Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Jati merupakan sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi. Pohon akbar, berbatang lurus, bisa tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun akbar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini bersumber dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bidang Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati merupakan Tectona grandis L.f.

Jati bisa tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi.[1] Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati merupakan tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan cairan.[2] Jati memiliki daun berwujud elips yang lebar dan bisa mencapai 30 – 60 cm masa dewasa.[1]

Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang menciptakan bagian propagasi secara alami dijadikan sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.[3] Jati biasanya dibuat secara konvensional dengan memakai biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah akbar dalam waktu tertentu dijadikan terbatas karena keadaan lapisan luar biji yang keras.[3] Beberapa alternatif telah diterapkan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam cairan, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.[4] Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.[4]

Umumnya, Jati yang sedang dalam bagian pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit diantaranya leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae.[5] Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.[5] Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan.[5] Karakterisasi dari infeksi ini merupakan keadaan necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kesudahan secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kesudahan menyebar ke bidang atas daun, petiol, dan ujung batang yang menyebabkan bidang daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.[5] Bila tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga bagian penanaman jati tidak bisa diterapkan. [5]

Habitus

Pohon akbar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang lepas sama sekali cabang (clear bole) bisa mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan dunia yang tidak terkelola aci pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali masyarakat indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari macam yang berlainan.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) bisa tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap baik merupakan pohon yang bergaris lingkar akbar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya bersumber dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya akbar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon mempunyai ukuran akbar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut dijadikan sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang bidang empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai akbar, 40 cm × 40 cm atau lebih akbar, memuat ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berwujud bulat lebih kurang gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung mirip balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri sebesar 0,58-0,63.

Sifat ekologis dan penyebaran

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Tectona grandis

Jati menyebar lapang mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah pandai botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kesudahan menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Beberapa pandai botani lain mengasumsikan jati merupakan spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada masa ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya bersumber dari Burma. Di Afrika dan Karibia juga banyak dipelihara.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sbg hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal zaman ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal zaman ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok merupakan yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan selang 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal merupakan selang 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu macam pohon.

Ini bisa terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan gampang terjadi dan beberapa akbar macam pohon akan mati pada masa itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, bila terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada masa musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga memperoleh bahan bakar yang bisa memicu kebakaran —yang bisa dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak macam pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu akbar justru menyebabkan bagian pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada masa jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai merupakan yang lebih kurang basa, dengan pH selang 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang cairan.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sbg macam asing yang diisikan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang diterapkan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, aci upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri merupakan macam yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah akbar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita bisa menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat bila hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bidang timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada masa itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bidang timur. Aci sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya masa ini tidak kalah dengan yang aci di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya bisa melebihi 30 cm.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami dampak iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup lapang di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dibuat di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Masa ini, beberapa akbar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, lapang lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat lapang Pulau Jawa. Lapang lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini hampir setara dengan setengah lapang lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% lapang Pulau Jawa dwipa.

Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena daya, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas daya I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bidang luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati gampang dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk menciptakan furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan bayangan yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sbg kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah dijadikan mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif gampang diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak gampang berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas argumen itulah, kayu jati digunakan juga sbg bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada zaman ke-19 konon berharap upah tambahan bila mesti mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga dapat menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena bisa merusak baja kapal marinir Inggris bila berbenturan.

Pada zaman ke-17, tercatat bila masyarakat Sulawesi Selatan memakai akar jati sbg penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sbg penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa dijadikan primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang dikata berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa macam jati (Mahfudz dkk., t.t.):

  1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
  2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
  3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
  4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
  5. Jati kembang.
  6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Kegunaan kayu jati

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga bisa awet digunakan di tempat buka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sbg bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di zaman ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sbg bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, memakai kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah dijadikan venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi bisa dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sbg kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sbg bahan bakar lokomotif uap.

Beberapa akbar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sbg macam hutan paling lapang di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan peralatan pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sbg bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati dikata ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah dijadikan pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling tahu berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal zaman ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin jualan jati melewati Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka mengasumsikan perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang masa itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan zaman ke-18, VOC telah dapat menebang jati secara lebih modern. Dan, sbg imbalan pertolongan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal zaman ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang lapang.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang akbar. Melewati sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sbg imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kesudahan memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang dijadikan pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan zaman ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, masa itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua macam kayu pada 1999 bersumber dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu bersumber dari produk-produk jati, terutama yang berwujud garden furniture (mebel taman).

Faedah yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sbg pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya merupakan nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sbg pembungkus tempe.

Berbagai macam serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sbg bahan makanan orang desa. Dua di selangnya merupakan belalang jati (Jw. walang kayu), yang akbar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Bila berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sbg bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sbg pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati dijadikan bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya merupakan gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada masa paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di daerah hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga diterapkan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering bisa memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Macam ternak tersebut membutuhkan rumput-rumputan sbg pakan. Walaupun para petani kadang akan gampang mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sbg sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam macam pakan yang dibutuhkan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas yang dipekerjakan yang lain.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sbg hutan produksi, yaitu daerah hutan dengan fungsi inti menghasilkan hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sbg hutan lindung, suaka dunia, hutan wisata, dan cagar dunia.

Mengingat lahannya yang relatif cukup lapang, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut merupakan sbg berikut:

Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berkelebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan bagian fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap cairan ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan cairan dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah dijadikan bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah dijadikan humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan cairan hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh cairan.

Fungsi biologis

Bila hutan jati berwujud hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih akbar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih gampang terbawa oleh saluran cairan dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita bisa menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lainnya. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sbg tanaman antara untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak bisa diubah dijadikan lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai faedahnya, cara tanamnya yang gampang, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul kini berubah dijadikan lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan anggota yang terkait itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu anggota yang terkait. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus dijadikan cadangan sumberdaya untuk masa depan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sbg hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sbg pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan dunia, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan tipu daya budi.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi merupakan Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita bisa menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga bisa meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 macam pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Aci juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sbg JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kesudahan akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Macam yang berkerabat

Seluruhnya, aci tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

  • Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
  • Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, aci pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

  • Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
  • Jati putih (Gmelina arborea)
  • Jati pasir (Guettarda speciosa)
  • [[[jabon]] (antocephalus cadamba)01:58, 1 Mei 2011 (UTC)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b (Inggris) Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128.
  2. ^ (Inggris) BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. [terhubung berkala]. http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010].
  3. ^ a b (Inggris) Tiwari SK, Tiwari KP, Siril EA. 2002. An improved micropropagation protocol for teak. Plant Cell Tissue Organ Cul 71: 1-6.
  4. ^ a b (Inggris) Ahuja MR. 1993. Micropropagations of Woody Plants. Kluwer Academic Publishers: Netherlands.
  5. ^ a b c d e (Inggris) Balasundaran M, Sharma JK, Florence EJM, Mohanan C. 1995. Leaf spot diseases of teak and their impact on seedling production in nurseries. [terhubung berkala]. http://www.metla.fi/iufro/iufro95abs/d2pap88.htm [5 Feb 2010].

Rujukan

  • Awang, S.A. dkk., 2002, Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Jogyakarta.
  • Mahfudz dkk., t.t., Sekilas Jati. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
  • Heyne, K. 1987. Tumbuhan Bermanfaat Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
  • Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
  • Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bidang II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Referensi Utama.
  • Nandika, Dodi. 2005. Hutan bagi Ketahanan Nasional. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
  • Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
  • Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di Indonesia”. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
  • Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.

edunitas.com


Page 2

Jati merupakan sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi. Pohon akbar, berbatang lurus, bisa tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun akbar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini bersumber dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bidang Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati merupakan Tectona grandis L.f.

Jati bisa tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C adun di dataran rendah maupun dataran tinggi.[1] Tempat yang paling adun untuk pertumbuhan jati merupakan tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan cairan.[2] Jati memiliki daun berwujud elips yang lebar dan bisa mencapai 30 – 60 cm masa dewasa.[1]

Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang menciptakan bagian propagasi secara alami dijadikan sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.[3] Jati biasanya dibuat secara konvensional dengan memakai biji. Akan tetapi produksi bibit dengan banyak akbar dalam waktu tertentu dijadikan terbatas karena beradanya lapisan luar biji yang keras.[3] Beberapa alternatif telah diterapkan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam cairan, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.[4] Akan tetapi alternatif tersebut sedang belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan banyak yang banyak.[4]

Umumnya, Jati yang sedang dalam bagian pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit diantaranya leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae.[5] Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.[5] Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan.[5] Karakterisasi dari infeksi ini merupakan beradanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kesudahan secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kesudahan menyebar ke bidang atas daun, petiol, dan ujung batang yang menyebabkan bidang daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.[5] Bila tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga bagian penanaman jati tidak bisa diterapkan. [5]

Habitus

Pohon akbar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang lepas sama sekali cabang (clear bole) bisa mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan dunia yang tidak terkelola berada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali penduduk indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari macam yang berlainan.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) bisa tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap adun merupakan pohon yang bergaris lingkar akbar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya bersumber dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya akbar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon mempunyai ukuran akbar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut dijadikan sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang bidang empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai akbar, 40 cm × 40 cm atau lebih akbar, memuat ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berwujud bulat lebih kurang gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung mirip balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri sebesar 0,58-0,63.

Sifat ekologis dan penyebaran

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Tectona grandis

Jati menyebar lapang mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah pakar botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kesudahan menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Beberapa pakar botani lain mengasumsikan jati merupakan spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada masa ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya bersumber dari Burma. Di Afrika dan Karibia juga banyak dipelihara.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sbg hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal zaman ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal zaman ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok merupakan yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan selang 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal merupakan selang 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu macam pohon.

Ini bisa terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan gampang terjadi dan beberapa akbar macam pohon akan mati pada masa itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, bila terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada masa musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga memperoleh bahan bakar yang bisa memicu kebakaran —yang bisa dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak macam pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu akbar justru menyebabkan bagian pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada masa jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai merupakan yang lebih kurang basa, dengan pH selang 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang cairan.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sbg macam asing isian (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang diterapkan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati sekarang juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, berada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri merupakan macam yang membutuhkan zat kalsium dalam banyak akbar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita bisa menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat bila hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berhampiran. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bidang timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada masa itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bidang timur. Berada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya masa ini tidak kalah dengan yang berada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya bisa melebihi 30 cm.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami dampak iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup lapang di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dibuat di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Masa ini, beberapa akbar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, lapang lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat lapang Pulau Jawa. Lapang lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini hampir setara dengan setengah lapang lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% lapang Pulau Jawa dwipa.

Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena daya, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas daya I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bidang luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati gampang dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk menciptakan furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan bayangan yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sbg kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah dijadikan mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif gampang diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak gampang berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas argumen itulah, kayu jati digunakan juga sbg bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada zaman ke-19 konon berharap upah tambahan bila mesti mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga dapat menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena bisa merusak baja kapal marinir Inggris bila berbenturan.

Pada zaman ke-17, tercatat bila penduduk Sulawesi Selatan memakai akar jati sbg penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, penduduk Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sbg penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa dijadikan primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang dikata berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa macam jati (Mahfudz dkk., t.t.):

  1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
  2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
  3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
  4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
  5. Jati kembang.
  6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Kegunaan kayu jati

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga bisa awet digunakan di tempat buka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sbg bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di zaman ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sbg bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur kontruksi. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, memakai kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah dijadikan venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi bisa dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sbg kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sbg bahan bakar lokomotif uap.

Beberapa akbar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sbg macam hutan paling lapang di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan peralatan pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sbg bahan kontruksi. Kayu-kayu bukan jati dikata ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berhampiran dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah dijadikan pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling tahu berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal zaman ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin jualan jati melewati Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka mengasumsikan perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang masa itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan zaman ke-18, VOC telah dapat menebang jati secara lebih modern. Dan, sbg imbalan pertolongan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal zaman ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang lapang.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam banyak tertentu yang akbar. Melewati sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sbg imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kesudahan memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang dijadikan pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan zaman ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, masa itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa sedang sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua macam kayu pada 1999 bersumber dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu bersumber dari produk-produk jati, terutama yang berwujud garden furniture (mebel taman).

Faedah yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sbg pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya merupakan nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sbg pembungkus tempe.

Berbagai macam serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sbg bahan makanan orang desa. Dua di selangnya merupakan belalang jati (Jw. walang kayu), yang akbar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Bila berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sbg bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sbg pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati dijadikan bahan bakar untuk banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya merupakan gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, penduduk desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada masa paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di daerah hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga diterapkan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering bisa memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Penduduk desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Macam ternak tersebut membutuhkan rumput-rumputan sbg pakan. Walaupun para petani kadang akan gampang mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sbg sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam macam pakan yang dibutuhkan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas yang dipekerjakan yang lain.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sbg hutan produksi, yaitu daerah hutan dengan fungsi inti menghasilkan hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sbg hutan lindung, suaka dunia, hutan wisata, dan cagar dunia.

Mengingat lahannya yang relatif cukup lapang, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut merupakan sbg berikut:

Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berkelebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan bagian fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap cairan ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan cairan dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah dijadikan bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah dijadikan humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan cairan hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh cairan.

Fungsi biologis

Bila hutan jati berwujud hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih akbar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaingan dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih gampang terbawa oleh saluran cairan dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita bisa menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lainnya. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sbg tanaman antara untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak bisa diubah dijadikan lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai faedahnya, cara tanamnya yang gampang, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul sekarang berubah dijadikan lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan anggota yang terkait itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu anggota yang terkait. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus dijadikan cadangan sumberdaya untuk masa hadapan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, adun yang dikukuhkan sbg hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sbg pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan dunia, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan tipu daya budi.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi merupakan Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita bisa menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga bisa meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 macam pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Berada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sbg JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kesudahan akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Macam yang berkerabat

Seluruhnya, berada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

  • Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang sekarang sudah langka dan terancam kepunahan.
  • Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, berada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

  • Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
  • Jati putih (Gmelina arborea)
  • Jati pasir (Guettarda speciosa)
  • [[[jabon]] (antocephalus cadamba)01:58, 1 Mei 2011 (UTC)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b (Inggris) Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128.
  2. ^ (Inggris) BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. [terhubung berkala]. http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010].
  3. ^ a b (Inggris) Tiwari SK, Tiwari KP, Siril EA. 2002. An improved micropropagation protocol for teak. Plant Cell Tissue Organ Cul 71: 1-6.
  4. ^ a b (Inggris) Ahuja MR. 1993. Micropropagations of Woody Plants. Kluwer Academic Publishers: Netherlands.
  5. ^ a b c d e (Inggris) Balasundaran M, Sharma JK, Florence EJM, Mohanan C. 1995. Leaf spot diseases of teak and their impact on seedling production in nurseries. [terhubung berkala]. http://www.metla.fi/iufro/iufro95abs/d2pap88.htm [5 Feb 2010].

Rujukan

  • Awang, S.A. dkk., 2002, Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Jogyakarta.
  • Mahfudz dkk., t.t., Sekilas Jati. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
  • Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berjasa Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
  • Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
  • Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bidang II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Referensi Utama.
  • Nandika, Dodi. 2005. Hutan untuk Ketahanan Nasional. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
  • Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
  • Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di Indonesia”. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
  • Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.

edunitas.com


Page 3

Jati merupakan sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi. Pohon akbar, berbatang lurus, bisa tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun akbar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini bersumber dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bidang Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati merupakan Tectona grandis L.f.

Jati bisa tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C adun di dataran rendah maupun dataran tinggi.[1] Tempat yang paling adun untuk pertumbuhan jati merupakan tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan cairan.[2] Jati memiliki daun berwujud elips yang lebar dan bisa mencapai 30 – 60 cm masa dewasa.[1]

Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang menciptakan bagian propagasi secara alami dijadikan sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.[3] Jati biasanya dibuat secara konvensional dengan memakai biji. Akan tetapi produksi bibit dengan banyak akbar dalam waktu tertentu dijadikan terbatas karena beradanya lapisan luar biji yang keras.[3] Beberapa alternatif telah diterapkan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam cairan, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.[4] Akan tetapi alternatif tersebut sedang belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan banyak yang banyak.[4]

Umumnya, Jati yang sedang dalam bagian pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit diantaranya leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae.[5] Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.[5] Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan.[5] Karakterisasi dari infeksi ini merupakan beradanya necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kesudahan secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kesudahan menyebar ke bidang atas daun, petiol, dan ujung batang yang menyebabkan bidang daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.[5] Bila tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga bagian penanaman jati tidak bisa diterapkan. [5]

Habitus

Pohon akbar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang lepas sama sekali cabang (clear bole) bisa mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan dunia yang tidak terkelola berada pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali penduduk indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari macam yang berlainan.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) bisa tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap adun merupakan pohon yang bergaris lingkar akbar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya bersumber dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya akbar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon mempunyai ukuran akbar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut dijadikan sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang bidang empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai akbar, 40 cm × 40 cm atau lebih akbar, memuat ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berwujud bulat lebih kurang gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung mirip balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri sebesar 0,58-0,63.

Sifat ekologis dan penyebaran

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Tectona grandis

Jati menyebar lapang mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah pakar botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kesudahan menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Beberapa pakar botani lain mengasumsikan jati merupakan spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada masa ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya bersumber dari Burma. Di Afrika dan Karibia juga banyak dipelihara.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sbg hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal zaman ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal zaman ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok merupakan yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan selang 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal merupakan selang 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu macam pohon.

Ini bisa terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan gampang terjadi dan beberapa akbar macam pohon akan mati pada masa itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, bila terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada masa musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga memperoleh bahan bakar yang bisa memicu kebakaran —yang bisa dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak macam pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu akbar justru menyebabkan bagian pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada masa jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai merupakan yang lebih kurang basa, dengan pH selang 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang cairan.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sbg macam asing isian (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang diterapkan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati sekarang juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, berada upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri merupakan macam yang membutuhkan zat kalsium dalam banyak akbar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita bisa menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat bila hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berhampiran. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bidang timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada masa itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bidang timur. Berada sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya masa ini tidak kalah dengan yang berada di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya bisa melebihi 30 cm.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami dampak iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup lapang di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dibuat di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Masa ini, beberapa akbar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, lapang lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat lapang Pulau Jawa. Lapang lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini hampir setara dengan setengah lapang lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% lapang Pulau Jawa dwipa.

Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena daya, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas daya I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bidang luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati gampang dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk menciptakan furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan bayangan yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sbg kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah dijadikan mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif gampang diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak gampang berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas argumen itulah, kayu jati digunakan juga sbg bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada zaman ke-19 konon berharap upah tambahan bila mesti mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga dapat menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena bisa merusak baja kapal marinir Inggris bila berbenturan.

Pada zaman ke-17, tercatat bila penduduk Sulawesi Selatan memakai akar jati sbg penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, penduduk Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sbg penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa dijadikan primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang dikata berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa macam jati (Mahfudz dkk., t.t.):

  1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
  2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
  3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
  4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
  5. Jati kembang.
  6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Kegunaan kayu jati

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga bisa awet digunakan di tempat buka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sbg bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di zaman ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sbg bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur kontruksi. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, memakai kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah dijadikan venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi bisa dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sbg kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sbg bahan bakar lokomotif uap.

Beberapa akbar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sbg macam hutan paling lapang di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan peralatan pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sbg bahan kontruksi. Kayu-kayu bukan jati dikata ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berhampiran dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah dijadikan pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling tahu berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal zaman ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin jualan jati melewati Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka mengasumsikan perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang masa itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan zaman ke-18, VOC telah dapat menebang jati secara lebih modern. Dan, sbg imbalan pertolongan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal zaman ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang lapang.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam banyak tertentu yang akbar. Melewati sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sbg imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kesudahan memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang dijadikan pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan zaman ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, masa itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa sedang sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua macam kayu pada 1999 bersumber dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu bersumber dari produk-produk jati, terutama yang berwujud garden furniture (mebel taman).

Faedah yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sbg pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya merupakan nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sbg pembungkus tempe.

Berbagai macam serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sbg bahan makanan orang desa. Dua di selangnya merupakan belalang jati (Jw. walang kayu), yang akbar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Bila berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sbg bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sbg pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati dijadikan bahan bakar untuk banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya merupakan gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, penduduk desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada masa paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di daerah hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga diterapkan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering bisa memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Penduduk desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Macam ternak tersebut membutuhkan rumput-rumputan sbg pakan. Walaupun para petani kadang akan gampang mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sbg sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam macam pakan yang dibutuhkan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas yang dipekerjakan yang lain.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sbg hutan produksi, yaitu daerah hutan dengan fungsi inti menghasilkan hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sbg hutan lindung, suaka dunia, hutan wisata, dan cagar dunia.

Mengingat lahannya yang relatif cukup lapang, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut merupakan sbg berikut:

Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berkelebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan bagian fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap cairan ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan cairan dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah dijadikan bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah dijadikan humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan cairan hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh cairan.

Fungsi biologis

Bila hutan jati berwujud hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih akbar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaingan dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih gampang terbawa oleh saluran cairan dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita bisa menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lainnya. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sbg tanaman antara untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak bisa diubah dijadikan lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai faedahnya, cara tanamnya yang gampang, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul sekarang berubah dijadikan lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan anggota yang terkait itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu anggota yang terkait. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus dijadikan cadangan sumberdaya untuk masa hadapan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, adun yang dikukuhkan sbg hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sbg pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan dunia, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan tipu daya budi.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi merupakan Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita bisa menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga bisa meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 macam pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Berada juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sbg JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kesudahan akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Macam yang berkerabat

Seluruhnya, berada tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

  • Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang sekarang sudah langka dan terancam kepunahan.
  • Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, berada pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

  • Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
  • Jati putih (Gmelina arborea)
  • Jati pasir (Guettarda speciosa)
  • [[[jabon]] (antocephalus cadamba)01:58, 1 Mei 2011 (UTC)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b (Inggris) Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128.
  2. ^ (Inggris) BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. [terhubung berkala]. http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010].
  3. ^ a b (Inggris) Tiwari SK, Tiwari KP, Siril EA. 2002. An improved micropropagation protocol for teak. Plant Cell Tissue Organ Cul 71: 1-6.
  4. ^ a b (Inggris) Ahuja MR. 1993. Micropropagations of Woody Plants. Kluwer Academic Publishers: Netherlands.
  5. ^ a b c d e (Inggris) Balasundaran M, Sharma JK, Florence EJM, Mohanan C. 1995. Leaf spot diseases of teak and their impact on seedling production in nurseries. [terhubung berkala]. http://www.metla.fi/iufro/iufro95abs/d2pap88.htm [5 Feb 2010].

Rujukan

  • Awang, S.A. dkk., 2002, Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Jogyakarta.
  • Mahfudz dkk., t.t., Sekilas Jati. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
  • Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berjasa Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
  • Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
  • Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bidang II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Referensi Utama.
  • Nandika, Dodi. 2005. Hutan untuk Ketahanan Nasional. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
  • Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
  • Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di Indonesia”. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
  • Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.

edunitas.com


Page 4

Jati merupakan sejenis pohon penghasil kayu berkualitas tinggi. Pohon akbar, berbatang lurus, bisa tumbuh mencapai tinggi 30-40 m. Berdaun akbar, yang luruh di musim kemarau. Jati dikenal dunia dengan nama teak (bahasa Inggris). Nama ini bersumber dari kata thekku (തേക്ക്) dalam bahasa Malayalam, bahasa di negara bidang Kerala di India selatan. Nama ilmiah jati merupakan Tectona grandis L.f.

Jati bisa tumbuh di daerah dengan curah hujan 1 500 – 2 000 mm/tahun dan suhu 27 – 36 °C baik di dataran rendah maupun dataran tinggi.[1] Tempat yang paling baik untuk pertumbuhan jati merupakan tanah dengan pH 4.5 – 7 dan tidak dibanjiri dengan cairan.[2] Jati memiliki daun berwujud elips yang lebar dan bisa mencapai 30 – 60 cm masa dewasa.[1]

Jati memiliki pertumbuhan yang lambat dengan germinasi rendah (biasanya kurang dari 50%) yang menciptakan bagian propagasi secara alami dijadikan sulit sehingga tidak cukup untuk menutupi permintaan atas kayu jati.[3] Jati biasanya dibuat secara konvensional dengan memakai biji. Akan tetapi produksi bibit dengan jumlah akbar dalam waktu tertentu dijadikan terbatas karena keadaan lapisan luar biji yang keras.[3] Beberapa alternatif telah diterapkan untuk mengatasi lapisan ini seperti merendam biji dalam cairan, memanaskan biji dengan api kecil atau pasir panas, serta menambahkan asam, basa, atau bakteri.[4] Akan tetapi alternatif tersebut masih belum optimal untuk menghasilkan jati dalam waktu yang cepat dan jumlah yang banyak.[4]

Umumnya, Jati yang sedang dalam bagian pembibitan rentan terhadap beberapa penyakit diantaranya leaf spot disease yang disebabkan oleh Phomopsis sp., Colletotrichum gloeosporioides, Alternaria sp., dan Curvularia sp., leaf rust yang disebabkan oleh Olivea tectonea, dan powdery mildew yang disebabkan oleh Uncinula tectonae.[5] Phomopsis sp. merupakan penginfeksi paling banyak, tercatat 95% bibit terkena infeksi pada tahun 1993-1994.[5] Infeksi tersebut terjadi pada bibit yang berumur 2 – 8 bulan.[5] Karakterisasi dari infeksi ini merupakan keadaan necrosis berwarna coklat muda pada pinggir daun yang kesudahan secara bertahap menyebar ke pelepah, infeksi kesudahan menyebar ke bidang atas daun, petiol, dan ujung batang yang menyebabkan bidang daun dari batang tersebut mengalami kekeringan.[5] Bila tidak disadari dan tidak dikontrol, infeksi dari Phomopsis sp. akan menyebar sampai ke seluruh bibit sehingga bagian penanaman jati tidak bisa diterapkan. [5]

Habitus

Pohon akbar dengan batang yang bulat lurus, tinggi total mencapai 40 m. Batang lepas sama sekali cabang (clear bole) bisa mencapai 18-20 m. Pada hutan-hutan dunia yang tidak terkelola aci pula individu jati yang berbatang bengkok-bengkok. Sementara varian jati blimbing memiliki batang yang berlekuk atau beralur dalam; dan jati pring (Jw., bambu) nampak seolah berbuku-buku seperti bambu. Kulit batang coklat kuning keabu-abuan, terpecah-pecah dangkal dalam alur memanjang batang.dan seringkali masyarakat indonesia salah mengartikan jati dengan tanaman jabon( antocephalus cadamba ) padahal mereka dari macam yang berlainan.

Pohon jati (Tectona grandis sp.) bisa tumbuh meraksasa selama ratusan tahun dengan ketinggian 40-45 meter dan diameter 1,8-2,4 meter. Namun, pohon jati rata-rata mencapai ketinggian 9-11 meter, dengan diameter 0,9-1,5 meter.

Pohon jati yang dianggap baik merupakan pohon yang bergaris lingkar akbar, berbatang lurus, dan sedikit cabangnya. Kayu jati terbaik biasanya bersumber dari pohon yang berumur lebih daripada 80 tahun.

Daun umumnya akbar, bulat telur terbalik, berhadapan, dengan tangkai yang sangat pendek. Daun pada anakan pohon mempunyai ukuran akbar, sekitar 60-70 cm × 80-100 cm; sedangkan pada pohon tua menyusut dijadikan sekitar 15 × 20 cm. Berbulu halus dan mempunyai rambut kelenjar di permukaan bawahnya. Daun yang muda berwarna kemerahan dan mengeluarkan getah berwarna merah darah apabila diremas. Ranting yang muda berpenampang bidang empat, dan berbonggol di buku-bukunya.

Bunga majemuk terletak dalam malai akbar, 40 cm × 40 cm atau lebih akbar, memuat ratusan kuntum bunga tersusun dalam anak payung menggarpu dan terletak di ujung ranting; jauh di puncak tajuk pohon. Taju mahkota 6-7 buah, keputih-putihan, 8 mm. Berumah satu.

Buah berwujud bulat lebih kurang gepeng, 0,5 – 2,5 cm, berambut kasar dengan inti tebal, berbiji 2-4, tetapi umumnya hanya satu yang tumbuh. Buah tersungkup oleh perbesaran kelopak bunga yang melembung mirip balon kecil. Nilai Rf pada daun jati sendiri sebesar 0,58-0,63.

Sifat ekologis dan penyebaran

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Tectona grandis

Jati menyebar lapang mulai dari India, Myanmar, Laos, Kamboja, Thailand, Indochina, sampai ke Jawa. Jati tumbuh di hutan-hutan gugur, yang menggugurkan daun di musim kemarau.

Menurut sejumlah pandai botani, jati merupakan spesies asli di Burma, yang kesudahan menyebar ke Semenanjung India, Thailand, Filipina, dan Jawa. Beberapa pandai botani lain mengasumsikan jati merupakan spesies asli di Burma, India, Muangthai, dan Laos.

Sekitar 70% kebutuhan jati dunia pada masa ini dipasok oleh Burma. Sisa kebutuhan itu dipasok oleh India, Thailand, Jawa, Srilangka, dan Vietnam. Namun, pasokan dunia dari hutan jati alami satu-satunya bersumber dari Burma. Di Afrika dan Karibia juga banyak dipelihara.

Jati paling banyak tersebar di Asia. Selain di keempat negara asal jati dan Indonesia, jati dikembangkan sbg hutan tanaman di Srilangka (sejak 1680), Tiongkok (awal zaman ke-19), Bangladesh (1871), Vietnam (awal zaman ke-20), dan Malaysia (1909).

Iklim yang cocok merupakan yang memiliki musim kering yang nyata, namun tidak terlalu panjang, dengan curah hujan selang 1200-3000 mm pertahun dan dengan intensitas cahaya yang cukup tinggi sepanjang tahun. Ketinggian tempat yang optimal merupakan selang 0 – 700 m dpl; meski jati bisa tumbuh hingga 1300 m dpl.

Tegakan jati sering terlihat seperti hutan sejenis, yaitu hutan yang seakan-akan hanya terdiri dari satu macam pohon.

Ini bisa terjadi di daerah beriklim muson yang begitu kering, kebakaran lahan gampang terjadi dan beberapa akbar macam pohon akan mati pada masa itu. Tidak demikian dengan jati. Pohon jati termasuk spesies pionir yang tahan kebakaran karena kulit kayunya tebal. Lagipula, buah jati mempunyai kulit tebal dan tempurung yang keras. Sampai batas-batas tertentu, bila terbakar, lembaga biji jati tidak rusak. Kerusakan tempurung biji jati justru memudahkan tunas jati untuk keluar pada masa musim hujan tiba.

Guguran daun lebar dan rerantingan jati yang menutupi tanah melapuk secara lambat, sehingga menyulitkan tumbuhan lain berkembang. Guguran itu juga memperoleh bahan bakar yang bisa memicu kebakaran —yang bisa dilalui oleh jati tetapi tidak oleh banyak macam pohon lain. Demikianlah, kebakaran hutan yang tidak terlalu akbar justru menyebabkan bagian pemurnian tegakan jati: biji jati terdorong untuk berkecambah, pada masa jenis-jenis pohon lain mati.

Tanah yang sesuai merupakan yang lebih kurang basa, dengan pH selang 6-8, sarang (memiliki aerasi yang baik), mengandung cukup banyak kapur (Ca, calcium) dan fosfor (P). Jati tidak tahan tergenang cairan.

Pada masa lalu, jati sempat dianggap sbg macam asing yang diisikan (diintroduksi) ke Jawa; ditanam oleh orang-orang Hindu ribuan tahun yang lalu. Namun pengujian variasi isozyme yang diterapkan oleh Kertadikara (1994) menunjukkan bahwa jati di Jawa telah berevolusi sejak puluhan hingga ratusan ribu tahun yang silam (Mahfudz dkk., t.t. ).

Karena nilai kayunya, jati kini juga dikembangkan di luar daerah penyebaran alaminya. Di Afrika tropis, Amerika tengah, Australia, Selandia Baru, Pasifik dan Taiwan.

Sebaran hutan jati di Indonesia

Di Indonesia sendiri, selain di Jawa dan Muna, jati juga dikembangkan di Bali dan Nusa Tenggara.

Dalam beberapa tahun terakhir, aci upaya untuk mengembangkan jati di Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Hasilnya kurang menggembirakan. Jati mati setelah berusia dua atau tiga tahun. Masalahnya, tanah di kedua tempat ini sangat asam. Jati sendiri merupakan macam yang membutuhkan zat kalsium dalam jumlah akbar, juga zat fosfor. Selain itu, jati membutuhkan cahaya matahari yang berlimpah.

Sekarang, di luar Jawa, kita bisa menemukan hutan jati secara terbatas di beberapa tempat di Pulau Sulawesi, Pulau Muna, daerah Bima di Pulau Sumbawa, dan Pulau Buru. Jati berkembang juga di daerah Lampung di Pulau Sumatera.

Pada 1817, Raffles mencatat bila hutan jati tidak ditemukan di Semenanjung Malaya atau Sumatera atau pulau-pulau berdekatan. Jati hanya tumbuh subur di Jawa dan sejumlah pulau kecil di sebelah timurnya, yaitu Madura, Bali, dan Sumbawa. Perbukitan di bidang timur laut Bima di Sumbawa penuh tertutup oleh jati pada masa itu.

Heyne, pada 1671, mencatat keberadaan jati di Sulawesi, walau hanya di beberapa titik di bidang timur. Aci sekitar 7.000 ha di Pulau Muna dan 1.000 ha di pedalaman Pulau Butung di Teluk Sampolawa. Heyne menduga jati sesungguhnya terdapat pula di Pulau Kabaena, serta di Rumbia dan Poleang, di Sulawesi Tenggara. Analisis DNA mutakhir memperlihatkan bahwa jati di Sulawesi Tenggara merupakan cabang perkembangan jati jawa.

Jati yang tumbuh di Sulawesi Selatan baru ditanam pada masa 1960an dan 1970an. Ketika itu, banyak lahan di Billa, Soppeng, Bone, Sidrap, dan Enrekang sedang dihutankan kembali. Di Billa, pertumbuhan pohon jatinya masa ini tidak kalah dengan yang aci di Pulau Jawa. Garis tengah batangnya bisa melebihi 30 cm.

Daerah sebaran hutan jati di Jawa

Sedini 1927, hutan jati tercatat menyebar di pantai utara Jawa, mulai dari Kerawang hingga ke ujung timur pulau ini. Namun, hutan jati paling banyak menyebar di Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu sampai ketinggian 650 meter di atas permukaan laut. Hanya di daerah Besuki jati tumbuh tidak lebih daripada 200 meter di atas permukaan laut.

Di kedua provinsi ini, hutan jati sering terbentuk secara alami dampak iklim muson yang menimbulkan kebakaran hutan secara berkala. Hutan jati yang cukup lapang di Jawa terpusat di daerah alas roban Rembang, Blora, Groboragan, dan Pati. Bahkan, jati jawa dengan mutu terbaik dibuat di daerah tanah perkapuran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah.

Masa ini, beberapa akbar lahan hutan jati di Jawa dikelola oleh Perhutani, sebuah perusahaan umum milik negara di bidang kehutanan. Pada 2003, lapang lahan hutan Perhutani mencapai hampir seperempat lapang Pulau Jawa. Lapang lahan hutan jati Perhutani di Jawa mencapai sekitar 1,5 juta hektar. Ini hampir setara dengan setengah lapang lahan hutan Perhutani atau sekitar 11% lapang Pulau Jawa dwipa.

Sifat-sifat kayu dan pengerjaan

Kayu jati merupakan kayu kelas satu karena daya, keawetan dan keindahannya. Secara teknis, kayu jati memiliki kelas daya I dan kelas keawetan I. Kayu ini sangat tahan terhadap serangan rayap.

Kayu teras jati berwarna coklat muda, coklat kelabu hingga coklat merah tua. Kayu gubal, di bidang luar, berwarna putih dan kelabu kekuningan.

Meskipun keras dan kuat, kayu jati gampang dipotong dan dikerjakan, sehingga disukai untuk menciptakan furniture dan ukir-ukiran. Kayu yang diampelas halus memiliki permukaan yang licin dan seperti berminyak. Pola-pola lingkaran tahun pada kayu teras nampak jelas, sehingga menghasilkan bayangan yang indah.

Dengan kehalusan tekstur dan keindahan warna kayunya, jati digolongkan sbg kayu mewah. Oleh karena itu, jati banyak diolah dijadikan mebel taman, mebel interior, kerajinan, panel, dan anak tangga yang berkelas.

Sekalipun relatif gampang diolah, jati terkenal sangat kuat dan awet, serta tidak gampang berubah bentuk oleh perubahan cuaca. Atas argumen itulah, kayu jati digunakan juga sbg bahan dok pelabuhan, bantalan rel, jembatan, kapal niaga, dan kapal perang. Tukang kayu di Eropa pada zaman ke-19 konon berharap upah tambahan bila mesti mengolah jati. Ini karena kayu jati sedemikian keras hingga dapat menumpulkan perkakas dan menyita tenaga mereka. Manual kelautan Inggris bahkan menyarankan untuk menghindari kapal jung Tiongkok yang terbuat dari jati karena bisa merusak baja kapal marinir Inggris bila berbenturan.

Pada zaman ke-17, tercatat bila masyarakat Sulawesi Selatan memakai akar jati sbg penghasil pewarna kuning dan kuning coklat alami untuk barang anyaman mereka. Di Jawa Timur, masyarakat Pulau Bawean menyeduh daun jati untuk menghasilkan bahan pewarna coklat merah alami. Orang Lamongan memilih menyeduh tumbukan daun mudanya. Sementara itu, orang Pulau Madura mencampurkan tumbukan daun jati dengan asam jawa. Pada masa itu, pengidap penyakit kolera pun dianjurkan untuk meminum seduhan kayu dan daun jati yang pahit sbg penawar sakit.

Jati burma sedikit lebih kuat dibandingkan jati jawa. Namun, di Indonesia sendiri, jati jawa dijadikan primadona. Tekstur jati jawa lebih halus dan kayunya lebih kuat dibandingkan jati dari daerah lain di negeri ini. Produk-produk ekspor yang dikata berbahan java teak (jati jawa, khususnya dari Jawa Tengah dan Jawa Timur) sangat terkenal dan diburu oleh para kolektor di luar negeri.

Menurut sifat-sifat kayunya, di Jawa orang mengenal beberapa macam jati (Mahfudz dkk., t.t.):

  1. Jati lengo atau jati malam, memiliki kayu yang keras, berat, terasa halus bila diraba dan seperti mengandung minyak (Jw.: lengo, minyak; malam, lilin). Berwarna gelap, banyak berbercak dan bergaris.
  2. Jati sungu. Hitam, padat dan berat (Jw.: sungu, tanduk).
  3. Jati werut, dengan kayu yang keras dan serat berombak.
  4. Jati doreng, berkayu sangat keras dengan warna loreng-loreng hitam menyala, sangat indah.
  5. Jati kembang.
  6. Jati kapur, kayunya berwarna keputih-putihan karena mengandung banyak kapur. Kurang kuat dan kurang awet.

Kegunaan kayu jati

Daerah di provinsi Jawa tengah yang banyak menghasilkan kayu jati adalah

Permukaan mebel jati.

Kayu jati mengandung semacam minyak dan endapan di dalam sel-sel kayunya, sehingga bisa awet digunakan di tempat buka meski tanpa divernis; apalagi bila dipakai di bawah naungan atap.

Jati sejak lama digunakan sbg bahan baku pembuatan kapal laut, termasuk kapal-kapal VOC yang melayari samudera di zaman ke-17. Juga dalam konstruksi berat seperti jembatan dan bantalan rel.

Di dalam rumah, selain dimanfaatkan sbg bahan baku furniture kayu jati digunakan pula dalam struktur bangunan. Rumah-rumah tradisional Jawa, seperti rumah joglo Jawa Tengah, memakai kayu jati di hampir semua bagiannya: tiang-tiang, rangka atap, hingga ke dinding-dinding berukir.

Dalam industri kayu sekarang, jati diolah dijadikan venir (veneer) untuk melapisi wajah kayu lapis mahal; serta dijadikan keping-keping parket (parquet) penutup lantai. Selain itu juga diekspor ke mancanegara dalam bentuk furniture luar-rumah.

Ranting-ranting jati yang tak lagi bisa dimanfaatkan untuk mebel, dimanfaatkan sbg kayu bakar kelas satu. Kayu jati menghasilkan panas yang tinggi, sehingga dulu digunakan sbg bahan bakar lokomotif uap.

Beberapa akbar kebutuhan kayu jati dunia dipasok oleh Indonesia dan Myanmar.

Fungsi ekonomis hutan jati jawa: hasil hutan kayu

Sbg macam hutan paling lapang di Pulau Jawa, hutan jati memiliki nilai ekonomis, ekologis, dan sosial yang penting.

Kayu jati jawa telah dimanfaatkan sejak zaman Kerajaan Majapahit. Jati terutama dipakai untuk membangun rumah dan peralatan pertanian. Sampai dengan masa Perang Dunia Kedua, orang Jawa pada umumnya hanya mengenal kayu jati sbg bahan bangunan. Kayu-kayu bukan jati dikata ‘kayu tahun’. Artinya, kayu yang keawetannya untuk beberapa tahun saja.

Selain itu, jati digunakan dalam membangun kapal-kapal niaga dan kapal-kapal perang. Beberapa daerah yang berdekatan dengan hutan jati di pantai utara Jawa pun pernah dijadikan pusat galangan kapal, seperti Tegal, Juwana, Tuban, dan Pasuruan. Namun, galang kapal terbesar dan paling tahu berada di Jepara dan Rembang, sebagaimana dicatat oleh petualang Tomé Pires pada awal zaman ke-16.

VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie, Kompeni Hindia Timur Belanda) bahkan sedemikian tertarik pada “emas hijau” ini hingga berkeras mendirikan loji pertama mereka di Pulau Jawa —tepatnya di Jepara— pada 1651. VOC juga memperjuangkan izin jualan jati melewati Semarang, Jepara, dan Surabaya. Ini karena mereka mengasumsikan perdagangan jati akan jauh lebih menguntungkan daripada perdagangan rempah-rempah dunia yang masa itu sedang mencapai puncak keemasannya.

Di pertengahan zaman ke-18, VOC telah dapat menebang jati secara lebih modern. Dan, sbg imbalan pertolongan militer mereka kepada Kerajaan Mataram di awal zaman ke-19, VOC juga diberikan izin untuk menebang lahan hutan jati yang lapang.

VOC lantas mewajibkan para pemuka bumiputera untuk menyerahkan kayu jati kepada VOC dalam jumlah tertentu yang akbar. Melewati sistem blandong, para pemuka bumiputera ini membebankan penebangan kepada rakyat di sekitar hutan. Sbg imbalannya, rakyat dibebaskan dari kewajiban pajak lain. Jadi, sistem blandong tersebut merupakan sebentuk kerja paksa.

VOC kesudahan memboyong pulang gelondongan jati jawa ke Amsterdam dan Rotterdam. Kedua kota pelabuhan terakhir ini pun berkembang dijadikan pusat-pusat industri kapal kelas dunia.

Di pantai utara Jawa sendiri, galangan-galangan kapal Jepara dan Rembang tetap sibuk hingga pertengahan zaman ke-19. Mereka gulung tikar hanya setelah banyak pengusaha perkapalan keturunan Arab lebih memilih tinggal di Surabaya. Lagipula, masa itu kapal lebih banyak dibuat dari logam dan tidak banyak bergantung pada bahan kayu.

Namun, pascakemerdekaan negeri ini, jati jawa masih sangat menguntungkan. Produksi jati selama periode emas 1984-1988 mencapai 800.000 m3/tahun. Ekspor kayu gelondongan jati pada 1989 mencapai 46.000 m3, dengan harga jual dasar 640 USD/m3.

Pada 1990, ekspor gelondongan jati dilarang oleh pemerintah karena kebutuhan industri kehutanan di dalam negeri yang melonjak. Sekalipun demikian, Perhutani mencatat bahwa sekitar 80% pendapatan mereka dari penjualan semua macam kayu pada 1999 bersumber dari penjualan gelondongan jati di dalam negeri. Pada masa yang sama, sekitar 89% pendapatan Perhutani dari ekspor produk kayu bersumber dari produk-produk jati, terutama yang berwujud garden furniture (mebel taman).

Faedah yang lain

Daun jati dimanfaatkan secara tradisional di Jawa sbg pembungkus, termasuk pembungkus makanan. Nasi yang dibungkus dengan daun jati terasa lebih nikmat. Contohnya merupakan nasi jamblang yang terkenal dari daerah Jamblang, Cirebon.

Daun jati juga banyak digunakan di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur sbg pembungkus tempe.

Berbagai macam serangga hama jati juga sering dimanfaatkan sbg bahan makanan orang desa. Dua di selangnya merupakan belalang jati (Jw. walang kayu), yang akbar berwarna kecoklatan, dan ulat-jati (Endoclita). Ulat jati bahkan kerap dianggap makanan istimewa karena lezatnya. Ulat ini dikumpulkan menjelang musim hujan, di pagi hari ketika ulat-ulat itu bergelantungan turun dari pohon untuk mencari tempat untuk membentuk kepompong (Jw. ungkrung). Kepompong ulat jati pun turut dikumpulkan dan dimakan.

Fungsi ekonomis lain dari hutan jati jawa

Bila berkunjung ke hutan-hutan jati di Jawa, kita akan melihat bahwa kawasan-kawasan itu memiliki fungsi ekonomis lain di samping menghasilkan kayu jati.

Banyak pesanggem (petani) yang hidup di desa hutan jati memanfaatkan kulit pohon jati sbg bahan dinding rumah mereka. Daun jati, yang lebar berbulu dan gugur di musim kemarau itu, mereka pakai sbg pembungkus makanan dan barang. Cabang dan ranting jati dijadikan bahan bakar bagi banyak rumah tangga di desa hutan jati.

Hutan jati terutama menyediakan lahan garapan. Di sela-sela pepohonan jati, para petani menanam palawija berbanjar-banjar. Dari hutan jati sendiri, mereka bisa memperoleh penghasilan tambahan berupa madu, sejumlah sumber makanan berkarbohidrat, dan obat-obatan.

Makanan pengganti nasi yang tumbuh di hutan jati misalnya merupakan gadung (Dioscorea hispida) dan uwi (Dioscorea alata). Bahkan, masyarakat desa hutan jati juga memanfaatkan iles-iles (Ammorphophallus) pada masa paceklik. Tumbuhan obat-obatan tradisional seperti kencur (Alpina longa), kunyit (Curcuma domestica), jahe (Zingiber officinale), dan temu lawak (Curcuma longa) tumbuh di daerah hutan ini.

Pohon jati juga menghasilkan bergugus-gugus bunga keputihan yang merekah tak lama setelah fajar. Masa penyerbukan bunga jati yang terbaik terjadi di sekitar tengah hati —setiap bunga hidup hanya sepanjang satu hari. Penyerbukan bunga diterapkan oleh banyak serangga, tetapi terutama oleh jenis-jenis lebah. Oleh karena itu, penduduk juga sering bisa memanen madu lebah dari hutan-hutan jati.

Masyarakat desa hutan jati di Jawa juga biasa memelihara ternak seperti kerbau, sapi, dan kambing. Macam ternak tersebut membutuhkan rumput-rumputan sbg pakan. Walaupun para petani kadang akan gampang mendapatkan rerumputan di sawah atau tegal, mereka lebih banyak memanfaatkan lahan hutan sbg sumber penghasil makanan ternak. Dengan melepaskan begitu saja ternak ke dalam hutan, ternak akan mendapatkan beragam macam pakan yang dibutuhkan. Waktu yang tidak dipergunakan oleh keluarga petani untuk mengumpulkan rerumputan bisa dimanfaatkan untuk aktivitas yang dipekerjakan yang lain.

Fungsi non-ekonomis hutan jati jawa

Pada 2003, sekitar 76% lahan hutan jati Perhutani di Jawa dikukuhkan sbg hutan produksi, yaitu daerah hutan dengan fungsi inti menghasilkan hasil hutan (terutama kayu). Hanya kurang dari 24% hutan jati Perhutani dikukuhkan sbg hutan lindung, suaka dunia, hutan wisata, dan cagar dunia.

Mengingat lahannya yang relatif cukup lapang, hutan jati dipandang memiliki fungsi-fungsi non-ekonomis yang penting. Fungsi-fungsi non-ekonomis tersebut merupakan sbg berikut:

Fungsi penyangga ekosistem

Tajuk pepohonan dalam hutan jati akan menyerap dan menguraikan zat-zat pencemar (polutan) dan cahaya yang berkelebihan. Tajuk hutan itu pun melakukan bagian fotosintesis yang menyerap karbondioksida dari udara dan melepaskan kembali oksigen dan uap cairan ke udara. Semua ini membantu menjaga kestabilan iklim di dalam dan sekitar hutan. Hutan jati pun ikut mendukung kesuburan tanah. Ini karena akar pepohonan dalam hutan jati tumbuh melebar dan mendalam. Pertumbuhan akar ini akan membantu menggemburkan tanah, sehingga memudahkan cairan dan udara masuk ke dalamnya. Tajuk (mahkota hijau) pepohonan dan tumbuhan bawah dalam hutan jati akan menghasilkan serasah, yaitu jatuhan ranting, buah, dan bunga dari tumbuhan yang menutupi permukaan tanah hutan. Serasah dijadikan bahan dasar untuk menghasilkan humus tanah. Berbagai mikroorganisme hidup berlindung dan berkembang dalam serasah ini. Uniknya, mikroorganisme itu juga yang akan memakan dan mengurai serasah dijadikan humus tanah. Serasah pun membantu meredam entakan cairan hujan sehingga melindungi tanah dari erosi oleh cairan.

Fungsi biologis

Bila hutan jati berwujud hutan murni —sehingga lebih seperti ‘kebun’ jati— erosi tanah justru akan lebih akbar terjadi. Tajuk jati rakus cahaya matahari sehingga cabang-cabangnya tidak semestinya bersentuhan. Perakaran jati juga tidak tahan bersaing dengan perakaran tanaman lain. Dengan demikian, serasah tanah cenderung tidak banyak. Tanpa banyak tutupan tumbuhan pada lantai hutan, lapisan tanah teratas lebih gampang terbawa oleh saluran cairan dan tiupan angin.

Untunglah, hutan jati berkembang dengan sejumlah tanaman yang lebih beragam. Di dalam hutan jati, kita bisa menemukan bungur (Lagerstroemia speciosa), dlingsem (Homalium tomentosum), dluwak (Grewia paniculata), katamaka (Kleinhovia hospita), kemloko (Phyllanthus emblica), Kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), laban (Vitex pubscens), ploso (Butea monosperma), serut (Streblus asper), trengguli (Cassia fistula), winong (Tetrameles nudflora), dan lain-lainnya. Lamtoro (Leucenia leucocephalla) dan akasia (Acacia villosa) pun ditanam sbg tanaman antara untuk menahan erosi tanah dan menambah kesuburan tanah.

Daerah Gunung Kidul, Yogyakarta, yang gersang dan rusak parah sebelum 1978, ternyata berhasil diselamatkan dengan pola penanaman campuran jati dan jenis-jenis lain ini. Dalam selang waktu hampir 30 tahun, lebih dari 60% lahan rusak bisa diubah dijadikan lahan yang menghasilkan. Penduduk setempat paling banyak memilih menanam jati di lahan mereka karena melihat nilai faedahnya, cara tanamnya yang gampang, dan harga jual kayunya yang tinggi. Mereka mencampurkan penanaman jati di kebun dan pekarangan mereka dengan mahoni (Swietenia mahogany), akasia (Acacia villosa), dan sonokeling (Dalbergia latifolia).

Daerah Gunung Kidul kini berubah dijadikan lahan hijau yang berhawa lebih sejuk dan memiliki keragaman hayati yang lebih tinggi. Perubahan anggota yang terkait itu telah mengundang banyak satwa untuk singgah, terutama burung —satwa yang kerap dijadikan penanda kesehatan suatu anggota yang terkait. Selain itu, kekayaan lahan ini sekaligus dijadikan cadangan sumberdaya untuk masa depan.

Fungsi sosial

Banyak lahan hutan jati di Jawa, baik yang dikukuhkan sbg hutan produksi maupun hutan non-produksi, memberikan layanan sbg pusat penelitian dan pendidikan, pusat pemantauan dunia, tempat berekreasi dan pariwisata, serta sumber pengembangan tipu daya budi.

Yang mungkin paling menarik untuk dikunjungi merupakan Monumen Gubug Payung di Cepu, Blora, Jawa Tengah. Tempat ini merupakan museum hidup dari pepohonan jati yang berusia lebih dari seabad, setinggi rata-rata di atas 39 meter dan berdiameter rata-rata 89 sentimeter.

Kita bisa menikmati pemandangan hutan dari ketinggian dengan menumpang loko “Bahagia”. Di sini, kita juga bisa meninjau Arboretum Jati; hutan buatan dengan koleksi 32 macam pohon jati yang tumbuh di seluruh Indonesia. Aci juga Puslitbang Cepu yang mengembangkan bibit jati unggul yang dikenal sbg JPP (Jati Plus Perhutani). Pengunjung boleh membeli sapihan jati dan menanamnya sendiri di sini. Pengelola kesudahan akan merawat dan menamai pohon itu sesuai dengan nama pengunjung bersangkutan.

Macam yang berkerabat

Seluruhnya, aci tiga anggota genus Tectona. Selain jati Tectona grandis yang diuraikan di atas, dua yang lain adalah:

  • Jati Dahat (Dahat Teak, Tectona hamiltoniana), sejenis jati endemik di Myanmar, yang kini sudah langka dan terancam kepunahan.
  • Jati Filipina (Philippine Teak, Tectona philippinensis), jati endemik dari Filipina; juga terancam kepunahan.

Pada pihak lain, aci pula jenis-jenis pohon atau tumbuhan lain yang dinamai jati meski tidak berkerabat. Di antaranya:

  • Jati sabrang atau sungkai (Peronema canescens)
  • Jati putih (Gmelina arborea)
  • Jati pasir (Guettarda speciosa)
  • [[[jabon]] (antocephalus cadamba)01:58, 1 Mei 2011 (UTC)

Lihat pula

Referensi

  1. ^ a b (Inggris) Akram M, Aftab F. 2007. In vitro micropropagation and rhizogenesis of teak (Tectona grandis L.). Pak J Biochem Mol Biol 40(3): 125-128.
  2. ^ (Inggris) BIOTROP. 2010. Services laboratory – SEAMEO BIOTROP. [terhubung berkala]. http://sl.biotrop.org [5 Feb 2010].
  3. ^ a b (Inggris) Tiwari SK, Tiwari KP, Siril EA. 2002. An improved micropropagation protocol for teak. Plant Cell Tissue Organ Cul 71: 1-6.
  4. ^ a b (Inggris) Ahuja MR. 1993. Micropropagations of Woody Plants. Kluwer Academic Publishers: Netherlands.
  5. ^ a b c d e (Inggris) Balasundaran M, Sharma JK, Florence EJM, Mohanan C. 1995. Leaf spot diseases of teak and their impact on seedling production in nurseries. [terhubung berkala]. http://www.metla.fi/iufro/iufro95abs/d2pap88.htm [5 Feb 2010].

Rujukan

  • Awang, S.A. dkk., 2002, Etnoekologi Manusia di Hutan Rakyat. Sinergi Press. Jogyakarta.
  • Mahfudz dkk., t.t., Sekilas Jati. Puslitbang Biotek dan Pemuliaan Tanaman Hutan. Jogyakarta.
  • Heyne, K. 1987. Tumbuhan Bermanfaat Indonesia Jilid IV. Badan Litbang Kehutanan (penerj.). Jakarta: Yayasan Sarana Wana Jaya.
  • Lincoln, William dkk. 1989. The Encyclopedia of Wood. A Directory of Timbers and Their Special Uses. Oxford: Facts on File.
  • Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya. Kajian Sejarah Terpadu. Bidang II: Jaringan Asia (Le Carrefour Javanais. Essai d’histoire globale. II. Les réseaux asiatiques). Winarsih Arifin dkk. (penerj.). Jakarta; PT Gramedia Referensi Utama.
  • Nandika, Dodi. 2005. Hutan bagi Ketahanan Nasional. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
  • Salim, H S. 2003. Dasar-Dasar Hukum Kehutanan. Edisi Revisi. Jakarta: Sinar Grafika.
  • Simon, Hasanu. 2004. Membangun Desa Hutan. Kasus Dusun Sambiroto. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  • Dah, U Saw Eh & U Shwe Baw. 2000. “Regional Teak Marketing and Trade”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Kertadikara, A.W.S. 1992. Variabilité génétique de quelques provenances de teck (Tectona grandis L.F.) et leur aptitude à la multiplication végétative. Thèse Université Nancy I.
  • Lugt, Ch. S. ---. “Sejarah Penataan Hutan di Indonesia”. Dalam: Hardjosoediro, Soedarsono (penerj.). Cuplikan Het Boschbeheer in Nederlands Indie. Yogyakarta: Bidang Penerbitan Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM.
  • Perum Perhutani. 2000. “Marketing and Trade Policy of Perum Perhutani”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simon, Hasanu. 2000. “The Evolvement of Teak Forest Management in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Simatupang, Maruli H. 2000. “Some Notes on the Origin and Establishment of Teak Forest (Tectona grandis Lf.) in Java, Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Somaiya, RT. 2000. “Marketing & Trading of Plantation Teakwood in India”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suharisno. 2000. “Role and Prospect: Teak Plantation in Rural Areas of Gunung Kidul, Yogyakarta”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.
  • Suseno, Oemi Hani’in. 2000. “The History of Teak Silviculture in Indonesia”. Dalam: Hardiyanto, Eko B. (peny.). Proceeding of the Third Regional Seminar on Teak. Yogyakarta, Indonesia. July 31- August 4, 2000. Yogyakarta: Fakultas Kehutanan UGM, Perum Perhutani, dan TEAKNET-Wilayah Asia Pasifik.

edunitas.com


Page 5

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, geography, portal, africa, south, america, north, kalimantan, nusa, tenggara, islands, bali, west, sri, lanka, syria, taiwan, tajikistan, thailand, timor, leste, burundi, djibouti, eritrea, ethiopia, kenya, comoros, center, studies, formula, 1, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 6

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, geography, portal, africa, south, america, north, kalimantan, nusa, tenggara, islands, bali, west, sri, lanka, syria, taiwan, tajikistan, thailand, timor, leste, burundi, djibouti, eritrea, ethiopia, kenya, comoros, center, studies, formula, 1, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 7

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, sumatra, jabodetabek, borneo, kalimantan, puppet, wayang, java, west, papua, countries, in, europe, albanian, andorra, armenia, peru, suriname, uruguay, venezuela, state, and, territory, regional, dependency, melilla, reunion, western, sahara, saint, center, studies, portal, japan, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 8

Tags (tagged): the, world, encyclopedia, of, contents, unkris, sumatra, jabodetabek, borneo, kalimantan, puppet, wayang, java, west, papua, countries, in, europe, albanian, andorra, armenia, peru, suriname, uruguay, venezuela, state, and, territory, regional, dependency, melilla, reunion, western, sahara, saint, center, studies, portal, japan, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, indonesian


Page 9

Tags (tagged): daftar, isi, pusat, ilmu, pengetahuan, unkris, portal, utama, agama, astronomi, bahasa, biografi, biologi, budaya, bengkulu, jambi, kepulauan, bangka, belitung, riau, kong, india, indonesia, iran, iraq, israel, jepang, kamboja, tunisia, afrika, barat, benin, burkina, faso, gambia, ghana, asia, ateisme, atheis, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, ensiklopedia


Page 10

Tags (tagged): daftar, isi, pusat, ilmu, pengetahuan, unkris, portal, indonesia, sumatera, jabodetabek, kalimantan, wayang, maluku, utara, papua, barat, negara, peru, suriname, uruguay, venezuela, wilayah, lesotho, namibia, swaziland, territorial, islam, jawa, jepang, program, kuliah, pegawai, kelas, weekend, eksekutif, ensiklopedi, bahasa, ensiklopedia


Page 11

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM


Page 12

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) 3, 3 Diva (album), 3 Doa 3 Cinta (film), 3 Doors Down, 3 Februari, 30 Oktober, 30 Persei, 30 Rock, 30 September, 33 (angka), 330, 330 (angka), 330-an, 360-an, 360-an SM, 3600 Detik, 360s, 390 's, 390 SM, 390-an, 390-an SM


Page 13

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan


Page 14

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) A, A Cinderella Story, A Clockwork Orange, A Clockwork Orange (film), A Collection, Aaptos papillata, Aaptos pernucleata, Aaptos robustus, Aaptos rosacea, Abdul Aziz Alu-Sheikh, Abdul Aziz Angkat, Abdul Aziz bin Abdulah bin Baz, Abdul Aziz bin Abdullah Alu Syaikh, Abisai, Abit, Mook Manaar Bulatn, Kutai Barat, Abitibi-Consolidated, AbiWord, AC Arles-Avignon, AC Bellinzona, AC Martina, AC Milan


Page 15

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus


Page 16

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) B, B17, B20, B22, B25, Babirik, Beruntung Baru, Banjar, Babirik, Hulu Sungai Utara, Babirusa, Babirusa Buru, Badan Liga Indonesia, Badan Meteorologi Australia, Badan Meteorologi dan Geofisika, Badan Meteorologi Jepang, Bagik Payung, Suralaga, Lombok Timur, Bagik Polak, Labu Api, Lombok Barat, Baginda, Sumedang Selatan, Sumedang, Bagindo Aziz Chan, Bahasa Bawean, Bahasa Belanda, Bahasa Belanda di Indonesia, Bahasa Belarus


Page 17

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero


Page 18

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) C, C.G.E. Mannerheim, C.G.K. Reinwardt, C.H. Greenblatt, C.I.D. (film), Cairate, Cairina scutulata, Cairn Terrier, Cairns, Calung, Calungbungur, Sajira, Lebak, Caluso, Caluya, Antique, Canadian dollar, Canadian Football League, Canadian Grand Prix, Canadian Hot 100, Cane Toa, Rikit Gaib, Gayo Lues, Cane Uken, Rikit Gaib, Gayo Lues, Canellales, Canero


Page 19

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur


Page 20

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) H, H.H.H. Tower, H.M.A. Tihami, H.O.S. Tjokroaminoto, H.O.T., Hak LGBT di Oseania, Hak LGBT di Pakistan, Hak LGBT di Republik Tiongkok, Hak LGBT di Rumania, Halte Cinango, Halte Cisomang, Halte Cisomang layout, Halte Citaliktik, Handil Labuan Amas, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Maluka, Bumi Makmur, Tanah Laut, Handil Negara, Kurau, Tanah Laut, Handil Purai, Beruntung Baru, Banjar, Harapan, Tanah Pinem, Dairi, Harapankarya, Pagelaran, Pandeglang, Harappa, Harara, Dusun Timur, Barito Timur


Page 21

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub


Page 22

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) I, I Got a Boy, I Got a Boy (lagu), I Gusti Agung Kusuma Yudha Rai, I Gusti Ketut Jelantik, Ibrahim al-Imam, Ibrahim al-Jaafari, Ibrahim al-Maimuni, Ibrahim al-Marhumi, Ie Mirah, Pasie Raja, Aceh Selatan, Ie Relop, Pegasing, Aceh Tengah, Ie Rhob Babah Lueng, Simpang Mamplam, Bireuen, Ie Rhob Barat, Simpang Mamplam, Bireuen, Ikatan non kovalen, Ikatan Pelajar Muhammadiyah, Ikatan Pencak Silat Indonesia, Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Ilyas, Ilyas Karim, Ilyas Ruhiat, Ilyas Ya'kub


Page 23

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) J, J. Willard Marriott, J.A.K.Q. Dengekitai, J.A.K.Q. Dengekitai vs. Goranger, J.B. Jeyaretnam, Jagson Airlines, Jaguar, Jaguar (perusahaan otomotif), Jaguar Cars, Jalan Dago, Jalan dan Jembatan, Jalan dan Jembatan Kelok Sembilan, Jalan di Kota Surakarta, Jalur kereta api di Indonesia, Jalur kereta api di Sydney, Jalur kereta api Duri-Tanahabang, Jalur kereta api Eritrea, Jambu Kulon, Ceper, Klaten, Jambu Luwuk, Ciawi, Bogor, Jambu mawar, Jambu mede


Page 24

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) J, J. Willard Marriott, J.A.K.Q. Dengekitai, J.A.K.Q. Dengekitai vs. Goranger, J.B. Jeyaretnam, Jagson Airlines, Jaguar, Jaguar (perusahaan otomotif), Jaguar Cars, Jalan Dago, Jalan dan Jembatan, Jalan dan Jembatan Kelok Sembilan, Jalan di Kota Surakarta, Jalur kereta api di Indonesia, Jalur kereta api di Sydney, Jalur kereta api Duri-Tanahabang, Jalur kereta api Eritrea, Jambu Kulon, Ceper, Klaten, Jambu Luwuk, Ciawi, Bogor, Jambu mawar, Jambu mede


Page 25

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta


Page 26

Tags (tagged): Judul Topik (Artikel) O, OB Shift 2, Oba Selatan, Tidore Kepulauan, Oba Tengah, Tidore Kepulauan, Oba Utara, Tidore, Oda Nobunaga, Odair Fortes, Odalengo Grande, Odalengo Piccolo, Oktaf, Oktaf Paskah, Oktal, Oktan, Olivia Dewi, Olivia Lubis Jensen, Olivia Newton John, Olivia Newton-John, Onozalukhu You, Moro O, Nias Barat, Onozalukhu, Lahewa, Nias Utara, Onozitoli Sawo, Sawo, Nias Utara, Onta