Berikut ini adalah termasuk Hikmah dari perilaku adil kecuali

Berbuat adil terdapat beberapa hikmah, di antaranya adalah: 1. Mendapatkan rizki yang banyak. 2. Mendapat perlindungan dari Allah pada hari kiamat. Yaitu pada waktu yang tidak ada perlindungan kecuali perlindungan dari Allah. 3. Tidak akan takut dan tidak akan susah. 4. Mendatangkan perdamaian yang merata. 5. Mendapat kemuliaan, kenikmatan banyak di surga.

6. Mendapatkan rahmat Allah.

Oleh : Ista Maharsi, S.S., M.Hum (Dosen Prodi PBI) —-

Manusia tidak akan pernah bisa hidup sendiri karena manusia tidak akan merasa cukup dengan dirinya. Dengan kondisi demikian, manusia membutuhkan orang lain untuk menggenapi keganjilan dirinya. Dalam hubungan antar manusia ini, pemenuhan kebutuhan yang bersifat saling menguntungkan, saling memberi, dan saling menerima menjadi tak terelakkan. Dalam istilah keilmuan, hubungan ini jamak disebut sebagai kehidupan sosial. Dalam kehidupan sosial ini, keadilan menjadi sebuah nilai yang paling penting dan utama dalam masyarakat.

Dalam Al Qur’an konsep keadilan disebut dalam 28 ayat dan 11 surat, dan kata al-adl memiliki makna lurus serta dianggap semakna dengan adil dan seimbang (Baqiy dikutip dari Sasongko, 2018). Dalam artikelnya, Sasongko (2018) menambahkan bahwa adil menurut Ibnu Khaldun adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Atau dengan kata lain, seseorang melakukan kewajibannya dan mendapatkan hak serta fungsi dan perannya di dalam masyaratakat.

Dengan mengacu pada konsep keadilan Ibnu Khaldun, berbuat adil merupakan sebuah keharusan yang dilakukan oleh setiap individu agar kehidupan sosial terjaga. Jika seseorang menjalankan kewajibannya, orang lain akan mendapatkan hak-haknya. Demikian juga berlaku sebaliknya, jika orang melakukan kewajibannya, kita akan mendapatkan hal-hak kita.

Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَأَقْسِطُواْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

Dan berlaku adillah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil (QS Al-Hujurat: 9)

Dari ayat tersebut, dapat disarikan bahwa Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil dan Allah perintahkan manusia untuk berbuat adil. Tidak ada batasan kapan dan di mana orang harus berbuat adil, selama seseorang berinteraksi dengan orang lain, maka di situlah keadilan harus selalu ditegakkan.

Konsep keadilan dapat diterapkan, dimanapun dan kapanpun. Dalam dunia pendidikan, misalnya, seorang guru dan siswa juga dituntut untuk berbuat adil di dalam kelas dan dalam hubungannya dengan apapun yang bersifat akademik. Dalam tulisan singkat ini, berbagai contoh penerapan keadilan seorang guru dan siswa akan dibahas berikut hikmah yang dapat diambil dari berbuat adil.

Kewajiban seorang guru adalah mengajar, menyampaikan materi pembelajaran sesuai dengan ketentuan kurikulum, memberikan latihan-latihan, melaksanakan ujian, memberi umpan balik pada pekerjaan siswa, mengoreksi, memberi nilai, dan mendidik siswa menjadi lulusan yang mumpuni di bidangnya menurut tingkatan pendidikan masing-masing. Sedangkan kewajiban siswa adalah mengikuti proses pembelajaran, mengikuti instruksi yang diberikan guru, mengerjakan latihan, mengerjakan tes dengan jujur, dan menerima hasil ujian.

Dalam pola interaksi guru dan siswa, apa yang menjadi kewajiban siswa adalah hak guru, demikian juga sebaliknya apa yang menjadi kewajiban guru adalah hak siswa. Meskipun terlihat sederhana, berbuat adil di dalam kelas dan dalam interaksi antara guru dan siswa tidaklah mudah. Disiplin, misalnya, menjadi kewajiban baik guru dan siswa. Jika keduanya menerapkan disiplin, keduanya akan mendapatkan hak yang sama. Jika guru masuk kelas tepat waktu, siswa akan mendapatkan hak belajar yang seharusnya. Demikian sebaliknya, jika siswa tepat waktu, guru pun dapat melakukan tugas mengajarnya sesuai dengan alokasi waktu yang ditentukan. Namun, jika salah satu pihak tidak melakukan kewajiban tersebut, akan ada pihak yang dirugikan. Contoh kasus lain adalah kewajiban guru dalam memberi umpan balik atas kemajuan belajar siswa. Saat umpan balik tidak diberikan, siswa tidak dapat belajar dengan maksimal. Jika siswa tidak mengumpulkan tugas, guru pun tidak dapat menjalankan kewajiban dengan baik.

Dari beberapa contoh di atas, yang paling sering menjadi perdebatan adalah perihal nilai dan perlakuan adil dalam interaksi guru-siswa. Memberi nilai secara adil tidaklah mudah. Seringkali, guru tidak dapat menghindarkan diri dari sifat subjektifitasnya. Subjektifitas itu dapat disebabkan oleh faktor kedekatan dengan siswa, faktor pengalaman sebelumnya, faktor suka tidak suka, dan faktor lain yang seharusnya tidak masuk ke dalam rubrik penilaian. Itulah kenapa saat seorang guru menilai, hendaklah dia fokus pada rubrik penilaian yang telah ditentukan sehingga dapat meminimalkan subjektifitas penilaian. Kesampingkan faktor-faktor lain yang dapat mempengaruhi keadilan dalam memberi nilai. Menghilangkan sama sekali subjektifitas juga tidak mungkin, namun paling tidak subjektifitas dapat diminimalkan. Dalam kasus lain seperti plagiarisme, saat ada siswa yang menggunakan jawaban temannya, guru dituntut untuk bersikap adil. Tentu hal ini butuh pembuktian. Seorang siswa layak diberi hukuman karena melakukan plagiarisme, dan hukuman tersebut harus berlaku untuk siapapun tanpa kecuali. Hukuman pengurangan nilai misalnya harus diberlakukan untuk semua yang melakukan plagiarisme tanpa melihat siapa siswa itu.

Perlakuan adil bagi seluruh siswa dalam hal interaksi pun tidak luput dari bias. Jangan membedakan perlakuan pada siswa yang pandai dengan yang kurang pandai, yang dekat dengan guru dan yang tidak dekat dengan guru, kecuali unsur-unsur tersebut masuk dalam kriteria penilaian standar yang telah disepakati sebelumnya. Jangan memberikan tugas pada siswa yang belum pernah diajarkan sebelumnya. Jangan memberikan penilaian berdasarkan suka tidak suka, jangan bermuka masam pada siswa yang sering absen, jangan membuang muka pada siswa yang pernah melakukan kesalahan cukup serius. Berilah kelonggaran saat siswa benar-benar dalam kesulitan. Berilah bantuan dan bimbingan saat siswa benar-benar membutuhkan pendampingan.

Dari beberap contoh kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa yang wajib dilakukan adalah bersikap adil dan menghindari bersikap tidak adil. Namun, menurut Al-Ghazali, sikap ini saja tidak cukup dalam interaksi masyarakat. Sikap adil perlu diikuti dengan sikap ihsan (melakukan kebaikan untuk orang lain tanpa menuntut balasan) seperti disebut dalam Kitab Ilya Ulumuddin. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sikap ihsan adalah sikap sukarela, bukan wajib. Oleh sebab itu, bentuk sikap keadilan adalah wajib lalu ditambah dengan kerelaan. Hal ini berarti pula bergesernya unsur kewajiban/legalitas menjadi moralitas dan keharusan menjadi kerelaan (Orman, 2018). Dengan kata lain, dalam penerapan keadilan antara guru dan siswa hendaknya bergeser dari wajib berbuat adil menjadi sebuah gerakan moral bahwa apa yang dilakukan itu adalah sebuah tindakan bernilai tinggi, yang awalnya sebuah keharusan menjadi kerelaan. Dengan demikian, sikap adil dapat menjadi sebuah kerelaan oleh siapa saja untuk siapa saja. Tentu saja, semua harus dalam bingkai aturan Islami.

Dalam kitab Minhajul Muslim yang ditulis oleh Abu Bakr Jabir Al-Jazairi disebutkan bahwa salah satu hikmah dari berbuat adil adalah datangnya ketenangan (Rizqa, 2019). Dikisahkan dalam buku tersebut bahwa utusan kaisar Romawi datang mencari Umar bin Khattab ra untuk melihat lebih dekat kehidupan sahabat Nabi itu. Utusan tersebut mencari dan menemukan Umar bin Khattab sedang tidur beralaskan tanah dan berbantalkan sebuah tongkat kecil. Lalu, utusan itupun berkata bahwa karena umar berbuat adil, dia dapat tidur dengan tenang. Sedangkan raja utusan Romawi tersebut berbuat zalim hingga dia tidak pernah tidur nyenyak. Hikmah dari kisah ini adalah bahwa keadilan akan mendatangkan ketenangan dan kebahagiaan bagi pelakunya. Secara logika, tentu saja orang yang berbuat adil tidak akan terbebani oleh ketidakadilan yang dirasakan oleh orang lain.

Sebagai penutup, sebuah ayat dalam Al Qur’an dapat kita jadikan renungan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ لِلَّهِ شُهَدَاءَ بِالْقِسْطِ ۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ ۖ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Maidah: 8).

Wallahua’lam bisshowab.

Referensi

Orman, S. (2018). Al-Ghazâlî on Justice and Social Justice. Turkish Journal of Islamic Economics, 5(2), 1–66. https://doi.org/10.26414/m020

Rizqa, H. (2019). Adil Berbuah Ketenangan. Retrieved April 14, 2020, from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/pramwa458/adil-berbuah-ketenangan

Muhammad Fuad Abdul Baqiy. Al-Mu’’jam al-Mufahras Li Alfaz. dalam Sasongko, A. (2018). Berbuat Adil | Republika Online. Republika Online. Retrieved from https://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-nusantara/18/09/18/pf8y57313-berbuat-adil

AKURAT.CO, Sebagai umat Islam, tentunya kita mengetahui bahwa Allah menyukai orang-orang yang mampu bersikap adil. Adil dalam hal ini adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, sesuai ukuran dan kadarnya. Dalam Al-Qur’an surah An-Nahl ayau 90 disebutkan bahwa,

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusushan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”

Tak hanya adil terhadap sesama, kita juga harus bisa adil terhadap diri sendiri. Artinya memperhatikan dan menyayangi diri sendiri dengan kadar yang hanya kita sendiri yang tahu. Adil terhadap diri sendiri berbeda dengan egois, yang mengarah kepada keuntungan diri sendiri.

Menjaga diri untuk menjauhi perbuatan dosa, makan makanan yang halal hingga memberikan tubuh waktu untuk beristirahat juga termasuk perilaku adil terhadap diri sendiri.

Berikut ini beberapa manfaat adil terhadap diri sendiri.

1. Meningkatkan ketakwaan

Berlaku adil merupakan perilaku yang dekat dengan takwa. Dengan kita berlaku adil, maka insyaallah kita akan termasuk dalam golongan orang-orang yang takwa.

Sebagaimana dalam surah Al-Maidah ayat 8, “Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”

2. Menjadi lebih tenang dan bahagia

Ketika kita bisa berlaku adil terhadap diri sendiri dalam artian mengerti batasan toleransi tubuh dan tidak memaksakan suatu hal ke dalam diri sendiri, maka hidup kita akan lebih tenang. Memahami hak dan kewajiban diri juga akan membuat kita lebih bahagia.

3. Sarana introspeksi diri

Saat kita berlaku adil, kita akan tahu kesalahan yang kita perbuat. Dengan tidak menyangkalnya, maka hati kita akan terbuka mengoreksi diri sendiri, sehingga kemudian memperbaikinya dan tumbuh menjadi pribadi yang lebih baik.

4. Membuka pintu rezeki

Salah satu perilaku adil terhadap diri sendiri adalah memberikan waktu bagi tubuh untuk beristirahat. Istirahat merupakan kebutuhan bagi tubuh setelah menunaikan kewajibannya bekerja.

Sebagaimana dalam surah Yunus ayat 67, “Dialah yang menjadikan malam bagimu supaya kamu beristirahat padanya dan (menjadikan) siang terang benderang (supaya kamu mencari karunia Allah).”

Dengan beristirahat, tubuh kita akan optimal ketika bekerja. Hal ini akan membukakan pintu rezeki.

5. Menumbuhkan sifat jujur

Adil terhadap diri sendiri juga membuat kita lebih jujur terhadap diri sendiri. Sikap yang jujur kepada diri sendiri juga akan membuat kita jujur terhadap orang lain, dan membuat diri semakin berkualitas.[]