Bangunan yang memiliki atap bertingkat tingkat di pura disebut

Konsep bangunan Pura di Bali mengacu pada pemahaman umat Hindu Bali terhadap Alam dan ajaran agama Hindu. Konsep pembuatan arsitektur Pura mengacu pada Sastra /Lontar Asta Kosala-Kosali yang di dalamnya terdapat falsafah perwujudan arsitektur Pura yaitu Tri Hita Karana, Panca Maha Bhuta, Nawa Sanga.

Ketiga falsafah tersebut menjadi dasar pembuatan arsitektur Pura yang di dalamnya terdapat suatu pemahaman mengenai alam yang dikaitkan dengan kepercayaan umat Hindu, seperti keterlibatan pengaruh Dewa- dewa yang terdapat pada setiap penjuru mata angin. Selain itu, bangunan Pura juga memiliki satuan ukur bangunan yang mengacu pada ukuran anatomi manusia itu sendiri.

Hal tersebut mengacu pada logika manusia sebagai pengguna bangunan. Pemahaman tentang alam juga mempengaruuhi struktur Pura yang dilihat dari denahnya juga mengacu pada pemahaman masyarakat Hindu Bali mengenai pembagian alam.
Pada umumnya struktur atau denah pura di Bali dibagi atas tiga bagian, yaitu: Jabapura atau jaba pisan (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah) dan jeroan (halaman dalam).

Di samping itu ada juga pura yang terdiri dari dua halaman, yaitu: jaba pisan (halaman luar) dan jeroan (halaman dalam) dan ada juga yang terdiri dari tujuh halaman (tingkatan). Pembagian halaman pura ini, didasarkan atas konsepsi makrokosmos (bhuwana agung), yakni : pembagian pura atas 3 (tiga) bagian (halaman) itu adalah lambang dari “triloka”, yaitu: bhurloka (bumi), bhuvaaloka (langit) dan svaaloka (sorga). Pembagian pura atas 2 (dua) halaman (tingkat) melambangkan alam atas (urdhaa) dan alam bawah (adhaa), yaitu akauadan pativi.

Sedang pembagian pura atas 7 bagian (halaman) atau tingkatan melambangkan “Saptaloka” yaitu tujuh lapisan/tingkatan alam atas, yang terdiri dari: bhurloka, bhuvaaloka, svaaloka, mahaoka, janaloka, tapaloka dan satyaloka. Dan pura yang terdiri dari satu halaman adalah simbolis dari “ekabhuvana”, yaitu penunggalan antara alam bawah dengan alam atas. Pembagian halaman pura yang pada umumnya menjadi tiga bagian itu adalah pembagian horizontal sedang pembagian (loka) pada pelinggih-pelinggih adalah pembagian yang vertikal. Pembagian horizontal itu melambangkan prakati (unsur materi alam semesta) sedangkan pembagian yang vertikal adalah simbolis puruua (unsur kejiwaan/spiritual alam semesta). Penunggalan konsepsi prakati dengan puruua dalam struktur pura adalah merupakan simbolis dari pada “Super natural power“.

Pemahaman masyarakat Hindu terhadap keyakinannya jelas tercermin ke dalam konsep bangunan Pura. Dilihat dari struktur pembagian denah Pura maupun bangunan yang ada di dalamnya merupakan cerminan dari pengertian alam yang di pahami masyarakat Hindu Bali. Hal tersebut dilakukan karena masyarakat Hindu Bali menginginkan suatu keseimbangan hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan Sang Hyang Widi Wasa agar kebahagiaan dapat tercapai bagi seluruh manusia.

Sebagian besar pura di Bali menggunakan struktur denah Pura Tri Mandala, yaitu :

1) Nista Mandala

Nista Mandala atau yang biasa disebut jaba pisan adalah bagian terluar dari arsitektur Pura. Bagian ini merupakan bagian Nista atau kotor dan tidak sakral dari sebuah pura. Setiap orang dapat memasuki bagian ini. Bangunan yang terdapat pada mandala ini diantaranya : Bale Kulkul, sebagai tempat kentongan digantung, Bale Wantilan, yaitu balai tempat pementasan kesenian yang diadakan di dalam pura, kemudian Bale Pawaregan yaitu bangunan yang digunakan sebagai dapur tempat sesaji dibuat, dan Lumbung yaitu bangunan yang digunakan untuk menyimpan beras.

2) Madya Mandala

Madya Mandala atau biasa disebut jaba tengah, adalah bagian tengah dari arsitektur Pura. Bagian madya mandala adalah bagian dalam pura yang sakral. Pada bagian ini umat Hindu sudah mulai terfokus untuk menghadap Sang Hyang Widi Wasa. Biasanya pada areal ini terdiri dari bangunan Bale Agung (Balai Panjang), Bale Pagongan (Balai tempat gamelan), selain itu juga terdapat Bale Panyimpenan (ruangan tempat menyimpan barang-barang berharga Pura) biasanya di atas pintu masuk bale panyimpenan terdapat karang Bhoma,yang berfungsi untuk menjaga barang-barang yang berada dalam ruangan tersebut.

3) Utama Mandala

Utama Mandala atau jeroan adalah bagian terdalam dan tersuci/tersakral dari sebuah Pura. Pada bagian Utama ini, umat diharuskan benar-benar fokus untuk menghadap Sang Hyang Widhi dengan meningggalkan nafsu keduniawiannya. Di bagian ini terdapat pelinggih-pelinggih seperti padmasana untuk menstanakan Sang Hyang Widhi (sebagai Trimurthi atau Tripurusa) atau pelinggih-pelinggih lain untuk pemujaan roh leluhur. Selain bangunan pelinggih, juga terdapat bale Piasan, dan bangunan Panglurah (bangunan yang menempatkan pangawal Sang Hyang Widhi). Untuk memasuki jeroan, umat Hindu satu persatu masuk melalui pintu pada Kori Agung yang dijaga oleh Karang Bhoma. Biasanya jika tidak ada upacara keagamaan, umat Hindu memasuki jeroan lewat bebetelan.

Makna Bangunan yang terdapat di dalam Pura

1. Candi Bentar

Candi Bentar merupakan pintu masuk yang membatasi antara bagian Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Candi Bentar dianggap sebagai perwujudan dari pangkal gunung Maha Meru, oleh karena itu dianggap kurang sakral daripada Kori Agung. Biasanya area sirkulasi dari candi bentar dibuat lebar. Hal ini dimaksudkan agar para umat Hindu datang dengan leluasa. Candi Bentar juga merupakan pintu masuk yang membatasi Nista Mandala dengan Madya Mandala, biasanya area sirkulasinya sama dengan Candi Bentar sebelumnya yang membatasi antara Nista Mandala dengan bagian luar Pura. Ruangan/pintu candi bentar dibuat agak lebar,dimaksudkan agar umat dapat lebih banyak masuk jaba tengah sekaligus. Juga mengandung arti umat boleh dengan leluasa keluar masuk dari jaba sisi ke jaba tengah atau sebaliknya. Bangunan ini merupakan sebagai pintu masuk penyaring atau penanda dimana setelah melewati pintu masuk ini, umat Hindu sudah mulai melepaskan keduniawiannya.

2. Kori Agung

Merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala). Ruang/pintu tempat masuk sengaja dibuat kecil, hanya cukup untuk satu orang. Diatasnya terdapat ornament berupa karang Boma, dan dijaga oleh dua buah patung Dwara Pala. Hal ini mengandung pengertian untuk masuk jeroan (Utama Mandala), tidak setiap orang bebas leluasa melainkan masuk satu persatu,maksudnya agar mereka yang masuk ke dalam jeroan atau (Utama Mandala) benar-benar orang yang satu antara bayu (tenaganya), Sabha (perkataannya), Idep (pikirannya), dan bulat tertuju hanya untuk memuja Tuhan.

3. Padmasana

Padmasana yang dikembangkan oleh Danghyang Nirartha atau Pedanda Sakti Wawu Rauh. Ia seorang sastrawan Majapahit sekaligus pendeta yang memperkenalkan arsitektur pura. Beliau datang ke Bali untuk menyebarkan agama Hindu Siwa Sidhanta pada abad ke-15 ketika kekuasaan kerajaan Majapahit mulai memudar.
Ajarannya yang pertama adalah mendirikan padmasana di setiap komplek pura maupun pamerajan sebagai tempat pemujaan Sang Hyang Widhi Wasa. Pembangunan padmasana ini dilakukan untuk memperbaiki kesalahan persepsi masyarakat terhadap Sang Hyang Widhi. Sebelumnya masyarakat Bali membuat pelinggih dari bambu atau pohon pinang yang tidak permanen dan biasanya dicabut kembali setelah upacara selesai.

Hal tersebut menyababkan timbulnya pura-pura fungsional yaitu pura yang memiliki fungsi khusus, sebagai contoh : Pura Ulun Siwi untuk menyembah-Nya sebagai penguasa kemakmuran, Pura Melanting untuk menyembah-Nya sebagai penguasa pasar dan sebagainya. Timbulnya pura-pura tersebut menyebabkan persepsi bahwa Tuhan itu banyak. Maka Danghyang Nirartha menganjurkan pendirian padmasana untuk memperbaiki persepsi yang salah tersebut.
Sebutan Padmasana berasal dari kata Padma yang berarti bunga Teratai, dan Asana berarti sikap yang terbaik dalam memuja. Teratai/Padma adalah salah satu simbol kesucian dalam agama Hindu, karena bunga Teratai ini dianggap dapat bertahan hidup walaupun hidup dalam lumpur, tidak sedikitpun lumpur yang menempel pada bunganya. Dengan tidak adanya kotoran yang melekat ini merupakan simbol bahwa kesucian itu akan bebas dari segala kemelekatan atau noda.

Pada bagian kepala/sari terdapat Singghasana seperti kursi yang diapit oleh naga tatsaka. Pada bagian belakangnya terdapat ulon yang bagian tengahnya terdapat ukiran lukisan Sang Hyang Acintya sebagai simbol perwujudan Ida Sang Hyang Widhi. Lukisan ini menggambarkan sikap tari dari dewa Siwa yang disebut dengan Siwa Natyaraja dalam menciptakan alam semesta.
Sebenarnya posisi Padmasana adalah sikap duduk bersila dengan kedua telapak kaki dilipat ke atas, sehingga tampak seperti posisi yang berbentuk lingkaran. Hal ini tidak sesuai dengan apa yang terlihat di lapangan bahwa pada puncak padmasana terdapat Singghasana yang berupa kursi berkaki empat. Jadi nama Padmasana sebenarnya digunakan karena isi dari pedagingan yang ditanamkan pada puncak bangunan tersebut berupa padma yang terbuat dari emas. Sedangkan pada padmasana yang menggunakan Bhedawang Nala, pedagingan berjumlah tiga buah, yang ditanamkan pada dasar, tengah, dan puncak.

Fungsi utama padmasana adalah sebagai tempat pemujaan Tuhan Yang Maha Esa atau Sang Hyang Widhi Wasa sehingga tidak ada padmasana yang dijadikan sebagai pemujaan roh leluhur. Pelinggih padmasana adalah simbol stana Sang Hyang Widhi dengan berbagai sebutan, yaitu Sanghyang Siwa Raditya, dalam manifestasi yang terlihat atau dirasakan manusia sebagai matahari atau surya dan Sanghyang Tri Purusa dalam tiga manifestasi yaitu sebagai Siwa, Sada Siwa, dan Parama Siwa. Oleh karena itu, padmasana merupakan pelinggih yang digunakan oleh umat Hindu sekte Siwa Sidhanta karena sentral manifestasi Hyang Widhi yang menjadi pujaan utama adalah sebagai Siwa.

Berdasarkan tata letak, padmasana dibedakan berdasarkan arah mata angin, yang terbagi menjadi sembilan jenis, yaitu :

  1. Padma Kencana, di timur (purwa) menghadap ke barat (pascima)
  2. Padmasana, di selatan (daksina) menghadap ke utara (uttara)
  3. Padmasari, di barat (pascima) menghadap ke timur (purwa)
  4. Padma Lingga, di utara (uttara) menghadap ke selatan (daksina)
  5. Padma Asta Sedhana, di tenggara (agneya) menghadap ke barat laut (wayaba)
  6. Padma Noja, di barat daya (nairity) menghadap ke timur laut (airsaniya)
  7. Padma Karo, di barat laut (wayabya) menghadap ke tenggara (agneya)
  8. Padma Saji, di timur laut (airsanya) menghadap ke barat daya (nairity)
  9. Padma Kurung, di tengah-tengah pura (madya) menghadap ke pintu masuk/keluar (pemedal)

Pemilihan letak padmasana berdasarkan pertimbangan letak pura dan konsep hulu-teben. Dikarenakan manusia sulit membayangkan Hyang Widhi, maka Hyang Widhi dianggap seperti organ tubuh manusia yaitu memiliki kepala, badan, dan kaki. Kepala dikatakan sebagai hulu, badan sebagai madya dan kaki sebagai teben. Yang utama selalu berada di hulu. Hal tersebut mempengaruhi pembagian mandala pada pura yang dibagi menjadi bagian nista, madya, utama. Hulu teben memakai dua acuan yaitu timur sebagai hulu dan barat sebagai teben, atau gunung sebagai hulu dan laut sebagai teben.

Sedangkan berdasarkan bentuk pepalihan (undakan) dan rong (ruang) bangunan padmasana terdiri dari :

  1. Padma Anglayang, bangunan padmasana yang memakai Bhedawang Nala, bertingkat tujuh / berpalih tujuh dan di puncaknya terdapat tiga ruang. Digunakan selain sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga Trimurti
  2. Padma Agung, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di puncaknya terdapat dua ruang. Dipakai sebagai tempat distanakannya Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga stana Ardanareswari yaitu kekuatan/kesaktian Hyang Widhi sebagai pencipta segala yang berbeda misalnya, lelaki-perempuan, siang-malam, kiri-kanan dan seterusnya.
  3. Padmasana, memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat lima/ berpalih lima dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan selain sebagai stana Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa, juga sebagai stana Sang Hyang Tunggal yaitu Hyang Widhi/ Yang Maha Esa.
  4. Padmasari, tidak memakai dasar Bhedawang Nala, bertingkat/ berpalih tiga dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan hanya untuk stana Sang Hyang Siwa Raditya atau Sang Hyang Tripurusa.
  5. Padma Capah, tidak memakai dasar Bhedawang Nala bertingkat/berpalih dua dan di puncaknya terdapat satu ruang. Digunakan sebagai Baruna (Dewa Lautan)

4. Gedong

Bentuknya serupa dengan tugu hanya bagian kepalanya terbuat dari konstruksi kayu, atapnya alang-alang, ijuk atau bahan-bahan penutup lain mengikut bentuk dan fungsinya. Bagian badan dan kaki, pasangan batu halus tanpa atau sedikit perekat siar-siar pasangan. Denah bujur sangkar dengan ukuran sisi dasar sekitar 1m dan tinggi sekitar 3m.

Fungsi Gedong beragam sesuai dengan tempatnya di pamrajan, pura, kahyangan atau dilain tempat tertentu. Tata letak gedong, bentuk konstruksi atap dan ketentuan lain mengikut fungsi gedong tersebut. Pemakaian bahan, penyelesaian konstruksi dan hiasannya sesuai dengan tingkatan utama, madya dan sederhana dari suatu pura yang ditempatinya.

Terdapat juga gedong kembar dengan dua ruangan dan gedong tiga ruangan atau rong telu untuk kemulan di sanggah atau pamerajan. Gedong dengan atap bertumpang disebut gedong sari untuk kahyangan jagat dari suatu pura tertentu.Dasar ukuran gedong, proporsi berbaturan dan rangka ruangnya didasarkan pada ketentuan tradisional. Bentuk penyelesaian, bagian-bagian dan hiasannya bervarisi mengikuti kreasi logika dan estetika perancangnya.

5. Meru

Bentuk Meru menonjolkan keindahan atap bertingkat-tingkat yang disebut atap tumpang. Jumlah tumpang atap selalu ganjil, yaitu tumpang 3, 5, 7, 9, dan tumpang 11 yang tertinggi. Keindahan banguanan meru timbul dari ketepatan proporsi, teknik konstruksi dan hiasannya. Tata letak meru di suatu pura adalah di halaman jeroan bagian utara. Meru umunya menghadap kearah barat di sisi timur sebagai tempat pemujaan utama. Menurut mitologi Hindu, Meru merupakan nama sebuah gunung di Sorgaloka. Salah satu puncaknya disebut Kailasa, yang merupakan tempat bersemayamnya Bhatara Siwa. Gunung tersebut lalu diturunkan ke dunia menjadi gunung Himalaya di India, Gunung Mahameru di Jawa, dan gunung Agung di Bali.

6. Pelinggih-pelinggih Runtutan

Meru, Padmasana, Gedong dan Kemulan merupakan bangunan-bangunan pelinggih tempat pemujaan utama.

Untuk bangunan pelengkap dengan fungsi tertentu di suatu Pura atau Pamerajan dibuat bangunan-bangunan runtutan sebagai berikut :

  • Tajuk atau pepelik ; bentuk dan konstruksinya serupa bangunan gedong terbuka tiga sisi ke depan dan sisi samping. Fungsinya untuk penyajian sarana dan perlengkapan upacara.
  • Bangunan dan paliangan ; bentuk dan konstruksinya serupa dengan gedong, sedikit lebih besar dan ada yang memakai tiang jajar. Fungsinya untuk menstanakan symbol-simbol dan saran upacara.
  • Taksu nenggeng ; semacam gedong bertiang satu dan taksu nyangkil semacam gedong ruang dua empat tiang, dua tiang gantung di tepi kanan.
  • Manjangan salu wang ; Serupa dengan gedong, terbuka tiga sisi, didepan memakai tiang tengah dengan kepala manjangan.
  • Gedong Mas Catu dan Mas Sari ; bentuk dan konstruksinya sama dengan gedong. Mas Catu puncak atapnya tumpul dan Mas Sari puncaknya kerucup lancip. Fungsinya untuk tempat pemujaan Sri Sedana, harta kekayaan untuk kesejahteraan.
  • Gedong Agung, Gedong Ibu dan Gedong Batu ; bangunan gedong besar dengan dinding batu berhias ornament pepalihan. Fungsinya tempat pemujaan leluhur di sanggah dan pamerajan. Terdapat juga di Pura Kahyangan Tiga.
  • Selain bangunan-bangunan itu terdapat juga bangunan-bangunan yang digunakan sebagai pelengkap upacara, yaitu ;
  • Bale Piyasan :sebuah bangunan tipe sakepat, sakenem, astasari, atau sakaroras sesuai dengan besarnya tingkatan pura. Fungsinya untuk tempat penyajian sarana-sarana upacara. Terbuka pada keempat sisinya. Letaknya di sisi barat halaman atau sisi lain menghadap meru, gedong atau padmasana. Atap dari alang-alang dan bahannya dari klas khusus untuk bangunan pemujaan.
  •  Bale Pawedaan : bangunan sakepat atau lebih besar, letaknya di sisi sehadapan dengan bangunan pemujaan. Bale Pawedaan dibangun di pura-pura besar yang sering menyelenggarakan upacara tingkat utama.
  • Pewaregan Suci, letaknya di Jaba tengah atau jaba sisi. Bentuk bangunannya memanjang deretan tiang dua-dua,luas bangunan tergantung keperluan dari besarnya suatu pura. Fungsi bangunan untuk dapur mempersiapkan keperluan sajian upacara di Pura yang jauh dari desatempat pemukiman.
  • Bale Gong, terletak di jaba tengah atau jaba sisi, bangunan tanpa balai-balai jajaran tiang tepi tanpa tiang tengah. Fungsi bangunan untuk tempat menabuh gamelan gong atau gamelan lainnya.
  • Bale Kul-kul, letaknya di sudut depan pekarangan pura. Fungsinya untuk tempat kulkul yang dibunyikan awal, akhir dan saat tertentu pada upacara.
  • Penggunaan, letaknya dibagian selatan menghadap ke utara atau jabaan. Bentuk bengunan sederhana, fungsinya untuk tempat penyajian banten upacara.

Pura dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis, namun walaupun demikian, tidak mempengaruhi bentuk fisik dari pura tersebut. Pengelompokkan adalah sebagai berikut :

a. Berdasarkan Fungsinya

  • Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa dengan segala manifestasinya atau dengan segala perwujudannya.
  • Pura Kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja roh suci leluhur. Masyartakat Bali percaya bahwa setelah melalui upacara penyucian, roh leluhur memasuki alam dewata. Secara fisik tidak terlihat perbedaannya, tetapi hal tersebut dapat dibedakan dengan pedagingannya.

b. Berdasarkan pemuja pura

  • Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu keluarga atau mempunyai hubungan darah. Kelompok Pura ini adalah Sanggah, sebutan untuk golongan jaba (diluar Tri Wangsa), Pemerajan (sebutan untuk golongan Tri Wangsa), Dadia dan Kawitan.
  • Pura yang penyungsungnya atau pemujanya berasal dari satu wilayah atau teritorial yang sama. Kelompok Pura ini pura Kahyangan Tiga (Pura Desa dan Bale Agung, Pura Puseh, Pura Dalem). Pura Kahyangan Tiga memiliki tiga macam Pura yang masing-masing merupakan tempat pemujaan Trimurthi (perwujudan Sang Hyang Widhi), yaitu;
    • Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Brahma, yaitu perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta alam semesta. Pura ini letaknya di pusat desa dan biasa disebut sebagai Pura Desa.
    • Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Wisnu, yaitu perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pemelihara alam semesta. Pura ini disebut Pura Puseh dan letaknya berdekatan dengan Pura Desa atau satu tempat dengan Pura Desa.
    • Pura yang diperuntukkan untuk memuja Dewa Siwa, yaitu perwujudan Ida Sang Hyang Widhi sebagai Sang Pelebur. Pura ini disebut Pura Dalem, dan biasanya terletak di dekat kuburan desa, di tepi, atau di luar desa.
  • Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai kepentingan yang sama atau fungsional. Pura ini biasa disebut sebagai Pura Pengulu. Pura ini diperuntukkan bagi umat Hindu yang memiliki profesi yang sama, sebagai contoh petani, nelayan, dan lain-lain.
  • Pura yang penyungsungnya atau pemujanya mempunyai ikatan keagamaan secara umum untuk seluruh umat tidak ada batasannya. Kelompok Pura ini adalah Pura Sad Kahyangan (Pura Besakih, Pura Lempuyang, Goa Lawah, Pura Luhur Uluwatu, Pura Bukit Pengelengan, Pura Watukaru), Pura Kahyangan jagat (Pura Batur, Pura Andakasa, Pura Tanah Lot, Pura Pulaki, dan lain – lain termasuk Pura Sad Kahyangan di atas) yang tersebar di seluruh Bali. Biasanya Pura Sad Kahyangan dijadikan tempat untuk mengadakan upacara yang diperuntukkan untuk alam, seperti hutan, kebun, ladang, gunung, laut, danau, dan lain-lain.

c. Pura Penunggu,

yaitu Pura yang sengaja dibangun di tempat-tempat yang dianggap angker atau ada penunggunya, seperti goa,lokasi tempat terjadi kecelakaan, dekat pohon besar yang dianggap angker, dan lain-lain.

Sebagai bagunan suci, Pura merupakan sarana peribadatan bagi umat Hindu dalam usahanya melakukan penyerahan diri dan mendekatkan diri kehadapan Sang Hyang Widhi Wasa sehingga dapat meningkatkan kualitas umat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Di tempat suci seperti Pura, diharapkan manusia dapat mengembangkan dirinya untuk saling mengenal diantara sesama umat sehingga kerukunan intern umat Hindu dapat terwujud.
Pura digunakan oleh umat Hindu untuk melakukan upacara–upacara yang bersifat keagamaan. Secara keseluruhan, kegiatan upacara dapat dibagi menjadi lima macam upacara (Panca-Yadnya). Panca Yadnya merupakan lima pokok penuntun pelaksanaan upacara yadnya di Bali.

(sumber : komangputra )