Bagaimana respons dan solusi anda dalam menanggapi permasalahan kekerasan yang terjadi pada anak

Merdeka.com - Kekerasan pada anak merupakan kejahatan sosial dan budaya yang dapat merusak masa kecil anak-anak yang tak berdosa. Sebagai orang tua, tugas pertama dan utama Anda, adalah untuk memastikan bahwa anak Anda tidak mengalami kekerasan. Tetapi, ini tidak sesederhana kedengarannya. Anda harus menjadi orang tua yang sangat waspada untuk bisa melindungi anak-anak Anda dari kekerasan anak.

Masalah terbesarnya kini adalah bahwa anak-anak terkadang tidak mengerti definisi dari kekerasan itu sendiri. Itu sebabnya, mereka sering tidak menyadari ketika kekerasan itu terjadi pada mereka. Yuk simak tips dari Boldsky!

Jelaskan pada mereka apa itu kekerasan pada anak

Ini tidak semudah yang dibayangkan karena anak kecil belum memiliki pemahaman sedalam itu tentang yang namanya kekerasan pada anak. Di sisi lain, kebanyakan orang tua enggan menggunakan kata-kata seperti seks atau penganiayaan di depan anak-anak. Namun diam juga bukan jawaban terbaik untuk mencegah itu terjadi pada mereka. Anda harus berbicara dengan anak-anak Anda secara terbuka sehingga mereka mampu memahami apa itu kekerasan pada anak. Salah satu cara sederhana untuk menjelaskan tentang kekerasan pada anak, adalah untuk mengatakan bahwa mereka tidak boleh membiarkan siapapun menyakiti mereka.

Lakukan ini untuk melindungi anak-anak Anda dari kekerasan:

1. Perhatikan orang-orang yang berada di sekeliling anak Anda

Perhatikan siapa yang berpotensi untuk melakukan kekerasan pada anak Anda. Curiga itu tidak dosa, asal kecurigaan Anda memiliki dasar yang jelas.

2. Jangan meninggalkan anak-anak sendirian tanpa ada satupun orang terdekat Anda yang mengawasi mereka

Pastikan bahwa Anda selalu menitipkan anak Anda pada orang terdekat yang Anda percaya. Misalnya saja, menitipkan anak pada orang tua Anda.

3. Kenali adanya tanda-tanda kekerasan pada anak

Tak ada salahnya untuk mengecek apakah anak Anda benar-benar mengalami kekerasan di sekolah atau tidak. Pastikan itu dengan sesekali melihat tanda-tandanya di tubuh anak Anda.

4. Kenali rasa takut yang dialami anak Anda

Apakah akhir-akhir ini anak Anda jadi pendiam? Atau terlihat ketakutan setiap kali ingin berangkat ke suatu tempat, khususnya sekolah? Selidiki apa yang membuatnya merasa demikian dan tanyakan secara perlahan padanya.

Tips ini dapat membantu para orang tua untuk melindungi anak dari kekerasan. Punya tips lain? Jika ya, yuk bagi dengan para sahabat merdeka.com lainnya.

Lihat Foto

SHUTTERSTOCK

Ilustrasi kekerasan anak.

KOMPAS.com – Agresivitas sebagai istilah umum yang dikaitkan dengan adanya perasaan-perasaan marah, permusuhan, atau tindakan melukai orang lain dapat terjadi pada setiap anak.

Tindakan agresi itu bisa dilakukan dengan aksi kekerasan secara fisik, verbal, maupun menggunakan ekspresi wajah dan gerakan tubuh yang mengancam atau merendahkan.

Tujuan dan bentuk kekerasan oleh anak

Pada umumnya, ada dua tujuan utama agresi yang saling bertentangan satu sama lain, yaitu untuk membela diri di satu pihak, dan untuk meraih keunggulan dengan cara membuat lawan tidak berdaya di pihak lainnya.

Baca juga: Hati-hati Orangtua, Marah pada Anak Sebabkan 11 Dampak Fatal

Agresivitas atau kekerasan pada anak dalam bentuk verbal biasanya dilakukan dengan mengucap kata-kata “kotor” yang terkadang si anak sendiri tidak mengerti maknanya.

Sementara, agresi dalam bentuk tindakan fisik kerap berupa menggigit, menendang, mencubit, mencakar, memukul, dan bahkan membunuh.

Biasanya, sasaran perilaku agresif ini tidak lain adalah orang-orang dekat yang ada di sekitar anak, seperti orang tua, adik, kakak, pengasuh, pendidik, termasuk teman sebaya.

Melansir Buku Emosi Anak Usia Dini dan Strategi Pengembangannya [2015] karya Riana Mashar, M.Si., Psi., agresivitas pada anak dapat berdampak secara psikologis maupun sosial.

Beberapa dampak psikologis, di antaranya yakni:

  • Kecenderungan untuk meningkatnya perilaku agresif baik dalam frekuensi maupun intensitas jika perilaku ini tidak ditangani secara efektif
  • Perilaku agresif juga dapat menyebabkan anak cenderung menjadi anti sosial karena ketidakmampuannya menahan emosi dan lebih terjebak dalam perilaku-perilaku impulsif

Sedangkan dampak sosial, berupa:

  • Anak cenderung dikucilkan oleh teman-teman
  • Anak juga akan ditakuti oleh teman-teman

Peyebab kekerasan oleh anak

Secara umum, ada dua faktor yang dapat menyebabkan anak melakukan agresivitas atau tindakan kekerasan.

Hingga saat ini kekerasan mengancam kelangsungan hidup anak. Kita semua ditantang untuk mengakhiri segalabentuk kekerasan kepada anak. Ketika anak terpapar dengan kekerasan, satu episode tumbuh kembang terganggu. Anak mengalami kerusakan psikis, fisik dan mental.

Yang memprihatinkan, pelaku kekerasan kepada anak dilakukan orang terdekat, seperti teman, guru, orang tua, paman, dan saudara. Lokasi kekerasan anak kebanyakan di rumah dan sekolah. Dengan demikian keluarga dan sekolah bukan menjadi tempat nyaman bagi tumbuh kembang anak.

Data Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia memperlihatkan tren kenaikan angka kekerasan pada anak. Tahun 2013 sebanyak 1.615 kasus, tahun 2014 sebanyak 1.234 kasus, 2015 terjadi 2.898 kasus kekerasan, 2016 sebanyak 1.000 kasus, tahun 2017 sebanyak 4.885 kasus, dan tahun 2018 sebanyak 3.849 kasus. Dikhawatirkan kekerasan akan terus meningkat lagi. Masalahnya fenomena kekerasan pada anak seperti gunung es.

Yang memprihatinkan, masih ada upaya menyembunyikan kasus-kasus kekerasan di tengah masyarakat. Kekerasan pada anak sering dipandang wilayah domestik yang tidak perlu diketahui orang lain. Maka pelaporan kasus-kasus kekerasan pada anak menjadi sulit karena pelaku orang terdekat korban sering tidak kooperatif. Bahkan dalam budaya tertentu melakukan kekerasan dalam rangka pendidikan dan pendisiplinan anak dianggap benar dan wajar.

Kekerasan disebabkan banyak faktor. Salah satunya ditunjang dengan masalah ekonomi. Keluarga yang terhimpit secara ekonomi cenderung lebih stres disbanding keluarga lainnya. Orang tua yang sibuk bekerja tidak memiliki banyak kesempatan berinteraksi dengan anak. Pengetahuan mengenai bagaimana mengasuh anak dengan benar tidak mereka miliki. Problem anak banyak kerap membawa ke situasi kompleks rumah tangga.

Di pihak lain, orang tua yang pernah menjadi korban kekerasan atau terpapar dalam kehidupan yang penuh stres seperti KDRT, kemiskinan, narkoba, gangguan kejiwaan pada masa kanak-kanak juga berpotensi melakukan kekerasan. Ini patut diwaspadai karena kekerasan yang secara tradisional turuntemurun dalam lingkup keluarga membawa dampak yang lebih buruk terhadap anak.

Sudah saatnya kekerasan pada anak dipandang bukan sebagai masalah personal atau domestik belaka. Kekerasan pada anak yang terjadi dalam kurun waktu yang lama, turun temurun bahkan kebiasaan yang berkembang dalam masyarakat untuk jangka waktu tertentu sangat merugikan masa depan anak. Anak-anak yang tinggal di lingkungan penuh kekerasan tidak tumbuh sebagai anak dengan sempurna.

Karena itu, kekerasan pada anak jangan lagi dipandang sebagai persoalan individu. Ini adalah masalah kronis sistemik yang membutuhkan pemecahan serius. Jika tindakan menyakiti bahkan melukai anak dilakukan secara terus-menerus dan jangka panjang tentu ada normal sosial dan hak anak dilanggar. Pemecahannya pun harus menggunakan pendekatan sistemik komunal yang melibatkan banyak orang.

Pertama, kekerasan pada anak terjadi karena tidak ada norma sosial yang melindungi anak. Kekerasan bahkan dianggap sebagai bagian dari pendidikan. Mau dipukuli wong anak sendiri. Di banyak tempat orang tua menggebuki anaknya sampai pingsan pun masyarakat tidak peduli. Kekerasan jalan terus karena di masyarakat memang tidak mempunyai pranata atau sistem perlindungan anak untuk menghentikan aksi-aksi kekerasan itu.

Kedua, pola hirarki sosial yang merendahkan posisi anak. Hal ini berakar dari budaya mereka yang kecil, miskin, tidak berpengaruh, tidak berharga di masyarakat. Hubungan antara anak dan orang tua dibangun sedemikian rupa sehingga sangat timpang dan merugikan anak. Orang dewasa, senior dan mereka yang kuat harus selalu berkuasa dan menang. Mereka yang lebih dewasa dan di atas harus dipatuhi. Dalam pola hirarki semacam itu anak berada di bawah. Karena anak-anak ini lemah, mereka rentan menjadi sasaran pelampiasan kemarahan orang dewasa.

Ketiga, masih adanya ketimpangan sosial dalam masyarakat turut memberi kontribusi maraknya aksi-aksi kekerasan. Kekerasan pada anak banyak terjadi di keluarga yang berasal dari strata sosial ekonomi rendah. Kemiskinan sebagai struktur sosial yang menindas melahirkan kekerasan struktural. Karena masalah ekonomi, orang tua mengalami stress berkepanjangan dan tidak banyak waktu tersedia untuk anak. Komunikasi yang buruk utamanya di kalangan masyarakat bawah menyebabkan anak dan orang tua cenderung sensitif.

Karena itu, untuk mengakhiri kekerasan pada anak, kita memerlukan tindakan kolektif yang melibatkan banyak pihak dalam mengatasinya. Negara dituntut tanggung jawab politiknya menuntaskan masalah kemiskinan sebagai akar masalah kekerasan pada anak. Selama masyarakat miskin masih terpelihara maka praktik kekerasan pada anak tetap akan marak. Memberantas kemiskinan bagian penting meretas kekerasan kepada anak.

Selain itu, negara kita memiliki Undang-Undang No 23 Tahun 2002 yang direvisi menjadi UU No 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, namun dalam praktiknya masih lemah. Kelemahan mendasar implementasi UU itu ialah lemahnya sosialisasi sehingga tidak ada rasa memiliki dalam masyarakat melaksanakan undang-undang itu. Negara memang sudah menyusun UU meski praktiknya tidak semua berhasil.

UU itu juga belum berhasil membangun sistem perlindungan anak yang dapat dilaksanakan sampai struktur terendah RT/RW. Padahal, selama tidak ada sistem perlindungan anak kekerasan pada anak mudah terjadi. Mestinya pendekatan terhadap kekerasan bukanlah proyek. Yang terjadi selama ini jika ada kasus semua ribut membuat pernyataan akan melakukan ini dan itu.

Kenyataan tidak ada gerakan apa-apa sampai muncul kasus kekerasan baru dan ribut lagi. Oleh karena itu, diperlukan proses penyadaran terus-menerus guna menyosialisasikan hak anak secara terus-menerus kepada semua elemen masyarakat. Negara tidak boleh membiarkan kekerasan pada anak terus terjadi. Para pengambil kebijakan harus lebih sungguh-sungguh dalam menelorkan kebijakan yang melindungi anak.

Pelanggaran negara dalam pemenuhan hak anak sama halnya dengan membiarkan kekerasan pada anak terus berlangsung. Apakah negara akan terus tinggal diam menyaksikan kekerasan pada anak terus terjadi? Tanggung jawab negara dituntut untuk mengakhiri kekerasan pada anak yang mengancam kelangsungan hidup mereka.

Di sinilah perlunya pemberdayaan masyarakat lebih ditingkatkan untuk membangun gerakan perlindungan anak. Upaya melindungi anak memerlukan kerja sama banyak orang. Maka, kepengurusan RT dan RW secara lebih konkret melengkapi pengurusnya dengan seksi perlindungan anak agar pencegahan dari kekerasan dapat dilakukan dari paling bawah. Jika ada warga mendengar, melihat ada orang tua atau orang dewasa lain melakukan kekerasan pada anak, segera dapat direspons. Jika pelaku tidak peduli dapat dilaporkan, apalagi kini mekanisme pelaporan sudah banyak tersedia.

Pada akhirnya keteladanan penting dilakukan. Jika kita berharap kekerasan musnah dari masyarakat, sikap saling meneladani perlu dilakukan. Pendidikan harus dimulai dengan tidak melakukan kekerasan. Pola orang dewasa, yang merasa serba benar dan tahu segala permasalahan tentang anak dan memperlakukan anak sekehendak orang dewasa, harus dihentikan. Jika anak adalah generasi penerus kita sebagai bangsa maka tindak kekerasan bukanlah cara mendidik yang tepat.

Paulus Mujiran, Ketua Pelaksana Yayasan Kesejahteraan Keluarga Soegijapranata Semarang

Editor : Gora Kunjana []

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề