Cara Mensucikan celana yang terkena air mani

Fatwa Syaikh Abdullah Al Faqih

Soal
Bagaimana yang dimaksud dengan an nadhah? Saya sudah tahu bahwa madzi itu wajib dibersihkan dengan cara an nadhah (dibasahi). Apakah yang dimaksud dibasahi itu dengan mengambil air di telapak tangan seperti ketika ingin berkumur (dalam wudhu) ataukah disiram atau bagaimana? Jazaakumullah khayr.

Jawab:

الحمد لله والصلاة والسلام على نبينا محمد وعلى آله وصحبه ومن والاه, أما بعد

Madzi itu najis. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna an nadhah (dibasahi), apakah maksudnya diperciki air ataukah maksudnya dicuci karena ada riwayat lain yang memerintahkan untuk dicuci. Madzhab Hambali berpendapat yang pertama (diperciki). Berdasarkan hadits Sahl bin Hanif, ia berkata:

كنت ألقى من المذي شدة, وكنت أكثر منه الاغتسال, فسألت رسول الله صلى الله عليه وسلم عن ذلك؟ فقال: إنما يكفيك بأن تأخذ كفًّا من ماء فتنضح بها من ثوبك حيث ترى أنه أصابه

“Aku seringkali keluar madzi, sehingga sering sekali mandi karenanya. Lalu kuceritakan hal ini kepada Rasulullah shallallaahu‘alaihi wasallam. Maka beliau berkata : “Kamu cukup mengambil air setelapak tangan, lalu kamu basahi pakaianmu yang terkena madzi itu sampai terlihat basah” (HR. Ahmad dalam Musnad-nya, Abu Daud, At Tirmidzi, Ibnu Majah, dinilai hasan oleh Asy Syaikh Al Albani)

Sedangkan jumhur fuqaha berpendapat bahwa an nadhah (dibasahi) maksudnya adalah dicuci. Imam An Nawawi rahimahullahu ta’ala berkata dalam kitab Al Majmu’ :

Cara Mensucikan celana yang terkena air mani
Cara Mensucikan celana yang terkena air mani

أجمعت الأمة على نجاسة المذي والودي، ثم مذهبنا ومذهب الجمهور أنه يجب غسل المذي, ولا يكفي نضحه بغير غسل, وقال أحمد بن حنبل – رحمه الله -: أرجو أن يجزيه النضح، واحتج له برواية في صحيح مسلم في حديث علي: توضأ وانضح فرجك, ودليلنا رواية: اغسل, وهي أكثر, والقياس على سائر النجاسات, وأما رواية النضح: فمحمولة على الغسل. اهــ

“Ulama bersepakat bahwa madzi dan wadi adalah najis. Namun madzhab kami (Madzhab Syafi’i) dan madzhab jumhur berpendapat wajib mencucinya, tidak cukup diperciki saja. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: ‘Nampaknya yang benar cukup diperciki saja’. Beliau berdalil dengan hadits riwayat Muslim dari Ali:

توضأ وانضح فرجك

‘Berwudhulah dan basahi (perciki) kemaluanmu‘
Sedangkan dalil kami adalah riwayat:

توضأ وانضح فرجك

‘Berwudhulah dan cucilah kemaluanmu‘
dan riwayat inilah yang lebih banyak. Selain itu juga pendapat kami berdasarkan qiyas terhadap najis-najis yang lain. Sedangkan riwayat yang menggunakan kata an nadhah, itu mengandung kemungkinan makna mencuci”

Badrudin Al’Aini berkata dalam syarah Shahih Bukhari:

النضح هو صب الماء؛ لأن العرب تسمي ذلك نضحًا, وقد يذكر ويراد به الغسل, وكذلك الرش يذكر ويراد به الغسل

“An Nadhah itu artinya memerciki air, karena orang arab menyebut perbuatan itu dengan nadhah. Namun terkadang an nadhah juga maksudnya mencuci, demikian juga ar rasy (memerciki) terkadang maknanya mencuci”

Dengan demikian, yang lebih hati-hati adalah dengan mencuci bagian pakaian yang terkena madzi. Dan lihat juga fatwa no. 50657 tentang cara mencuci madzi. Wallahu Ta’ala A’lam.

Sumber: Klik disini.

Penerjemah: Yulian Purnama
Artikel Muslim.Or.Id

🔍 Tujuan Hidup Muslim, Dalil Naqli Tentang Keharaman Khamar, Surat 51 Ayat 56, Hukum Mempermainkan Perasaan Orang

Baju yang terkena najis tidak boleh digunakan untuk shalat.

Antara

Baju yang terkena najis tidak boleh digunakan untuk shalat. Mencuci kain / Ilustrasi(Antara)

Red: Nashih Nashrullah

REPUBLIKA.CO.ID, Sering kali keberadaan najis yang telah bersarang di pakaian Muslimah tersebut tidak disadari. Padahal, tak jarang busana yang sama dan terindikasi najis itu dipakai untuk shalat, misalnya. Ini tentu tidak dibenarkan. Mengingat, salah satu syarat sah shalat ialah pakaian yang dikenakan mesti dalam kondisi suci.   

Baca Juga

Prof Abdul Karim Zaidan dalam bukunya yang berjudul al-Mufashal fi Ahkam al-Marati menguraikan pendapat ulama terkait cara menyucikan ujung baju Muslimah yang terkena najis. Ada beberapa hadis yang menunjukkan contoh pensuciannya. Seperti, hadis tentang kisah Ummu Salamah. Ia bertanya kepada Rasulullah SAW perihal najis yang menimpa ujung pakaian bagian bawah. Bagaimana cara menyucikannya? Rasul menjawab, “Cukup suci dengan debu (kering) lainnya).”

Menurut Zaidan, ketentuan ini berlaku jika najis tersebut berupa benda kering. Apakah metode yang sama berlaku untuk jenis najis dari zat basah? Para ulama berbeda pendapat. Menurut Imam Syafi’i, ketentuan dalam hadis Ummu Salamah itu hanya berlaku selama najis kering tersebut tidak menempel lengket di baju. Karena itu, jika najis berupa benda basah, tetap saja harus dicuci. 

Imam Malik berpendapat, maksud hadis Ummu Salamah ialah najis atau kotoran kering yang tidak lengket, hanya sekadar menempel biasa. Jika demikian, najis itu bisa dianggap suci dengan sendirinya akibat terkena debu kering lain yang suci. Sedangkan, najis seperti air seni dan jenis basah lainnya maka tidak bisa suci selain menggunakan air. “Ini telah disepakati ulama,” katanya.    

Menurut Imam  Az Zarqani, sebagian ulama berpendapat lain. Najis yang dimaksud di hadis Ummu Salamah itu tak terbatas. Apapun jenis najisnya, baik basah ataupun kering. Status hukum ujung baju Muslimah bagian bawah sama halnya dengan khuf (semacam sepatu) dan sandal bagi laki-laki. Kalangan ini merujuk pada hadis lemah yang dinukilkan oleh Ibnu Majah dari Abu Hurairah. 

Syekh Ad Dahlawi mengatakan, jika ujung bagian bawah tersebut terkena najis di jalanan atau pelataran, misalnya, lalu terseret dan tercampur dengan tanah atau debu yang lain di tempat berbeda maka dianggap suci dengan sendirinya. Ini karena gesekan yang terjadi antardebu dan najis. Dan, kondisi semacam itu dianggap sebagai ma’fu ‘anhu atau dispensasi.  

Imam Muhammad bin Al Hasan berpendapat, najis itu tak jadi soal selama tidak menempel dengan takaran sebesar uang dirham. Lebih dari ukuran itu maka harus tetap disucikan dengan mencucinya. Pendapat yang sama dikuatkan pula oleh Imam Abu Hanifah.     

Bagaimana menyucikan baju yang terkena najis itu? Prof Zaidan kembali menjelaskan, menghilangkan najis yang berupa zat basah, cucilah bagian baju yang terkena najis dengan air yang suci. Tak cukup hanya dengan memercikkan atau mengalirkan air, tetapi basuh dan kucek objek yang dimaksud. Jika proses tersebut sudah dilakukan maka peras bagian yang terdapat najisnya. 

  • shalat
  • syarat sah shalat
  • baju suci shalat
  • mensucikan baju shalat

Cara Mensucikan celana yang terkena air mani

sumber : Harian Republika

Cara Mensucikan celana yang terkena air mani

Ilustrasi air. /pixabay.com/MartinStr

WARTA LOMBOK – Air yang keluar dari tubuh manusia dibagi menjadi tiga perkara, yaitu suci tanpa perselisihan, najis tanpa perselisihan dan najis atau tidaknya.

Sebagaimana diketahui, perkara yang suci tanpa perselisihan pendapat itu seperti keringat, air mata, ludah, air liur dan lendir, kemudian najis tanpa perselisihan pendapat para ulama seperti berak, kencing, wadi, madzi dan darah.

Sementara itu yang menjadi perbedaan pendapat para ulama apakah masuk kategori suci atau najis adalah air mani.

Baca Juga: Halalkan atau Tinggalkan, Dosa Pacaran Mengalir kepada Orang Tua

Pendapat pertama Madzhab Hanafiah dan Malikiyah, mereka berpendapat bahwa air mani itu najis. Dalilnya:

>

1. Terdapat hadits bahwa beliau mencuci pakaian dari bekas air mani. Dicucinya menunjukkan air mani najis.

2. Air mani keluar pada lubang yang sama dengan air kencing.

3. Diqiyashkan dengan air kencing dan berak karena sama-sama kotoran dari sisa makanan yang keluar dari badan.

4. Tidak menjadi dalil sucinya manusia sehingga asalnya, yaitu air mani, juga suci, sebab air mani akan menjadi ‘alaqoh atau segumpal darah sementara darah adalah najis, dan ‘alaqoh adalah asalnya manusia juga.

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Saya mau menanyakan tentang, "mimpi" apabila mimpi itu membuat saya "keluar" maka celana saya kena nodanya. Apabila saya mencuci celana tersebut disatukan dengan cucian lain (merendamnya) bersamaan, apakah noda dalam celana saya itu meluber ke mana-mana? Maksud saya jadi pakaian lain di dalam rendaman itu terkena "nodanya" dan hal itu apakah membuat pakaian lain dan khususnya celana saya itu juga apabila dipakai shalat tidak sah karena nodanya itu meskipun sudah di cuci?

Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ada dua hal yang perlu kita ketahui dalam menjawab pertanyaan anda. Pertama, air mani manusia bukanlah benda najis menurut jumhur ulama. Kedua, najis yang bercampur dengan air yang banyak, tidak akan mengubah hukum air itu menjadi najis, selama tidak ada indikasi air itu berubah menjadi najis.

a. Masalah Pertama

Air mani yang keluar dari kemaluan seseorang sesungguhnya bukan benda najis. Air mani adalah satu pengecualian dari ketentuan bahwa segala benda yang keluar lewat kemaluan hukumnya najis. Baik berbentuk padat, cair atau gas.

Air kencing, mazi, wadi, darah, nanah, batu dan semua yang keluar lewat kemaluan ditetapkan para ulama sebagai benda najis. Kecuali air mani, hukumnya bukan najis.

Dalil dari tidak najisnya air mani ada banyak, di antaranya adalah hadits berikut ini:

لَقَدْ كُنْتُ أَفْرُكُهُ مِنْ ثَوْبٍ رَسُولِ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرْكًا, فَيُصَلِّي فِيهِ وَفِي لَفْظٍ لَهُ: لَقَدْ كُنْتُ أَحُكُّهُ يَابِسًا بِظُفُرِي مِنْ ثَوْبِهِ

Dari Aisyah ra. berkata, "Aku mengerok mani dari pakaian Rasulullah SAW dan beliau memakainya untuk shalat." Dalam riwayat lain disebutkan, "Aku menggaruk dengan kuku-ku mani yang kering dari pakaian beliau." (HR Muslim)

Dengan hadits ini, para ulama umumnya mengatakan bahwa air mani itu tidak najis. Tindakan Aisyah isteri beliau mengerok atau menggaruk dengan kuku sisa mani yang sudah mengering di pakaian beliau menunjukkan bahwa air mani tidak najis. Sebab kalau najis, maka seharusnya Aisyah ra. mencucinya dengan air hingga hilang warna, aroma atau rasanya.

Tindakan Aisyah menurut sebagian ulama dilatar-belakangi rasa malu beliau melihat Rasulullah SAW, suaminya, shalat dengan pakaian yang belepotan sisa mani. Maka dikeriknya setelah kering agar tidak terlihat nyata, meski sesungguhnya tetap masih ada sisa mani kering yang menempel.

Namun sebagian kecil ulama memang ada yang mengatakan bahwa air mani itu najis. Misalnya pendapat Al-Hanafiyah, Malik, Ahmad pada sebagian riwayat dan Al-Hadawiyah. Di antara dasaryang melandaskan pendapat mereka adalah hadits berikut ini:

وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا, قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَغْسِلُ اَلْمَنِيَّ, ثُمَّ يَخْرُجُ إِلَى اَلصَّلَاةِ فِي ذَلِكَ اَلثَّوْبِ, وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى أَثَرِ اَلْغُسْلِ فِيهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْه ِ

Aisyah ra. mengatakan, ”Biasa Rasulullah SAW. mencuci mani kemudian keluar shalat memakai sarung itu dan saya melihat bekasnya cucian sarung itu.” (HR Bukhari dan Muslim)

Tindakan Rasulullah SAW mencuci bekas mani di pakaiannya menunjukkan bahwa mani itu najis.

Namun pendapat ini dibantah oleh para ulama yang mengatakan bahwa air mani tidak najis dengan beberapa jawaban. Antara lain:

  1. Hadits ini meski secara riwayatnya shahih, namun tidak menunjukkan kewajiban untuk mencuci bekas mani yang menempel di pakaian. Tetapi hanya menunjukkan keutamaan untuk mencucinya dan hukumnya hanya sunnah.
  2. Kalau ada beberapa hadits yang bertentangan secara lahir, padahal masing-masing punya sandaran yang kuat, maka sebelum menafikan salah satunya, harus dicarikan dulu kesesuaian antara dalil-dalil itu. Dan menyimpulkan bahwa mani tidak najis adalah bentuk kompromi atas semua dalil yang ada. Sedangkan tindakan nabi yang mencuci bekas mani, harus dipahami bukan sebagai keharusan, melainkan kepantasan dan kesunnahan.
  3. Meski pun Al-Hanafiyah mengatakan bahwa air mani itu najis, namun mereka berpendapat bahwa untuk mensucikan bekas mani cukup dengan mengeriknya setelah kering, tidak perlu dicuci.

b. Masalah Kedua

Seandainya anda lebih cenderung kepada pendapat bahwa air mani itu najis, maka barangkali masalah yang kedua ini bisa menjadi jalan keluar.

Air yang jumlahnya banyak bila kejatuhan atau tercampur dengan benda najis yang sedikit, tidak akan berubah hukumnya menjadi najis. Selama air it tidak berubah warnanya menjadi warna najis, atau berubah baunya menjadi bau najis, atau berubah rasanya menjadi rasa najis.

Seandainya pada salah satu pakaian yang dicuci ada najisnya, misalnya air kencing, atau darah, nanah, kotoran manusia, muntah dan sejenisnya, lalu pakaian itu direndam di air bersama dengan pakaian lainnya, maka selama air rendaman itu tidak mengalami perubahan menjadi najis, maka air itu tidak najis. Indikatornya bisa menggunakan salah satu dari tiga hal di atas yang kami sebutkan.

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc.

Ikuti update terbaru di Channel Telegram Eramuslim. Klik di Sini!!!

loading...