Bagaimana proses rancangan pembuatan Undang Undang UU bila yang mengajukan DPR?

adalah hukum dasar yang tertulis yang merupakan peraturan negara tertinggi dalam tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia. UUD 1945 hanya memuat hal-hal pokok atau garis besarnya saja untuk memberi tempat bagi pemikiran-pemikiran yang sesuai dengan dinamika masyakarat. Hal-hal yang bersifat lebih diatur dalam peraturan perundang-undangan dibawahnya.

Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia [BPUPKI] yang dbentuk pada tanggal 29 April 1945 adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945, adalah badan yang menyusun rancangan UUD 1945. Sidang pertama BPUPKI yang berlangsung dari tanggal 29 Mei samapi dengan tanggal 1 Juni 1945 membahas dasar negara Indonesia merdeka sebagai awal perumusan Undang-Undang Dasar.

Pada tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk panitia kecil yang beranggotakan 9 orang [Panitia Sembilan]. Musyawarah Panitia Sembilan menghasilkan Piagam Jakarta, yang pada tanggal 11 Juli 1945 ditetapkan sebagai rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk disahkan pada sidang berikutnya.

Pada masa persidangan kedua pada tanggal 13 Juli 1945 BPUPKI menerima hasil laporan dari panitia perancang undang-undang dasar dengan Ir. Soekarno selaku ketua panitia. Hasil dari laporan itu berupa susunan dari rancangan undang-undang dasar Negara Republik Indonesia, yaitu :

a. pernyataan Indonesia merdeka

b. pembukaan undang-undang dasar, dan

c. undang-undang dasar [batang tubuh]

Setelah sidang BPUPKI selesai, BPUPKI dibubarkan dan dibentuklah PPKI. Lembaga PPKI inilah yang mengesahkan hasil rancangan Undang-Undang Dasar 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945.

Majelis Permusyawaratan Rakyat [MPR] berwenang mengubah dan menetapkan UUD sesuai amanat pasal 3 ayat [1] UUD Negara RI Tahun 1945. Perubahan terhadap UUD Negara RI Tahun 1945 sudah dilakukan sebanyak 4 [empat] kali perubahan. Perubahan ini dilakukan sebagai jawaban atas tuntutan reformasi dalam sistem pemerintahan di Indonesia. Tata cara perubahan UUD ditegaskan dalam pasal 37 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara singkat sebagai berikut.

a. Usul perubahan pasal-pasal diajukan oleh sekurang-kurangnya 1/3 dari jumlah anggota MPR dan disampaikan secara tertulis yang memuat bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya.

b. Sidang MPR untuk mengubah pasal-pasal dihadiri sekurang-kurangnya 2/3 anggota MPR.

c. Putusan untuk mengubah disetujui oleh sekurang-kurangnya 50% ditambah satu dari anggota MPR.

d. Khusus mengenai bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] tidak dapat dilakukan perubahan.

Perlu juga kalian pahami bahwa dalam perubahan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdapat beberapa kesepakatan dasar, yaitu sebagai berikut.

a. Tidak mengubah Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945

b. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia

c. Mempertegas sistem pemerintahan presidensial.

d. Penjelasan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang memuat hal-hal bersifat normatif [hukum] akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal.

e. Melakukan perubahan dengan cara adendum, artinya menambah pasal perubahan tanpa menghilangkan pasal sebelumnya. Tujuan perubahan bersifat adendum untuk kepentingan bukti sejarah.

Sejak era reformasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengalami perubahan yang dilakukan melalui sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Perubahan pertama tanggal 12 Oktober 1999, perubahan kedua tanggal 18 Agustus 2000, perubahan ketiga tanggal 9 November dan perubahan keempat tanggal 10 Agustus 2002.

Perubahan-perubahan tersebut dilakukan dalam upaya menjawab tuntutan reformasi di bidang politik dan atau ketatanegaraan. Konsekuensi perubahan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yaitu berubahnya struktur kelembagaan, baik dilihat dari fungsi maupun kedudukannya.

Ada lembaga negara yang dihilangkan, ada juga lembaga negara yang baru. Lembaga yang dihilangkan adalah Dewan Pertimbangan Agung [DPA], lembaga yang baru diantaranya Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi.

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran pertama kali dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Ilman Hadi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 10 Oktober 2012.

Berdasarkan Pasal 20 ayat [1] Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [“UUD 1945”], kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang [“UU”] ada pada Dewan Perwakilan Rakyat [“DPR”].

Selanjutnya, di dalam Pasal 20 ayat [2] UUD 1945 diatur bahwa setiap Rancangan Undang-Undang [“RUU”] dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.

Proses pembentukan UU diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [“UU 12/2011”] sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [“UU 15/2019”].

Selain itu, proses pembentukan UU juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah [“UU MD3”] dan perubahannya.

Berdasarkan Pasal 10 ayat [1] UU 12/2011, materi muatan yang harus diatur melalui UU adalah:

  1. pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD 1945;

  2. perintah suatu UU untuk diatur dengan UU;

  3. pengesahan perjanjian internasional tertentu;

  4. tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi; dan/atau

  5. pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Dalam UU 12/2011 dan perubahannya, proses pembuatan undang-undang diatur dalam Pasal 16 UU 12/2011 s.d. Pasal 23 UU 15/2019, Pasal 43 UU 12/2011 s.d. Pasal 51 UU 12/2011, dan Pasal 65 UU 12/2011 s.d. Pasal 74 UU 12/2011.

Sedangkan, dalam UU MD3 dan perubahannya, pembentukan UU diatur dalam Pasal 162 UU MD3 s.d. Pasal 173 UU MD3.

Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, dapat kami sarikan proses pembentukan undang-undang sebagai berikut:

  1. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional [Prolegnas] yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah [“DPD”], dan pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas pembentukan RUU.[1]

  2. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD.[2]

  3. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik, kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang [“Perpu”] menjadi UU, serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.[3]

  4. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau Badan Legislasi.[4]

  5. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.[5]

  6. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada pimpinan DPR.[6]

  7. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.[7]

  8. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.[8]

  9. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah, pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.[9]

  10. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi:[10]

    1. penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;

    2. pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan

    3. pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.

  11. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak.[11]

  12. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.[12]

  13. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas prioritas tahunan.[13]

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

  2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan terakhir kali dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề