Bagaimana sejarah tentang sosial forestry

Lasekti Wicaksono, Dosen Fakultas Ketuhanan Universitas Jambi.

PerhutananSosial [PS] didefinisikan dalam Permen LHK No. 83/2016 sebagai system pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan Negara atau hutan hak/hutan adat yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hokum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika social budaya dalam bentuk Hutan Desa [HD], Hutan Kemasyarakatan [HKm], Hutan Tanaman Rakyat [HTR], Hutan Rakyat, Hutan Adat, danKemitraan Kehutanan.

Kebijakan perhutanan sosial di Indonesia pada dasarnya terlahir dari proses sejarah yang panjang.Kebijakan ini terilhami dari perubahan paradigma [carapandang] masyarakat global dalam mengelola hutan secara konvensional [timber extraction & timber management] yang cenderung melihat hutan semata-mata hanyalah kayu dan habitat bagi fauna dengan menegasikan keberadaan masyarakat sekitar atau dalam hutan yang hidup, berinteraksi dan bergantung terhadap eksisten sihutan sebagai satu kesatuan ekosistem yang tidak terpisahkan. Paradigma lama yang berujung pada kerusakan hutan dan pemiskinan structural masyarakat sekitar hutan.

Wacana paradigm social forestry [perhutanan sosial] di Indonesia muncul sebagai wujud perlawanan terhadap pemerintah [orde baru] yang kala itu mengesampingkan keberadaan masyarakat yang hidup di dalam maupun sekitar hutan dan cenderung berpihak kepada pemodal [asing & dalam negeri] untuk mengelola [mengeksploitasi] hutan dengan dalih pertumbuhan ekonomi. Awang [2004] menyatakan bahwa selama orde baru berkuasa sekitar 64 juta ha kawasan HPH dikuasai oleh segelintir [sekitar 20 orang] konglomerat yang dekat dengan pejabat pemerintah. Masyarakat yang semula berinteraksi dan menggantungkan hidup nya kepada hutan terpaksa harus terusir dari rumah [hutan] mereka. Tindakan pemanfaatan yang merekalakukan dianggap illegal hanya karena tiadanya kapital yang bias diberikan kepada Negara sebagai penguasa tunggal sumber daya alam hutan di Indonesia.

Era Reformasi dan masuknya Indonesia dalam atmosfer demokrasi merupakan momentum besar bagi perkembangan wacana perhutanan sosial. Ibarat biji di tanah kering yang mulai bertunas saat hujan mulai datang.Gelombang keadilan dan kesejahteraan social dalam pengelolaan hutan semakin menguat di level lokal [didukung dengan semangat desentralisasi]. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah sudah hamper menginjak 20 tahun momentum reformasi berlalu apakah paradigm perhutanan social masih sekedar menjadi jargon politik penarik massa, sebatas program janji manis? Ataukah dibawah kepemimpinan presiden rimbawan yang dikenal [dicitrakan] merakyat ini menjadi momentum kedua bagi menguatnya perspektif perhutanan sosial yang berpihak pada keadilan dan kesejahteraan sosial?

Jokowi, Nawacita, dan Semangat Perhutanan Sosial

Target implementasi program perhutanan social oleh pemerintah saat ini dapat dikatakan luar biasa. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan & Kehutanan [KLHK] padaperiode 2015-2019 menargetkan 12,7 juta ha kawasan hutan dikelola oleh masyarakat melalui skema HD, HKm, HTR, Hutan Adat, dan Kemitraan.

Implementasi program perhutanan sosial merupakan bagian dari program Nawacita Presiden Jokowi. Target implementasi program tersebut adalah mensejahterakan 10,2 juta masyarakat prasejahtera di dalam kawasan hutan yang belum memiliki aspek legal terhadap sumber daya hutan melalui pemberian akses dan dukungan terhadap pertumbuhan sektor-sektor perekonomian lokal. Lebih lanjut lagi, implementasi program ini diharapkan juga berdampak dalam meminimalisir konflik tenurial yang selama ini terjadi di tingkat tapak akibat adanya tumpang-tindih perizinan dan perbedaan klaim pengelolaan kawasan hutan.Terlepas dari tujuan-tujuan tersebut seberapa besar kesungguhan pemerintah dalam implementasi kebijakan perhutanan sosial, menunjukkan dimana posisi keberpihakan pemerintah, apakah lebih besar kepada masyarakat? Atau masih kepada pemilik modal?

Realita [Implementasi] Kebijakan Perhutanan Sosial

Masih jauh panggang dari api. Peribahasa tersebut [lagi-lagi] relevan dengan implementasi kebijakan perhutanan sosial di Indonesia. Dikutip dari situs berita daring Mongabay 26 Januari 2017, secara agregat capaian hutan untuk kelola masyarakat baik melalui skema HKm, HD, HTR, Hutan Rakyat, Hutan Adat, dan lain-lain baru mencapai 494.876 Ha [9,74%] dari target 2016 sebesar 5,08 juta ha. Data tersebut baru berbicara kuantitas capaian luasan areal perhutanan sosial, belum lagi kualitas pengelolaan kawasan yang telah dikeluarkan izin pengelolaannya. Masyarakat dinilai masih sangat memerlukan dampingan dalam penyusunan rencana pengelolaannya, skema pendanaan, hingga jaringan pemasarannya.

Kebijakan perhutanan social hakikatnya berbicara tentang akses masyarakat terhadap sumberdaya hutan. Akses sebagai kemampuan [ability] mengambil manfaat dari sesuatu [hutan] dan lebih condong kepada power, ketimbang sekedar legalitas klaim atas hak [right] kelola. Ribot&Peluso [2003] menyatakan bahwa kunci pembeda antara akses [access] dan properti [property] terletak pada ability dan right.

Terlepas dari perdebatan diatas, saya cenderung memandang bahwa akses dan right bukanlah sesuatu yang dipertentangkan, melainkan sebuah tahapan yang harus dijalankan berimbang. Antara capaian kuantitas pengeluaran izin kelola dengan pengkapasitasan sumberdaya manusia pengelolanya. Perpaduan keduanya memerlukan proses panjang dan biaya yang tidak sedikit. Oleh karena itu salah satu [bukan satu-satunya] indikator sederhana untuk melihat seberapa jauh keberpihakan pemerintah dalam implementasi program adalah seberapa besar anggaran yang dialokasikan untuk merealisasikannya.

Dikutip dari situs berita online CNN Indonesia 25 Januari 2017, Indonesian Corruption Watch [ICW] menyebutkan bahwa terjadi penurunan alokasi anggaran untuk implementasi perhutanan sosial, dari Rp 308,12 M di tahun 2015 menjadi 165,17 M untuk tahun 2017 [turun 46,4%] padahal anggaran keseluruhan KLHK periode 2015-2017 naik sebesar 0,17 T. Sekali lagi, meskipun bukan satu-satunya factor penentu keberhasilan implementasi kebijakan perhutanans osial, namun dukungan ketersediaan dana menjadi penting agar target capaian tidak terkesan ambisius. Mengingat dalam proses implementasi perhutanan social sering kali berhadapan dengan areal yang luas, dengan akses abilitas yang susah, belum lagi ketika harus berhadapan dengan konflik klaim tata batas yang rumit, serta upaya penguatan kelembagaan maupun basis ekonomi masyarakat sekitar utan yang memerlukan waktu, dan tenaga yang relatif besar.

Dalam hal ini perlu adanya political will yang lebih kuat dari Jokowi sebagai presiden rimbawan untuk membuktikan keberpihakannya kepada masyarakat sekitar hutan melalui program perhutanan social bukan hanya sebatas lip service untuk kapitalisasi suara masyarakat kecil dalam ajang kontestasi kekuasaan lima tahunan.

Salam Lestari. Wallahualambishowab

Penulis: Lasekti Wicaksono, Dosen Fakultas Ketuhanan Universitas Jambi

Written by Siti Nurbaya B Friday, 11 May 2018 08:58

KEBIJAKAN PERHUTANAN SOSIAL UNTUK KESEJAHTERAAN RAKYAT
Oleh : Siti Nurbaya

Sejarah umum social forestry

Pembangunan kehutanan yang melibatkan peran serta masyarakat, pertama kali diperkenalkan oleh Komisi Nasional Pertanian di India pada tahun 1976. Saat itu, masyarakat telah mulai dilibatkan dalam rangka mendorong agar warga yang telah lama mengantungkan hidupnya hanya pada pencarian kayu bakar dan hasil hutan lainnya, dapat menghasilkan sumber pendapatan sendiri, tanpa harus menggangu sumber daya hutan yang ada. Dari sini diharapkan, fungsi hutan sebagai kawasan lindung dan konservasi dapat terjaga dengan lestari.Pelibatan peran serta masyarakat inilah, yang pada akhirnya menjadi cikal bakal terciptanya model pengelolaan hutan yang kini kita kenal sebagai Kebijakan Program Perhutanan Sosial [PS].Selain diharapkan dapat menjaga kawasan hutan agar tetap lestari, Program  Perhutanan Sosial lahir untuk menjawab pertanyaan apakah benar bahwa hutan sebagai sumber penghidupan warga masyarakat perdesaan, telah dioptimalkan fungsinya secara sosial, sehingga dapat membantu mengurangi dan mengatasi kemiskinan, bagi warga masyarakat di dalam dan sekitar hutan.

Di Indonesia  program pengelolaan hutan berbasis masyarakat [community based forest management], dimulai tahun 1995, melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 622/Kpts-II/1995 tentang Pedoman Hutan Kemasyarakatan [Kepmen 622/95].  Kebijakan ini lahir untuk bisa mengakomodir peranserta masyarakat, dalam mengelola hutan, baik di dalam kawasan hutan produksi maupun di kawasan hutan lindung.  Sayangnya, oleh banyak pihak, SK 622/Kpts-II/1995 dinilai masih artifisial, dalam model pemberdayaan masyarakatnya. Dimana, disamping jangka waktunya pendek [2 tahun], pemanfatan hutan yang ada, ternyata sangat dibatasi hanya pada kegiatan tumpangsari dan hasil hutan bukan kayu. Bobot program masih hanya pada pemberdayaan masyarakat saja [yang mungkin belum utuh].

Kemudian pada tahun 1998, SK Menhut Nomor 622/Kpts-II/1995 diperbaharui  menjadi SK. Menhut Nomor 677/Kpts-II/1998. Essensi dari perubahan ini dimaksudkan untuk mengatur pemberian akses kepada masyarakat, dalam Hak Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan melalui lembaga koperasi.  Lagi-lagi disini masih hanya pada konsep pemberdayaan masyarakat.Selanjutnya, seiring dengan kebijakan otonomi daerah, Menteri Kehutanan menetapkan SK Nomor 31/Kpts-II/2001 tentang Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan, sebagai pengganti dari SK 865 tentang Penyempurnaan Keputusan Menteri Kehutanan  nomor 677 Tentang Hutan Kemasyarakatan.  Ketentuan [SK.31] ini, dipandang sebagai bagian dalam pelaksanaan desentralisasi pengelolaan sumberdaya hutan di tingkat daerah.

Dalam proses perjalanannya, di tahun 2007,  program HKm kemudian diperluas dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah [PP] Nomor 6 Tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. Berdasarkan PP tersebut, ditetapkan pula peraturan teknis yang mengatur tentang HKm, HD, HTR dan Kemitraan Kehutanan.


 
Kebijakan Perhutanan Sosial, bukan sekedar pemberdayaan Kebijakan perhutanan sosial saat ini merupakan kebijakan yang utuh untuk hutan bagi kesejehteraan masyarakat dengan beberapa skema yakni HD [Hutan Desa], HTR [Hutan Tanaman Rakyat] , HKm [Hutan Kemasyarakatan], HR [Hutan Rakyat], Kemitraan dan  HA [Hutan Adat].Dia merupakan kebijakan untuk kita bisa mendapatkan orientasi baru, yakni produktivitas masyarakat tepi hutan dan atau didalam hutan. 

Konsitusi kita menegaskan bahwa bumi dan kekayaan alam Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dan  menjadi mansuisa  yang produktif juga merupakan salah satu dari unsur hak azasi manusia.  UUD 1945 menjamin hal tersebut. Jadi kebijakan perhutanan sosial, bukan hanya soal perizian semata, melainkan soal pintu masuk, akses kelola hutan menuju kesejahteraan. Rakyat harus menjadi komunitas produktif dan berbisnis secara sistimatis. Dengan demikian  banyak aspek dalam kebijakan perhutanan sopsial seperti kelembagaan Kelompok Tani Hutan [KTH], teknologi, pemasaran dll yang juga harus siap.


 Perkembangan luasan areal hutan menunjukkan evolusi hutan Indonesia dikaitkan dengan kesejahteraan masyarakat.  Pada era TGHK atau Tata Guna Hutan Kesepakatan  sekitar tahun 1978-1983an dan sebelumnya, dikenal dengan istilah hutan register, tercatat luas hutan Indonesa sekitar 144 juta hektar. Luas hutan ini kemudian menjadi sekitar 137 juta hektar pada  sekitar tahun 1992-1997 pada era padu serasi antara tata ruang hutan dan tata ruang wilayah. Serta kemudian pada penerapan penuh tata ruang wilayah ditahun 2007 danseterusnya tercatatluas areal hutan menjadi 126 juta  hektar. Yang bisa dilihat dari isni ialah bahwa selama proses itu telah terjadi pelepasan kawasan hutan untyuk masyarkat seluas tidak kurang dari 18 juta hektar, yang harusnya sudah bisa menunjukkan kesjehteraan masyarakat. Apa yang terjadi bahwa ketika era pemerintahan Presiden Jokowi ini dimulai, dalam Nawa Cita Presiden diidentifikasi dengan baik adanya permasalahan tenurial, konflik dan lain-lain. Begitu pula kesenjangan dalam land holding atau pengelolaan lahan. Data perijinan menunjukkan bahwa tidak kurang dari 43 juta areal kawasan hutan telah diberikan ijin sejak tahu 1980-an seperti HPH, HTI, pelepasan menjadi penggunaan lain seperti kebun, tambang dan lain-lain. Perijinan itu di waktu yang lalu lebih banyak diberikan kepada korporat atau sekitar 96 % sedangkan hanya sekitar 4 % dalam bentuk perijinan bagi masyarakat. Presiden Jokowi melalui Nawa Cita melakukan langkah korektif. Mengubah dan menjadikan keberpihakan kepada rakyat  lebih mengemuka, diaktualisasikan. Dengan 43 juta hektar areal berijin tersebut,  ditambahkan dengan areal ijin hutan sosial seluas 12,4 juta hektar serta pencadangan kawasan untuk  tanah reforma agraria, serta dengan memproyeksikan bahwa penambahan ijin untuk korporat dibatasi secara proporsional dan tidak akan berkembang luas, diproyeksikan bahwa perubahan proporsi perjinan akan bergeser dari 96 % bagi korporat dan 4 % bagi rakyat, akan menjadi sekitar 29-31 % untuk rakyat dan sekitar 69-71 % untuk korporat.

Persoalannya lebih lanjut, pola perijinan rakyatyang bagaimana yang tepat untuk betul-betul dapat menjawab bagi hadirnya kesejahteraan rakyat? Maka pengembangan kebijakan perhutanan sosial menjadi tidak mudah serta-merta dirumuskan, dan harus dilakukan denganhati-hati dan harus dapat diyakini implementasinya dapat berjalan baik. Itu sebabnya maka penetapan kebijakan tidak dapat langsung serta-merta dirumuskan. Tetapi  dirumuskan dalam formulasi yang tepat dan komprehensif.


 Beriringan dengan kebijakan reforma agraria dan perhutanan  sosial, Presiden Jokowi juga terus memikirkan konsep pengembangan ekonomi yang berkeadilan. Dengan mendapatkan saran, masukan dan berbagai referensi dan digodok  secara teknis  dalam koordinasi Menko Perekonomian, MenLHK, Menteri BUMN dan Menteri ATR serta KSP [era Teten Masduki],  terus diyakinkan kepada Presiden. Pada akhirnya dapat ditetapkan kebijakan Presiden Jokowi untuk kernagka pemerataan ekonomi terdapat 3 elemen dasar yaitu : 1] akses kepada aset [dalam hal ini lahan]; 2] kesempatan untuk berusaha serta 3] kapasitas manajamen oleh SDM/masyarakat.Dalam kerangka inilah maka Program Perhutanan Sosial berkembang secara utuh dan menjadikan penanda baru eraJokowi untuk membangun kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat didalam dan disekitar kawasan hutan, yang ditetapkan ancer-ancer arahnya pada bulan September 2016  bagi kebijakan perhutanan sosial. Dalam proses yang panjang sejak akhir 2014 dan sepanjang tahun 215 serta sebagain waktu di tahun  2016, upaya untuk meyakinkan Presiden menjadi bagian sangat penting akan hadirnya program Perhutanan  Sosial penanda baru  di era Presdien Jokowi ini. Menteri LHK melakukan konfirmasi  empirik di lapangan, simulasi perkembangan kebijakan, stimulasi, fasilitasi pendampingan aktivis   di lapangan. Konfirmasu langsung ditengah-tengah masyarakat, dengan  kunjungan kerja  lapangan untuk melihat format bisnis, pembinaan kelembagaan kelompok tani hutan, orientasi ekonomi kreatif, potensi wisata, dan industri kayu rakyat guna menopang upaya pemerintah dalam mengatasi kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan melalui skema Perhutanan Sosial.Beberapa snapshots  yang dilakukan oleh MenLHK sebagai berikut :Untuk skema Hutan Kemasyarakatan, saya berkunjung ke Kalibiru Kabupaten Kulon Progo. Di sana rakyatmemanfaatkan ekowisata pemandangan yang indah dan mampu meningkatkan ekonomi rakyat disekitarnya. Adapun untuk skema Mitra Konservasi saya berkunjung ke Tahura Wan Abdurahman di Lampung. Di sini saya melihat agroforestry dan rakyat setempat yang dulunya merambah dan melakukan penebangan ilegal, sekarang menikmati HHBK [hasil Hutan Bukan Kayu], kelimpahan air dan terbebas dari longsor, banjir, dan kebakaran hutan.Selain itu di Gedong Wani, saya melihat potensi pengembangan pangan dan ternak melalui Kemitraan dengan KPHP.Selanjutnya untuk skema Hutan Desa/Hutan Nagari saya berkunjung ke Hutan Nagari Sungai Buluh di Kabupaten Padang Pariaman Sumatera Barat. Di sana rakyat mengelola hutan dengan kearifan lokal dan menerapkan hukum adat nagari.Ada Lubuk Larangan dengan sungainya yang jernih, kalau ada penduduk yang mengambil ikan tanpa upacara adat, dikenakan sanksi pembayaran 10 sak semen. Juga saya hadir di Desa Indudur  Kabupaten Solok, dengan konsep kelembagaan yang telah cukup baik melalui kelembagaan Peraturan Nagari.Untuk skema pembayaran jasa lingkungan tata air [Payment for Environmental Services/ PES], saya berkunjung ke Rawa Danau Kabupaten Serang, Banten. Di sana kelompok tani hutan mau menanam, dan memelihara hutan di pekarangannya dan menjaga Cagar Alam Cidanau karena ada pembayaran dari pengguna air di Cilegon yaitu Krakatau Steel, Asahimas, dan Candra Asri yang membutuhkan air untuk kegiatan industri dan air minum kota Cilegon. Di sini kelompok tani sebagai sellers dan industri di Cilegon sebagai buyers.Untuk skema Hutan Adat saya mendatangi Masyarakat Hukum Adat Amatoa di Kajang, kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. Saya masuk di Hutan Adat yang berfungsi produksi dimana struktur hutan, strata canoppy, terjaga dengan baik, karena mereka mempraktekan tebang pilih atau memungut Hasil Hutan Bukan Kayu-nya untuk kebutuhan sendiri. Ketika memasuki kampung adat dan bersama-sama di balai pertemuan adat, bisa kita rasakan suasana kebatinan yang sulit diutarakan, dan terasa ketulusan para tetua adat, juga saya mendengarkan penjelasan bagaimana aktualisasi selama ini dan saya melihat  konsep kelembagaan  dengan nilai-nilai yang diaktualisasikan dlaam keselrasan prinsip-prinsip budaya desa adat dengan pola kerja  desa administratif/pelayanan umum.  Saya  kira ini sangat penting sebagai aktualisasi pengakuan dan perlindungan oleh negara atas Masyarakat Hukum Adat.Demikian juga untuk skema HTR, saya mengunjungi Desa Hajran di Jambi dimana rakyat setempat akan mengusahakan jenis-jenis tanaman cepat tumbuh untuk membangun industri veneer milik sendiri. Ini juga sejalan dengan perintah Bapak Presiden kepada Kementerian LHK dan APHI agar menyusun Road Map Industri Perkayuan untuk membangkitkan kejayaan industri perkayuan di Indonesia, yang juga sednag dbahasa leh KEIN [Komite Ekonomi dan Industri Nasional]Untuk skema Hutan Rakyat, saya datang ke Kalimantan Selatan ke Desa Telaga Langsat Kecamatan Takisung Kabupaten Tanah Laut untuk bertemu dan berdialog dengan anggota kelompok tani Hutan Rakyat Silvopastur. Di sini Hutan Rakyat dikelola dengan baik antara lain ditanami jenis pohon, juga ada ternak sapi yang sehat dan kotorannya digunakan untuk biogas, ada kolam ikan, dan lebah madu sekitar 500 koloni yang tersebar hingga kecamatan-kecamatan.

Cukup sulit mengekspresikan dengan kata-kata,  tentang pancaran kondisi masyarakat yang memilki harapan besar, ketulusan,  kejujuran, kegembiraan, optimisme dan semangat yang besar untuk perwujudan Perhutanan Sosial di  Indonesia secara utuh.


 
Dengan keyakinan yang ada, digulirkan secara resmi program Perhutanan Sosial pada 21 September 2016 dan selanjutnya melangkah dengan segala perangkat regulasi dan berbagai aktivitas. Tidak mudah, cukup rumit di lapangan dan penuh tantangan.  Beberapa kali Presiden Jokowi melakukan observasi lapangan sambil melakukan penyerahan keputusan tentang SK Perhutanan Sosial di luar Jawa dan di Jawa.  Dalam perjalanan ini juga terus dilakukan  pembelajaran di tengah masyarakat untuk terus ditingkatkan agar implementasi dapat berlangsung baik. Terus menerus petunjuk lapangan diberikan oleh Presiden kepada Menko Ekuin, MenLHK  dan MenBUMN serta seluruh jajaran yang terlibat.

 


Era Presiden Jokowi, Penanda Baru

Konsep perhutanan sosial harus mampu sejahterakan masyarakat di dalam dan sekitar hutan.Penegasan Presiden Jokowi pada penyerahan SK Perhutanan Ssial di Kaliantan Tengah : “Hutanharusmendatangkankesejahteraanbagimasyarakat di dalam dan sekitar kawasan hutan. Konsep perhutanan sosial akan memberikan aspek legal masyarakat menanam di hutan rakyat.Semangat perhutanan sosial memunculkan keadilan sosial. Masyarakat hidup di perhutanan sembari melestarikan sumberdaya hutan” [ Jokowi, 21 Desember 2016,Pulang Pisau, Palangkaraya.Kalimantan Tengah ].

 

 
Target Program Pehrutanan Sosial dituangkan dan dijabarkan, dalam Renstra Kementerian LHK dan berdasarkan data Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial [PIAPS] dengan Keputusan Menteri Nomor SK.4865/MENLHK-PKTL/REN/PLA.0/9/2017 tanggal 25 September 2017. Maka dari sinilah mulai Perhutanan Sosial Era Baru.


 Selanjutnya, dilakukan penyerahan SK Perhutanan Sosial di Kabupaten Pulang Pisau [20 Desember 2016], dan diikuti dengan Pencanangan Hutan Adat di Istana Negara [tanggal 30 Desember 2016].Yang harus diperhatikan, bahwa lahan kawasan bukan untuk dibagi-bagikan, tetapi berupa akses kelola kawasan hutan, pemberian hak dan izin pemanfaatan kawasan hutan negara, untuk kemakmuran rakyat.Sejak diberikan kali pertama oleh Presiden RI, hingga kini telah direalisasikan areal perhutanan sosial bagi rakyat seluas 1.573.459.04 Ha,  berupa SK Ijin bagi sebanyak 4.345 SK dan mencakup 364.717KK di seluruh Indonesia.Melengkapi target 12,7 Juta Ha [RPJMN 2015-2019], terus dilakukan penyesuaian dari berbagai implementasi lapangan.  Penyederhanaan Peraturan Terkait Skema PS menjadi 2 Permenhut yaitu P.83/Menlhk/Setjen/Kum.1/10/2016 tentang Perhutanan Sosial dan P.39/Menlhk/Setjen/Kum.1/2017 tentang Perhutanan Sosial di Wilayah Kerja Perum Perhutani. Aplikasi Perijinan Perhutanan Sosial secara online [Akses Kelola Perhutanan Sosial] online, difasilitasid na didukung oleh POKJA Perhutanan Sosial di pusat dan daerah, serta kegiatan Pendampingan PS  dan Fasilitasi Peningkatan kapasitas Usaha PS. Berbagai model juga terus berkembang. Pola kerja bersama rakyat dan swasta dalam kolaborasi  untuk mengatasi masalah-masalah tenurial di lapangan juga diharapkan berangsur hilang dan konflik lahan yang selalu menjadi momok bagi rakyat desa harus  segera berakhir. Proram Perhutanan Sosial era Presiden Jokowi ini sangat penting bagi kemajuan rakyat yang  ditandai dengan ciri-ciri : utuh, tidak sekedar pemberdayaan masyarakat sebagai peerja, tetapi masyarakat sebagai dan dalam kapasitas sebagai  pelaku usaha.  Ada fasilitasi yang utuh, dimana akses terhadap lahan usaha disertai dengan  akses fasilitasi pemerintah seperti sarana usaha tani termasuk permodalan  usaha serta perintisan bersama pola off-taker, penerima produk akhir, dan dalam cluster usaha, sehingga timbul interaksi ekonomi dan sentra ekonomi domestik, juga dapat terbangun kohesi sosial masyarakat dalam kondisi yang jauh lebih baik dan rakyat akan lebih optimis menatap masa depan.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề