Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut

Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut
Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut

Tanggal 5 Januari tahun 1808 adalah awal segalanya. Acim sama sekali tak menyangka jika kedatangan Marsekal Herman Willem Daendels ke Batavia akan membuat hidupnya berbeda. Sangat berbeda. Sungguh bukan kehidupan yang diangankannya.

Awalnya Acim merasa bangga karena ikut terpilih menjadi bagian dari megaproyek pembangunan Jalan Raya Pos (De Grote Postweg), yang merupakan ide dari Sang Marsekal. Ini benar-benar bukan proyek biasa. Bayangkan saja. Daendels berencana membangun jalan sepanjang 1.000 km dalam waktu 1 tahun. Sungguh merupakan proyek yang sangat ambisius. Proyek Daendels ini melibatkan tenaga yang tidak sedikit. Ribuan rakyat dipaksa bekerja melebihi batas kemampuan mereka.

Acim hanya orang biasa berkebangsaan Indonesia asli. Orang-orang Belanda itu memanggilnya pribumi. Acim biasa bekerja sebagai mandor proyek-proyek kecil pembangunan jalan atau rumah pejabat asing di wilayah karesidenan se-Jawa bagian barat. Mungkin dari pengalamannya itulah, ia dipercaya untuk menjadi salah satu mandor pembangunan jalan yang menghubungkan Anyer ke Panarukan itu.

Marsekal Daendels adalah orang yang ikut bertanggung jawab dalam peristiwa jatuhnya kekuasaan Belanda ke tangan Perancis. Daendels ditunjuk oleh Louis Bonaparte, penguasa Perancis di Belanda setelah kejatuhan itu, untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda dengan membawa misi penting. Tugas utamanya adalah mengamankan Jawa dari serangan Inggris, mengumpulkan dana untuk biaya perang melawan Inggris, dan memperbaiki sistem pemerintahan yang ada.

Daendels yakin, pembangunan Jalan Raya Pos akan membuat tugasnya mengamankan Jawa menjadi lebih ringan. Jalan Raya Pos dapat mempermudah distribusi logistik kebutuhan militer dan kebutuhan sehari-hari, juga memperlancar komunikasi antardaerah di Pulau Jawa. Terdengar hebat, bukan?

Sayang, prosesnya sangat jauh dari kata hebat. Setidaknya, seperti itulah pendapat Acim. Proyek pembangunan Jalan Raya Pos dari wilayah Banten sampai ke Surabaya itu benar-benar membuat perasaan Acim tercabik-cabik. Sungguh, tak akan ada seorang pun yang tahan melihat serentetan kekejaman luar biasa harus dialami oleh bangsanya sendiri.


Buku Jalan Raya Pos Daendels (Seri Buku Tempo; 2017; Tim Kepustakaan Populer Gramedia)
Buku Pembelajaran IPS untuk kelas VIII SMP dan MTS (2019, Penerbit Tiga Serangkai Pustaka Mandiri)

Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut
Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut

Tahap pertama pembangunan jalan dari Anyer sampai ke Buitenzorg (Bogor) masih belum memberikan kesulitan berarti bagi Acim dan para pekerjanya, karena jalan yang dibangun tidak sepenuhnya baru.

Daendels memanfaatkan jalan-jalan pedesaan yang sudah ada di sepanjang Jawa. Hanya saja, jalan tersebut diperlebar sampai 7,5 meter agar sesuai standar Eropa. Daendels juga memerintahkan untuk memasang tonggak atau paal setiap jarak 150 meter. Tonggak itu dibuat untuk penanda jarak serta penanda distrik dan penduduk untuk memeliharanya. Jalanan juga dibuat berpasir dan berbatu agar mudah dilalui kuda pada musim hujan.

Di tahap pembangunan berikutnya, Acim baru sadar. Marsekal Daendels adalah seorang pemimpin bertangan besi. Ruas pembangunan jalan sejauh 250 km dari Buitenzorg ke Karangsambung di Keresidenan Cirebon medannya sangat berat, terutama di wilayah Cadas Pangeran, Sumedang.

Di wilayah ini, Daendels memerintahkan para pekerja proyek membobol bukit berbatu cadas. Acim menganggap perintah itu mustahil dilaksanakan karena para pekerjanya hanya punya peralatan sangat sederhana, seperti cangkul, linggis, dan belencong. Belum lagi ancaman serangan hewan buas karena wilayah Cadas Pangeran dikelilingi hutan belantara.

Pangeran Kusumadinata IX, sang Bupati Sumedang, dengan tegas menolak rencana pembangunan ruas jalan itu. Namun, penolakan itu tak digubris Daendels. Daendels tetap meneruskan rencananya. Ia tampak tak peduli dengan kondisi para pekerja yang semakin mengkhawatirkan karena beratnya pekerjaan yang harus mereka pikul. Mandor-mandor seperti Acim harus tega memaksa para pekerja untuk terus mengerahkan tenaga mereka sampai tewas kelelahan.

Cetaar ... tak ...

Suara lecutan cambuk terdengar bersahutan, diikuti jerit kesakitan tubuh-tubuh ringkih dan kurus karena kurang makan. Setiap hari, dengan matanya sendiri, Acim melihat tubuh-tubuh bergelimpangan menyerah pada kehidupan. Cucuran keringat, darah, dan air mata para pekerja pribumi tertumpah di sepanjang Jalan Raya Pos ini.

Puluhan ratusan ribuan nyawa telah melayang. Entah berapa lama lagi Acim bisa tahan menghadapi itu semua. Acim tak punya kuasa melawan kekejaman kepemimpinan Daendels.


Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut
Bagaimana pendapat Daendels tentang pembuatan jalan tersebut

Korban-korban terus berjatuhan seiring dengan pembangunan jalan di wilayah Semarang menuju Surabaya. Acim merasa ikut bertanggung jawab terhadap kematian orang-orang itu. Akan tetapi, ia tak tahu harus berbuat apa. Saat itu Acim hanya memiliki dua pilihan, yaitu patuh pada perintah Daendels atau nyawanya sendiri yang harus melayang.

Terlepas dari hari-hari muram yang mesti dijalaninya, Acim harus mengakui, proyek Jalan Raya Pos ini telah berhasil memangkas waktu tempuh dari Anyer ke Batavia. Biasanya perjalanan membutuhkan waktu 4 hari. Setelah jalan diperbaiki melalui proyek Jalan Raya Pos ini, Anyer Batavia dapat ditempuh dalam satu hari.

Acim pun paham mengapa jalan militer Daendels ini diberi nama De Grote Postweg. Perintah Daendels membangun 50 stasiun pos di sepanjang jalan dari Batavia sampai ke Surabaya, sangat berguna. Di stasiun-stasiun pos inilah para kurir, tentara, dan siapa pun yang berkepentingan, dapat mengistirahatkan diri dan kudanya, sebelum melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya.

Hanya satu yang ada dalam pikiran Acim. Apakah pembangunan sebuah jalan harus sampai memakan korban sebanyak belasan ribu orang? Benar-benar tidak masuk akal. Entah manusia seperti apa Daendels itu, yang tidak ragu menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuannya.

Semakin lama, Acim merasa tak mampu lagi bertahan. Masih ada 50 km jalan lagi yang harus diselesaikan. Namun, sekaranglah saat yang tepat bagi Acim untuk berhenti menjadi mandor. Acim membulatkan tekad menentang instruksi Daendels. Ia tak ingin lagi tangannya semakin kotor oleh darah kawan-kawan sebangsanya.

Konsekuensinya cukup fatal. Daendels membalas pemberontakannya dengan sebutir peluru yang menghunjam jantung Acim. Acim tak keberatan. Ia hanya berdoa semoga pengorbanannya tidak sia-sia. Acim tetap tersenyum ketika napasnya harus berhenti untuk selama-lamanya.