Contoh kasus hubungan agama dan negara di Indonesia

Opini ditulis oleh Muhamad Abrar Ghifari
Mahasiswa Ilmu Politik angkatan 2020

Berbicara mengenai relasi agama dan politik, kedua entitas tersebut memiliki proses tarik menarik kepentingan. Agama memiliki peran strategis dalam mengkonstruksi dan memberikan kerangka nilai serta norma dalam membangun struktur negara dan pendisiplinan masyarakat. Negara menggunakan agama sebagai legitimasi dogmatik untuk mengikat warga negara agar mematuhi aturan-aturan yang ada. Adanya hubungan timbal balik itulah yang kemudian menimbulkan hubungan saling mendominasi antar kedua entitas tersebut. Negara yang didominasi unsur kekuatan agama yang terlalu kuat hanya akan melahirkan negara teokrasi yang cenderung melahirkan adanya hipokrisi moral maupun etika yang ditunjukkan para pemuka agama. Kondisi tersebut terjadi karena adanya pencampuradukan unsur teologis dan materialis secara konservatif. Adapun negara yang mendominasi relasi agama justru menciptakan negara sekuler yakni persoalan agama kemudian termarjinalkan dan tereduksikan dalam pengaruh kehidupan berbangsa dan bernegara, keduanya harus seimbang. Isu tentang relasi agama dan politik merupakan isu tua dalam sejarah manusia modern, keduanya pun senantiasa memantik polemik ihwal posisi agama dalam arena politik yang setidaknya, melibatkan dua kelompok yang secara diametris berlawanan. Satu pihak mengampanyekan agar agama dilibatkan dalam setiap pertimbangan politik. Gagasan ini dikenal sebagai teokrasi, pemerintahan berbasis agama. Konsekuensinya, agama menjadi payung tertinggi dalam setiap kebijakan politik. Disisi lain, ada pihak yang justru menolak campur tangan agama dalam urusan politik. Agama harus ditepikan dari diskursus publik dan dimengerti sebagai perkara privat yang hanya menyangkut kepentingan individu per individu. Agama tidak lebih dari urusan ritual yang menggambarkan dependensi manusia dengan tuhannya.

Didalam perpolitikan Indonesia, isu ini turut mewarnai perjalanan sejarah bangsa. Sejak awal pembentukannya, hingga saat ini. Dulu ketika pembuatan piagam jakarta, poin pertama yang semula berisi “ketuhanan dengan menjalankan syariat-syariat islam bagi para pemeluknya” diganti menjadi “Ketuhanan yang maha esa”. Perubahan ini terjadi setelah para tokoh berdiskusi dan sebagai upaya agar tidak terjadi perpecahan diantara warga negara lainnya. Kemudian kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Basuki Tjahaja Purnama atau ahok selaku mantan gubernur DKI Jakarta, dalam sebuah pernyataannya, dia menngatakan bahwa “jangan sampai kaum muslimin terpengaruh oleh isi Surat Al-Maidah Ayat 51 yang menerangkan tentang haramnya orang muslim memilih pemimpin nonmuslim”.

Hal ini yang kemudian menjadi polemik panjang dan dijadikan senjata bagi lawan-lawan politik Ahok untuk menjatuhkannya. Ahok dianggap telah melakukan penistaan agama, telah menghina teks agama yang suci dan lain sebagainya. Pro dan kontra terus bergulir mulai dari tokoh agama hingga akademisi saling berbalas dan membela kepentingannya. Dari kasus ini saja kita bisa melihat, bahwa agama selalu menjadi komoditas politik. Antara agama dan politik mempunyai kepentingan masing-masing. Politik membutuhkan agama sebagai alat legitimasinya, dan agama membutuhkan politik sebagai alat penyebarannya sehingga hubungan agama dan politik adalah simbiotik. Seperti manuver politik yang dilakukan oleh Joko Widodo ketika pemilu 2019, sebuah hal yang bisa dibilang sangat menarik, mengingat saat itu Jokowi selaku capres belum menentukan pasangan yang akan mendampinginya dalam kontestasi politik terbesar di Indonesia. Ketika Jokowi mengumumkan pasangan yang akan mendampinginya dalam pemilu 2019, masyarakat sontak terkejut. Nama Ma’ruf Amin terpampang jelas, tentu saja ini merupakan manuver yang tidak diduga sebelumnya, Ma’ruf amin yang merupakan tokoh ulama terkenal menjadi pasangan dari Joko Widodo. Berkat manuvernya tersebut, pasangan Jokowi dan Ma’ruf Amin berhasil memenangkan pemilu 2019. Jokowi-Ma’ruf memperoleh banyak suara,khususnya dari kelompok muslim yang tertarik karena salah satu paslon tersebut merupakan tokoh ulama terkenal, sehingga masyarakat umum banyak yang tertarik. Dari contoh-contoh tersebut kita bisa mengetahui, agama dan politik tidak akan pernah bisa dipisahkan. Keduanya akan selalu berjalan beriringan dan akan selalu berdampingan.

DOI //doi.org/10.22437/ujh.3.2.341-375

Abdillah, Masykur. Demokrasi di Persimpangan Makna Respons Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi [1966-1993]. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Adam, Ronald. “Asal Mula Teori Animisme dan Masalahnya”. //crcs.ugm.ac.id/asal-mula-teori-animisme-dan-masalahnya/, 18/9/2019. Diakses 10/11/2020. Anshari, Endang Saifuddin. Piagam Jakarta 22 Juni 1945 dan Sejarah Konsesus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis Sekuler tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1959. Jakarta: Rajawali Press, 1986. Asshiddiqie, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta: Konstitusi Press, 2005. Aziz. “Islamisasi Nusantara Perspektif Naskah Sejarah Melayu”. Thaqafiyyat, 16, 1 [2015]: 53-76. Boland, B.J. Pergumulan Islam di Indonesia 1945-1972. Terjemahan Saafroedin Bahar. Jakarta: Grafiti Press, 1985. Bukhari, Marwan. “Menilai Kembali Negara Islam I”. Dalam Wacana Pemikiran Reformis Jilid 1, diedit oleh Ahmad Farouk Musa, 53-58. Kuala Lumpur: Islamic Renaissance Front Berhad, 2012. Faiz, Pan Mohamad. “Islam dan Persaingan Ideologi di Parlemen [Studi Kasus: Pro Kontra Pemasukan ‘Tujuh Kata’ Piagam Jakarta ke dalam Konstitusi pada Masa Reformasi]”. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 35, 2 [2005]: 217-253. DOI: 10.21143/jhp.vol35.no2.1464. Idris, Irfan. Islam dan Konstitusionalisme: Kontribusi Islam dalam Penyusunan Undang-Undang Dasar Indonesia Modern. Yogyakarta: AntonyLib, 2009. Indrati S, Maria Farida. Ilmu Perundang-Undangan: Jenis, Fungsi dan Muatan Materi. Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 2007. Jindan, Khalid Ibrahim. Teori Pemerintahan Islam Menurut Ibnu Taimiyah. Terjemahan Mufid. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1994. Liddle, R. William. “Tantangan Nasionalisme Bertuhan”. Harian Kompas, 20/09/2014. Lukito, Ratno. “Agama dan Negara di Indonesia: Kontestasi Teori”. Bahan Diskusi Publik “Negara dan Agama”, diselenggarakan Undang: Jurnal Hukum Fakultas Universitas Jambi, 14/11/2018. //ujh.unja.ac.id/index.php/home/other/seminar/diskusiNegara-Agama. Diakses 10/11/2020. Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 1996. Mahfud MD, Moh. Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Yogyakarta: UII Press, 1993. Musa, M. Yusuf. Politik dan Negara dalam Islam. Terjemahan M. Thalib. Surabaya: Al-Ikhlas, 1990. Nastiti, Titi Surti. “Jejak-jejak Peradaban Hindu-Buddha di Nusantara”. Kalpataru: Majalah Arkeologi, 23, 1 [2014]: 35-49. Nasution, Adnan Buyung. Aspirasi Pemerintahan Konstituasional di Indonesia: Studi Sosio-Legal atas Konstituante. Jakarta: Pustaka Utama Grafti, 1995. Natsir, M. Agama dan Negara dalam Perspektif Islam. Jakarta: Penerbit Media Da’wah, tanpa tahun. Onghokham. “Pancasila sebagai Kontrak Sosial”. //perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F3683/Pancasila%20sebagai%20Kontrak%20Sosial.htm. Diakses 10/11/2020. Qodir, Zuly. Agama dalam Bayang-Bayang Kekuasaan. Yogyakarta: Interfidei, 2001. Republik Indonesia, Mahkamah Konstitusi. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Buku VIII: Warga Negara dan Penduduk, Hak Asasi Manusia dan Agama. Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, edisi revisi, 2010. Republik Indonesia, Sekretariat Jenderal Majelis Permusyawaratan Rakyat. Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 [1999-2002] Tahun Sidang 2000 Buku Lima. Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2008. Ruslan, Idrus. Negara Madani: Aktualisasi Nilai-nilai Pancasila dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara. Yogyakarta: SUKA-Press, 2015. Sadzali, Ahmad. Relasi Agama dan Negara: Teokrasi-Sekular-Tamyiz. Yogyakarta: Pusat Studi Hukum Islam Fakultas Hukum UII, 2018. Saidi, Anas. “Relasi Pancasila, Agama dan Kebudayaan: Sebuah Refleksi”. Jurnal Masyarakat dan Budaya, 11, 1 [2009]: 25-50. DOI: 10.14203/jmb.v11i1.233. Simorangkir, J.C.T. Penetapan UUD: Dilihat dari Segi Ilmu Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: PT. Gunung Agung, 1984. Smith, Donald Eugene. Agama dan Modernisasi Politik: Suatu Kajian Analitis. Jakarta: Penerbit CV. Rajawali, 1985. Soekarno. Di Bawah Bendera Revolusi. Jakarta: Panitian Penerbitan Di Bawah Bendera Revolusi, 1964. Syafi’ie, M. “Pemikiran Organisasi Islam tentang Penerapan Hukum Pidana Islam: Tinjauan Hukum Hak Asasi Manusia”. Undang: Jurnal Hukum, 2, 2 [2019]: 225-264. DOI: 10.22437/ujh.2.2.225-264. Taimiyah, Ibnu. Siyasah Syar’iyah: Etika Politik Islam. Terjemahan Rofi’ Munawwar. Surabaya: Risalah Gusti, 2005. Umam, Zacky Khairul. “Desakralisasi Pancasila”. Koran Tempo, 1/6/2006. //koran.tempo.co/read/opini/72631/desakralisasi-pancasila. Diakses 10/11/2020.

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid 1. Jakarta: tanpa penerbit, cetakan kedua, 1971.

Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang bermacam agama meskipun lebih dominan muslim di negara ini, tentu saja negara hubungan antara agama dengan negara memiliki timbal balik yang erat kaitannya. Dalam UUD pasal 33. Indonesia merupakan negara dengan penduduk yang bermacam agama meskipun lebih dominan muslim di negara ini, tentu saja negara hubungan antara agama dengan negara memiliki timbal balik yang erat kaitannya. Dalam UUD pasal 33.

Di dalam ayat satu di sebutkan bahwa negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan, ayat dua menyebutkan bahwa negarabertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas layanan umum yang layak, di ayat 3 menyebutkan bahwa negara juga berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak dan warga negara dalam beragama sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan berekspresi, dan sebagainya.

Namun pada akhir-akhir ini banyak terjadi pengeboman di tempat-tempat ibadah yang menyebabkan keresahan warga, ini juga sebagai pembelajaran bagi pemerintah untuk lebih ketat dalam hal pengawasan keamanan negara, dan juga teror ulama dan petinggi negara yang menambah pekerjaan rumah bagi negara untuk lebih memperbaiki sistem keamanan negara untuk menjamin keamanan rakyat.

Namun dalam hal keamanan negara bukan hanya kewajiban negara namun juga kewajiban warga negara itu sendiri, jika negara sudah melakukan berbagai upaya seperti halnya saat ini densus sedang gencar memburu teroris namun tetap saja ada pengeboman seperti kasus dua orang tak dikenal melemparkan dua buah bom molotov di kediaman perangkat Desa Sidoarum bernama Daryanto[50] jalan Tetuko Nomor Dusun Cokrobedog RT 10 RW 12, Sidoarum, Godean, Jumat [23/2/2018] dini hari.

Dua buah mobil pun sempat terbakar atas peristiwa tersebut, Novrian[23] anak pertama korban menjadi saksi kejadian tersebut menjelaskan kronologis pelemparan bom tersebut sekitar pukul 4 pagi, dua pelaku yang mengendarai sepeda motor suzuki smash sempat berhenti di depan rumah korban tiba-tiba pelaku melemparkan dua bom molotov.

Ini membuktikan bahwa meskipun pemerintah telah meningkatkan keamanan negara namun jika warganya tidak menjaga keamanan negara juga akan sia-sia.

Hubungan agama dan negara seperti halnya dikalangan kaum muslimin, terdapat kesepakatan bahwa eksistensi negara adalah suatu keniscayaan bagi berlangsungnya kehidupan bermasyarakat negara dengan otoritasnya mengatur hubungan yang di perlukan antara masyarakat, sedangkan agama mempunyai otoritas untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề