Bagaimana kadar vit A di minyak goreng saat dilakukan PEMANASAN apakah hilang atau tetap ada

The PDF file you selected should load here, if your Web browser has a PDF reader plug-in installed [for example, a recent version of Adobe Acrobat Reader]. Alternatively, the PDF file will download to your computer, where it can also be opened using a PDF reader. If you would like more information about how to print, save, and work with PDFs, Highwire Press provides a helpful Frequently Asked Questions about PDFs.

If the file does not download automatically, click here.

Rabu , 21 Sep 2011, 08:47 WIB

Republika/Edwin Dwi Putranto

Minyak goreng [ilustrasi]

Rep: Rosita Budi Suryaningsih Red: Didi Purwadi

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - Tahun 2011 ini, sudah dilakukan perintisan fortifikasi Vitamin A ke dalam minyak goreng secara sukarela. Dua perusahaan minyak goreng telah banyak membantu memberikan gizi yang lebih baik bagi masyarakat Indonesia.

“Sudah ada dua perusahaan minyak besar yang melakukannya,” ujar Ketua Koalisi Fortifikasi Indonesia [KFI], Prof. Soekirman. “Mereka diberi penghargaan oleh Menteri Kesehatan.''

Program fortifikasi vitamin A pada minyak goreng ini diharapkan akan ditingkatkan menjadi fortifikasi wajib ditahun-tahun mendatang. Pada tahun 2013, rencananya semua perusahaan minyak goreng harus sudah melakukannya.

Minyak goreng yang ditambahkan vitamin A adalah minyak goreng yang diperoleh dari kelapa sawit. Karena dalam proses penjernihan minyak kelapa sawit ini, nutrisinya banyak yang hilang. Untuk itu, minyak goreng kelapa sawit perlu ditambahkan lagi vitamin A.

Sedangkan untuk minyak goreng yang berasal dari kelapa, itu tidak perlu ditambahkan vitamin. “Karena, nilai vitamin A disana sudah banyak,” tutur Soekirman.

Minyak kelapa sawit yang diberi tambahan vitamin A ini akan diberikan pada seluruh minyak yang beredar di masyarakat. Itu baik minyak curah maupun minyak kemasan industri.

Ilustrasi minyak goreng

Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia [GIMNI], Sahat Sinaga meminta agar fortifikasi vitamin A pada minyak goreng bukan menjadi sebuah kewajiban.

Menurut Sahat, pihaknya telah menyampaikan sejumlah alasan keberatan kepada Badan Sertifikasi Nasional [BSN] dalam jajak pendapat, yaitu pro vitamin A sintetis merupakan barang impor yang tergantung pada 2 perusahaan asing di Jerman.

Namun, Sahat tidak bersedia merinci apa saja kedua perusahaan itu. Ia khawatir akan menimbulkan ketergantungan terhadap impor nantinya. Konsekuensinya, kata Sahat, harga minyak goreng bakal naik. Selain itu, stabilitas vitamin A tidaklah tahan lama.

“Dalam enam bulan bisa hilang jika terkena sinar matahari,” kata Sahat, baru-baru ini, di Jakarta.

Saat ini, kewajiban fortifikasi vitamin A ini tengah diatur dalam revisi Peraturan Menteri Perindustrian No. 100/M-IND/PER/11/2015. Kewajiban ini awalnya berlaku sejak 2013, namun terus diundur. Saat ini, proses revisi masih berada di tangan BSN.

Tak hanya Sahat, Kepala Bidang Penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia [YLKI], Eva Rosita juga mempertanyakan aturan ini. YLKI, menurut Eva, mengannggap janggal rencana ini karena adanya pendapat yang menyebut vitamin A di minyak goreng bisa hilang sekitar 50 persen karena faktor proses penggorengan dan penyimpanan. Pendapat itu disampaikan profesor bidang Food Process and Engineering Laboratory di Institut Pertanian Bogor [IPB], Purwiyatno Hariyadi.

Sebenarnya, kata Eva, jika tidak ada persyaratan kebeningan tertentu, minyak goreng dari sawit itu sudah mengandung pro vitamin A yang sangat tinggi. Namun karena masyarakat menyukai warna bening, kata dia, produsen berlomba-lomba untuk membuat produknya jadi bening.

“Sampai diiklankan pula dua kali penyaringan,” ujarnya.

Direktur Eksekutif PASPI Tungkot Sipayung menambahkan, aturan fortifikasi tidak berdasarkan kepada perintah perundang-undangan, melainkan sebatas permintaan Menteri Kesehatan melalui surat kepada Kemenperin pada 2012.

“Penambahan vitamin A sintetik berpeluang menciptakan monopoli. Karena pemasok vitamin A ini terbatas kepada dua negara saja,” kata dia.
Menurut Tungkot, tidak menutup kemungkinan produsen vitamin A bisa mengendalikan industri minyak goreng sawit di dalam negeri. Itu sebabnya, fortifikasi berpotensi melanggar UU Nomor 5/1999 mengenai Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Tungkot menambahkan, fortifikasi merupakan bagian dari SNI minyak goreng sawit. Pihaknya mendukung SNI minyak goreng sawit yang masih dalam proses penyusunan Peraturan Menteri Perindustrian yang baru. “Tetapi untuk fortifikasi sebaiknya sukarela,” tandas dia.‎

Meski kewajiban ini dipertanyakan dan memunculkan penolakan, Menteri Perindustrian, Airlangga Hartarto memastikan peraturan yang mewajibkan fortifikasi vitamin A pada minyak goreng ini tetap berjalan. Ketua Umum Partai Golkar ini menyebut industri besar pun sudah siap untuk menjalankannya.

Airlangga juga tidak khawatir meski akan ada penyesuaian harga minyak goreng dengan adanya kewajiban ini. “Daya beli nggak akan terganggu, itu kan demi kesehatan,” kata dia.

Bahkan, Direktur Bina Gizi Masyarakat Kemenkes, Dody Izwardy menginginkan penerapan kewajiban ini lebih cepat dari tenggat waktu 2020. “Kami sudah berulang kali mengirimkan surat kepada Kemenperin untuk segera dilaksanakan,” ujarnya.

Saat ini, kata Dody, kadar vitamin A yang terkandung dalam minyak goreng harus 40 IU [satuan vitamin] dan ambang batasnya minumum 20 IU. “Kalau 40 IU, ketika proses pengepakan, pemasaran, hingga ke pasar masih ada terkandung 20 IU—25 IU jadi masih aman,” ucapnya.

Namun demikian, jika tetap dipaksakan, Sahat yang mewakili produsen minyak goreng justru khawatir dengan ketergantungan pada impor nantinya. Salah satu konsekuensinya yaitu kenaikan harga dari produk minyak goreng.

Sebagai solusi, Sahat lebih mengusulkan agar ada sosialisasi bahwa penggunaan minyak goreng yang berwarna kuning jingga lebih kaya Vitamin A. Selama ini, minyak goreng disaring sehingga warnanya menjadi bening dan kandungan Vitamin A menjadi tidak optimum. “Jadi kalau mau, disampaikan kalau yang tidak bening itu lebih kaya vitamin A, harga juga jadi lebih murah karena biaya penyaringan tidak ada,” kata dia.

Eva pun setuju dengan solusi yang disampaikan Sahat. Namun, dia mendorong agar produsen tetap memastikan kandungan beta-karoten di dalam minyak goreng tidak hilang. “Jadi, aturan kewajiban vitamin A ini perlu dikaji ulang, jangan sampai hal yang tidak perlu ditambahkan dan menjadi pemborosan.”

Direktur Industri Makanan, Hasil Laut, dan Perikanan Kemenperin, Enny Ratnaningtyas mengatakan, penerapan SNI untuk minyak goreng ditunda kembali dari 31 Desember 2018 menjadi 1 Januari 2020.

Aturan wajib minyak goreng ber-SNI itu sejalan dengan target kewajiban minyak goreng untuk kemasan dari Kementerian Perdagangan. Saat ini, Kemenperin tengah merevisi Peraturan Menteri Perindustrian No. 87 /2013 tentang pemberlakuan SNI 7709: 2012 Minyak Goreng Sawit.

“Revisi Permen SNI minyak goreng ini masih di tangan BSN [Badan Sertifikasi Nasional]. Masih ada jajak pendapat, belum clear. Jadi, masih dalam bentuk draf revisi permennya.”
Kemenperin akan memberikan waktu 6 bulan hingga 1 tahun dari tenggat 1 Januari 2020 bagi industri melaksanakan kewajiban SNI minyak goreng berfortifikasi vitamin A.

Enny mengungkapkan, mundurnya pelaksanaan fortifikasi vitamin A sejak 2013 dipicu kandungan vitamin A tidak stabil saat terkena sinar matahari sehingga dikhawatirkan terjadi penurunan kandungan vitamin A. ***SH, TOS

Terutama vitamin B1 [tiamin], asam folat, dan vitamin B12 adalah yang paling tidak stabil terhadap panas. Vitamin B ini mungkin bisa saja sudah hilang, bahkan sebelum melalui proses pemasakan. Jika disimpan dalam tempat yang tidak tepat, vitamin B dalam bahan makanan bisa saja sudah hilang.

Penelitian tahun 2010 yang diterbitkan oleh Journal of The Pakistan Medical Association menunjukkan bahwa susu yang direbus selama 15 menit menyebabkan penurunan jumlah vitamin B1, B2, B3, B6, dan asam folat sebesar 24-36%. Hal inilah yang mungkin menyebabkan susu yang sudah mengalami proses pemanasan di pabrik akan diperkaya dengan berbagai jenis vitamin dan mineral.

Vitamin larut lemak

Vitamin larut lemak sangat sensitif terhadap panas, udara, dan lemak. Vitamin larut lemak, terutama vitamin A, D, dan E, dapat berkurang jumlahnya dalam makanan jika dimasak dalam minyak panas. Karena vitamin ini dapat larut dalam lemak, vitamin ini kemudian larut dalam minyak panas yang digunakan untuk memasaknya. Berbeda dengan vitamin A, D, dan E, vitamin K lebih stabil terhadap panas dan tidak mudah hancur. Agar tidak banyak kehilangan kandungan vitamin A, D, E dan K dalam makanan, Anda bisa memasak bahan makanan tersebut dengan panas tinggi dan air.

Asam lemak omega 3

Asam lemak omega 3 yang banyak terkandung dalam ikan berlemak ini ternyata tidak tahan dengan panas tinggi. Penelitian menunjukkan bahwa menggoreng ikan tuna dapat menurunkan kandungan asam lemak omega 3 sebesar 70-85%. Sedangkan, memasak ikan tuna dengan cara dipanggang hanya akan menghilangkan sedikit kandungan asam lemak omega 3 dalam ikan tuna. Begitu juga dengan merebus ikan yang dapat mempertahankan asam lemak omega 3 lebih banyak daripada menggorengnya.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa metode memasak dapat mempengaruhi kandungan zat gizi yang ada dalam makanan. Setiap bahan makanan harus dimasak dengan metode pemasakan yang tepat agar kandungan zat gizinya tidak banyak yang hilang.

Bagaimana cara mempertahankan kandungan zat gizi dalam makanan meski dimasak?

Beberapa saran yang dapat Anda ikuti agar kandungan zat gizi dalam makanan tidak terlalu banyak menghilang saat pemasakan adalah:

  • Mulailah dari metode penyimpanan. Simpan bahan makanan, seperti sayuran, di tempat yang baik. Sebaiknya hindari menyimpan sayuran di tempat yang panas, terutama untuk sayuran yang banyak mengandung vitamin B dan vitamin C. Anda bisa menyimpannya dalam tempat yang sejuk atau Anda juga bisa menyimpannya dalam wadah kedap udara.
  • Sebelum memasak, cukup cuci sayuran daripada mengupasnya. Kulit sayuran mengandung beberapa jenis vitamin dan mineral, serta serat yang penting untuk tubuh kita. Sebaiknya, juga jangan membuang daun luar sayuran, seperti kol, kecuali daun tersebut layu.
  • Masak sayuran dengan air sedikit. Sebaiknya juga Anda mengonsumsi air yang digunakan untuk merebus sayuran tersebut, jangan malah membuangnya. Atau, lebih baik untuk memasak sayuran dengan metode dikukus, menggunakan microwave, atau memanggangnya, daripada dimasak dengan cara direbus.
  • Potong makanan setelah dimasak daripada sebelum dimasak. Hal ini dapat mengurangi kandungan zat gizi yang hilang selama proses pemasakan.
  • Masak makanan dalam waktu yang cepat, jangan terlalu lama. Semakin lama sayuran dimasak, semakin banyak zat gizi yang akan terbuang.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề