Bagaimana perbandingan penanganan pelanggaran hukum pada kedua masa tersebut

Penulis : Gillang Pamungkas

KETENTUAN BATAS PEMIDANAAN

Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Pasal 12 ayat (4), menyatakan bahwa“Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun”. Pidana waktu tertentu yang dimaksud dalam ayat tersebut jika merujuk pada ayat (1) di pasal yang sama, merujuk pada jenis pidana pokok berupa pidana penjara, dimana pidana penjara untuk waktu tertentu itu sendiri memiliki rentang waktu antara serendah-rendahnya 1 (satu) hari dan setinggi-tingginya 15 (lima belas) tahun secara berturut turut.

Ketentuan tersebut membatasi kemungkinan orang yang melakukan berbagai tindak pidana yang kemudian diadili baik dalam waktu bersamaan atau diadili secara tersendiri dengan jumlah melebihi 20 tahun penjara. Penambahan masing-masing pemidanaan secara kumulatif dapat dimungkinkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 272, yang menyatakan “Jika terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana yang sejenis sebelum ia menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, maka pidana itu dijalankan berturut-turut dimulai dengan pidana yang dijatuhkan lebih dahulu”.

Ketentuan dalam KUHAP Pasal 272 tersebut berlaku dalam hal tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dilakukan dalam waktu dan tempat yang berbeda dan tindak pidana tersebut antara yang satu dengan yang lainnyatidak memiliki keterkaitan. Tindak pidana yang saling berdiri sendiri dan tidak memiliki keterkaitan tersebut disebut juga tindak pidana murni. Dikatakan murni karena antara satu tindak pidana dengan tindak pidana yang lain, baik yang diadili pada Pengadilan Negeri yang sama atau yang berbeda sesuai dengan ketentuan KUHAP Pasal 84, tidak memiliki keterkaitan khusus atau tidak mengandung unsur perbuatan berlanjut atau perbarengan, sebagaimana diatur dalam KUHP Pasal 63 ayat (1) atau dikenal concursus idealis, KUHP Pasal 64 atau perbuatan berlanjut, serta KUHP Pasal 65, 66, dan 70 atau dikenal concursus realis. Dengan demikian jika seseorang melakukan tindak pidana murni baik dalam satu wilayah atau beberapa wilayah hukum suatu pengadilan negeri, maka terhadap seluruh tindak pidana tersebut akan diadili dan pelaksanaan pemidanaannya akan mengacu ketentuan KUHAP 272 melalui sistem kumulasi atau dijumlahkan seluruh lamanya pemidanaan dengan batasan maksimal penjumlahan tidak boleh melebihi 20 (dua puluh) tahun penjara sebagaimana KUHP Pasal 12 ayat (4).

PRAKTEK PEMIDANAAN TERHADAP NARAPIDANA YANG SEDANG MENJALANI HUKUMAN

Dalam prakteknya pemidanaan terhadap terdakwa yang melakukan beberapa tindak pidana, dapat dilakukan kumulasi sehingga jumlah total keseluruhan terpidana menjalani masa hukuman penjaranya dapat melebihi batas ketentuan maksimal yaitu selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun penjara. Contoh penerapan yang demikian dapat ditemukan dalam putusan-putusan perkara pidana atas nama Terdakwa Dimas Kanjeng Taat Pribadi, yang diadili dalam 3 sidang yang berbeda dan dalam 2 wilayah hukum pengadilan yang berbeda dengan putusan sebagai berikut:

1.       Perkara Pidana Nomor 65/Pid.B/2017/PN Krs tanggal 1 Agustus 2017 telah dijatuhi pidana selama 18 tahun;

2.       Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tanggal 24 Agustus 2017 telah dijatuhi pidana selama 3 tahun;

3.       Perkara Pidana Nomor 2471/Pid.B/2019/PN Sby tanggal 4 Maret 2020 telah dijatuhi pidana nihil;

Penjatuhan pemidanaan pada putusan ketiga berupa pidana nihil, dengan pertimbangan bahwa perbuatan tindak pidana yang telah diputus sebelumnya merupakan satu kesatuan rangkaian tindak pidana yang masih berhubungan dengan perkara pidana dalam persidangan yang ketiga tersebut. Sehingga putusan pidana yang telah diterimajika dijumlah adalah 21 (dua puluh satu) tahun, maka putusan ketiga yang dijatuhkan adalah putusan nihil dengan dasar pertimbangan KUHP Pasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1). Dengan demikian beberapa perbuatan pidana yang dilakukan tidak murni berdiri sendiri melainkan mengandung unsur perbarengan yang dalam hal ini adalah concursus realis. Sehingga dalam pengenaan pemidanaannya menggunakan ketentuan 65 atau 66 dengan ketentuan pidana maksimum yang dapat dijatuhkan adalah pidana yang terberat ditambah sepertiga.

Meskipun setelah dilakukan pengecekan dalam situs https://putusan3.mahkamahagung.go.id, Perkara Pidana Nomor 66/Pid.B/2017/PN Ksr tidaklah diputus selama 3 (tiga) tahun melainkan hanya selama 2 (dua) tahun. Dengan demikian total keseluruhan pemidanaan yang telah dijalani oleh terpidana tidak melebihi dan tepat selama 20 tahun penjara. Terlepas dari perbedaan total pemidanaan yang dijatuhkan pada putusan yang kedua dan ketiga tersebut, disini sudah terlihat adanya pengakuan penjatuhan maksimum pidana yang sepatutnya dijatuhkan kepada seseorang berdasarkanKUHPPasal 12 ayat (4) jo Pasal 66 ayat (1).

Perkara serupa dalam kasus tindak pidana yang dilakukan lebih dari satu juga terlihat dalam kasus Robert Tantularyang diadili dalam 4 (empat) berkas perkara yang berbeda dengan total keseluruhan pidana kumulasi sejumlah 21 (dua puluh satu) tahun penjara dan 17 (tujuh belas) bulan kurungan subsider pidana denda. Jumlah total pemidanaan tersebut melebihi maksimum pidana penjara sebagaimana KUHP Pasal 12 ayat (4), yang pada puncaknya Terpidana mengajukan permohonan uji materi terhadap Pasal 272 KUHAP yang telah diputus oleh Mahkamah Konsitutsi dengan Regsiter Perkara Nomor : 84/PUU-XVI/2018. Dalam putusan MK tersebut, Pemohon merasa dirugikan karena dengan adanya kumulasi jumlah pidana penjara yang telah diputus dari 4 putusan yang ada menyebabkan terpidana harus menjalani 4 hukuman penjara tersebut secara berturut-turut berdasarkan KUHAP Pasal 272.

Yang menjadi pokok permasalahan dalam perkara tersebut adalah adanya perbedaan pemahaman dimana Terpidana menganggap beberapa tindak pidana yang dia lakukan bukanlah tindak pidana murni, melainkan masih memiliki unsur perbarengan, tindak pidana berlanjut, maupun tindak pidana gabungan. Dengan demikian, untuk jenis tindak pidana yang masih ada kaitannya satu sama lain, Pemohon berpendapat bahwa perkara yang diajukan tidak dapat diajukan pelimpahan berkas satu persatu dan harus digabung sehingga dalam penjatuhannya pun menggungakan sistem kumulasi yang diperlunak atau abospsi yang dipertajam (tergantung ancaman pidana yang sejenis atau tidak sejenis) sebagaimana diatur dalam ketentuan KUHP Pasal 65 dan 66. Sehingga menghindarkan Pemohon untuk menjalani total pidana penjara melebihi 20 tahun penjara, karena dengan sistem kumulasi diperlunak atau absopsi dipertajam tersebut total keseluruhan pidana penjara jauh lebih ringan dibandingkan dengan kumulasi secara mutlak.

Meskipun demikian, MK bergeming dan menolak seluruh permohonan uji materi terhadap ketentuan KUHAP Pasal 272 tersebut, dengan pertimbangan bahwa ketentuan tersebut tidak berhubungan dengan sistem pemberkasan dari tahap penyidikan, penuntutan maupun penjatuhan dalam perkara pidana karena ketentuan tersebut hanya mengatur tata cara atau urutan menjalani pidana terhadap seorang terpidana yang kembali dijatuhi pidana.Perihal adanya suatu tindak pidana yang tidak murni (dalam arti mengandung unsur perbarengan, berlanjut, dan gabungan perbuatan pidana) yang telah dijatuhi pidana maksimal sekalipun, terhadap tindak pidana yang belum dilakukan penuntutan (delik tertinggal) tetap masih bisa diadili tanpa penambahan masa pemidanaan (pidana nihil). Selain itu, MK berpendapat bahwa pranata untuk dijadikan pedoman dalam mengajukan tuntutan pidana oleh jaksa penuntut umum dan dalam menjatuhkan pidana oleh hakim sudah tegas, di mana norma Pasal 71 KUHP tersebut telah mencegah adanya penjatuhan pidana yang melebihi pidana maksimal yang dengan demikian, dalam batas penalaran yang wajar, penjatuhan pidana secara ekstrim tidak akan terjadi.

PERAN HAKIM PENGADILAN DALAM MENENTUKAN KEMURNIAN SUATU TINDAK PIDANA

Dari kedua kasus di atas, muncul permasalahan dalam sistem pemidanaan untuk menjerat pelaku yang melakukan lebih dari satu tindak pidana, yaitu siapakah yang berwenang menentukan suatu tindak pidana itu merupakan delik murni, delik tertinggal, atau delik tidak murni (perbarengan, berlanjut, gabungan). Kemudian permasalahan lainnya yaitu apakah ketentuan dalam KUHP Pasal 12 ayat (4) hanya berlaku untuk satu kali putusan pidana, atau termasuk juga membatasi kemungkinan kumulasi dari beberapa putusan pidana.

Secara teori, kumulasi pemidanaan dengan total pidana penjara melebihi 20 (dua puluh) tahun penjara dimungkinkan dalam hal kumulasi yang terjadi adalah antara Pidana Pokok dengan Pidana Tambahan (subsider penjara). Hal ini di-Aamiin-kan oleh SEMA 3 Tahun 2018 Rumusan Kamar Pidana Poin C yang menyatakan "Dalam perkara Tindak Pidana Korupsi, pidana penjara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001, tidak termasuk pidana pokok sebagaimana ketentuan Pasal 12 Ayat (4) KUHP, melainkan merupakan pidana  penjara pengganti (subsidaritas) pembayaran uang pengganti yang lamanya pidana penjara tersebut sudah ditentukan dalam putusan penagadilan". Dengan demikian, ketentuan tersebut pada dasarnya tidak menyalahi asas pemidanaan berupa pidana pokok penjara waktu tertentu adalah maksimal 20 (dua puluh) tahun. Adapun kelebihan yang terjadi bukan dikarenakan penambahan dari pidana pokok lainnya melainkan hanya sebatas penambahan pidana tambahan seperti denda / uang pengganti dengan subsider pidana penjara.

Contoh konkret penerapan teori tersebut tidak hanya terlihat pada perkara korupsi, melainkan juga terlihat pada perkara Narkotika sebagaimana dalam Putusan Nomor : 1027/Pid.Sus/2019/Pn Bdg, dimana dalam amarnya menjatuhkan pidana penjara terhadap Terdakwa selama 20 (dua puluh) tahun pidana penjara dan denda Rp 1.000.000.000 (satu milyar rupiah) dengan subsider 3 (tiga) bulan penjara. Jadi total pemidanaan yang akan dijalani oleh Terdakwa jika tidak memenuhi pidana pokok berupa pidana denda adalah 20 (dua puluh) tahun dan 3 (tiga) bulan penjara, terlepas dari perhitungan pengurangan masa pidana atas penangkapan dan penahanan yang telah dikenakannya.

Dengan demikian sudah ternyata bahwa ketentuan dalam Pasal 12 Ayat (4) KUHP hanya berlaku bagi pidana pokok berupa pidana penjara untuk waktu tertentu. Dalam penerapannya di lapangan pun, kurangnya koordinasi antar aparat penegak hukum dapat menyebabkan penyimpangan ketentuan tersebut. Menurut hemat penulis, jika menghadapi suatu perkara dimana Terdakwa melakukan beberapa tindak pidana, tidak masalah jika penyidik dalam menyusun berkas perkara menganggap beberapa perbuatan pidana tersebut dianggap pidana murni dan tidak saling berkaitan sehingga disusun dalam beberapa berkas untuk diadili secara tersendiri.Jika Pengadilan telah selesai mengadili salah satu perkara tersebut, maka si Terdakwa akan kembali menjalani persidangan dalam kasus lainnya dengan status dia sebagai Terpidana dalam perkara lain. Dalam hal demikian, Hakim harus jeli bahkan dalam hal ini wajib melihat apakah kasus sebelumnya yang telah diputus dan berkekuatan hukum tetap tersebut memiliki hubungan atau keterkaitan dengan perkara yang sedang diperiksanya.

Kewajiban memeriksa hubungan perkara yang telah diputus dengan perkara yang sedang ditangani oleh Hakim tercantum dalam KUHP Pasal 71, yang menyatakan “Jika seseorang telah dijatuhi pidana, kemudian dinyatakan bersalah lagi karena melakukan kejahatan atau pelanggaran lain sebelum ada putusan pidana itu, maka pidana yang dahulu diperhitungkan pada pidana yang akan dijatuhkan dengan menggunakan aturan-aturan dalam bab ini mengenai hal perkara-perkara diadili pada saat yang sama”.Ketentuan tersebut menjadi dasar penting untuk diperhatikan oleh Hakim dalam hal perhitungan lamanya pidana (strafmaat) yang akan dijatuhkan kepada si Terdakwa yang berstatus sebagai Terpidana dalam perkara lain. Karena tanpa memperhatikan hal tersebut, Hakim dapat saja salah memperhitungkan straafmat. Mengingat bisa saja terjadi seorang terdakwa yang melakukan beberapa perbuatan pidana seharusnya disusun dalam satu berkas perkara sebabnya beberapa perbuatan tersebut saling berkaitan dan dapat dikategorikan sebagai perbuatan berlanjut, perbarengan, atau gabungan tindak pidana akan tetapi dipecah oleh penyidik menjadi beberapa berkas perkara yang dilimpahkan tersendiri.

Hal yang demikian dapat saja terjadi jika kurangnya koordinasi pada tingkat penyidikan, apalagi jika beberapa perbuatan pidana tersebut dilakukan dalam wilayah hukum pengadilan yang berbeda. Sehingga koordinasi penegak hukum dalam tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan antar wilayah merupakan hal wajib jika diketahui seseorang Tersangka, Terdakwa atau Terpidana telah melakukan beberapa perbuatan pidana baik di dalam maupun di luar wilayah hukumnya.

Dengan koordinasi dari tingkat penyidikan, penuntutan dan pengadilan jika ternyata Terdakwa/Terpidana telah atau sedang menjalani pemeriksaan di dalam atau di luar wilayah hukumnya,maka penjatuhan pemidanaan terhadap seorang terdakwa/terpidana tidak lagi keluar dari batasan-batasan yang telah diatur sebagaimana ketentuan yang berlaku.

Berikut adalah kerangka / bagan untuk memudahkan proses penyelesaian beberapa tindak pidana yang dilakukan oleh Terdakwa.

Bagaimana perbandingan penanganan pelanggaran hukum pada kedua masa tersebut