Bolehkah jenazah perempuan dimandikan oleh pamannya jelaskan

Baca Juga

Bolehkah jenazah perempuan dimandikan oleh pamannya jelaskan


Apabila jenazah perempuan dan tidak ada perempuan yang bisa memandikannya apa boleh laki laki

Jika seseorang meninggal-dalam kondisi normal, di luar syahid, misalnya-, jenazahnya wajib dimandikan. Ini merupakan bagian dari prosesi penghormatan terhadap manusia ketika wafat. Rasululullah SAW sangat menekankan urgensi dan kewajiban pemandian jenazah tersebut.

Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi Ahkam al-Marati menjelaskan, hadis Bukhari Muslim dari Ummu Athiyyah menyebutkan, ketika salah seorang putri Rasul wafat, Nabi memerintahkan agar jenazah sang putri dimandikan hingga bersih, sebanyak tiga atau lima kali, bahkan lebih sesuai dengan kebutuhan.

Ini ditegaskan pula dalam hadis riwayat Bukhari dari Ibnu Abbas. Dalam hadis tersebut Rasul memerintahkan agar jenazah sahabat yang jatuh dari kendaraan segera dimandikan. Sementara, hukum memandikan jenazah bagi mereka yang masih hidup ialah fardhu kifayah, yaitu kewajiban yang gugur jika telah ditunaikan oleh orang lain.

Lalu, Apabila jenazah perempuan dan tidak ada perempuan yang bisa memandikannya apa boleg laki laki??? dan siapa sajakah yang layak memandikan jenazah almarhumah? Masih menurut Prof Zaidan dalam bukunya itu, ada beberapa opsi pandangan ulama terkait masalah ini. Menurut Mazhab Hanafi, mereka yang paling pantas memandikan almarhumah sebagai sesuai dengan urutannya, yaitu pihak yang tertunjuk di wasiat, ibu almarhumah (hingga orang tua ke atas, seperti nenek dan seterusnya), anak perempuan almarhumah (berikut keturunannya), keluarga terdekat sebagaimana berlaku di hukum warisan, misalnya, saudara kandung lebih diutamakan daripada saudara tiri, keluarga sedarah seperti saudara tiri, dan terakhir ialah orang lain.

Menurut Mazhab yang berafiliasi ke Imam Hanafi itu, opsi yang terakhir, yaitu memandikan jenazah perempuan lebih dikedepankan daripada pelaksanaannya oleh suami sendiri. Ini dengan alasan, untuk menghindari perbedaan pendapat, terkait boleh tidaknya suami memandikan istrinya.

Mazhab Syafii berpendapat, jika seorang perempuan meninggal dan suami sudah tidak ada maka yang paling layak memandikan almarhumah ialah keluarga kandung, seperti ibu, putri kandung, cucu perempuan, saudari kandung, bibi kandung, dan seterusnya. Kemudian, disusul oleh keluarga yang bukan mahram, seperti putri dari paman dan bibi. Jika kerabat tersebut di atas sudah tidak ada maka kerabat laki-laki bisa mengemban tugas itu, sesuai dengan urutan mahram, seperti ayah kandung, kakek, kemudian putra kandung. Sesuai dengan urutan di atas.

Masih menurut Mazhab yang berkiblat ke Imam Syafii ini, jika suami masih ada maka pasangan hidup almarhumah itu boleh memandikannya. Apakah suami akan didahulukan ketimbang keluarga perempuan?

Menurut Mazhab ini, ada dua opsi, yakni sang suami lebih diutamakan. Ini karena suami memiliki hak untuk melihat bagian tubuh almarhumah. Hal yang sama tidak dimiliki oleh keluarga perempuan. Opsi yang kedua, tetap kerabat perempuan yang memandikan.

Mazhab Maliki berpandangan, suami lebih diprioritaskan untuk memandikan almarhumah. Sekalipun, tertulis di wasiat bahwa ia telah menunjuk pihak tertentu untuk melaksanakan tugas itu. Jika terjadi perselisihan, hakim agama setempat berhak untuk memutuskan.

Bila suami tidak ada atau gugur hak memandikan lantaran ketidakmampuan maka yang paling pantas menjalankan prosesi pemandian tersebut ialah keluarga kandung terdekat, seperti putri kandung, ibu kandung, saudari kandung, saudari tiri, keponakan perempuan, dan seterusnya. Jika keluarga tersebut tidak ada, kewajiban itu diambil alih oleh orang lain di luar keluarga.

Di dalam Islam, memang Islam memberikan step-step tentang mengurusi jenazah baik jenazah laki-laki ataupun perempuan.

Aisyah r.a. berkata bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda, Barangsiapa yang memandikan mayat sambil menyempurnakan segala amanatnya, tidak membicarakan segala aib yang ada pada dirinya maka orang yang memandikan itu besih dari dosa laksana seorang anak yang baru dilahirkan oleh ibunya Kemudian Rasulullah bersabda lagi, Akan lebih utama yang memandikan mayat itu adalah kerabatnya, kalau dia bisa; tetapi kalau dia tidak bisa, siapa saja yang dipandang ahlinya, teliti, dan amanat (H.R. Ahmad)

Rasulullah saw. bersabda pada istrinya, Aisyah, jika kamu meninggal terlebih dahulu, aku yang akan memandikan dan mengkafanimu serta akulah yang akan menyalati dan menguburkanmu (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah).

Hadis ini menegaskan bahwa suami bisa memandikan jenazah istrinya dan istri boleh memandikan jenazah suaminya. Kesimpulannya, alangkah beruntung apabila kita bisa memandikan jenazah orang yang kita cintai. Terlebih lagi jika hal tersebut adalah wasiat, maka wajib dilakukan.

Adapun jika tidak ada wasiat, maka yang berhak adalah ayahnya atau kakek-kakeknya, Ataupun anak laki-laki, cucu-cucunya yang laki-laki. Jika tidak ada yang mampu, keluarga Jenazah boleh menunjuk orang yang amanah lagi terpercaya untuk memandikannya. intinya Sebaiknya jenazah dimandikan oleh kerabat terdekat, tetapi kalau tidak mampu, bisa dibantu oleh orang yang ahli memandikan dan mengkafani.

Apakah kita sudah bisa memandikan jenazah? Jika belum, mari segera belajar.


Berikut ini tambahan dari artikel terkait Bolehkah Wanita Haid Memandikan Jenazah?

Pertanyaan:

Apakah jenazah perempuan tidak boleh dimandikan oleh wanita yang sedang haid?

Nur Ramadhani Duren Sawit

Jawaban:

Al-Hamdulillah, shalawat dan salam teruntuk Rasulullah, keluarga dan para sahabatnya.

Baarakallahu fiik Ukhti Nur Ramadhani, Para ulama tidak berbeda pendapat tentang sah dan bolehnya wanita haid memandikan jenazah. Perbedaan pendapat mereka berkaitan dengan kemakruhannya. Ada dua pendapat besar; Pertama: makruh atas wanita haid memandikan jenazah, ini pendapat beberapa ulama dari kalangan Tabiin seperti Imam Hasan Bashri dan Ibnu Sirin. Madhab Hambali memilih pendapat ini.

Pendapat kedua: tidak dimakruhkan atas wanita haid memandikan jenazah, ini pendapat jumhur ulama dari kalangan Tabiin dan sesudahnya seperti Alqamah, Atha, pendapat Madhab Hanafiyah, Malikiyah, Syafiiyah dan satu riwayat dari Imam Ahmad. Inilah pendapat yang lebih benar, karena menetapkan hukum makruh adalah perkara syari yang membutuhkan dalil. Sedangkan tidak ditemukan dalil yang melarang dan memakruhkannya. (Disarikan dari jawaban Syaikh Khalid al-Mushlih, dinukil dari islamway.com)

Fatwa Lajnah Daimah

Wanita yang sedang haid boleh memandikan jenazah para wanita dan mengafani mereka. Dibolehkan juga baginya memandikan sebagian kaum lelaki, hanya suaminya saja. Haid tidak menjadi penghalang dari memandikan jenazah. (Fatawa Al-Lajnah al-Daimah li al-Buhuts al-Ilmiyah wal Ifta: 8/369). Wallau Taala Alam.

  • Share This:
  • Facebook
  • Twitter
  • Google+
  • Stumble
  • Digg