Bagaimana pendapatmu tentang hukum mengkonsumsi hewan-hewan laut

Para ulama berbeda pendapat hukum memasak ikan hidup-hidup.

Aditya Pradana/Republika

Para ulama berbeda pendapat hukum memasak ikan hidup-hidup. Suasana di pasar ikan (ilustrasi)

Rep: Imas Damayanti Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Ikan merupakan salah satu lauk yang kerap dikonsumsi masyarakat. Bagaimanakah cara mengonsumsi ikan? Apakah harus disembelih terlebih dahulu apa boleh langsung dikonsumsi atau digoreng hidup-hidup? 

Baca Juga

Dalam kitab Kasyifat As Saja karya Syekh Nawawi Al Bantani dijabarkan bahwa sejatinya menggoreng hewan (dalam hal ini ikan) dalam keadaan hidup dihukumi boleh. Beliau juga menjabarkan bahwa diperbolehkan juga menelan ikan tersebut apabila ukurannya kecil. 

Bolehnya hukum tersebut juga menjadi kaitan dengan termaafkanya najis yang ada di dalam perut hewan (ikan). Jika seseorang tidak ingin mematikan ikannya terlebih dahulu atau ingin membungkusnya hidup-hidup untuk dijadikan pepesan, hal itu menjadi halal dan dihukumi boleh.

Kendati demikian, berdasarkan pendapat ulama Mazhab Hanafiyah dan Malikiyah dalam kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyah, menggoreng ikan dalam keadaan hidup tidak diperbolehkan. 

Terdapat unsure-unsur yang menyebabkan adanya larangan menggoreng ikan dalam keadaan hidup. Alasannya, menggoreng dalam ikan dalam keadaan hidup masuk dalam kategori menyakiti hewan. Sedangkan, menyakiti hewan dalam Islam tidak diperkenankan, alias dilarang. 

Para ulama kedua aliran mazhab ini juga berpendapat bahwa apabila seseorang hendak menggoreng ikan, dianjurkan untuk menunggunya hingga mati terlebih dahulu. Para ulama tersebut berpendapat bahwa apabila ikan masih hidup, tidak diperbolehkan bagi umat Muslim untuk memakannya sebelum ikan tersebut mati dengan sendirinya atau sengaja dimatikan. 

Menurut ulama Hanafiyah menilai, apabila terdapat seseorang yang memakan ikan yang digorengnya dalam keadaan hidup, hukum memakannya adalah makruh. Ikan sendiri dikenal dalam Islam sebagai hewan yang halal dikonsumsi, bahkan sekalipun bangkainya. 

Kehalalan bangkai ikan ini bahkan telah terbukti secara ilmiah tidak meng ganggu aktivitas kerja tubuh manusia sama sekali. 

Dirangkum dari berbagai literatur sains dan Islam, diperbolehkan memakan bangkai ikan karena ikan sejatinya tidak memiliki pembuluh darah yang menyebabkan mengendapnya darah tersebut apabila organ tubuhnya tak berfungsi. Artinya, dalam keadaan mati pun, ikan layak dan aman dikonsumsi. 

Apalagi, air laut pun merupakan wadah yang dapat menjadi pengawet alami bagi tubuh ikan. Dengan kadar garam yang tinggi, bangkai ikan yang mati di laut kerap segar dan tahan lama dan tak merusak keseluruhan kadar protein dalam tubuh ikan. Kendati demikian, bukan berarti Islam tak mengatur bagaimana mengonsumsi ikan dengan baik. Dari mulai cara menggoreng saja, Islam meng aturnya dengan sangat detail. 

Meski terdapat perbedaan pendapat dalam khazanah fikih Islam, alangkah baiknya kita dapat mengonsumsi ikan tanpa perlu menyakitinya. 

Apalagi, Rasulullah SAW mengajarkan umat Muslim untuk selalu bersikap baik tidak hanya kepada manusia, tapi juga hewan. Hal ini sebagaimana hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad, Nasai, dan Turmudzi.

Rasulullah SAW bersabda, "Innallaha 'azza wa jalla katabal ihsana 'ala kulli syaiin faidza qataltum fa-ahsinulqitlata faiadza dzabahtum fa-ahsinu addzibhata liyuhidda ahadukum syafratahu walyurihha dzabihatahu." 

Yang artinya, "Sesungguhnya Allah mewajibkan untuk berbuat baik terhadap segala sesuatu. Apabila kalian hendak mematikan (binatang), maka matikanlah dengan cara yang baik. Apabila kalian menyembelih, sembelihlah dengan cara yang baik. Hendaknya kalian menajamkan pisaunya dan mengistirahatkan sembelihannya." 

Kasih sayang kepada hewan yang hendak kita konsumsi pun menjadi perhatian tersendiri. Bukankah akan menjadi lebih baik apabila kita mengonsumsi ikan dengan cara dimasak dengan baik tanpa perlu menyakiti hewannya? Kendati demikian, kita juga perlu menghargai pendapat-pendapat berbeda yang membolehkan perilaku tersebut.

Bagaimana pendapatmu tentang hukum mengkonsumsi hewan-hewan laut

Red: Heri Ruslan

REPUBLIKA.CO.ID,

Assalamualaikum wr wb Ustaz, pada waktu sekolah kami diberi tahu mengenai hewan yang haram dikonsumsi, di antaranya yang hidup di dua alam, mempunyai taring, dan berkuku tajam. Tapi, sampai saat ini kami belum menemukan hadisnya. Dalam Alquran hanya ada empat macam yang diharamkan, yaitu babi, bangkai, darah, dan semua yang disembelih bukan karena Allah. Apakah ada hadis yang menjelaskan tentang hal ini?

Hamba Allah

Waalaikumussalam wr wb

Hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh, maka tidak ada yang haram kecuali yang ditetapkan oleh nash syara, baik Alquran maupun hadis sahih. “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi, barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya), sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’’ (QS al-Baqarah [2]: 173). Juga terdapat penjelasan lain. “Katakanlah, ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai atau darah yang mengalir atau daging babi—karena sesungguhnya semua itu kotor—atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barang siapa yang dalam keadaan terpaksa, sedangkan dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.’’’ (QS al-An’am [6]: 145). Pada dasarnya, tidak ada dalil dari nash syar’i dengan tegas mengharamkan binatang yang hidup di dua alam kecuali tentang kodok yang dijelaskan dalam hadis. Nabi melarang untuk membunuhnya ketika ditanya seorang tabib yang akan menggunakannya sebagai obat. Dari Abdurrahman bin Usman, ia berkata, “Sesungguhnya seorang tabib (dokter) pernah bertanya kepada Nabi tentang kodok yang akan ia jadikan sebagai obat. Nabi melarangnya membunuh kodok.” (HR Abu Daud, Ahmad dan al-Hakim). Perbedaan pendapat ulama soal hewan yang hidup di dua alam itu timbul karena perbedaan mereka dalam menentukan apakah hewan itu dianggap sebagai hewan laut atau hewan darat. Karena kalau hewan-hewan itu dianggap hewan laut, berdasarkan banyak dalil umum dalam Alquran, itu halal untuk dikonsumsi tanpa harus disembelih terlebih dahulu. “Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) binatang buruan darat selama kamu dalam ihram. Dan bertakwalah kepada Allah Yang kepada-Nyalah kamu akan dikumpulkan.’’ (QS al-Maidah [5]: 96). Hadis Nabi pun membahas mengenai hal ini. Diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi ditanya tentang air laut, Nabi menjawab, “Air laut itu suci dan bangkainya pun halal.” (HR Abu Daud, al-Nasa`i, Ibnu Majah, Imam Ahmad, dan al-Baihaqi). Berikut ini pendapat mazhab-mazhab tentang hewan laut dan hewan yang hidup di dua alam. Mazhab Hanafi berpendapat, semua hewan air, baik yang hidup di air atau yang hidup di air maupun darat, adalah haram kecuali ikan karena mereka mengartikan sabda Nabi bahwa bangkainya pun halal itu khusus untuk ikan. Mazhab Maliki menyatakan, semua binatang yang hidup di air itu halal dan boleh dimakan. Ini berdasarkan umumnya dalil Alquran dan hadis yang tidak menyebutkan pengecualian. Mazhab Syafi’i memandang, semua hewan air halal dan boleh dimakan kecuali kodok. Tetapi, ada juga yang berpendapat setiap binatang laut yang sejenis di darat boleh dimakan dan hukumnya adalah halal setelah disembelih. Sedangkan yang sejenisnya di darat tidak dimakan atau tidak ada hewan sejenisnya di darat, maka tidak halal, seperti anjing laut, babi laut, kodok, ular, buaya, penyu, dan kepiting. Mazhab Hanbali menegaskan, semua hewan yang hidup di air atau di dua alam halal kecuali kodok, ular, dan buaya. Mereka juga menyatakan, hewan air itu halal bangkainya, sedangkan hewan yang hidup di dua alam, seperti anjing laut, maka tidak boleh dimakan kecuali setelah disembelih terlebih dahulu. Selain itu, dalil bagi yang mengatakan ular itu haram adalah karena ia beracun dan hewan menjijikkan. Sedangkan, dalil bagi yang mengatakan buaya itu haram adalah karena hewan tersebut memakan manusia dan termasuk binatang buas bertaring. Hadis yang mengharamkan binatang buas yang mempunyai taring dan burung yang mempunyai cakar adalah hadis dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim.

Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah al-Khusyanni,  ia berkata, “Rasulullah melarang memakan setiap binatang buas bertaring.’’ (HR Bukhari dan Muslim). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah melarang kita memakan setiap binatang buas yang memiliki taring dan setiap burung yang memiliki cakar.’’ (HR Muslim). Wallahu a’lam bish shawab.

Diasuh oleh: Ustaz Bachtiar Nasir

  • hewan
  • haram
  • fatwa
  • ustaz bachtiar nasir
  • islam

Bagaimana pendapatmu tentang hukum mengkonsumsi hewan-hewan laut

sumber : konsultasi agama Republika

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...