Bagaimana upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia brainly

Menurunkan tingkat kerawanan pangan dan gizi merupakan tantangan bagi pihak perencana dan pengambil kebijakan karena masalah kerawanan pangan dan gizi merupakan permasalahan multi-efek dan multi-sektor. Dukungan berbagai program dan kegiatan dari lembaga pemerintah dan non pemerintah belum mampu mengatasi masalah kerawanan pangan dan gizi di Provinsi Nusa Tenggara Timur [NTT]. Pendekatan livelihood digunakan sebagai suatu langkah untuk mengatasi permasalahan kerawanan pangan yang kompleks secara berkelanjutan. Penelitian ini bertujuan untuk: [1] menganalisis program dan kegiatan serta alokasi anggaran dalam rangka pembangunan ketahanan pangan dan gizi, [2] mengidentifikasi faktor-faktor penyebab kerentanan pangan dan gizi serta mengidentifikasi desa rentan pangan dan gizi, [3] menganalisis kelembagaan ketahanan pangan, [4] menganalisis sistem penghidupan rumah tangga dalam menangani kerawanan pangan dan gizi pada setiap tipologi wilayah, dan [5] merumuskan strategi penanganan kerawanan pangan dan gizi berbasis sistem penghidupan di Provinsi NTT. Content analysis digunakan untuk mengidentifikasi progam/kegiatan serta anggaran ketahanan pangan pangan dan gizi. Analisis komponen utama, analisis faktor, analisis kluster, dan analisis diskriminan digunakan untuk identifikasi kerentanan pangan dan gizi tingkat desa. Analisis stakeholder untuk menganalisis kelembagaan ketahanan pangan. Analisis deskriptif untuk mengkaji livelihood rumah tangga. Analytical Hierarchy Process digunakan untuk menyusun strategi penanganan kerawanan pangan dan gizi. Program dan kegiatan ketahanan pangan dan gizi yang dilaksanakan pada tataran praktis belum semua mengakomodir seluruh kegiatan dalam dokumen. Pada level Provinsi NTT selama tahun 2013-2016 rata-rata terdapat 39 kegiatan [28,5 persen]. Pada tingkat kabupaten/kota pelaksanaan kegiatan terkait ketahanan pangan dan gizi masih relatif lebih sedikit dibandingkan dengan level provinsi. Keterbatasan anggaran merupakan salah satu hal yang menghambat pelaksanaan kegiatan ketahanan pangan. Sub sistem ketersediaan pangan masih menjadi fokus pembangunan ketahanan pangan. Alokasi anggaran ketahanan pangan perlu mendapat porsi yang optimal dan diprioritaskan pada sub sistem yang menjadi permasalahan utama. Kerentanan pangan dan gizi di tingkat desa disebabkan oleh akses rumah tangga terhadap listrik dan air bersih yang tidak memadai, tingkat kesejahteraan yang rendah, dan fasilitas buang air besar rumah tangga yang tidak memadai. Kerentanan pangan tingkat desa menunjukkan masih terdapat 1.468 desa [44,90 persen] di NTT yang masuk kategori sangat rentan dan rentan pangan dan gizi. Kabupaten Timor Tengah Selatan, Manggarai Timur, Manggarai Barat, Sumba Barat Daya, dan Sumba Timur merupakan kabupaten dengan sebaran desa sangat rentan dan rentan pangan dan gizi terbesar di Provinsi NTT. Program dan kegiatan penanganan kerentanan pangan dan gizi perlu diprioritaskan pada desa-desa sangat rentan dan rentan pangan dan gizi melalui upaya peningkatan akses rumah tangga terhadap listrik, air bersih, fasilitas sanitasi, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat. Eksistensi kelembagaan ketahanan pangan daerah menghadapi kendala terkait dengan keterbatasan komitmen politik daerah, pemahaman dan komitmen terhadap ketahanan pangan. Pengembangan kelembagaan pangan masyarakat dihadapkan pada tingkat partisipasi masyarakat yang rendah, motif keikutsertaan masyarakat dalam kelembagaan untuk mendapatkan bantuan pemerintah, serta peranan kelembagaan pangan masyarakat yang berkurang dan lebih bersifat pasif. Revitalisasi kelembagan ketahanan pangan perlu dilakukan. Pelibatan masyarakat, komitmen pemerintah, koordinasi dan sinkronisasi merupakan kunci optimalisasi peran kelembagaan dalam penanganan kerawanan pangan dan gizi. Analisis livelihood menunjukkan bahwa desa-desa bertipologi dataran memiliki kapasitas modal publik dan privat yang paling baik. Desa-desa pada tipologi lembah dan lereng secara umum memiliki kapasitas modal publik dan privat yang paling rendah. Strategi nafkah rumah tangga di daerah dataran, lembah, dan lereng adalah rekayasa nafkah pertanian sedangkan di daerah tepi laut adalah pola nafkah ganda. Hasil analisis livelihood outcome menunjukkan bahwa rumah tangga rawan dan rentan pangan sebesar 61 persen, daerah bertipologi lembah memiliki tingkat kerawanan paling tinggi. Berbagai intervensi yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan dan gizi rumah tangga telah dilakukan namun lebih berfokus pada program yang bersifat pengaman sosial. Kedepan, prioritas strategi umum penanganan kerawanan pangan dan gizi yang harus dilakukan di Provinsi NTT, yaitu: [1] peningkatan kualitas sumberdaya manusia dan pemberdayaan masyarakat, [2] pembangunan infrastruktur dasar, [3] penciptaan lapangan kerja dan kesempatan berusaha, [4] perbaikan status gizi dan kesehatan masyarakat, [5] revitalisasi kelembagaan pangan dan gizi, [6] optimalisasi anggaran ketahanan pangan, [7] peningkatan produksi, dan [8] pengembangan cadangan pangan. Strategi khusus berdasarkan tipologi wilayah dibagi menjadi tiga kluster. Strategi Kluster 1 peningkatan kualitas sumber daya manusia menjadi prioritas 1 pada daerah bertipologi dataran dan tepi laut, Prioritas 2 pada daerah bertipologi lereng, dan Prioritas 3 pada daerah lembah. Strategi Kluster II pembangunan infrastruktur menjadi Prioritas 1 pada daerah bertipologi lembah dan puncak dan menjadi Prioritas 3 pada daerah bertipologi dataran dan laut. Strategi Kluster III peningkatan pendapatan menjadi Prioritas 2 pada daerah bertipologi dataran, tepi laut, dan lembah serta menjadi strategi Prioritas 3 pada daerah bertipologi lereng. Pengembangan wilayah dengan mengintegrasikan berbagai kebijakan, program, kegiatan serta pendanaan dilakukan dalam upaya mempercepat penanganan kerawanan pangan dan gizi.

Kulihat ibu pertiwi, sedang bersusah hati…”

Potongan lirik lagu berjudul Ibu Pertiwi itu dirasa tepat untuk menggambarkan kondisi Indonesia sekarang ini. Pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia sejak bulan Maret mengganggu banyak sekali sektor-sektor yang menyokong kehidupan masyarakat, termasuk diantaranya sektor pertanian. Sektor pertanian menjadi sorotan karena memiliki kaitan erat dengan ketahanan pangan nasional. Tentunya pada masa pandemi yang sulit seperti sekarang ini ketahanan pangan menjadi sesuatu yang harus diupayakan untuk menghindar dari krisis pangan yang seakan menghantui Indonesia.

[databoks.katadata.co.id]

Meskipun menurut data yang dilansir dari Badan Pusat Statistik Kementrian Pertanian stok pangan nasional diprediksi akan mengalami surplus hingga bulan Juni 2020, namun hal ini bukan berarti bahwa Indonesia serta merta terbebas dari ancaman krisis pangan yang bisa terjadi dimasa mendatang. Ditambah lagi, masa pandemi COVID-19 yang belum pasti akan berakhir kapan memiliki dampak yang sangat terasa di bidang pertanian.

Ketahanan pangan sendiri memiliki dua kata kunci penting yaitu ketersediaan pangan yang cukup dan merata serta akses penduduk terhadap pangan, baik secara fisik maupun ekonomi. Dr. Susanawati, SP., MP, dosen Agribisnis Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta [UMY], mengatakan bahwa jika diidentifikasi dari kedua poin tersebut, ketahanan pangan kita secara umum dapat dikatakan sedang terganggu. Dalam masa pandemi ini pemerintah telah memberlakukan kebijakan PSBB [Pembatasan Sosial Berskala Besar] di beberapa daerah, masyarakat juga diminta untuk mengurangi kontak fisik dan melakukan pekerjaan dari rumah. Hal ini dapat berpengaruh pada produksi, distribusi, dan juga konsumsi pangan.

Sarana untuk melakukan distribusi pangan menjadi terbatas sehingga terjadi kurangnya produktifitas pangan. Selain itu, dengan pola hidup masyarakat yang berubah, otomatis permintaan masyarakat sebagai konsumen pangan juga berubah. Hal ini dapat mengakibatkan perubahan harga-harga pada produk pangan. Salah satu contoh nyata yang dapat dilihat adalah ketika kebanyakan restoran dan kafe ditutup, maka permintaan bahan pangan pun menurun. “Akhirnya, bahan pangan yang sudah terlanjur diproduksi dalam jumlah besar mengalami penurunan nilai jual. Banyaknya UKM yang akhirnya harus gulung tikar di tengah situasi pandemi serta banyaknya pekerja yang dirumahkan juga berpengaruh pada akses ekonomi masyarakat terhadap pangan dimana daya beli yang dimiliki masyarakat pun menurun,” urai dosen yang akrab disapa Nana ini lagi.

Senada dengan Susanawati, Ir. Gatot Supangkat, M.S, Kepala Majelis Lingkungan Hidup Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa meskipun jumlah produksi pangan saat ini tidak mengalami banyak perubahan dan masih dapat dikatakan aman, permasalahan krisis pangan tetap dapat terjadi kedepannya. Permasalahan yang paling besar terjadi pada distribusi pangan. Dengan adanya pembatasan-pembatasan, distribusi pangan menjadi lemah. Akibatnya, stok pangan tidak merata di semua daerah. Ada daerah yang mengalami defisit dan ada pula yang mengalami produksi berlebih.

Petani selaku kunci dari pangan Indonesia selama masa pandemi ini diharapkan dapat tetap sehat dan bekerja dengan maksimal. Permasalahannya adalah sekarang ini jumlah petani di Indonesia banyak yang tergolong masuk ke usia tua, minim sekali jumlah petani yang berasal dari kalangan milenial. Hal ini dapat berpengaruh pada produktivitas pangan. Mirisnya, penggusuran dan kriminalisasi terhadap petani juga kerap terjadi, bahkan pada masa-masa pandemi seperti ini yang diharapkan masyarakat dapat saling berempati satu sama lain. Permasalahan lain yang berkaitan dengan pangan adalah ketersediaan lahan. Lahan pertanian kerap kali dialihfungsikan untuk keperluan tambang dan yang lainnya. Akibatnya, lahan untuk bertani menjadi semakin sempit bahkan lahan pertanian menjadi rusak tercemar oleh limbah-limbah dari tambang maupun pabrik.

Menurut kedua narasumber, pemerintah harus mengambil langkah dalam mencegah terjadinya krisis pangan. Dimulai dari menyejahterakan petani melalui bantuan dan fasilitas seperti misalnya bantuan relaksasi kredit kepada para petani miskin. Para petani juga sebaiknya dikenalkan dengan teknologi untuk membantu mereka dalam mendistribusikan serta menjaga kestabilan harga produk pangan dimasa pandemi seperti ini. Gatot bahkan menyarankan agar para petani diberi fasilitas berupa teknologi, modal, dan pemasaran melalui program BUMITANI [Badan Usaha Milik Petani]. Pertanian lokal dan lumbung pangan di tiap wilayah harus dihidupkan kembali untuk membangun nasionalisme. Selain itu, pemerintah juga dianggap perlu untuk memetakan potensi-potensi pertanian yang ada, melakukan stabilisasi harga pangan, melakukan konsolidasi terkait lahan pertanian, dan juga membuat regulasi-regulasi yang berkaitan dengan permasalahan pangan yang ada.

Selain peran pemerintah, masyarakat juga dapat ikut andil dalam menjaga ketahanan pangan untuk menghindari adanya krisis pangan. Masyarakat memiliki peluang untuk membangun kedaulatan dan kemandirian pangan. Dalam masa pandemi seperti ini, masyarakat cenderung menjadi lebih kreatif dan bisa berkreasi untuk mengakali situasi yang ada. Termasuk halnya dalam menjaga akses terhadap pangan. Masyarakat diharapkan memiliki kesadaran untuk melakukan penanaman mandiri minimal untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Ada banyak sekali cara untuk melakukan penanaman mandiri seperti misalnya urban farming dan juga melakukan penanaman dengan metode hidroponik dengan memanfaatkan lahan-lahan yang ada di rumah. [ays]

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề