Contoh ideologi ekstrimisme yang menjadi ancaman persatuan Indonesia

Contoh ideologi ekstrimisme yang menjadi ancaman persatuan Indonesia

Perbesar

Ilustrasi Demo. (Freepik)

Kata radikal berasal dari bahasa Latin, radix atau radici. Radix dalam bahasa Latin berarti 'akar'. Istilah radikal mengacu pada hal-hal mendasar, prinsip-prinsip fundamental, pokok soal, dan esensial atas bermacam gejala. Paham atau aliran yang radikal disebut juga dengan radikalisme.

Dalam konsep sosial politik, radikalisme adalah suatu paham yang menghendaki adanya perubahan, pergantian, dan penjebolan terhadap suatu sistem masyarakat sampai ke akarnya. Merriam Webster mengartikan radikal sebagai opini atau perilaku orang yang menyukai perubahan ekstrem, khususnya dalam pemerintahan atau politik.

Menurut Cambridge Dictionary, radikal adalah percaya atau mengekspresikan keyakinan bahwa harus ada perubahan sosial atau politik yang besar atau secara ekstrem. Oxford Dictionary juga memahami ‘radikal’ sebagai orang yang mendukung suatu perubahan politik atau perubahan sosial secara menyeluruh.

Sementara itu, menurut KBBI, radikalisme memiliki tiga arti. Pertama, radikalisme adalah paham atau aliran yang radikal dalam politik, kedua, radikalisme adalah paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis, dan ketiga, radikalisme adalah sikap ekstrem dalam aliran politik.

Menurut Indonesia.go.id, istilah radikal bisa bermakna positif atau negatif tergantung pada konteks ruang dan waktu sebagai latar belakang penggunaan istilah tersebut. Radikalisme mengacu pada doktrin politik yang dianut oleh gerakan sosial-politik yang mendukung kebebasan individu dan kolektif, dan emansipasi dari kekuasaan rezim otoriter dan masyarakat yang terstruktur secara hierarkis.

Di Amerika, radikalisme adalah ekstremisme politik dalam bentuk apa pun, baik kiri maupun kanan. Komunisme dianggap sebagai radikal kiri, sementara fasisme dianggap sebagai radikal kanan. Berbagai gerakan pemuda di Amerika Serikat, yang secara luas disebut radikal, dikaitkan dengan kecaman terhadap nilai-nilai sosial dan politik tradisional.

DUA survei yang diliput oleh laman Kompas dalam kurun waktu dua minggu belakangan ini menggetarkan hati banyak orang.

Survei yang pertama diinisiasi oleh Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) dan Rumah Kebangsaan (RK) tentang survei tingkat radikalisme di seratus masjid kantor pemerintahan (kementerian, lembaga negara, dan BUMN).

Survei kedua dinisiasi Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA tentang tingkat dukungan publik terhadap Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) bersyariah.

Jika digabungkan, kedua survei ini membuka kembali kontak pandora wacana pembentukan bangsa Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan Republik Indonesia.

Pesan utamanya sangat jelas, bahaya intoleransi dan ekstrismisme jauh lebih besar daripada terorisme karena orang tidak dapat dihukum hanya dengan berpikir, baru ketika berbuat.

Video Rekomendasi

Contoh ideologi ekstrimisme yang menjadi ancaman persatuan Indonesia

Namun, ekstrismisme merupakan ladang subur berkembangnya benih-benih aksi kekerasan dan atau terorisme yang sekarang bukan lagi merambah orang dewasa namun telah melibatkan generasi harapan bangsa, anak-anak kita yang tercinta.

Beberapa pakar pendidikan dan psikolog keluarga memaparkan indikasi ekstrimisme ini terjadi sejak seseorang mulai menutup dirinya untuk menerima perbedaan cara berpikir dan budaya, merasa keyakinannya superior, lebih murni dan mengajak orang lain untuk memiliki cara berpikir yang sama dengan dirinya dengan berbagai macam cara, dari yang persuasif hingga paksaan, intimidasi, group atau social bullying dan bentuk lainnya.

Cara "mengkader" orang lain pada umumnya melalui ajakan yang sangat menarik, tetapi ujungnya mengubah cara pikir orang lain terhadap keluarga, tujuan hidup, interaksi dengan lingkungan sekeliling, masyarakat, dan negara.

Inilah kunci mengapa dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, begitu banyak orang yang putus hubungan, baik offline maupun online, dengan teman SD, SMP, SMA dan kuliah bahkan berujung perceraian karena perbedaan cara melihat hidup dan masa depan bangsa.

Titik tolak perubahannya adalah ketika seseorang mulai merasa tidak nyaman berelasi di luar kaumnya sendiri, cenderung tidak ingin berinteraksi dengan keyakinan berbeda ataupun mereka yang memiliki cara berpakaian berbeda.

Kehebatan demokrasi

Turunnya angka pendukung pro-Pancasila ke pilihan alternatif tadi sebenarnya konsekuensi logis dari sistem demokrasi Pancasila. Demokrasi memberikan ruang bebas bagi siapa saja untuk bersuara. Namun, ada perbedaan mendasar antara suara yang memperjuangkan kepentingan seluruh pihak dan yang mementingkan hanya kelompok tertentu.

Ada seorang kawan baik yang selalu mengingatkan saya bahwa dalam proses demokrasi, sudah benar seluruh pihak dapat bersuara. Akan tetapi, jika ada suara yang tujuan akhirnya mendiskriminasi kelompok tertentu, maka jelas keluar dari koridor demokrasi.

Wacana NKRI bersyariah ini sudah bergulir sejak sebelum berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia karena alasan yang tampaknya rasional, yaitu mayoritas.

Akhir-akhir ini laman Pusat Sumber Daya Buruh Migran sering membahas tentang ekstrimisme yang mulai memengaruhi pekerja migran Indonesia (PMI). Mari kita pahami bersama apa itu Radikalisme, Radikalisasi, Ekstrimisme, dan Terorisme. Masyarakat pada umumnya masih sering menyamakan antara Ekstrimisme dan Radikalisme. Namun untuk membedakan kedua istilah tersebut harus memahami catatan sejarah kedua fenomena tersebut.

Radikalisme

Dalam The Concise Oxford Dictionary (1987), radikal berasal dari bahasa Latin “Radix, Radicis” yang berarti akar, sumber, atau asal mula. Radikalisme berasal dari akar kata radikal. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Radikalisme” didefinisikan sebagai paham atau aliran yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik dengan cara kekerasan atau drastis.

Menurut Dr. Alex P. Schmid, radikalisme jauh lebih tidak bermasalah bagi masyarakat demokratis daripada ekstremisme. Radikal bisa bersifat reformis dan tanpa kekerasan. Radikalis sejati cenderung lebih pragmatis dan terbuka terhadap penalaran kritis. (“Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review”, 2014: h. 56)

Sementara menurut Prof. Dr. Irfan Idris, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada proses tersendiri seseorang mengalami perubahan dari seseorang yang radikalis, ekstrimis, hingga menjadi teroris. Radikalisme mengalami perubahan secara total dan bersifat drastis. Radikalisme menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada, ciri-cirinya adalah mereka intoleran atau tidak memiliki toleransi pada golongan yang memiliki pemahaman berbeda di luar golongan mereka, mereka juga cenderung fanatik, eksklusif dan tidak segan menggunakan cara-cara anarkis.  

Ekstrimisme

Menurut Merriam-Webster Dictionary, ekstremisme secara harfiah artinya “kualitas atau keadaan yang menjadi ekstrem” atau “advokasi ukuran atau pandangan ekstrim”. Saat ini, istilah tersebut banyak dipakai dalam esensi politik atau agama, yang merujuk kepada ideologi yang dianggap (oleh yang menggunakan istilah ini atau beberapa orang yang mematuhi konsensus sosial) berada jauh di luar sikap masyarakat pada umumnya. Namun, ekstremisme juga dipakai dalam diskursus ekonomi.

Menurut Dr. Alex P. Schmid (2014), kelompok ekstrimis merupakan kelompok yang menganut paham kekerasan ekstrim atau ekstrimisme. dibandingkan radikalis, ekstrimis cenderung berpikiran tertutup, tidak bertoleransi, anti-demokrasi dan bisa menghalalkan segala cara, termasuk penipuan, untuk mencapai tujuan mereka. Kelompok ekstrimis juga berpikiran tertutup. Kelompok ini berbeda dengan kelompok radikalis, kelompok yang menganut paham radikal atau radikalisme. (“Radicalisation, De-Radicalisation, Counter-Radicalisation: A Conceptual Discussion and Literature Review”, 2014: h. 56)

Radikalisasi

Menurut Dr. Alex P. Schmid (2013), radikalisasi adalah proses dimana Individu atau kelompok yang berubah dan memiliki kecenderungan menentang dialog dan kompromi dengan pihak yang berbeda; mereka memilih jalan konfrontasi dan konflik. Pilihan ini disertai oleh dukungan terhadap (i) penggunaan tekanan dan strategi memaksa (coersion) dengan jalan kekerasan atau non-kekerasan, (ii) legitimasi atau dukungan terhadap berbagai bentuk kekerasan, selain terorisme, untuk mewujudkan tujuanya yang dianggap mulia, dan (iii) pada ujungnya bisa berlanjut ke level tertinggi dalam bentuk kekerasasan ekstrim atau terorisme. Proses ini biasanya diikuti oleh kecenderungan penguatan ideologi yang menjauh dari arus utama (mainstream) dan mengarah kepada titik ekstrim yang didasari oleh cara pandang dikotomis dan keyakinan bahwa kemapanan sistem yang ada tidak lagi bisa menjadi jalan bagi terjadinya perubahan yang diinginkan.

Proses perubahan seseorang dari radikalis menuju ekstrimis hingga melakukan aksi teror tidak terlepas dari proses radikalisasi, sehingga mereka yang sudah teradikalisasi tidak segan menggunakan cara-cara kekerasan ekstrim untuk mewujudkan perjuangannya, termasuk aksi teror.

Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, tahapan radikalisasi adalah pra-radikalisasi, identifikasi diri, indoktrinasi, dan jihadisasi. Pra-radikalisasi merupakan kehidupan sebelum terjadi radikalisasi. Identifikasi diri adalah individu mulai mengidentifikasi diri ke arah radikalisme. Indoktrinasi adalah kondisi dimana individu mulai mengintensifkan dan memfokuskan kepercayaannya, hal ini bisa dilakukan melalui pertemuan langsung (offline), maupun tidak langsung atau melalui media (online). Tahap terakhir adalah Jihadisasi, yaitu mulai mengambil tindakan atas keyakinannya seperti melalui aksi kekerasan ekstrim seperti melakukan teror.

Terorisme

Menurut UU Nomor 15 Tahun 2003, terorisme adalah penggunaan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan situasi teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas dan menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas harta benda orang lain, yang mengakibatkan kerusakan atau kehancuran obyek-obyek vital strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik dan fasilitas internasional.

Seseorang atau kelompok radikalis dapat mengalami perubahan menggunakan cara-cara ekstrim, termasuk kekerasan ekstrim melalui aksi teror dipengaruhi banyak hal. Mulai dari pengaruh faktor yang bersifat internasional seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang arogan, dan penjajahan. Selain itu juga dipengaruhi faktor domestik seperti persepsi ketidakadilan, kesejahteraan, pendidikan, kecewa pada pemerintah, serta balas dendam. Di luar faktor internasional dan domestik, faktor lainnya adalah faktor kultural, yaitu karena pemahaman agama yang dangkal, penafsiran agama yang sempit dan tekstual, dan indoktrinasi ajaran agama yang salah.

Menurut Direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, PMI terjebak kelompok ekstrimis melalui kontak di Medsos dan berlanjut di pertemuan offline. Penyebaran paham ekstrimis dan perekrutan teroris dilakukan melalui website, media sosial dan messanger.

Ilustrasi: Pixabay