Bagaimana pendapatmu dengan banyaknya tenaga tenaga asing yang datang ke Indonesia

Strategi Hadapi Persoalan Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia

Kamis, 30 Maret 2017- Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia [LPHI FHUI] mengadakan Expert Meeting “Menghadapi Persoalan Tenaga Kerja Asing Ilegal di Indonesia” pada Kamis [30/3] di Ruang Guru Besar FHUI, Kampus UI Depok.

Expert meeting ini merupakan kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh LPIHI FHUI setiap bulan, yang mengundang para pakar dalam isu spesifik yang relevan dengan perkembangan terkini. Di akhir maret ini, LPHI mengangkat topik mengenai ketenagakerjaan yang merupakan salah satu isu aktual dan strategis di Indonesia.

Menghadirkan tiga pakar, yaitu Prof. Hikmahanto Juwana [Guru Besar FHUI], H. Arsul Sani, S.H., M.Si. [Anggota Komisi III DPR RI], Yudi Kurniadi., S.H., M.H. [Perwakilan Direktur Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia]. Sebelum para pakar mempresentasikan materi, Ketua LPHI FHUI Prof. Melda Kamil Ariadno, S.H., LL.M., Ph.D. dan Dr. Ratih Lestarini, S.H., M.H. [Wakil Dekan Bidang Akademik, Riset dan Kemahasiswaan] memberikan sambutan.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang dilansir pada tahun 2016, terdapat 125.443.748 angkatan kerja di Indonesia dan 5,61% di antaranya masih menganggur. Isu tenaga kerja masih terus menerus menjadi agenda yang dibahas oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Di sisi lain, Kementerian Tenaga Kerja mencatat terdapat 74.143 tenaga kerja pekerja ilegal yang melakukan pemalsuan dokumen, penggunaan visa turis atau wisata padahal bekerja di Indonesia, dan dalam beberapa wilayah justru tidak didampingi oleh tenaga kerja lokal.

Pada dasarnya mempekerjakan Tenaga Kerja Asing di Indonesia adalah hal yang diperbolehkan menurut Undang-undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun, pelaksanaannya tersebut harus memenuhi persyaratan -persyaratan yang ditentukan oleh undang-undang dan peraturan lainnya. Hal ini merupakan upaya pemerintah untuk memperketat masuknya TKA sehingga lapangan kerja di dalam negeri masih dilindungi untuk warga negara Indonesia. Salah satu peraturan yang memperketat masuknya TKA adalah Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 60 Tahun 2015. Dalam peraturan tersebut, diatur bahwa pemberi kerja TKA juga harus dapat menyerap Tenaga Kerja Indonesia [TKI] sekurang-kurangnya 10 orang dalam setiap satu TKA yang dipekerjakan. Selain itu terdapat pulai kewajiban memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing [RTKA] dan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing [IMTA] bagi pemberi kerja TKA. Namun tetap saja, meskipun dalam tataran normatif sudah diatur sedemikian rupa, akan tetap ada pelanggaran yang terjadi pada praktiknya.

Disisi lain, Indonesia dan beberapa negara ASEAN yang merupakan negara asal dari TKA yang bermasalah  juga terikat dalam segala instrumen ASEAN Economic Community yang turut menekankan pada free flow of labor. Namun, sebagaimana asas kedaulatan pada umumnya, masing-masing pelaksanaannya disesuaikan dengan hukum nasional setempat.

Untuk itu, Expert Meeting ini akan membahas lebih lanjut bagaimana praktiknya di lapangan, dan bagaimana seharusnya norma yang ada diaplikasikan baik dari bidang keimigrasian dan dari segi penanaman modal asing. Dari hasil Expert Meeting ini diharapkan dapat mengkaji lebih dalam mengenai isu-isu strategis yang ada dalam peristiwa masuknya pekerja ilegal ke Indonesia, menganalisa fenomena tersebut dari segi hukum dan memberikan rekomendasi kepada pihak-pihak terkait dalam bertindak untuk menyelesaikan permasalahan tersebut.

Lihat Foto

KOMPAS.com / ANDRI DONNAL PUTERA

Sejumlah narasumber dalam diskusi mengenai tenaga kerja asing [TKA] di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta Pusat, Senin [23/4/2018]. Para narasumber adalah Menteri Tenaga Kerja Hanif Dhakiri, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal Thomas Lembong, dan Staf Ahli Ekonomi Menteri Hukum dan HAM Asep Kurnia.

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah menilai keberadaan tenaga kerja asing [TKA] masih dibutuhkan dalam rangka menggenjot investasi.

Meski begitu, kebutuhan TKA diatur secara rinci dalam Peraturan Presiden Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, di mana tetap memperhatikan tenaga kerja dalam negeri.

"Ada tiga isu tenaga kerja di Indonesia, yaitu soal kualitas, kuantitas, dan persebaran. Kalau bicara kualitas, kita ada, tapi baru sebatas role model," kata Hanif dalam diskusi di Forum Merdeka Barat 9, Kementerian Komunikasi dan Informatika, Senin [23/4/2018].

Role model yang dimaksud Hanif adalah bibit-bibit tenaga kerja dan telah membuktikan kemampuannya dengan unggul di bidang tertentu dalam skala nasional, bahkan internasional. Contoh role model yang dimaksud adalah pemenang olimpiade fisika, matematika, robotik, dan kalangan berprestasi lainnya.

Baca juga : Perpres TKA Hanya Permudah Prosedur Izin, Syarat Tidak Dikurangi

Orang seperti mereka disebut Hanif sangat mampu bersaing dengan TKA. Namun, jumlahnya masih sedikit dan belum bisa memenuhi kebutuhan tenaga kerja ketika investor ingin berinvestasi di Indonesia.

"Misalnya investasi datang di daerah, contoh Kabupaten Bandung, butuh 500 teknisi las bersertifikat internasional, kira-kira dapat enggak? Saya jamin dapat, tapi dari 500 mungkin hanya sedikit," tutur Hanif.

Hanif memandang, dari tiga isu tenaga kerja, Indonesia masih kurang dalam segi kuantitas dan persebaran.

Dia meyakini pemerintah terus meningkatkan kompetensi tenaga kerja dalam negeri melalui berbagai program, namun untuk saat ini TKA tetap dibutuhkan untuk memperlancar laju investasi yang jadi prioritas pemerintah.

Baca juga : Menaker: TKI yang Serbu China, Bukan TKA China yang Serbu Indonesia

Meski mempermudah prosedur perizinan, Hanif memastikan dalam Perpres 20/2018, persyaratan terhadap TKA tidak dikurangi sama sekali.

Dia juga menegaskan, dari setiap kegiatan investasi yang berjalan di Indonesia, tetap lebih banyak jumlah tenaga kerja dalam negeri ketimbang TKA.

"Misalnya, pengusaha asal Indonesia mau investasi bikin smelter di Thailand, butuh 5.000 tenaga kerja. Karena pengusahanya dari Sidoarjo, dia kumpulin 5.000 orang dari kampungnya kerja di Thailand, coba apa itu masuk akal?" ujar Hanif.

Kompas TV

Keberadaan perpres nomor 20 tahun 2018 tentang tenaga kerja asing yang dipersoalkan oleh partai Gerindra akan dibahas dalam dialog.

Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link //t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.

Baca berikutnya

Jakarta - Jumlah tenaga kerja asing [TKA] di Indonesia saat ini adalah 126 ribu orang. Jumlah ini meningkat hampir 70% dibanding akhir 2016. Apakah ada peningkatan drastis pada investasi asing? Tidak. Diduga kuat ini akibat lonjakan tenaga kerja dari Cina. Sejak 2015 banyak laporan tentang buruh Cina yang masuk dalam jumlah besar pada sejumlah proyek dengan dana investasi dari Cina. Para pengusaha Cina masuk membawa dana investasi, tapi sekaligus membawa pekerja mereka untuk mengerjakannya.

Tidak hanya tenaga ahli yang mereka bawa, bahkan buruh dan tukang masak pun mereka angkut. Jumlahnya memang tidak sampai jutaan sebagaimana hoax yang beredar, tapi memang cukup banyak, seperti tercermin dalam lonjakan data tadi. Kenapa tenaga yang bukan ahli itu dapat masuk? Kabarnya mereka mendapat izin khusus, sebagai bagian dari kontrak investasi. Pada dasarnya bagi TKA hanya tenaga kerja ahli yang boleh bekerja di Indonesia. Tapi dengan alasan ini dan itu pemerintah bisa memberikan sejumlah perlakuan khusus.

Sebenarnya, apa kriteria ahli itu? Dulu salah satu kriterianya adalah minimal lulusan perguruan tinggi. Kini aturannya sudah diubah menjadi "memiliki pendidikan yang sesuai dengan jabatan yang akan diduduki." Bagaimana ketentuan "sesuai" itu? Entahlah. Kementerian Tenaga Kerja yang menerbitkan Izin Mempekerjakan Tenaga Asing [IMTA] tidak pernah benar-benar melakukan pengecekan keahlian. Semua proses hanya berbasis data administratif. Sertifikat, surat keterangan, dan surat pernyataan. Lalu lolos, seorang TKA mendapatkan IMTA. Sekali seseorang mendapat IMTA tidak pernah ada pengecekan apakah ia benar-benar ahli di lapangan, atau cuma buruh kasar.Tenaga kerja asing pada dasarnya hanya boleh bekerja selama waktu tertentu. Lamanya bervariasi, ada yang 6 bulan, ada yang setahun. Tapi lagi-lagi itu hanya soal administratif. Orang yang sama dapat diperpanjang izin kerjanya, atau secara resminya diberikan izin baru. Secara faktual masa kerja TKA di Indonesia nyaris tanpa batas.Yang krusial adalah soal transfer keahlian. Setiap TKA wajib melakukan transfer keahliannya kepada tenaga kerja lokal. Tapi hal itu lagi-lagi hanya dikontrol secara administratif. Perusahaan diminta untuk menyampaikan data tenaga kerja yang menjadi tenaga pendamping yang sejatinya mendapat limpahan transfer keahlian. Hanya itu saja. Transfer keahlian tidak pernah benar-benar terjadi. Suatu jabatan terus diisi oleh tenaga asing selama puluhan tahun, dan itu masih akan terus berlangsung.Yang tercermin dalam sejumlah regulasi ketenagakerjaan kita adalah prioritas pemberian pekerjaan untuk tenaga kerja lokal. Tenaga kerja asing hanya diperkenankan bekerja bila orang dengan keahlian yang ia miliki tidak tersedia di Indonesia. Itu pun dibatasi hanya selama periode tertentu. Ia harus mengalihkan keahliannya kepada tenaga lokal. Hingga waktu tertentu tenaga lokal dapat menguasai keahlian tadi, maka tenaga asing tidak lagi diperlukan.Tapi itu semua hanya rumusan regulasi. Faktanya tidak demikian. Kemenaker maupun Dinaker tidak pernah memeriksa hal itu. Tidak terjadinya transfer keahlian itu adalah fakta yang begitu telanjang, dan mereka tidak peduli. Sekali lagi, semua hanya berbasis pada proses administrasi belaka.Bagi semua perusahaan mempekerjakan TKA sebenarnya sebuah beban yang tidak kecil. Biaya untuk mempekerjakan TKA bisa mencapai 3-4 kali lipat dibanding tenaga lokal. Di samping gaji yang tidak kecil pekerja asing masih mendapat fasilitas tambahan fasilitas berupa kendaraan dan sopir, apartemen, layanan kesehatan, dan biaya pulang kampung. Seharusnya perusahaan mempercepat proses peralihan ke tenaga lokal.Namun mereka juga punya kepentingan. Orang-orang di negeri asal sana juga harus tetap diberi pekerjaan. Memberikan suatu jabatan kepada pekerja lokal artinya mengurangi jatah jabatan bagi pekerja mereka sendiri. Itu hal yang berat untuk mereka lakukan.Selain itu, masalah ini adalah soal kepercayaan. Khususnya bagi negara-negara Timur seperti Jepang, Korea, dan Cina mereka punya sistem lingkaran kepercayaan yang sangat tertutup. Sulit bagi mereka untuk mempercayai orang dari bangsa lain. Jadi, tidak memberikan jabatan kepada pekerja lokal itu alasannya bukan soal teknis keahlian, tapi soal non teknis, yaitu kepercayaan.Soal lain adalah soal bahasa. Orang-orang Jepang, Cina, dan Korea umumnya tak mahir bahasa Inggris. Pekerja kita pun sama parahnya dengan mereka. Demikian pula pihak manajemen di perusahaan induk. Kalau pekerja lokal tak menguasai bahasa mereka, maka mustahil bagi dia untuk melaporkan keadaan di sini kepada kantor pusat. Dengan alasan ini maka jabatan-jabatan strategis di perusahaan tetap dipegang orang asing.

Masalah terakhir adalah soal etos kerja pekerja kita yang rendah. Tidak sedikit TKA yang mencoba melakukan transfer keahlian, namun frustrasi karena tenaga lokal tak kunjung bisa meningkatkan skill. Etos kerja dan disiplin yang rendah membuat mereka tak kunjung bisa menyerap keahlian pada tingkat tinggi. Ada pula yang segera pindah ke perusahaan lain setelah mendapat sedikit tambahan keahlian, sehingga rencana pemindahan keahlian menjadi kacau.

Situasi ini tidak akan pernah berubah selama Kementerian Tenaga Kerja tidak mengubah pendekatan dalam pengelolaan tenaga kerja asing.

Hasanudin Abdurakhman cendekiawan, penulis dan kini menjadi seorang profesional di perusahaan Jepang di Indonesia

[mmu/mmu]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề