Bagaimana perkembangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha syariah di Indonesia

Bagaimana perkembangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha syariah di Indonesia

Akrab dengan budaya ketimuran membuat beberapa aktivitas di Indonesia mengadaptasi maupun menggunakan budaya yang sama. Hal tersebut pun kemudian dilakukan dalam kehidupan sehari-hari seperti misalnya lembaga keuangan atau perbankan. Sebutannya adalah Lembaga Keuangan Syariah atau Perbankan Syariah.

Hingga bulan Juni 2019, jumlah bank syariah di Indonesia berjumlah 189 yang terdiri dari 14 Bank Umum Syariah (BUS), 20 Unit Usaha Syariah (UUS), dan 164 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Angka ini kemungkinan akan terus bertambah.

Melansir situs OJK, inisiatif pendirian perbankan syariah di Indonesia dimulai pada tahun 1980 melalui diskusi-diskusi bertemakan bank Islam sebagai pilar ekonomi Islam. Sebagai uji coba, gagasan tersebut dipraktikan dalam skala yang relatif terbatas seperti di Bandung (Bait At-Tamwil Salman ITB) dan di Jakarta (Koperasi Ridho Gusti).

Kemudian, pada tahun 1983 pemerintah Indonesia berencana menerapkan “sistem bagi hasil” dalam perkreditan yang merupakan konsep dari perbankan syariah. Gayung bersambut, tahun 1988 pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) yang membuka kesempatan seluas-luasnya kepada bisnis perbankan untuk menunjang pembangunan. Dari kebijakan tersebut, usaha perbankan yang bersifat daerah dan berasaskan syariah mulai bermunculan. 

Di tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga berpartisipasi dalam mewujudkan perbankan syariah di Indonesia dengan membentuk kelompok kerja untuk mendirikan Bank Islam di Indonesia. Pada tanggal 18 – 20 Agustus 1990, MUI menyelenggarakan lokakarya bunga bank dan perbankan di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya itu dibahas lebih mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI di Jakarta dan menetapkan amanat bagi pembentukan kelompok kerja pendirian bank Islam di Indonesia.

Kelompok tersebut diberi nama Tim Perbankan MUI dan bertugas melakukan pendekatan dan konsultasi dengan semua pihak yang terkait. Setahun kemudian, berdirilah Bank Syariah pertama di Indonesia, yaitu Bank Muamalat Indonesia pada tanggal 1 November 1991 dan resmi beroperasi pada 1 Mei 1992 dengan modal awal Rp106.126.382.000.

Di awal masa operasinya, tatanan sektor perbankan nasional mengenai bank syariah belum optimal. Landasan hukum operasi bank pun hanya diakomodir dalam salah satu ayat tentang “bank dengan sistem bagi hasil” pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992. Barulah pada tahun 1998, pemerintah dan DPR melakukan penyempurnaan UU tersebut menjadi Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 yang secara tegas menjelaskan sistem dalam perbankan di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dan syariah.

Berdasarkan UU tersebut, muncul berbagai bank syariah lainnya seperti Bank IFI, Bank Syariah Mandiri, Bank Niaga, Bank BTN, Bank Mega, Bank BRI, Bank Bukopin, BPD Jabar, dan BPD Aceh, dan lainnya. 



KONTAN.CO.ID - Tahun 2021 merupakan tahun yang sangat penting bagi perkembangan perbankan syariah di Indonesia. Karena perbankan syariah merupakan salah satu sektor yang masih mengalami pertumbuhan bisnis positif di era pandemi ini. Tahun 2021 menjadi titik yang sangat penting dan strategis bagi perkembangan perbankan syariah Indonesia. Awal tahun ini tiga bank syariah milik pemerintah resmi bergabung yakni PT BRI Syariah Tbk (BRIS) dan PT Bank Negara Indonesia Syariah (BNIS) dan PT Bank Mandiri Syariah (BMS) menjadi PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BRIS). Aset hasil merger tiga bank syariah ini mencapai sekitar Rp 239,56 triliun (KONTAN, 1 Februari 2021). Memahami data Statistik Perbankan Syariah terbaru yang dirilis Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Januari 2021 menunjukkan bahwa setahun terakhir aset perbankan syariah tumbuh lebih kurang 14,2%. Total Aset tahun 2019 menunjukkan angka Rp 500 triliun tumbuh menjadi Rp 571 triliun pada 2020. Pertumbuhan ini memberikan harapan karena setahun sebelumnya hanya tumbuh 7%. Gambaran market share sampai akhir 2020 masih belum mencapai 10% dari total aset perbankan. Untuk itu masih banyak ikhtiar yang perlu dilakukan oleh seluruh stake holder agar perkembangan perbankan syariah di Indonesia lebih baik dan melaju di 2021. Data OJK pada Januari 2021 menggambarkan bahwa saat ini ada 34 pelaku usaha perbankan syariah di Indonesia. Terdiri dari 14 Bank Umum Syariah (BUS) dan 20 Unit Usaha Syariah (UUS) serta 163 Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS). Dari jumlah 20 UUS itu 7 diantaranya berasal dari bank umum swasta nasional termasuk UUS Bank Permata, BTN, Cimb Niaga, Maybank, OCBC NISP, Sinar Mas dan Danamon. UUS ini merupakan unit usaha syariah dengan kontribusi besar bagi perbankan syariah. Selain itu 13 UUS berasal dari bank daerah. Ada beberapa problem utama dalam pengembangan UUS di masa lalu. Pertama, kemampuan dan dukungan teknologi Informasi terbatas karena modal terbatas. Padahal di era disrupsi dan Bank 4.0 saat ini kemampuan menghadirkan teknologi sesuai kebutuhan nasabah merupakan jalan menuju kemenangan. Kedua, kemampuan Sumber Daya Manusia (SDM) dari sisi kuantitas dan kualitas terbatas. Padahal SDM merupakan kunci kesuksesan implementasi strategi bank syariah. Ketiga, ketidakjelasan segmentasi pasar. Sering terjadi perebutan pasar antara nasabah UUS dan Bank Umum Konvensional (BUK) yang menjadi induknya. Kondisi ini sering terjadi di UUS Bank Daerah. Padahal kontribusi UUS ini terhadap perbankan syariah tidak sedikit. Meminjam bahasa Ahmad Dhani lebih kurang 33 % dari total asset industri perbankan syariah. Untuk itu tahun 2021 kita perlu memusatkan perhatian kepada pengembangan UUS ini. Pertumbuhan aset Bank Umum Syariah yang tinggi beberapa tahun terakhir adalah barokah dari konversi UUS Bank Aceh dan Bank NTB menjadi Bank Aceh Syariah dan Bank NTB Syariah. Untuk itu dari sekarang kita perlu fokus bersiap memenuhi amanah UU Perbankan Syariah yang memberikan batas waktu paling lambat tahun 2023 harus menentukan pilihannya spin off atau konversi. Masa depan UUS Merujuk Undang-Undang No 21 Tahun 1998 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa Bank Umum Konvensional (BUK) yang memiliki UUS dengan nilai aset mencapai paling sedikit 50% dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima belas) tahun sejak berlakunya undang-undang Perbankan Syariah, maka BUS itu wajib memisahkan UUSnya menjadi BUS. Bila tidak maka bank induknya wajib menutup layanan syariah yang mereka miliki. Berpijak dari UU No 21 Tahun 2008 dimaksud, bila kita melihat dengan cermat laporan publikasi UUS sampai dengan tahun lalu menunjukkan bahwa sampai saat ini belum ada UUS yang memenuhi kriteria memiliki nilai aset paling sedikit 50 % dari bank induknya. Sesuai UU maka seluruh UUS diatas wajib memisahkan diri pada tahun 2023 nanti. Dan itu hanya berjarak lebih kurang 2 (dua) tahun saja dari tahun ini dimana seluruh UUS yang ada sudah harus memilih apakah akan melakukan spin off atau konversi. Selanjutnya 20 UUS yang beroperasi di Indonesia 7 UUS berasal dari bank umum swasta nasional dan 13 UUS berasal dari bank daerah. Bagi UUS yang berasal dari Bank swasta keputusan spin off dan konversi akan lebih didorong pertimbangan mana yang paling cepat meningkatkan pertumbuhan aset. Mengingat pemegang sahamnya homogen maka pilihan apapun yang dipilih oleh pemegang sahamnya akan dapat dilaksanakan secara mulus. Situasinya jauh berbeda dengan UUS BPD mengingat pemegang sahamnya heterogen maka manajemen UUS bank daerah harus berusaha keras meyakinkan pemegang saham tentang urgensi untuk konversi atau spin off menjadi bank umum syariah. Mencermati regulasi terbaru OJK akhir tahun 2020 maka bagi UUS yang memilih opsi spin off terdapat dua problem utama yang harus dipenuhi. Pertama, kendala modal disetor. Modal disetor untuk pendirian BUS paling sedikit Rp 1 triliun rupiah. Ketentuan ini rasanya sulit dipenuhi dalam jangka pendek. Karena jangankan UUS modal Bank Umum Konvensional (BUK) Bank Daerah saja masih ada yang di bawah satu triliun. Sehingga faktor modal ini bisa menjadi ganjalan dalam rencana spin off UUS. Banyak UUS bank daerah akan terganjal dengan kendala modal ini. Kedua, persyaratan tingkat kesehatan bank paling rendah Peringkat Komposit 2 (PK-2). Saat ini banyak Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS memiliki Tingkat Kesehatan Bank (TKB) Komposit 3. Untuk meningkatkan proyeksi TKB ini bukan hal yang mudah sehingga banyak BUK juga akan terganjal problem TKB minimal ini. Dari dua problem ini yang paling realistis opsi yang dapat dipilih UUS dan BUK adalah konversi menjadi Bank Umum Syariah. Masalah terbesarnya untuk melaksanakan niat ini adalah adanya dukungan pemegang saham. Bagi UUS Bank Umum Swasta Nasional untuk mengubah status ini kemungkinan tidak sulit. Namun untuk Bank Daerah memperoleh dukungan pemerintah daerah, dukungan legislatif akan menjadi problem tersendiri. Mengingat batas waktu UUS harus telah spin off ataupun konversi tahun 2023 maka pengambilan keputusan untuk masa depan UUS di Indonesia baik untuk spin off ataupun konversi harus dirumuskan paling lambat tahun 2021. Karena proses implementasi spin off maupun konversi akan memakan waktu minimal dua tahun. Jika tidak maka dikhawatirkan batas waktu yang ditetapkan UU tidak akan dapat dipenuhi lagi. Akhirnya melihat uraian diatas maka selanjutnya dukungan dari OJK untuk memberikan insentif kemudahan bagi masa depan UUS yang akan melaksanakan Spin off maupun Konversi sangatlah diharapkan. Dukungan pemegang saham untuk mempermudah jalan spin off maupun konversi juga akan sangat menentukan guna meningkatkan pertumbuhan asset industri syariah 2021. Semoga. Penulis : Bambang Rianto Rustam Pemerhati Perbankan Syariah, Doktor Ilmu Ekonomi Universitas Trisakti Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti

Bagaimana perkembangan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha syariah di Indonesia