Bagaimana pertempuran yang terjadi di Bali dalam gerakan mendukung proklamasi

Upaya Indonesia dalam meraih kemerdekaan di masa lampau tidaklah mudah. Penjajahan dan penindasan yang dilakukan oleh pihak Belanda memicu terjadinya gejolak perlawanan dari segenap masyarakat dan kerajaan serta kesultanan di Indonesia. Menggunakan taktik adu domba, Belanda berhasil mengecoh rakyat Indonesia sehingga terjadilah perpecahan di kerajaan-kerajaan tersebut.

Bali sebagai salah satu wilayah yang memiliki kerajaan pada masa itu turut tampil sebagai daerah yang berjuang untuk mengusir Belanda. Beberapa pahlawan hadir sebagai pelopor perjuangan, diantaranya adalah I Gusti Ngurah Rai, I Gusti Ketut Jelantik, dan I Gusti Ketut Pudja, Selain itu tidak sedikit pertempuran di Bali yang terkenal dan memiliki nilai patriotik tinggi, seperti Perang Jagaraga di tahun 1848-1849, Perang Kusamba di tahun 1849, Perlawanan Rakyat Banjar di tahun 1868, Perang Puputan Badung di tahun 1906, Puputan Klungkung di tahun 1908, dan Perang Puputan Margarana di tahun 1946.

Untuk melestarikan sejarah dan sebagai penghargaan atas perjuangan rakyat Bali beserta para pahlawannya yang telah gugur berkorban demi kemerdekaan Indonesia, maka diabadikanlah nama para pejuang dan momentum peristiwa mereka untuk nama jalan, nama lapangan terbang, dan berbagai monumen yang melambangkan nilai patriotisme. Apresiasi tersebut juga menjadi wadah bagi generasi muda untuk mempelajari dan meneladani wujud rela berkorban, cinta tanah air, dan cinta persatuan dan kesatuan yang dilakukan para tokoh dalam mengemban nama Indonesia hingga meraih kemerdekaan. Salah satu bentuk penghargaan terbesar yang dibangun oleh masyarakat Bali ini sendiri diwujudkan di daerah Niti Mandala, Denpasar yang dikenal dengan istilah Monumen Perjuangan Rakyat Bali.

Dalam kesempatan yang menarik ini, Tim Humas KPKNL Denpasar menyempatkan diri beranjangsana ke Monumen Bajra Sandhi. Ditemui Bapak Nyoman Subawa selaku Staf UPTD (Unit Pelaksana Tugas Daerah) Bagian Informasi, kami mendapatkan pencerahan dan banyak masukan terkait latar belakang pendirian monumen tersebut. Berawal dari sayembara yang dicetuskan Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, sebagai Gubernur Provinsi Bali pada masa itu. Beliau pada saat penyelenggaraan Pesta Kesenian Bali di tahun 1981 (agenda rutin setiap tahun di Denpasar) kemudian menggelar sayembara desain Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Pada akhirnya yang menarik dalam perhelatan ini adalah terpilihnya Ida Bagus Gede Yadnya yang berstatus sebagai mahasiswa di Universitas Udayana. Bulan Agustus 1988 sebagai pemenang. Peletakan batu pertama sebagai tanda dimulainya pembangunan monument dilaksanakan setelah sekian tahun dilakukan penyempurnaan atas desain yang telah dibuat. Pembangunan cukup memakan waktu yang lama karena terjadinya hambatan pada anggaran dikarenakan depresiasi ekonomi dan penurunan nilai Rupiah di tahun 1997. Akhirnya pada tahun 2003, Monumen Perjuangan Rakyat Bali selesai dibangun secara keseluruhan, dan pada tanggal 14 Juni 2003, Presiden RI Megawati Soekarno Putri meresmikan Monumen Perjuangan Rakyat Bali bersamaan dengan pembukaan Pesta Kesenian Bali ke-25. Sejak saat itu, monumen yang terletak di pusat Kota Denpasar, menjadi monumen megah yang dapat dikunjungi oleh masyarakat umum.

Banyak falsafah yang menggambarkan alasan pembangunan Monumen Perjuangan Rakyat Bali. Falsafah Lingga-Yoni yang melambangkan simbol kesuburan dan kesejahteraan, dimana pertemuan antara Lingga yang berarti Lambang Purusa (pria) dan Yoni yang berarti Lambang Pradana (wanita). Bapak Nyoman Subawa menceritakan, monumen ini juga berlatarkan falsafah yang berasal dari Kitab Adi Parwa yaitu kisah Pemutaran Mandara Giri (Gunung Mandara) di Ksirarnama (Lautan Susu). Kisah ini menceritakan bahwa para Dewa dan Raksasa/Daitya mencari Tirta Amertha (air kehidupan abadi) dengan jalan memutari Gunung Mandara. Pemutaran Gunung Mandara yang dilakukan tidaklah mudah. Para Dewa memegang ekor Naga Besuki yang menjadi perumpamaan tali pengikat dan pemutar gunung, sedangkan para Daitya memegang bagian kepala. Untuk menjaga dasar Gunung Mandara yang dirupakan sebagai Akupa (kura-kura), Dewa Siwa menahan dengan menduduki bagian atas gunung. Rintangan yang dilalui dalam memutar Gunung Mandara akhirnya membuahkan hasil. Secara berturut-turut keluarlah Ardha Candra (Bulan Sabit), Dewi Sri dan Laksmi, Kuda Uchaisrawah (Kuda Terbang), Kastuba, Mani (Pohon Kebahagiaan), dan yang terakhir keluar Dewi Dhanwantari yang membawa Tirta Amertha. Secara filosofis, kisah ini merefleksikan pesan bagi generasi muda untuk selalu bekerja keras, ulet, tekun, dan gotong royong dalam meraih keberhasilan.

Monumen Perjuangan Rakyat Bali dibangun di area Niti Mandala Denpasar, tepatnya di Lapangan Puputan Margarana. Bangunan monumen ini berbentuk seperti Bajra (genta) atau lonceng suci (Sandhi) yang digunakan oleh pendeta agama Hindu saat mengucapkan mantra dalam upacara persembahyangan sehingga sering juga dikenal dengan nama Monumen Bajra Sandhi. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali lebih lanjut menjelaskan bahwa monumen yang menjadi Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) ini memiliki 33 (tiga puluh tiga) unit diorama di dalamnya. Diorama tersebut disusun secara berurutan yang menggambarkan keadaan masyarakat Bali sejak Masa Prasejarah, Masa Sejarah, Masa Bali Kuno, Masa Bali Madya, Masa Penjajahan, hingga Masa Perjuangan merebut Kemerdekaan. Seluruh penggambaran diorama ditampilkan dalam bentuk tiga dimensi dengan dilengkapi berbagai model boneka manusia, binatang, dan pelengkap lainnya. Tak lupa terdapat informasi tertulis dengan aksara Bali, Bahasa Indonesia, dan Bahasa Inggris yang berisi penjelasan setiap diorama. Penyuguhan diorama ini bertujuan agar pengunjung Monumen Bajra Sandhi dapat memahami dan mempelajari alam, situasi, dan suasana Bali pada saat itu.

Bapak Nyoman Subawa lebih lanjut bercerita bahwa sejak Abad 8 M masyarakat Bali sudah mulai mengenal agama dan kebudayaan. Datangnya Mpu Kuturan pada Abad 11 M membawa Bali memahami konsep Khayangan Tiga dan paham Tri Murti yang menyatukan berbagai aliran agama atau sekte-sekte yang ada pada waktu itu. Mpu Kuturan juga menata kembali konsep kesempurnaan bangunan pemujaan di Bali mulai dari yang paling sederhana. Tahun 1338 M merupakan jaman peralihan dimana Kerajaan Bali, yaitu Dalem Bedahulu muncul dengan dipimpin oleh tokoh bernama Patih Kebo Iwa. Pada tahapan selanjutnya Kejayaan kerajaan-kerajaan di Bali berlanjut pada abad 17-19M. Tidak sedikit peninggalan pada masa itu dengan kondisi yang masih baik dan terawat , yaitu Taman Kerthagosa di Klungkung, Taman Sukasada di Karangasem, dan Taman Ayun di Mengwi.

Sejak Abad 19 M, kondisi Kerajaan-Kerajaan di Bali mengalami situasi yang kurang baik. Peperangan yang sering terjadi seperti Perang Jagaraga pada 1848-1849 dipimpin oleh Patik Djelantik meskipun berhasil mengusir Belanda, namun rakyat tetap menjadi korban. Perlawanan rakyat Buleleng saat itu berbuah hasil. Dengan menggunakan siasat supit urang, perang pertama berjalan lancar dan banyak menghasilkan korban dari pihak Belanda karena ketidaktahuan mereka akan strategi yang diluncurkan masyarakat Bali. Ekspedisi kedua pada 15 April 1849 di bawah pimpinan Jenderal Michiels dan Overste De Brau, pasukan Belanda kembali menyerang wilayah Buleleng dan laskar Patih Djelantik banyak yang gugur pada perang ini. Setelah takluknya Buleleng, Kerajaan Klungkung sudah memperkirakan sasaran Belanda selanjutnya. Hal tersebut menjadi kenyataan pada tanggal 24 Mei 1849 dimana pihak Belanda menyerang Puri Kusamba dan karena kurangnya persenjataan mengakibatkan Kerajaan Klungkung mundur dari peperangan. Keesokan paginya, pasukan istimewa Kusamba melakukan serangan mendadak dengan sasaran Jenderal Michiels. Alhasil, paha kiri Jenderal Michiels remuk terkena peluru, dan ia meninggal setelah kakinya diamputasi.

Tanggal 20 September 1906, Kota Denpasar dihujani tembakan Meriam Belanda dari pantai Sanur. Penyerangan ini merupakan bentuk kekesalan Belanda karena menyatakan banyak barang yang hilang dan dicuri oleh penduduk dari sekitar Padang Galak, Sanur. Padahal rakyat Sanur telah bersedia memberi pertolongan dan menyerahkan muatan kembali ke Kapal Dagang Srikomala. Namun Belanda tetap meminta tebusan dan memanfaatkan kondisi tersebut untuk isu peperangan menyerang kerajaan Badung yang akhirnya dikenal sebagai Puputan Badung.

Masuknya pasukan Jepang ke Bali pada tahun 1942 awalnya dianggap sebagai penolong untuk mengusir penjajah Belanda. Akan tetapi pada akhirnya hal tersebut menjadi mimpi buruk baru bagi masyarakat Bali dan seluruh Indonesia. Pencanangan kerja paksa (Romusha) khususnya dalam rangka mendukung Jepang dalam Perang Dunia II telah menyiksa masyarakat banyak.

Era Kemerdekaan tidak lama bergaung, sayangnya berita kemerdekaan Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 di Jakarta tidak langsung terdengar di Bali. Oleh karena itu pada tanggal 23 Agustus 1945, Mr. I Gusti Ketut Pudja yang diberi mandat untuk menjadi Gubernur Sunda Kecil berangkat menggunakan jalur darat menuju Bali untuk menyampaikan berita tersebut. Upacara bendera dan penggantian seluruh bendera Jepang menjadi bendera Indonesia yang menempel di kantor-kantor kerajaan pada akhirnya berhasil dilaksanakan oleh pejuang Bali. Pada 5 Juli 1946, pertempuran Tanah Aron melawan Belanda terjadi dengan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Tidak ada korban satupun dari laskar I Gusti Ngurah Rai yang gugur dalam pertempuran itu. Pada tanggal 20 Nopember 1946 terjadi pertempuran sengit kembali melawan Belanda yang dikenal dengan sebutan Puputan Margarana. Pada pertempuran tersebut, Letkol I Gusti Ngurah Rai sebagai komandan Pasukan Ciung Wanara gugur bersama pasukannya.

Pada akhirnya setelah masa perang kemerdekaan berakhir, rakyat Bali mulai bangkit dan ikut berperan mengisi pembangunan di segala sektor. Pembangunan tersebut dilakukan berlandaskan kebudayaan asli masyarakat dan dilakukan pada berbagai bidang, seperti Pariwisata, Pertanian, dan Pendidikan, sehingga ciri khas Bali dengan warisan budayanya yang kental tetap dikenal di seluruh dunia.

(Tim Humas KPKNL Denpasar)