barat. Cara berfikir orang Timur merupakan kesatuan dari berbagai faktor dan fa#ktor-faktor tersebut tidak dapat dipisah-pisahkan karena semuanya saling berhubungan erat, baik harmonis maupun tidak. Pemisahan antara seni dan moral bagi masyarakat Timur kurang dapat diterima dan dirasakan dengan cara Barat. Kritik moril di Timur jauh lebih berpengaruh daripada Barat.

      Melalui landasan yang berbeda Edmund Burke Feldman merumuskan tipe kritik seni secara lain. Uraian di atas mendasarkan kritik seni dalam mencari letak ukuran karya seni, sedangkan Feldman cenderung pada oleh dan untuk siapa kritik seni tersebut ditulis atau diberlakukan, sehingga kritik seni dibedakan oleh Feldman sebagai berikut :

      1.    Kritik Jurnalistik

      Sesuai dengan namanya, kritik tipe ini disajikan kepada pembaca koran dan majalah. Sudah diketahui bersama, pembaca koran atau majalah adalah masyarakat yang heterogen, mulai pelajar, mahasiswa, pedagang, pegawai negeri, pengusaha, pejabat pemerintah, hingga rakyat jelata. Selain kondisi semacam ini, kritik jurnalistik bagi Koran yang terbit harian atau mingguan akan cepat hadir dan juga dibatasi deadline yang ketat beserta jumlah kolom yang sangat terbatas. Kritik jurnalistik untuk Koran juga harus dipandang sebagai berita, sehingga dengan keterbatasan kolom yang tersedia menjadikan pembahasannya tidak dapat meluas dan mendalam, serta gaya bahasanya menjadi singkat dan padat. Kritik jurnalistik bagi majalah umum yang terbit bulanan, mingguan atau dua mingguan, pengaruh deadline tidak seketat koran, demikian juga dengan jumlah kolom lebih leluasa, namun isi tulisan beserta gaya bahasa yang digunakan masih bersifat umum dan pupoler karena dibatasi komunitas pembacanya, kecuali majalah khusus seni rupa yang tentunya memberi porsi yang lebih besar bagi ulasan atau bahasan tentang seni rupa.

      2.    Kritik Pedagogik

      Kritik pedagogik dimaksudkan untuk meningkatkan kematangan estetik dan artistik para pelajar. Bagi mahasiswa Jurusan Pendidikan Seni Rupa yang nantinya diharapkan menjadi guru seni rupa ditingkat Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah Pertama, atau Sekolah Menengah Umum, kritik pedagogik ini sangat penting digunakan untuk memberikan dorongan dan bimbingan kepada anak muridnya. Kritik pedagogik dapat dilakukan secara verbal dengan cara mendiskripsikan karya dari siswa, kemudian menganalisis unsur-unsur yang ada pada karya, menafsirkan dan mengevaluasi karya siswa dengan menjelaskan bagian-bagian mana yang menjadi kelebihan atau yang menarik dari karya untuk dibahas lebih lanjut. Kriteria yang digunakan tidak boleh terlalu kaku dan keras, yang terpenting dari kritik tersebut dapat mendorong siswa supaya lebih kreatif, dan dapat berfikir secara visual atau spatial.

      3.    Kritik Ilmiah

      Kritik ilmiah berbeda dengan kritik jurnalsistik dan pedagogic seperti yang telah diuraikan di atas, karena sepenuhnya bersifat keilmuan. Pada kritik ilmiah, karya-karya yang dikritik atau dibahas memerlukan data-data yang akurat, kemudian dideskripsikan secara tepat, dianalisa secara cermat menggunakan landasan teori yang dibutuhkan, diinteprestasikan dan penilaian karya secara bertanggung jawab sesuai kaidah-kaidah sebuah penulisan karya ilmiah. Kritik semacam ini dapat dijadikan sebuah penelitian ilmiah yang berwujud skripsi, thesis, bahkan disertasi dengan cara mengikuti metode atau prosedur penelitian ilmiah, dengan tingkat kedalaman pembahasan yang disesuaikan stratanya.

      Pada masa lalu kritik ilmiah banyak dimusuhi seniman Indonesia yang berlatar belakan otodidak atau non akademik, karena dianggap kritik tersebut menyimpang dari kodrat seni dengan sifat unity. Karya seni bagi mereka bukan seperti mayat yang diotopsi, boleh dibedah, dicincang, dan diperinci setiap unsur beserta anatominya, karena karya seni merupakan sebuah kebulatan nilai yang harus dihayati secara utuh.

      4.    Kritik Populer

      Seperti namanya, kritik popular harus bersifat popular, dan dapat dikerjakan oleh orang awam yang tidak pernah belajar atau mengambil spesialisasi dalam bidang seni. Hasil sebuah kritik popular mempunyai tingkat kedalaman yang berbeda-beda, sesuai dengan latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan, pengalaman, dan kepekaannya dalam menanggapi sebuah karya seni.

    • Evaluasi pertemuan ke 10 Assignment

      1, buatlah kritik paedagogi untuk karya seniman Indonesia (pilih salah satu: karya seni lukis, seni patung seni grafis atau seni keramik)

      2, buatlah kritik populer untuk karya seniman luar negeri (pilih salah satu: karya seni lukis, seni patung seni grafis atau seni keramik)


    • Kritik ilmiah, dan kritik jurnalistik Assignment

      Bahasan Kritik Ilmiah dan Kritik Jurnalistik sudah dibahas pada pertemuan sebelumnya, untuk itu diberikan tugas sebagai berikut :

      1, buatlah kritik ilmiah untuk karya seniman Indonesia (pilih salah satu: karya seni lukis, seni patung seni grafis atau seni keramik)

      2, buatlah kritik jurnalistik untuk karya seniman luar negeri (pilih salah satu: karya seni lukis, seni patung seni grafis atau seni keramik)


    • Apresiasi Assignment

      Istilah apresiasi berasal dari kata Latin appretiatus yang merupakan bentuk past participle yang artinya to value at price atau penilaian pada harga. Dalam bahasa Inggris disebut appreciation yang artinya penghargaan dan pengertian.

      Apresiasi seni merupakan suatu proses sadar yang dilakukan seseorang dalam menghadapi dan memahami karya seni. Mengapresiasi adalah sebuah proses untuk menafsirkan sebuah makna yang terkandung dalam karya seni. Seorang pengamat seni yang sedang memahami karya seni sebaiknya terlebih dahulu mengenal struktur bentuk karya seni, pengorganisasian elemen seni rupa atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang dihayati. Lebih jauh lagi, seorang pengamat seni rupa berkwajiban mengenal struktur dasar seni rupa; dengan mengenal garis atau goresan, mengenal shape (bidang/bangun) yang dihadirkan, mengetahui warna dengan berbagai peranan dan fungsinya, memahami dimensi ruang dan waktu dalam karya seni, dan sebagainya.

      Memahami estetika dalam seni rupa merupakan salah satu wujud pelaksanaan apresiasi seni, dan merupakan suatu proses penyadaran yang dilakukan penikmat dalam menghadapi dan menghargai sebuah karya seni. Apresiasi adalah proses pengenalan nilai-nilai seni, untuk menghargai, dan menafsirkan makna (arti) yang terkandung di dalamnya.

      Apresiasi menuntut ketrampilan dan kepekaan estetik guna mendapatkan pangalaman estetik ketika mengamati karya seni rupa. Pengalaman estetik bukanlah sesuatu yang mudah muncul dengan sendirinya atau mudah diperoleh, karena memerlukan latihan dan perhatian yang sungguh-sungguh. Pengalaman estetika dari seseorang adalah persoalan psikologis yang banyak dibahas dalam persoalan estetika. Hal ini menimbulkan pertanyaan bagaimana seseorang dapat menanggapi atau memahami bahwa suatu benda itu indah atau sebagai karya seni? Seseorang tidak lagi hanya membahas sifat-sifat dan kualitas dari wujud benda estetik, melainkan juga menelaah kualitas abstrak dari benda estetik, terutama usaha menguraikan dan menjelaskan secara cermat, dan lengkap dari semua gejala psikologis yang berhubungan dengan karya seni (The Liang Gie, 1978: 51).

      Seorang yang merasakan kepuasan setelah menikmati suatu karya, maka orang tersebut dapat dikatakan memperoleh kepuasan estetika yang merupakan kombinasi antara sikap subyektif dan kemampuan melakukan persepsi secara kompleks. Pada dasarnya pengalaman estetik merupakan hasil suatu interaksi antara karya seni dengan penikmatnya. Interaksi tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya suatu kondisi yang mendukung dalam penangkapan nilai-nilai seni yang terkandung dalam karya seni tersebut; yaitu kondisi intelektual dan kondisi emosional.

      Steppen C. Pepper dalam The Liang Gie menulis pendekatan psikologis dengan mencontohkan kesenadaan yang berlebihan membuat karya menjadi monoton, sedangkan kekacaubalauan (confusion) yang berlebihan membuat karya menjadi tidak indah. Untuk mengatasi kedua faktor merusak dari pengalaman estetik itu, penyusunan karya seni harus diusahakan adanya keanekaan (variaty) dan keseimbangan ( lihat The Liang Gie, 1976: 54).

      Apresiasi bukanlah sebuah proses pasif, ia merupakan proses aktif dan kreatif, agar secara efektif mengerti nilai suatu karya seni, dan mendapatkan pengalaman estetik (Feldman, 1981). Adapun pengalaman estetik seperti yang dinyatakan oleh John Dewey (1934) adalah pengalaman yang dihasilkan dari hasil penghayatan karya.

      Seorang pengamat yang sedang memahami karya seni diharapkan terlebih dahulu mengenal struktur organisasi atau dasar-dasar penyusunan dari karya yang sedang diamati. Misalnya seorang pengamat seni rupa, maka ia harus terlebih dahulu mengenal struktur dasar seni rupa; ia harus mengenal garis atau goresan, mengenal shape (bidang/bangun) yang dihadirkan, mengenal warna dengan berbagai peranan dan fungsinya, mengenal dimensi ruang dan waktu dan lain sebagainya, serta mengetahui asas desain penyusunan, juga karakter pada tiap unsur pendukungnya.

      Untuk mengenal struktur dasar memang tidaklah mudah, namun kalau mau membiasakan diri (hibitation), maka lambat laun dapat mengenal struktur tersebut. Semuanya itu tergantung sensitivitas penghayatan dalam menangkap tanda-tanda atau signal informasi yang disampaikan pencipta karya lewat pesan-pesan yang kadang-kadang tidak kasatmata. Seorang pengamat yang kreatif akan dapat menangkap signal-signal tersebut lewat daya kreasi imajinatifnya. Seorang pengamat dengan segala kemampuan berusaha menafsirkan lambang-lambang yang dihadirkan oleh sang seniman.

      Daya imaji merupakan hasil tanggapan sesaat oleh indera yang kemudian menghasilkan interaksi antara presepsi luar dan presepsi dalam. Hasil interaksi tersebut disebut interpretasi yang kemudian terkumpul sebagai nilai hayati (isi atau makna ). Begitu juga kalau menghayati karya puisi, musik, tari, drama, maka sebenarnya kita berusaha memahami pesan-pesan seniman yang diinformasikan lewat karya seninya.

      Untuk memahami kesenian dibutuhkan pengalaman estetika bagi seorang penikmat, pengalaman yang ditemukan dari hasil penghayatan suatu karya seni, disamping tergantung pada karya seni itu sendiri, juga tergantung pada kondisi intelektual serta kondisi emosional si penikmat. Kemampuan dalam menerima tanda-tanda dalam karya seni yang dihadapi, seolah-olah menjadi suatu media informasi bagi penikmat. Untuk dapat menangkap informasi tersebut tergantung dari kepekaan dan pengalaman estetika yang dimiliki seorang penikmat.

      Seorang apresiator yang baik tentu paham akan sistem pengorganisasian karya seni antara lain mencakup: harmoni, irama, pusat perhatian, proporsi, kontras, gradasi, serta hukum keseimbangan formil atau non formil yang dihadirkan oleh sang senimannya, di samping itu juga seorang penikmat harus memahami teknik di dalam menghadirkan unsur-unsur rupa tersebut dan tata cara mencapai nilai karakter khusus dari unsur yang dihadirkan.

      Dapat disimpulkan sementara bahwa seorang apresiator yang baik, harus mengalami atau mengenal teori dasar seni rupa serta tata cara mewujudkan karya seni rupa. Secara obyektif seseorang harus dapat menangkap lambang-lambang atau simbol-simbol yang di informasikan sang seniman terhadap penikmat, dan seorang penikmat harus dapat menafsirkannya dengan segala pengalaman estetik dan intelektualnya guna menafsirkan lambang-lambang yang dihadirkan seniman.

      Menghadapi karya seni, seni pertunjukan, seni rupa; lukisan dan cabang seni yang lain, maka seorang penikmat harus dapat menafsirkan struktur bentuk karya yang disajikan seniman lewat lambang-lambang atau simbol yang berwujud gerak, suara, warna, atau kata-kata sesuai dengan karya seni yang dinikmatinya. Lambang-lambang yang dihadirkan tersebut, bukan sekedar menginformasikan gerak, suara, warna atau kata-kata dalam arti baku atau wantah, tetapi seorang penikmat harus benar-benar dapat menangkap maksud sang seniman lewat gerak, suara, warna dan kata-kata yang mereka komposisikan. Sehingga bukan sekedar ragam struktur baku yang diinformasikan, tetapi dibalik lambang-lambang yang disampaikan tersebut tersimpan makna-makna yang hakiki. Di sini seorang penikmat dicoba kemampuannya menafsirkan setiap unsur, setiap karakter yang disampaikan seniman lewat karyanya. Di sinilah kenapa seseorang dengan cepat dapat memahami karya musik, karya tari, karya teater dan karya sastra, karena memang mereka sering terlibat dalam proses pemahaman lewat sajian karya.

      Penikmatan merupakan proses dimensi psikologis, sekaligus proses interaksi antara aspek intrinsik seseorang terhadap sebuah karya seni. Hasil dari interaksi tersebut bukan merupakan sebuah ultimatum senang atau tidak senang terhadap keberlangsungan karya seni. Relatifitas kajian tersebut tergantung dari tingkat pemahaman relatif seseorang dalam menghadapi sebuah karya seni. Tingkat pemahaman sesorang tergantung dari tingkat intelektual dan latar belakang budayanya. Tingkatan tersebut menurut Steppen C. Pepper dalam bukunya berjudul The principles of Appreciation memberikan empat tingkatan ultimatum kesenangan berdasarkan tingkat relatifitas seseorang.

      Tingkatan pertama disebut tingkat subyektif relatifitas, dimana seseorang dalam memberikan ultimatum senang dan tidak senang karena adanya keputusan subyektivitas, misalnya; “Saya senang karena film itu dimaikan oleh Rano Karno tokoh idolaku.”, ultimatum tersebut berdasarkan keputusan yang berorientasi pada selera pribadi, lepas sebelum atau setelah menikmati karya tersebut. Keputusan senang dan tidak senang lahir dari akibat pengaruh aspek psikologis secara instrinsik.

      Tingkatan kedua disebut tingkat culture relatifitas yang merupakan ultimatum senang atau tidak senang atas keputusan sikap psikologis karena ikatan latar belakang budaya. Tingkatan ini selalu berorientasi terhadap sikap budaya dimana mereka hidup. Misalnya; “Saya senang karena karya seni yang disajikan merupakan kebudayaan daerah asalku”. Alasan yang menyangkut atas budaya kesukuan, kebangsaan, dan semua yang menyangkut tentang adanya orentasi budaya yang sepihak terhadap budayanya, akan mempengarui ultimatum senang dan tidak senang terhadap karya seni setelah atupun sebelum karya seni tersebut dinikmati.

      Tingkatan ketiga disebut tingkat biologikal relatifitas , dimana ultimatum senang dan tidak senang didasari atas keputusan yang berdasarkan atas intrinsik yang muncul setelah menikmati karya tersebut. Ultimatum tersebut hampir mendekati proses apresiasi, namun masih banyak menggunakan aspek psikologis dibanding logika pemahaman estetik. Keputusan senang dan tidak merupakan proses penikmatan karya estetika yang sedang disajikan. Hal itu biasanya dilakukan pada penikmat yang tidak sepihak terhadap subyektifitas ataupun budaya simpatik.

      Tingkatan keempat merupakan tingkatan relatifitas yang disebut absolut, artinya ultimatum senang atau tidak senang bukan dari intrinksik tetapi cenderung kepada sikap ekstrinksik. Ultimatum didasarkan atas pengaruh dari luar. Misal; Semua seni itu indah, tanpa berusaha menikmati dengan segala kekuatan aspek psikogis yang ia punyai.

      Semua tingkat relatifitas tersebut menunjukkan adanya tingkat relatifitas yang dipunyai oleh seorang penikmat. Tingkat tersebut merupakan proses interaksi psikologis seorang penikmat. Dalam sajian seni diperlukan penikmatan yang baik, sedang untuk menangkap isi atau makna dalam karya estetika dibutuhkan sikap logis seorang penghayat. Sehingga apabila seseorang mampu melakukan kedua aspek tersebut sekaligus maka barulah ia siap dengan kajian kritik seni pada karya seni.

      Ketidakpuasan dengan teori keindahan yang ada, maka munculah teori pemahaman yang cukup punya pengaruh, ialah teori Einfuhlung. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh seorang guru besar Jerman Friedrich T. Vischer (1807-1887), kemudian dikembangkan selengkapnya oleh Theodor Lipps (1851-1914) dalam bukunya yang berjudul Aesthetik dalam 2 jilid (The Liang Gie, 1976:54)

      1.    Empati (feeling into)

      Istilah Einfuhlung  dalam bahasa Jerman lazim diterjemahkan dalam bahasa Inggris menjadi Empathy atau feeling into, istilah lain yang pernah dipakai adalah introjection, autoprojection dan simbolyc sympathy; yang artinya sebagai merasakan diri sendiri ke dalam sesuatu. Pada prinsipnya merupakan suatu teori tentang pemancaran perasaan diri sendiri kedalam benda estetis. Sewaktu kita menikmati ceritera, kita tidak hanya mengenal mereka, tetapi kita juga merasa terlibat dengan mereka (The Liang Gie, 1976:54).

      Pada sebuah pementasan drama, barangkali saja terhadap seseorang kita tidak menyenangi watak atau karakter yang mereka bawakan, sekalipun demikian toh kita tetap akan mengagumi apa yang ia bawakan. Pada saat kita benar-benar merasa terlibat, kita ikut merasa sedih, senang, seperti juga para pemain itu. Bahkan kita lupa bahwa kita hanyalah salah seorang penonton, kita merasa telah benar-benar menjadi satu dengan mereka.

      Empati merupakan suatu respon terhadap suatu gerakan yang dimulai dari gerakan otot atau psikomotorik. Dan ini adalah suatu cara untuk meniru gerakan obyek ke dalam diri kita, artinya bahwa potensi yang dipancarkan oleh struktur organisasi, kita tangkap dan kita identikkan ke dalam perasaan kita. Menurut Viscer bahwa seseorang pengamat karya seni cenderung untuk memproyeksikan perasaannya kedalam benda itu, menjelajahi secara khayal bentuk dari karya tersebut dan dari kegiatan itu akan mendapatkan sesuatu rasa yang menyenangkan.

      Berdasarkan ide pokok itu, Theodore Lipps mengembangkan teori tersebut secara lebih rinci. Menurut Lipps; bahwa proses pemancaran perasaan ke dalam suatu karya seni tidak semata-mata bersifat subyektif dan tergantung pada pengamat, tetapi juga bersifat obyektif berdasarkan sifat-sifat dari karya seni yang bersangkutan. Secara garis besar teori Lipps menyatakan bahwa kegiatan pemahaman estetik dengan cara memproyeksikan perasaannya kedalam suatu karya seni, dan dari situ timbul suatu emosi estetis khas yang terjadi, karena akan menemukan kepuasan atau kesenangan yang diakibatkan oleh bentuk obyektif dari karya yang dihayati. Kegiatan si penghayat itu merupakan aktivitas psikis yang berlangsung dalam situasi psikologis ketika seorang berhadapan dengan karya estetik. Nilai dari tanggapan subyektif tergantung pada kualita obyektif dari karya yang bersangkutan.”Aesthetic pleasure is an enjoyment of our own activity in an obyect” ; Kesenangan estetik adalah suatu penikmatan dari kita sendiri di dalam suatu benda/karya (The Liang Gie, 1976: 55).

      Bagaimana kita menghayati sebuah lukisan yang bersifat dua dimensi dan hadir statis karena tidak mempunyai gerakan nyata?. Sebenarnya hal ini sama saja, karena kita juga meresponnya dengan gerakan, sewaktu kita melihat, otot mata kita bergerak mengikuti tanda-tanda yang ada yang ada pada karya tersebut yang ia lanjutkan ke semua susunan syaraf, dan kemudian menyatu dengan gerakan-gerakan psikomotorik dalam tubuh kita. Pada saat inilah terjadi apa yang disebut innermimicry oleh Karl Groos.

      2.    Distansi Psikis

      Teori ini dikembangkan oleh seorang tokoh bernama Edward Bullough dalam tulisannya yang berjudul “Psychical Distance as a factor in Art and Aestetic Principle”. Menurut Bullough, jarak psikis tidak ada hubungannya dengan jarak fisik, yaitu jarak yang ditentukan oleh ruang dan waktu, sekalipun jarak itu memang ada. Yang dimaksud dengan “psychic distance” (jarak psikis) ialah tingkat keterlibatan pribadi atau self involvement.

      Bulough berpendapat, bahwa untuk menumbuhkan pengalaman yang berhubungan dengan seni orang justru harus menciptakan jarak diantara dirinya dengan hal-hal yang mempengaruhi dirinya. Agar seseorang terhindar dari keterlibatan secara psikis, seseorang penghayat harus membiasakan diri untuk menindas penghayatan psikis. Kebiasaan tersebut diperlukan untuk meningkatkan kemampuan penghayatan. Misalnya seseorang sewaktu menghayati drama, kita harus sadar bahwa apa yang kita lihat itu bukan sesuatu kenyataan, demikian pula terhadap lukisan. Distansi sebenarnya dapat dimaksudkan sebagai adanya keterpisahan atau dengan kata lain ada jarak antara kehidupan yang nyata dan realitas feeling lewat karya. Ia mewujudkan kerja sama dengan karya untuk mewujudkan keinginan tersebut. Tetapi ia menyadari bahwa realitas feeling semacam itu, tidak akan diperoleh lewat penghayatan praktis (Liang Gie,1976: 57).

      Seorang penghayat haruslah bersifat obyektif artinya harus benar-benar terhindar dari faktor pengaruh, seperti halnya seorang ilmuwan dalam mengumpulkan data penelitian. Dalam waktu yang sama ia harus membuat ukuran bahwa ia mempunyai minat yang kuat untuk mendapatkan hasil yang diperolehnya. Di sini seorang penghayat harus benar-benar memfokuskan perasaannya (feelingnya) untuk kemudian ia proyeksikan ke dalam karya dengan tanpa terpengaruh oleh unsur pribadi, sehingga seorang penghayat dengan sengaja tidak memproyeksikan egonya ke dalam satu karya dengan segala kemampuan imajinasi dan kreatifitasnya.

      Adapun hal-hal yang mempengaruhi antara lain adalah segi manfaat atau kegunaan benda seni itu atau kualitas materialnya, dan kebutuhan (interest/kepentingan) subjek terhadap objek (benda seni). Dengan kata lain –menurut teori ini-tidak mendekati seni dalam batasan praktis. Hal ini sejalan dengan pendapat Immanuel Kant (1724-1804) bahwa dalam menikmati seni, subjek harus bersifat tanpa pamrih. Usaha membangun kesenangan estetis dengan mempertinggi kemampuan subjek dalam mengamati objek seni. Teori ini sebenarnya dianggap kurang sempurna dan diperkuat lagi oleh P. A. Michelis (tulisannya Aesthetic Distance dalam Journal of Aesthetic and Art Criticsm, vol. 18, 1969). Michelis menganalisa pendapat Bullough dan pendapatnya tentang jarak kejiwaan. Dia lebih mengarahkan pada jarak estetik (Aesthetic Distance). Bahkan secara lebih rinci, bahwa membuat jarak terhadap benda seni tidak hanya jiwa saja, tetapi juga ruang dan waktu (distansi ruang dan distansi waktu).

      Untuk memahami distansi ruang, Michelis membuat ilustrasi sebagai berikut. Ketika kita menikmati lukisan dari jarak dekat, maka kita akan kehilangan keutuhan dari satu unit format karya lukis. Kita akan hanya terpaku detail insidental serta tekniknya, yang seringkali sambil merabanya, dan merasakan tekstur materialnya. Dengan demikian lukisan itu telah sampai pada apresiasi kita dalam keadaan berubah, dari suatu image menjadi suatu objek, yakni suatu benda. Namun sebaliknya, jika mengamati dari jarak yang terlampau jauh, lukisan tersebut hanya bisa ditangkap dengan kesan globalnya saja, mungkin hanya bayangan atau siluetnya. Yang paling baik adalah distansi tengah, yang akan membimbing kita untuk mengapresiasi relasi di bagian-bagian bentuk keseluruhan, dan keseluruhan itu sebagai unit. Maertens (seperti yang dikutip Michelis) menegaskan bahwa distansi tengah merupakan distansi terpenting, yang membentuk sudut optis 27 derajat. Teori ini bukan hanya untuk pengamat saja, tetapi juga untuk pencipta (seniman). Seniman yang sedang berkarya perlu sekali menjaga distansi tengah dalam menghadapi modelnya atau objek lukisan yang sedang digarapnya. Bahkan kadangkala perlu setengah pusat pandangan. Distansi tengah adalah distansi ruang yang harus dipertahankan baik oleh pengamat maupun pencipta (seniman) pada waktu mengamati atau mencipta karya seni untuk memperoleh pengalaman yang utuh.

      Selain distansi ruang ada lagi satu pendapat bahwa distansi waktu (=diartikan selang waktu) diperlukan sebagai jarak dalam berkontemplasi terhadap karya seni yang dihadapi ataupun proses penciptaan seni. Waktu bisa menyempurnakan suatu proses berkarya, sebab pengamatan dan imajinasi yang subur bisa berkembang karena ada jarak waktu. Seorang pelukis, jika ingin melukis suasana pantai dan gemuruh ombak, secara relatif –menurut pengalaman beberapa pelukis- ada yang memerlukan waktu kontemplasi lebih dahulu dengan realita alam yang akan dijadikan inspirasi melukisnya. Ada yang hanya sekilas, tetapi ada juga yang sambil membuat sketsanya tentang laut dalam beragam komposisi. Barulah menyelesaikan studi awalnya di studio., atau langsung di outdoor studio. Distansi waktu bagi si seniman diperlukan untuk memantapkan kadar emosinya. Begitupun bagi si pengamat dalam menikmati karya seni memerlukan distansi waktu, bahkan melihat sekilas tapi memerlukan durasi kontemplasi (permenungan) yang cukup, sampai pada tingkat pemahaman dan penghayatan.


    • Evaluasi karya seni Assignment

      Membahas persoalan seni akan berkaitan selalu dengan pengalaman seni dan nilai-nilai seni. Seni bukanlah sebatas benda seni, tetapi nilai-nilai sebagai respon estetik dari publik melalui proses pengalaman seni. Antara nilai-nilai dan pengalaman seni tidak bisa lepas dari konteks bahasan filsafat estetika seni.

      1.    Beberapa Metode Menanggapi Karya Seni

      Metode yang dapat digunakan untuk mengkritisi karya seni antara lain pendekatan induktif, deduktif, empati, dan interaktif. (Chapman, 1978 : 80)

      1.    Metode Induktif

      Metode induktif meliputi langkah-langkah sebagai berikut : (1) mendiskripsikan ciri-ciri pokok atau utama, (2) mendiskripsikan hubungan antara unsur-unsur atau bagian, (3) mengamati kualitas-kualitas parsial dan totalnya, (4) mengamati aspek yang dicoba digambarkan atau ditunjukkan, (5) menafsir dan meringkas gagasan, tema, kualitas yang ada dalam kerangka menggambarkan makna yang hendak diungkap atau diekspresikan, (6) buat pertimbangan atau penilaian dengan mengkutip atau menyebutkan kriteria tertentu berikut argumentasi atau bukti-bukti yang mendukungnya.

      2.    Metode deduktif

      Metode deduktif menggariskan langkah-langkahnya sebagai berikut: (1) tentukan atau pilih kriteria yang akan digunakan, (2) telaah karya yang dihadapi untuk mendapatkan petunjuk ada atau tidaknya bagian atau aspek yang memenuhi kriteria yang telah ditentukan, (3) tentukan sampai sejauhmana kriteria itu terpenuhi.

      3.    Metode empati

      Metode empati bertumpu pada teori yang mengatakan bahwa jika mengempati karya seni, maka beranggapan seolah-olah karya yang diamati adalah seperti pengamatnya yang memiliki perasaan dan kapasitas tertentu. Garis terasa bergerak, pohon yang digambarkan berdiri sendiri, terasa seperti kesepian. Jika menggunakan metode empati, disarankan mengambil sikap atau langkah sebagai berikut: (1) jangan mengkesampingkan yang nyata terlihat, jika melihat perahu, sebutlah perahu, meskipun bisa digambarkan sebagai tatanan garis dan warna yang menarik, (2) jangan berbuat sebaliknya, melupakan kualitas visual yang murni, (3) gunakan analogi atau metafora selayaknya penyair, agar dapat menegakkan hubungan antara yang tampak dan yang dirasakan, (4) gunakan pengetahuan yang dimiliki dan pengalaman yang diperoleh, (5) coba bertahan pada suatu aspek, jika aspek tersebut memang bedlum bisa dipahami, (6) usahakan bisa terlibat dalam ciptaan secara fisik dan imajinatif, (7) kalau dikehendaki, buatlah pertimbangan atau penilaian.

      4.    Metode interaktif

      Metode interaktif sebenarnya merupakan metode induktif dengan tambahan upaya mencari kesepakatan kelompok tentang makna karya seni termasuk bobotnya lewat diskusi dan perdebatan. Diskusi diselenggarakan melalui langkah-langkah yang digariskan pada metode induktif. Meskipun akan terasa sangat analitis, namun perbedaan pendapat yang muncul akan memperkaya pendapat atau pemahaman terhadap karya seni tersebut. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah: (1) tentukan moderator dan jelaskan tugasnya, (2) libatkan orang sebanyak mungkin dalam proses deskripsi karya yang ditelaah, (3) jika proses ke 2 macet, moderator menghidupkan kembali dengan jalan memancing dugaan atau hipotesis, (4) membicarakan hipotesis lewat diskusi kelompok, yang diharapkan dapat melahirkan interpretasi yang disepakati kelompok untuk mendekati makna yang dicari.

      2.    Beberapa Persoalan dalam Menanggapi Karya Seni

      Ada 3 (tiga) persoalan pokok dalam filsafat seni, yaitu benda seni (karya seni) sebagai hasil proses kreasi seniman, pencipta seni (seniman), dan penikmat seni (publik seni). Berdasarkan benda seni (karya seni) akan muncul persoalan kausal, sebagai hasil proses pemahaan seni dari publik/apresiator terhadap seni yaitu berupa nilai-nilai seni. Seperti yang dikemukan Jakob Sumardjo dalam kumpulan tulisannya Menikmati Seni, bahwa filsafat seni meliputi 6 (enam) persoalan utama, yaitu : (1) benda seni,  (2) seniman,  (3) publik seni,  (4) konteks seni,  (5) nilai-nilai seni, dan (6) pengalaman seni (Sumardjo, 1997:16). Dengan demikian pengalaman seni termasuk salah satu pokok kajian filsafati.

      Seniman berupaya mengkomunikasikan idenya lewat benda-benda seni kepada publik. Publik yang menikmati dan menilai karya seni tersebut memberikan nilai-nilai. Nilai-nilai seni  merupakan respon estetik publik terhadap benda seni bisa muncul berbeda. Hal ini tergantung pada subjek publik sebagai pemberi nilai. Betapapun seorang seniman banyak menghasilkan karya, tetapi jika publik seni tidak pernah menganggap bahwa karya itu bernilai, maka karya semacam itu akan lenyap dan tak pernah memilki arti apa-apa.

      Seorang pelukis ekspresionalisme Barat, Vincent van Gogh, melukis dengan tekun dan konsekuen dalam konsep estetiknya. Namun ternyata pada jaman itu karyanya belum bisa teradaptasi nilai dengan publik seninya. Nilai-nilai seni van Gogh baru tumbuh dan berkembang di masyarakat setelah dia meninggal dunia. Pertumbuhan dan perkembangan seni dalam suatu masyarakat, didukung oleh adanya nilai-nilai yang dianut masyarakat itu terhadap karya seni.

      Faktor latar belakang sosial budaya, tingkat pendidikan, kepentingan (interest) menentukan seseorang dalam memiliki pandangan terhadap seni. Pandangan seni mempengaruhi pertumbuhan seni itu sendiri, karena perkembangan seni  tergantung pula terhadap nilai yang diberikan publik seni terhadap karya seni. Hal ini dapat dikatakan bahwa nilai-nilai seni tumbuh sebagai akibat adanya proses apresiasi seni, dengan bukti empirik pengalaman estetika dalam hal pengalaman seni.

      Pada bagian berikut ini diperlihatkan korelasi dan interaksi antara persoalan-persoalan dalam kajian filsafat seni. Kedudukan pengalaman seni dan nilai-nilai seni merupakan dua persoalan penting dalam tinjauan seni.

      Istilah dan pengertian keindahan tidak lagi mempunyai tempat yang terpenting dalam estetik karena sifatnya yang makna ganda untuk menyebut pelbagai hal, bersifat longgar untuk dimuati macam-macam ciri dan juga subyektif untuk menyatakan penilaian pribadi terhadap sesuatu yang kebetulan menyenangkan. Orang dapat menyebut serangkaian bunga yang sangat berwarna-warni sebagai hal yang indah dan suatu pemandangan alam yang tenang indah pula. Orang juga dapat menilai sebagai indah sebuah patung yang bentuk-bentuknya setangkup, sebuah lagu yang nada-nadanya selaras atau sebuah sajak yang isinya menggugah perasaan. Konsepsi yang bersifat demikian itu sulitlah dijadikan dasar untuk menyusun sesuatu teori dalam estetik. Oleh karena itu kemudian orang lebih menerima konsepsi tentang nilai estetis (aesthetic value) yang dikemukakan antara lain oleh Edward Bullough (1880-1934).

      Guna membedakannya dengan jenis-jenis lainnya seperti misalnya nilai moral, nilai ekonomis dan nilai pendidikan maka nilai yang berhubungan dengan segala sesuatau yang tercakup dalam pengertian keindahan disebut nilai estetis. Dalam hal ini keindahan dianggap searti dengan nilai estetis pada umumnya. Apabila sesuatu benda disebut indah, sebutan itu tidak menunjuk kepada sesuatu ciri seperti umpamanya keseimbangan atau sebagai penilaian subyektif saja, melainkan menyangkut ukuran-ukuran nilai yang bersangkutan. Ukuran-ukuran nilai itu tidak terlalu mesti sama untuk masing-masing karya seni, bermacam-macam alasan, karena manfaat, langka atau karena coraknya spesifik.

      Menjadi persoalan ialah apakah yang dimaksud dengan nilai?.  Dalam bidang filsafat, istilah nilai sering-sering dipakai sebagai suatu kata benda abstrak yang berarti keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Dalam Dictionary od Sociology and Related Sciences diberikan perumusan tentang value yang lebih terperinci lagi sebagai berikut: The believed capacity of any object to satisfy a human desire. The quality of any object which causes it to be of interest to an individual or a group. (Kemampuan yang dipercayai ada pada sesuatu benda untuk memuaskan suatu keinginan manusia. Sifat dari sesuatu benda yang menyebabkannya menarik minat seseorang atau suatu golongan).

      Menurut kamus itu selanjutnya nilai adalah semata-mata suatu realita psikologis yang harus dibedakan secra tegas dari kegunaan, karena terdapat dalam jiwa manusia dan bukan pada bendanya itu sendiri. Nilai itu oleh orang dipercaya terdapat pada sesuatu benda sampai terbukti kebenarannya. Dalam bidang filsafat persoalan-persoalan tentang nilai ditelaah oleh salah satu cabangnya yang disebut axiology atau kini lebih sering disebut theory of value (teori nilai). Problem-problem pokok yang dibahas dan sampai sekarang masih belum ada kesatuan paham ialah mengenai ragam nilai (types of value) dan kedudukan metafisis dari nilai (metaphysycal status of value).

      Mengenai berbagai ragam dari nilai, ada pendapat yang membedakan antara nilai subyektif dan nilai obyektif. Pembedaan lainnya ialah antara nilai perseorangan dan nilai kemasyarakatan. Tapi penggolongan yang penting dari para ahli ialah pembedaan nilai dalam nilai ekstrinsik dan nilai intrinsik. Nilai ekstrinsik adalah sifat baik atau bernilai dari sesuatu benda sebagai suatu alat atau sarana untuk sesuatu hal lainnya. Ini sering disebut instrumental (contributory) value, yakni nilai yang bersifat alat atau membantu. Sedang dengan nilai intrinsik dimaksudkan sifat baik atau bernilai dalam dirinya atau sebagai suatu tujuan ataupun demi kepentingan sendiri dari benda yang bersangkutan. Ini kadang-kadang disebut juga consummatory value, yakni nilai yang telah lenngkap atau mencapai tujuan yang dikehendaki. Yang umumnya diakui sebagai nilai-nilai intrinsik itu ialah kebenaran, kebaikan dan keindahan. Akhirnya orang membedakan pula antara nilai positif (untuk sesuatu yang baik atau bernilai) dan lawannya, yakni nilai negatif.

      Persoalan tentang kedudukan metafisis dari nilai menyangkut hubungan antara nilai dengan kenyataan atau lebih lanjut antara pengalaman orang mengenai nilai dengan realita yang tak tergantung pada manusia. Persoalan ini dijawab oleh 2 pendapat yang dikenal sebagai pendirian subyektivisme dan pendirian obyektivisme. Pendirian yang pertama menyatakan bahwa nilai adalah sepenuhnya tergantung pada dan bertalian dengan pengalaman manusia mengenai nilai itu, sedang obyektivisme pada pokoknya berpendapat bahwa nilai-nilai merupakan unsur-unsur yang tersatupadukan, obyektif dan aktif dari realita metafisis.

      Hubungannya dengan estetik, filsuf Amerika George Santayana (1863-1952) berpendapat bahwa estetik berhubungan dengan pencerapan dari nilai-nilai. Dalam bukunya The Sense of Beauty beliau memberikan batasan keindahan sebagai nilai yang positif, intrinsik dan diobyektifkan (yakni dianggap sebagai kwalita yang ada pada suatu benda).

      Perkembangan estetik akhir-akhir ini, keindahan tidak hanya dipersamakan artinya dengan nilai estetis seumumnya, melainkan juga dipakai untuk menyebut satu macam atau kelas nilai estetis. Hal ini terjadi karena sebgian ahli estetik pada abad 20 ini berusaha meyempurnakan konsepsi tentang keindahan, mengurangi sifatnya yang berubah-ubah dan mengembangkan suatu pembagian yang lebih terperinci seperti misalnya beautiful (indah), pretty (cantik), charming (jelita), attractive (menarik) dan graceful (lemah gemulai). Dalam arti yang lebih sempit dan rangkaian jenjang itu, keindahan biasanya dipakai untuk menunjuk suatu nilai yang derjatnya tinggi. Dalam rangka ini jelaslah sifat estetis mempunyai ruang lingkup yang lebih luas daripada sifat indah karena indah kini merupakan salah satu kategori dalam lingkungannya. Demikian pula nilai estetis tidak seluruhnya terdiri dari keindahan.

      Nilai estetis selain terdiri dari keindahan sebagai nilai yang positif kini dianggap pula meliputi nilai yang negatif. Hal yang menunjukkan nilai negatif itu ialah kejelekan (ugliness). Kejelekan tidaklah berarti kosongnya atau kurangnya ciri-ciri yang membuat sesuatu benda disebut indah, melainkan menunjuk pada ciri-ciri yang nyata-nyata bertentangan sepenuhnya dengan kawalita yang indah itu. Dalam kecenderungan seni dewasa ini, keindahan tidak lagi merupakan tujuan yang paling penting dari seni. Sebagian seniman menganggap lebih penting menggoncangkan publik daripada menyenangkan orang dengan karya seni mereka. Goncangan perasaan dan kejutan batin itu dapat terjadi, dengan melalui keindahan maupun kejelekan. Oleh karena itu kini keindahan dan kejelekan sebagai nilai estetis yang positif dan yang negatif menjadi sasaran penelaahan dari estetik filsafati. Dan nilai estetis pada umumnya kini diartikan sebagai kemampuan dari sesuatu benda  untuk menimbulkan suatu pengalaman estetis.

      Estetika kadang-kadang dirumuskan pula sebagai cabang filsafat yang berhubungan dengan “teori keindahan” (theory of beauty). Kalau definisi keindahan memberitahu orang untuk mengenali, maka teori keindahan menjelaskan bagaimana memahaminya.

      Teori obyektif berpendapat bahwa keindahan atau ciri-ciri yang menciptakan nilai estetika adalah (kwalita) yang memang telah melekat pada benda indah yang bersangkutan, terlepas dari orang yang mengamatinya. Pengamatan seseorang hanyalah menemukan atau menyingkapkan sifat-sifat indah yang sudah ada pada sesuatu benda dan sama sekali tidak berpengaruh untuk mengubahnya. Yang menjadi persoalan dalam teori ini ialah ciri-ciri khusus manakah yang membuat sesuatu benda menjadi indah atau dianggap bernilai estetis.

      Filsuf seni dewasa ini menjawab bahwa nilai estetis itu tercipta dengan terpenuhi asas-asas tertentu mengenai bentuk pada sesuatu benda (khususnya karya seni yang diciptakan oleh seseorang). Berlawanan dengan apa yang dikemukakan oleh teori obyektif, teori subyektif menyatakan bahwa ciri-ciri yang menciptakan keindahan pada sesuatu benda sesungguhnya tidak ada. Yang ada hanyalah tanggapan perasaan dalam diri seseorang yang mengamati sesuatu benda . Adanya keindahan semata-mata tergantung pada pencerapan dari si pengamat itu. Kalaupun dinyatakan bahwa sesuatu benda mempunyai nilai estetis, hal ini diartikan bahwa seseorang pengamat memperoleh sesuatu pengalaman estetis sebagai tanggapan terhadap benda itu.

      Estetika berasal dari kata Yunani Aesthesis, yang berarti perasaan atau sensitivitas. Itulah sebabnya maka estetika erat sekali hubungannya dengan selera perasaan atau apa yang disebut dalam bahasa Jerman Geschmack atau Taste dalam bahasa Inggris. Estetika timbul tatkala pikiran para filosuf mulai terbuka dan mengkaji berbagai keterpesonaan rasa. Estetika bersama dengan ethika dan logika membentuk satu kesatuan yang utuh dalam ilmu-ilmu normatif di dalam filsafat. Dikatakan oleh Hegel, bahwa: “Filsafat seni membentuk bagian yang terpenting didalam ilmu ini sangat erat hubungannya dengan cara manusia dalam memberikan definisi seni dan keindahan (Wadjiz 1985: 10).

      Hampir semua kesalahan kita tentang konsepsi seni ditimbulkan karena kurang tertibnya menggunakan kata-kata “seni” dan “keindahan”, kedua kata itu menjebak kita cara menggunakan. Kita selalu menganggap bahwa semua yang indah itu seni dan yang tidak indah itu bukan seni. Identifikasi semacam itu akan mempersulit pemahaman/apresiasi karya kesenian. Herbert Read dalam bukunya yang berjudul The Meaning of Art mengatakan: bahwa seni itu tidaklah harus indah (Read 1959: 3).

      Sebagaimana yang telah diutarakan diatas, keindahan pada umumnya ditentukan sebagai sesuatu yang memberikan kesenangan atas spiritual batin kita. Misal: bahwa tidak semua wanita itu cantik tetapi semua wanita itu mempunyai nilai kecantikan, dari contoh tersebut kita dapat membedakab antara keindahan dan nilai keindahan itu sendiri. Harus kita sadari bahwa seni bukanlah sekedar perwujudan yang berasal dari idea tertentu, melainkan adanya ekspresi/ungkapan dari segala macam idea yang bisa diwujudkan oleh sang seniman dalam bentuk yang nyata dan utuh.

      Semakin banyaknya kita mendefinisikan cita rasa keindahan, hal itu tetaplah teoritis, namun setidaknya kita akan dapat melihat basis aktivitas artistik (estetik elementer) sebagai berikut:

      Tingkatan pertama adalah pengamatan terhadap kualitas material, warna, suara, gerak sikap dan banyak lagi sesuai dengan jenis seni serta reaksi fisik yang lain. Tingkatan kedua merupakan penyusunan dan pengorganisasian hasil pengamatan, pengorganisasia tersebut merupakan konfigurasi dari struktur bentuk-bentuk pada yang menyenangkan, dengan pertimbangan harmoni, kontras, balance, unity yang selaras atau merupakan kesatuan yang utuh. Tingkat ini sudah dapat dikatakan dapat terpenuhi. Namun ada satu tingkat lagi. Tingkatan ketiga adalah susunan hasil presepsi (pengamatan). Pengamatan juga dihubungkan dengan perasaan atau emosi, yang merupakan hasil interaksi antara persepsi memori dengan persepsi visual. Tingkatan ketiga ini tergantung dari tingkat kepekaan penghayat.    

      Setiap manusia mempunyai tingkat pemahaman yang berbeda tergantung relativitas pemahaman yang dimiliki. Tingkat ketajaman tergantung dari latar belakang budayanya, serta tingkat terlibatnya proses pemahaman. Oleh Pavlov, ahli psikologi, mengatakan bahwa tingkat pemahaman seseorang tergantung dari proses hibitution (ikatan yang selalu kontak). Sehingga pemahaman tergantung dari manusianya dalam menghadapi sebuah karya hasil ungkapan keindahan.

      Ada pertentangan sebelum Kant mengenai idea tentang adanya “selera subyektif” sebagai bahan perasan di satu pihak, yang terdiri dari segala apa yang terdapat di dalam daya rasa (Sin­nlichkeit) seperti ketiada-pastian, kekhususnya oleh penyusun baru; dan di pihak lain mengenai idea tentang adanya “selera lain yang bersifat universil dan pasti (universal and necessary taste).Idea mengenai selera perasaan (Geschmack/taste) ini berke­sudahan kepada kesenangan dan kadang-kadang kepada penilain, sehingga akhornya selera itu sendiri tidak mempunyai arti apa-apa. Namun filsafat Kant mempunyai ciri yang khusus, yaitu ditemu­kannya “kritik ketiga” yang merupakan suatu teori baru mengenai selera. Selera tidak lagi merupakan sekedar penilain tentang perasaan “Gefuehlsurtheil” ttapi juga merupakan perasaan mengenai penilaian “Urtheilsgefuehl”, dan dengan kata lain ia bersifat universil, pasti, berdasar emosi (Wadjiz 1985:29)

      Bosanquet mencatat di dalam bukunya “A History of Aesthetics” bahwa buku “Kritik der Urtheilskraft” terbit agak belakangan, dan terdapat di dalamnya beberapa pengaruh yang berasal dari Rous­seau, akan tetapi semua itu hanyalah merupakan “pengecualian-pengecualian yang memperkuat prinsipnya”. Karena buku “Kritik der Urtheilskraft” itu dalah karya orisinil yang tidak mempunyai hubungan dengan pembacaan sebelumnya (Wadjiz 1985:30).

      “Kritik der Urtheilskraft” (kritik daya penilaian) terdiri dari sebuah pendahuluan di mana Kant mengemukakan delapan pokok per­soalan di ataranya cara bagaimana ia berusaha merukunkan dua karya kritiknya yang lain di dalam satu kesatuan yang menyeluruh. Perlu dikemukakan bahwa sebelum buku “Kritik der Urtheilskraft” ini, Kant mempunyai dua buah kritik: “Kritik der reinen Vernunft” (Kritik akal murni) dan “Kritik der Praktischen Vernunft” (Kritik akal praktis).Bagian pertama dari karya itu berjudul “Kritik daya penilaian estetis” dan terbagi menjadi dua bagian yaitu: analisa daya penilaian estetis dan dialektika daya penilaian estetis. Dan bagian kedua tidak begitu penting karena berhubungan dengan kritik daya penilaian teleologis taua penyelidikan abyektive purposivenness di dalam alam. Analisa putusan estetis dibagi lagi menjadi dua bagian. Analisa tentang cantik (beautiful) dan analisa tentang agung (sublime) (Wadjiz 1985:30).

      Bagian pertama buku tersebut mepaparkan empat pertimbangan yaitu: Pertimbangan pertama mengenai penilaian terhadap selera perasaan dari segi kualitas. Setelah menganalisa dengan teliti perasaan puas yang menjadi ciri dari putusan yang diberikan oleh selera, yaitu suatu perasaan yang tidak bertujuan apapun, Kant memperbandingkan antara bentuk-bentuk pemuasan ini, yaitu pemuasan estetis terhadap selera, kelezatan, dan kebaikan. Dan setelah memperbandingkan bentuk-bentuk ini, ia menyimpulkan definisi kecantikan berdasarkan pertimbangan pertama, bahwa “selera ialah kemampuan untuk memberikan putusan senang atau tidak senang atas suatu obyek atau perbuatan tertentu dengan syarat bahwa putusan itu bebas dari tujuan. Obyek dari rasa puas ini disebut cantik”.

      Pertimbangan kedua mengenai keputusan selera dari segi kuantitas. Tatkala Kant memandang selera dari segi kategori kedua dengan mengikuti perencanaan tadi ia mengemukakan bahwa kecantikan berwujud tanpa konsep, sebagai obyek dari pemuasan hajat yang mendesak, dan bahwa selera mengandung rasa senang dan putusan yang tidak menegaskan mana yang lebih dahulu di antara dua hal tadi. Definisi lain tentang keindahan berdasarkan pertimbangan yang kedua mengatakan bahwa “Keindahan ialah apa yang mendatangkan kesenangan dengan menyeluruh dan tidak berkonsepsi”.

      Pertimbangan yang ketiga mengenai putusan selera dari segi hubungan: Putusan selera bersandar kepada prinsip-prinsip dasar yang bebas dari “daya tarik” dan “Emosi” dan juga bebas dari konsep “kesempurnaan”. Pertimbangan ketiga tentang keindahan ialah bahwa “konsepsi tentang adanya tujuan pada obyek tapi tujuan itu tidak berwujud dengaan tegas”.

      Pertimbangan yang keempat mengenai putusan selera menurut arahnya (menurut kesenangan yang timbul dari obyek tertentu): yaitu bahwa “keharusan kesenangan umum yang terlukis dalam putusan selera ialah keharusan subyektif, akan tetapi terwujud dalam bentuk obyektif tatkala dijangkau oleh indera bersama. Definisi terakhir dari keindahan ialah bahwa keindahan ialah apa yang diakui sebagai obyek pemuasan darurat yang tidak berkonsep” (Dharsono 1993: 19-21).

      Kant, selanjutnya menerangkan perbedaan antara cantik dan agung. Ia sependapat dengan Burke bahwa agama adalah tidak termasuk bagian dari cantik. Kedua-duanya ialah termasuk dalam penilaiaan estetis; kecantikan termasuk putusan selera (the judgment of taste), sedangkan keagungan mempunyai akar di dalam emosi kecer­dasan (geistesgefuehl). Keindahan selamanya bertalian dengan bentuk (formal), tapi keagungan adakalanya bergantung kepada formal dan adakalanya bergantung kepada non-forma (“Uniform”) yang menyangkut tidak adanya forma dan cacat. Kant memperbedakan antara dua bentuk keagungan; bentuk mathematis yang statis dan bentuk dinamis. Kemudian menguraikan keindahan, seni, dan seni rupa dengan penyusunan menurut orang-orang genial yang mencipta­kannya (Wadjiz 1985:32)

      Perasaan estetis menurut Kant berada pada keselarasan pikiran dengan imaginasi dengan dasar bebasnya kerja imaginasi. Di samp­ing itu semangat (Geist) kreatif yang menghasilkan obyek-obyek seni tersembunyi pula di dalam adonan antra pikiran dan imagina­si. Teori “Keselarasan subyektif” ini mentafsirkan segala idea-idea estetis Kant. Keselarasan inilah yang melahirkan adanya tujuan (purposiveness) yang tak bertujuan selain mewujudkan rasa keindahan. Seni menurut Kant ialah penciptaan sadar terhadap obyek-obyek yang menyebabkan orang yang mengenangnya merasa seolah obyek-obyek itu dicipta serti alam tanpa tujuan. Ciri utama dari seni berada pada geni adalah berdasarkan pembagian geni kemanusiaan, menjadi seni bahasa (rhetorika dan puisi) seni rupa (pahat, arsitektur, lukis, seni mengatur kebun), seni suara (musik) atau lebih tepat seni “permainan perasaan”, dan akhirnya seni campuran antara pelbagi seni di atas dengan cara berbeda-beda seperti drama, menyanyi, opera, atau tari-tarian (Wadjiz 1985:33).

      Secara ringkas, apa yang dikemukakan di atas baru merupakan pada hakekatnya suatu bagian kecil dari persada yang luas dari nazhab Kant, tapi telah meletakkan dasar-dasar penting bagi beberapa ilmu tentang keindahan. Dan agaknya Kant telah berhasil merombak sendi-sendi filsafat seni dengan “berani dan tenang”, menurut Bousanquet, dan belum pernah ada orang sebelumnya dapat mencapai ketelitian demekian dalam membedakan istilah-istilah estetis, dan dapat dikatakan dialah orang pertama yang mengetrapkan logika di dalam Estetika dan menganalisa seni dengan cara yang sangat ilmiah. Estetika seperti Ethika, juga mempunyai pendekar dan orang-orang suci, dan Kant dapat dianggap salah satu dari pahla­wan-pahlawannya yang hampir mencapai derajat dewa. Sistem yang diciptakannya adalah sistem raksasa, meski belummencapai kesem­purnaan. Memang filsafat Kant tidak akan mencapai titik kesuda­han, karena dasar revolusi Kopernik adalah gerakan yang tak kunjung berhenti (Wadjiz 1985:32-33).

    • Evaluasi pertemuan ke 12 Assignment

      1. Apa yang dimaksud dengan apresiasi seni?

      2. Jelaskan maksud dari dimensi psikologis, empati, dan distansi psikis!

      3. Uraikan pengertian evaluasi dalam seni!

      4. Jelaskan beberapa metode dalam menanggapi karya seni!

      5. Uraiakan beberapa persoalan dalam menanggapi karya seni!

    • Semiotika Assignment

      Manusia berfikir, berperasaan, dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis. Ungkapan simbolis tersebut merupakan ciri khas manusia, yang membedakannya dari hewan. Ernst Cassirer cenderung menyebut manusia sebagai hewan yang bersimbol (animal symbolicum). Cassirer menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan, dan mengenal dunia secara langsung kecuali melalui berbagai simbol. (Cassirer,1944 : 23 - 26) Sebagai sistem simbol, kesenian berfungsi menata pencerapan manusia yang terlibat di dalamnya, atau menata ekspresi atau perasaan estetik yang dikaitkan dengan segala ungkapan aneka ragam perasaan atau emosi manusia. Simbol merupakan komponen utama dalam kebudayaan. Setiap hal yang dilihat dan dialami manusia diolah menjadi serangkaian simbol yang dimengerti oleh manusia (Suparlan dalam Rohidi, 2000 : 13). Di dalam simbol, termasuk simbol ekspresif, tersimpan berbagai makna antara lain berupa berbagai: gagasan, abstraksi, pendirian, pertimbangan, hasrat, kepercayaan, serta pengalaman tertentu dalam bentuk yang dipahami; di dalam kesenian lebih tepat lagi dapat dihayati secara bersama. Oleh karena itu, kesenian sebagaimana kebudayaan, dapat ditanggapi sebagai sistem-sistem simbol. (lihat C. Geertz, 1973; Parsons, 1966)

      Perwujudan kesenian senantiasa terkait dengan penggunaan kaidah dan simbol. Penggunaan simbol dalam seni, sebagaimana dalam bahasa, menyiratkan suatu bentuk pemahaman bersama di antara warga masyarakat pendukungnya. Perwujudan seni, sebagai suatu kesatuan karya, dapat merupakan ekspresi yang bermatra individual, sosial, maupun budaya, yang bermuatan isi sebagai substansi ekspresi yang merujuk pada berbagai tema, interpretasi, atau pengalaman hidup penciptanya. Pertama, karya seni berisikan pesan dalam idiom komunikasi, dan kedua merangsang semacam perasaan misteri; yaitu sebuah perasaan yang lebih dalam dan kompleks daripada apa yang tampak dari luar karya tersebut.

      Umberto Eco (1979 : 48) menyatakan bahwa sebuah tanda senantiasa merupakan unsur dari penghalusan ekspresi yang berkorelasi menurut kaidah tertentu dengan satu atau beberapa unsur yang bermuatan isi. Karya seni merupakan simbol atau kategori tempat yang dibuat oleh manusia secara sengaja, di dalamnya termuat simbol manasuka (arbitrary symbol) maupun simbol ikonik (iconic symbol). Simbol-simbol dalam kesenian adalah simbol ekspresif, yang berkaitan dengan perasaan atau emosi manusia (Parsons, 1951), yang digunakan ketika mereka terlibat dalam kegiatan atau komunikasi seni.

      Pendekatan semiotika dipilih dalam kritik seni karena semiotika merupakan salah satu pendekatan yang sedang diminati dewasa ini. Semiotika adalah ilmu tanda dan istilah ini berasal dari kata Yunani semion yang berarti tanda. (Panuti Sudjiman & Aart van Zoest, 1992) Tanda bisa terdapat dimana-mana, misalnya : lampu lalu lintas, bendera, karya sastra, bangunan dan lain-lain. Hal ini disebabkan manusia adalah Homo  Semioticus, yaitu manusia mencari arti pada barang-barang dan gejala-gejala yang mengelilinginya (Aart van Zoest, 1978 dan Lavers, t.th.)

      Semiotika moderen mempunyai dua orang pelopor, yaitu Charles Sanders Peirce (1839-1914) dan Ferdinand de Saussure. Peirce mengusulkan kata semiotika untuk bidang penelaahan ini, sedangkan Saussure memakai kata semiologi. Sebenarnya kata semiotika tersebut telah digunakan oleh para ahli filsafat Jerman bernama Lambert pada abad XVIII.

      Menurut Peirce, makna tanda yang sebenarnya adalah mengemukakan sesuatu. Ia menyebutnya sebagai representamen. Apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, apa yang ditunjuknya, disebut oleh Peirce dalam bahasa Inggris object. Dalam bahasa Indonesia disebut "acuan". Suatu tanda mengacu pada suatu acuan dan representasi seperti itu adalah fungsinya yang utama. Agar tanda dapat berfungsi harus menggunakan sesuatu yang disebut ground. Sering ground suatu tanda berupa kode, tetapi tidak selalu begitu. Kode adalah suatu sistem peraturan yang bersifat transindividual. Banyak tanda yang bertitik tolak dari ground yang bersifat sangat individual.

      Di samping itu tanda diinterprestasikan. Hal ini menunjukkan setelah dihubungkan dengan acuan, dari tanda yang orisinal berkembang suatu tanda baru yang disebut interpretant. Pengertian interpretant di sini jangan dikacaukan dengan pengertian interpretateur, yang menunjukkan penerima tanda. Jadi, tanda selalu terdapat dalam hubungan trio: dengan ground-nya, dengan acuannya, dan dengan interpretant-nya. (lihat Sudjiman, 1991)

      Aart van Zoest (1978) dengan mengutip pendapat Peirce yang membagi keberadaan menjadi tiga kategori : Firstness, Secondness dan Thirdness, membagi tanda berdasarkan ground dari tanda-tanda tersebut sebagai berikut : (1) Qualisign, (2) Sinsign, dan (3) Legisigns. Awalan kata Quali- berasal dari kata "quality", Sin- dari "singular", dan Legi- dari "lex" (wet/hukum).

      Qualisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan sifatnya. Misalnya sifat warna merah adalah qualisign, karena dapat dipakai tanda untuk menunjukkan cinta, bahaya, atau larangan.

      Sinsign (singular sign) adalah tanda-tanda yang menjadi tanda berdasarkan bentuk atau rupanya di dalam kenyataan. Semua ucapan yang bersifat individual bisa merupakan sinsign. Misalnya suatu jeritan, dapat berarti heran, senang, atau kesakitan. Seseorang dapat dikenali dari caranya berjalan, caranya tertawa, nada suara dan caranya berdehem. Kesemuanya itu adalah sinsign. Suatu metafora walaupun hanya sekali dipakai dapat menjadi sinsign. Setiap sinsign mengandung sifat sehingga juga mengandung qualisign. Sinsign dapat berupa tanda tanpa berdasarkan kode.

      Legisign adalah tanda yang menjadi tanda berdasarkan suatu peraturan yang berlaku umum, suatu konvensi, suatu kode. Semua tanda-tanda bahasa adalah legisign, sebab bahasa adalah kode, setiap legisign mengandung di dalamnya suatu sinsign, suatu second yang menghubungkan dengan third, yakni suatu peraturan yang berlaku umum, maka legisign sendiri adalah suatu thirdness.

      Berdasarkan hubungan antara tanda dan acuannya (denotasi), Peirce membedakannya menjadi 3 (tiga) jenis tanda, yaitu : (1) ikon, (2) indeks, dan (3) simbol. Hal ini dinyatakan sebagai berikut : Pada prinsipnya ada tiga hubungan yang mungkin ada. (1) Hubungan antara tanda dan acuannya dapat berupa hubungan kemiripan, tanda itu disebut ikon. (2) Hubungan ini dapat timbul karena ada kedekatan eksistensi; tanda itu disebut indeks. (3) Akhirnya hubungan ini dapat pula berbentuk secara konvensional; tanda itu adalah simbol.

      Tanda ikon merupakan tanda yang menyerupai benda yang diwakilinya, atau suatu tanda yang menggunakan kesamaan atau ciri-ciri yang sama dengan apa yang dimaksudkannya. Misalnya kesamaan sebuah peta dengan wilayah geografis yang digambarkannya, foto dan lain-lain. Benda-benda tersebut mendapatkan sifat tanda dengan adanya relasi persamaan di antara tanda dan denotasinya, maka ikon seperti qualisign merupakan suatu firstness.

      Indeks adalah tanda yang sifat tandanya tergantung dari keberadaannya suatu denotasi, sehingga dalam terminologi Peirce merupakan suatu Secondness. Indeks dengan demikian adalah suatu tanda yang mempunyai kaitan atau kedekatan dengan apa yang diwakilinya. Misalnya tanda asap dengan api, tiang penunjuk jalan, tanda penunjuk angin dan sebagainya.

      Simbol adalah suatu tanda, di mana hubungan tanda dan denotasinya ditentukan oleh suatu peraturan yang berlaku umum atau ditentukan oleh suatu kesepakatan bersama (konvensi). Misalnya tanda-tanda kebahasaan adalah simbol.

      Ditinjau dari hubungan tanda dengan interpretannya, tanda dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : (1) Rheme bilamana lambang tersebut interpretannya adalah sebuah first dan makna tanda tersebut masih dapat dikembangkan, (2) Decisign (dicentsign) bilamana antara lambang itu dan intepretannya terdapat hubungan yang benar ada (merupakan secondness), (3) Argument bilamana suatu tanda dan interpretannya mempunyai sifat yang berlaku umum (merupakan thirdness).

      Menurut pendapat Aart van Zoest, adanya tanda ditentukan oleh 3 (tiga) elemen, yaitu : (1) tanda yang dapat dilihat atau tanda itu sendiri, (2) sesuatu yang ditunjukkan atau diwakili oleh tanda, (3) tanda lain dalam pikiran penerima tanda. Di antara tanda dan yang diwakilinya ada sesuatu hubungan yang menunjukkan representatif yang akan mengarahkan pikiran kepada suatu interpretasi.

      Hal ini menunjukkan representasi dan interpretasi merupakan karakteristik tanda.

      Tanda mempunyai arti langsung dari suatu tanda yang telah diketahui bersama atau yang menjadi pengertian bersama yang disebut denotasi. Sedangkan pengertian tak langsung atau arti ke 2 dari denotasi tadi disebut konotasi. Tanda yang diberi arti sepihak oleh penerima disebut symptom, dengan demikian artinya konotatif. Pengertian symptom sendiri adalah jika suatu tanda tidak dimaksudkan tanda oleh pengirim tanda.

      Selanjutnya menurut Aart van Zoest, studi semiotika dibagi menjadi 3 (tiga) daerah kerja, yaitu : (1) Semiotik Sintaksis, studi tanda yang dipusatkan pada penggolongannya, dan hubungan dengan tanda-tanda yang lain caranya berkerja sama dalam menjalankan fungsinya. Namun semiotik sintaksis tidak hanya dibatasi mempelajari hubungan antara tanda di dalam sistem tanda yang sama, melainkan juga mempelajari tanda dalam sistem lain yang menunjukkan kerjasama. Misalnya dalam film, antara gambar dan kata-kata, pada dasarnya berasal dari sistem tanda yang berbeda, tetapi bekerja sama. (2) semiotik semantik, penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan acuannya (denotasi), serta interprestasi yang dihasilkan. (3) semiotik Pragmatik, penyelidikannya diarahkan untuk mempelajari hubungan di antara tanda dan pemakai tanda Dengan adanya tiga tataran tersebut, maka akan semakin lengkap usaha untuk mempelajari 'gramatika' sistem semiotika tertentu. Perbedaan yang paling penting dalam taraf pragmatik adalah di antara symptom-symptom dan signal-signal. yang dimaksud dengan symptom adalah bila suatu tanda tidak dimaksudkan oleh pengirim tanda sebagai tanda. Sedangkan signal adalah suatu tanda yang memang dimaksudkan oleh pengirim tanda sebagai tanda. Dalam signal ada aspek repretentatifnya, ada denotasi tertentu, berbeda dengan symptom yang tidak memiliki denotasi tertentu yang sengaja diberikan. Pada situasi komunikasi, perhatian pertama ditujukan kepada signal, namun dalam situasi demikian bisa juga muncul symptom-symptom yang tidak disengaja. Menurut Aart van Zoest, justru terkadang symptom memiliki kekuatan kebenaran yang lebih jika dibanding dengan signal, karena signal dapat berbohong, sedangkan symptom tidak.

      Sehubungan dengan uraian di atas, semiotika sebagai pendekatan meninjau karya adalah dengan melakukan kritik terhadap karya-karya yang dibuat. Unsur kritik dalam meninjau karya adalah perian atau deskripsi, yaitu menyebutkan, mencatat dan melaporkan hal yang tersaji secara langsung yang tampak melalui penglihatan mengenai wujud. Unsur kedua adalah orakan atau analisis, yaitu menyatakan bagaimana suatu hal yang disebutkan dalam perian tergambar atau tersusun, dengan menyatakan sifat, kualitas dan elemen-elemen seni rupa (garis, warna, bidang, tekstur) bertalian dengan yang telah diuraikan. Unsur ke tiga adalah tafsir atau interprestasi, yaitu menyatakan atau mengutarakan makna dari hasil seni. Unsur yang ke empat atau terakhir adalah menyatakan nilai atau mutu hasil seni. (lihat Feldman, 1967 dan Garret, 1978)

      Pendekatan semiotika merupakan salah satu cara untuk mengetahui dan mengontrol karya-karya yang dibuat karena Karya seni merupakan suatu tanda yang diciptakan seniman yang dapat dibaca oleh penonton atau penerima tanda.

      Komposisi merupakan salah satu aspek pokok pertama yang dilihat penonton dalam karya seni, sebab dapat mengkomunikasikan visi seniman dalam arti karya seninya kepada pengamat. Sebagai sebuah tanda, komposisi yang merupakan penyusunan atau pengorganisasian dari unsur-unsur seperti tekstur, garis, bidang dan sosok gumpal, yang disusun dalam satu kesatuan, akan memberikan kesan yang berbeda-beda, misalnya stabil atau dinamis. Garis merupakan tanda, secara qualisign (istilah dalam ilmu semiotik) garis yang mendatar memperlihatkan ketenangan, kedamaian, bahkan kematian. Garis vertikal secara qualisign menggambarkan kekokohan, kestabilan, kemegahan dan kekuatan. Garis diagonal menandakan tidak dalam keadaan seimbang, sehingga menunjukkan gerakan, hidup dan dinamis. Garis yang bengkok atau melengkung mengesankan sesuatu yang indah, lemas, lincah dan meliuk. Garis yang dibuat zig-zag secara qualisign menyiratkan semangat dan gairah. Garis horisontal juga menunjukkan tanda ikonis, karena mengingatkan benda-benda yang di alam seperti cakrawala, pohon yang tumbang dan lain-lain. Garis vertikal secara ikonis dapat diasosiasikan pokok pohon, dinding gedung dan batu karang. Garis diagonal sebagai tanda ikonis bertautan dalam ingatan pada pucuk-pucuk pohon yang di tiup angin, orang berlari dan kuda yang sedang melonjak. Sedangkan garis bengkok atau melengung, berkaitan dengan gerak ombak yang mengalun menuju pantai.

      Seperti yang telah disebut di muka, warna merupakan qualisign, sifat merah dapat dipakai sebagai tanda bahaya dan larangan. Selain itu, sifat merah yang panas dapat dipakai untuk menunjukkan gairah, semangat dan cinta. Biru secara qualisign memperlihatkan kedalaman dan ketenangan. Kuning menerangkan kehangatan dan keramahan. Putih mengesankan sesuatu yang terang, ringan dan netal. Hitam secara qualisign menandakan suatu kedalaman, kekokohan dan keabadian.

      Sebagai tanda ikon, warna biru mengingatkan pada langit, warna putih bertautan dengan awan, warna kuning mengingatkan pada bulan, warna merah pada matahari dan bunga mawar, warna hitam pada batu.

      Tekstur atau barik adalah nilai raba suatu permukaan, secara qualisign tekstur memperlihatkan sifat keras, halus, lunak, kasar atau licin. Sebagai tanda ikon, barik keras mengingatkan pada tekstur batu, barik halus dapat diasosiasikan pada kapas, barik lunak bertautan ingatan pada helai bunga dan daun muda, barik kasar berkaitan dengan ingatan pada kulit kayu dan pasir, barik licin mengingatkan pada lumut.


    • KOMUNIKASI VERBAL VS KOMUNIKASI NON-VERBAL Assignment

      Komunikasi adalah proses pertukaran suatu informasi antar individu atau kelompok dengan adanya makna atau tujuan yang ingin disampaikan. Pesan atau informasi yang disampaikan dapat berupa komunikasi verbal atau komunikasi non-verbal. Anak komunikasi pasti sudah tidak asing lagi dengan apa itu komunikasi verbal dan non-verbal.

      Secara umum, komunikasi verbal adalah komunikasi yang berbentuk lisan ataupun tulisan, contohnya adalah penggunaan kata-kata. Sedangkan komunikasi non-verbal adalah komunikasi yang tidak menggunakan kata-kata, contohnya menggunakan bahasa tubuh seperti mimik wajah dan gerakan tangan, bahkan intonasi suara dan kecepatan berbicara.

      Komunikasi verbal berupa kata-kata yang diucapkan langsung (berbicara) bisa dilakukan secara langsung (face to face) atau dengan perantara media, contohnya berinteraksi menggunakan sosial media atau telepon genggam. Sedangkan komunikasi verbal yang melalui tulisan bisa dilakukan menggunakan media seperti surat, postcard, chating di media sosial, dan sebagainya.

      Komunikasi non-verbal lebih sering terjadi dalam komunikasi secara langsung atau face to face. Sebabnya, dalam komunikasi menggunakan media digital, komunikasi non-verbal seringkali tidak mungking dilakukan. Contohnya ketika kita sedang chatting, tidak mungkin kita bisa melihat ekspresi wajah lawan bicara kita atau mendengar intonasi suaranya. Karena keterbatasan ini pula komunikasi non-verbal sering menimbulkan kesalahpahaman. Contohnya, terkadang ada orang yang menggunakan emoji secara tidak tepat. Misal seseorang salah mengirim emoji marah padahal sebenarnya dia ingin mengirim emoji tersenyum yang terletak di sebelahnya. Hal ini bisa menyebabkan orang yang dikirimi pesan menjadi salah paham dan ikut marah.

      Komunikasi verbal dan non-verbal pada hakikatnya saling terkait dan saling melengkapi. Dalam komunikasi langsung, kita terus-menerus mengirimkan pesan pada lawan bicara kita. Komunikasi non-verbal sering terjadi seacar otomatis dan tanpa kita kontrol. Contoh ketika kita marah atau senang, kita cenderung berbicara dengan lebih keras dan cepat. Hal ini terjadi karena kita mengalami perubahan emosi. Komunikasi nonverbal juga melengkapi komunikasi verbal kita. Ketika kita mengatakan satu hal, jika gerak-gerik tubuh kita tidak mendukung, orang tentu tidak akan percaya. Semisal kita berkata sudah mengerjakan PR namun dengan nada ragu-ragu, teman kita pasti tidak akan ada yang percaya.

      Penulis: Raihan Amalia Yasmin (Binusian Communication 2021)

      Editor: Lila Nathania, S.I.Kom., M.Litt.

      1Sebuah: dari, berkaitan dengan, atau terdiri dari kata-katainstruksi lisan

      b: dari, berkaitan dengan, atau melibatkan kata-kata daripada makna atau substansikonsistensi yang hanya verbal dan skolastik- BN Cardozo

      c: terdiri dari atau menggunakan kata-kata saja dan tidak melibatkan tindakanpelecehan verbal

      2: dari, berhubungan dengan, atau dibentuk dari kata kerjaa lisan kata sifat

      3: lisan daripada tertulisa lisan kontrak

      4KATA DEMI KATA , KATA DEMI KATAa lisan terjemahan

      5: dari atau berkaitan dengan fasilitas dalam penggunaan dan pemahaman kata-katabakat verbal


      Definisi verbal  (Entri 2 dari 2)


      Definisi Verbal dari https://www.merriam-webster.com/dictionary/verbal

    • Retorika Assignment

      Retorika dapat diartikan sebagai suatu seni untuk berbicara yang dipergunakan dalam proses komunikasi antarmanusia. Seni berbicara ini bukan hanya berarti lancar, tetapi juga harus efektif dan efisien. Retorika modern mencakup ingatan yang kuat, daya kreasi dan fantasi yang tinggi, teknik pengungkapan yang tepat dan daya pembuktian serta penilaian yang tepat. Retorika modern adalah gabungan yang serasi antara pengetahuan, pikiran, kesenian dan kesanggupan berbicara. Calon guru seharusnya menguasai segi praktis dan teoretik dalam bidang retorika-kemampuan komunikasi verbal-nonverbal. Karena itu diperlukan kajian dan riset yang lebih banyak lagi pada bidang retorika. Pesan informatif, persuasif dan pesan-pesan kreatif yang menjadi domain kajian retorika seharusnya dikuasai mahasiswa calon guru yang mencakup kemampuan mengajar, berdiskusi, berdebat, bernegosiasi, presentasi, interview dan seterusnya. Mata kuliah Retorika tidak lagi diajarkan bagi calon guru. 

      Kata Kunci: Retorika, Komunikasi Verbal-noverbal, Kendala Komunikasi

    • Pengertian dari 5W 1H Assignment

      Rumus 5W 1H identik dengan mata pelajaran Bahasa Indonesia. Biasanya, pelajar akan ditugaskan untuk menelisik cerita atau berita menggunakan rumus 5W 1H. Sebab, cerita dan berita yang baik akan memuat unsur yang lengkap agar mudah dipahami dan informatif.

      Rumus 5W 1H diperkenalkan pertama kali oleh seorang penulis dan penyair bernama Rudyard Kipling. Pada perkembangannya, 5W 1H banyak digunakan dalam dunia sastra, jurnalistik, penelitian ilmiah, dan aktivtas lain-lain.

      Ini karena sifatnya yang sederhana, serbaguna, dan dapat memperoleh informasi secara menyeluruh. Oleh sebab itu, rumus 5W 1H perlu dipahami oleh banyak orang, tidak hanya mereka yang bergelut di dunia sastra.

      Nah, berikut kami ulas pengertian 5W 1H beserta penjelasan tiap unsurnya:

      5W 1H merupakan panduan yang memuat pertanyaan, berguna sebagai dasar pengumpulan informasi atau pemecahan masalah. Oleh sebab itu, suatu informasi dianggap baik dan lengkap jika mampu menjawab unsur 5W 1H tersebut.

      Istilah ini diambil dari singkatan kata tanya dalam bahasa Inggris, yakni what (apa), who (siapa), when (kapan), where (di mana), why (mengapa), dan how (bagaimana). Untuk memudahkan penghafalan dalam bahasa Indonesia, 5W 1H dikenal dengan singkatan Adiksimba yang merupakan kependekan dari apa, di mana, kapan, siapa, mengapa, bagaimana.

      Unsur what (apa) merupakan unsur pertama yang wajib ada dalam sebuah penulisan atau penelitian. Sebab, what digunakan untuk menanyakan kejadian/inti cerita yang ingin disampaikan. Unsur what akan mengantarkan penulis untuk mengumpulkan fakta sebanyak-banyaknya terkait peristiwa yang sedang terjadi.

      Unsur who (siapa) merupakan pertanyaan yang menjurus kepada pelaku yang terlibat dalam peristiwa yang diulas. Who di sini tidak hanya merujuk pada pelaku utama dalam cerita, tetapi juga orang-orang lain yang turut mendukung cerita tersebut bisa terbentuk.

      Unsur when (kapan) merujuk pada keterangan waktu dari masalah atau peristiwa yang terjadi. Dengan adanya keterangan waktu, informasi lebih jelas dan akurat, sehingga kebenarannya juga dapat dibuktikan.

      Unsur where (di mana) menjelaskan tentang tempat suatu peristiwa terjadi. Dengan adanya unsur where, pembaca dapat memahami alur cerita secara lebih baik. Unsur ini juga bisa memberikan bukti fisik terkait terjadinya suatu peristiwa.

      Unsur why (mengapa) menitikberatkan pada alasan atau latar belakang terjadinya peristiwa atau masalah yang diulas. Dengan adanya unsur why, orang akan lebih mudah memahami situasi atau kondisi atas peristiwa yang terjadi.

      Unsur how (bagaimana) menitik beratkan pada penjelasan dan deskripsi tentang suatu peristiwa. Jawaban atas pertanyaan unsur how dapat mendukung pernyataan unsur why.


      Sumber : https://kumparan.com/berita-hari-ini/apa-pengertian-dari-5w-1h-simak-penjelasan-berikut-1trlKENy7GI/full

    • Ujian Akhir Semester Kritik Seni Assignment

      1. Jelaskan dengan singkat pengetian Kritik Seni !

      2. Apa yang dimaksudkan dengan "deskripsi" dalam Kritik Seni?

      3. Apa yang dimaksudkan dengan "analisis formal" dalam Kritik Seni?

      4. Apa yang dimaksud dengan "interpretasi" dalam Kritik Seni ?

      5. Apa yang dimaksud "penilaian" dalam Kritik Seni ?

      6. Buatlah Kritik ilmiah dari karya Edgar Degas !

      Bagaimana cara Anda mengkritik karya seni orang lain