Dalil Allah turun ke langit dunia

Pertanyaan:

Diketahui bahwa malam hari datang silih berganti mengelilingi bumi, sedangkan Allah turun ke langit dunia ketika sepertiga malam terakhir, dengan demikian sepanjang malam Allah berada di langit dunia?

Jawaban:

Kita harus beriman kepada nama dan sifat yang Allah menamakan dan menyifati diri-Nya di dalam kitab-Nya, melalui lisan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa mengubah, tanpa mempermasalahkan, tanpa mempertanyakan, dan tanpa membuat permisalan. Melakukan perubahan terhadap nash, mempermasalahkan keyakinan, mempertanyakan sifat, dan juga membuat permisalan dalam sifat merupakan hal-hal yang harus kita hindari. Akidah kita harus bersih dari keempat bahaya ini. Manusia harus menahan diri dari mempertanyakan masalah ini dengan “mengapa?” dan “bagaimana?”, yang berkaitan dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah Jalla wa ‘Ala. Apabila seseorang  menempuh metode ini, maka dia akan istirahat dengan tenang. Demikianlah keadaan para salaf.

Imam Malik bin Anas rahimahullah pernah ditanya, “Wahai Abu Abdullah (kuniah beliau), Allah bersemayam di atas ‘arsy, bagaimana Dia bersemayam?” Imam Malik bin Anas terantuk kepalanya seraya berkata, “Istiwa (bersemayam) itu dipahami maknanya (secara bahasa), bagaimana caranya bersemayam tidak diketahui, mengimaninya wajib, dan mempertanyakannya adalah bid’ah dan saya tidak melihatmu kecuali pembuat bid’ah.”

Begitu juga orang yang mengatakan bahwa Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam terakhir. Pertanyaan ini mengharuskan Allah berada di langit dunia sepanjang malam karena malam itu berputar secara bergiliran di seluruh dunia, dan sepertiga malam terakhir datang bergantian dari satu tempat ke tempat yang lain.

Seandainya masalah ini tidak bisa diterima oleh hati orang mukmin yang berserah diri, tentu Allah dan Rasul-Nya telah menjelaskan. Kami katakan bahwa selama sepertiga malam terakhir itu masih ada, maka Allah akan turun ke langit dunia dan jika sepertiga malam terakhir itu habis, maka Allah pun naik. Kami tidak mengatahui bagaimana turunnya Allah dan tidak memahaminya. Kita ketahui bersama bahwa tidak ada sesuatu yang menyamai Allah, maka kita harus menerima dan mengatakan kami mendengar, kami beriman, kami mengikuti, dan kami menaati. Itulah kewajiban kita.

Kesimpulan: Allah turun ke langit dunia pada sepertiga malam akhir adalah berita yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir. Dia berfirman, ‘Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Aku berikan. Dan siapa yang yang memohon ampun kepada-Ku, maka akan Aku ampuni.” (HR. Bukhari, no.1145 dan Muslim, no.758)

Sikap pertengahan dalam menyikapi hadis ini yaitu dengan menerima dan mengimaninya dan tidak mempertanyakan caranya. Dan dua sikap yang berlebihan dalam permasalah ini adalah menolak hadis shahih tersebut dan membuat-buat bagaimana cara Allah turun ke langit dunia.

Sumber: Tuntunan Tanya Jawab Akidah, Shalat, Zakat, Puasa dan Haji (Fatawa Arkanul islam), Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Darul Falah, 2007.

Artikel www.KonsultasiSyariah.com

🔍 Sholat Jumat Bagi Musafir, Arti Muhrim Dan Mahram, Batu Cincin Akik, Ayat Tentang Nikmat Allah Yang Tak Terhitung, Sejarah Penyusunan Al Quran, Kain Kapan

Dalil Allah turun ke langit dunia

KLIK GAMBAR UNTUK MEMBELI FLASHDISK VIDEO CARA SHOLAT, ATAU HUBUNGI: +62813 26 3333 28

Setiap muslim wajib mengimani tiga pilar tauhid, yaitu tauhid rububiyyah, tauhid uluhiyyah, dan tauhid asma’ wash shifat. Seluruh kaum muslimin telah bersepakat bahwa semua pemahaman yang menyimpang terkait dengan tauhid rububiyyah dan tauhid uluhiyyah adalah perbuatan kufur. Namun, masih banyak syubhat-syubhat seputar tauhid asma’ wash shifat yang ‘bersliweran’ di tengah-tengah kaum muslimin demi mengkaburkan kemurnian tauhid seorang muslim.

Diantara syubhat yang kencang berhembus di tengah majelis kaum muslimin adalah masalah turunnya Allah ke langit dunia (sifat an-nuzul). Terdapat banyak dalil yang berbicara tentang hal ini, namun, sebagian kaum muslimin pada masa sekarang, merasa kebingungan dalam menerima khabar ini, sehingga diantara mereka ada yang melakukan takwil dengan hawa nafsu dan ra’yu (akal) mereka. Tapi, benarkah takwil mereka itu? Ataukah ada cara tersendiri untuk mencapai kebenaran tentang khabar ini?

TAKHRIJ HADITS AN-NUZUL

أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِيْنَ يَبْقَى ثُلُثُ الأَخِيْرِ يَقُوْلُ : مَنْ يَدْعُوْنِيْ فَأَسْتَجِيْبَ لَهُ, مَنْ يَسْأَلُنِيْ فَأُعْطِيَهُ, مَنْ يَسْتَغْفِرُنِيْ فَأَغْفِرَ لَهُ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap malam yaitu ketika sepertiga malam terakhir, (kemudian) Dia berfirman, ‘Barang siapa berdoa kepada-Ku, niscaya akan Aku kabulkan, barang siapa meminta kepada-Ku, niscaya akan Aku berikan, dan barang siapa memohon ampun kepada-Ku, niscaya akan Aku ampuni.’”

Hadits ini dinukil dengan sanad yang shahih dari generasi ke generasi dan mencapai derajat mutawatir, karena hadits ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat Nabi, diantaranya:

1. Abu Bakar Ash-Shiddiq radhiyallahu’anhu,

2. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu’anhu,

3. Abu Hurairah radhiyallahu’anhu,

4. Jubair bin Muth’im radhiyallahu’anhu,

5. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhu,

6. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu,

7. Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu’anhu,

8. Amru bin ‘Abasah radhiyallahu’anhu,

9. Rifa’ah bin ‘Arabah Al-Juhani radhiyallahu’anhu,

10. Utsman bin Abi ‘Ash Ats-Tsaqafi radhiyallahu’anhu,

11. Abdul Hamid bin Salamah dari ayahnya dari kakeknya radhiyallahu’anhum,

12. Abu Darda’ radhiyallahu’anhu,

13. Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu,

14. Abu Tsa’labah Al-Khusyni radhiyallahu’anhu,

15. Ummul Mukminin ‘Aisyah radhiyallahu’anha,

16. Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu’anhu,

17. Ummu Salamah radhiyallahu’anha,

18. Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,

19. Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu’anhu,

20. Laqith bin Amir Al-‘Uqaili radhiyallahu’anhu,

21. ‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma,

22. Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu’anhuma

23. Ubadah bin Shamith radhiyallahu’anhu,

24. Asma’ binti Yazid radhiyallahu’anha,

25. Abu Al-Khaththab radhiyallahu’anhu,

26. ‘Auf bin Malik radhiyallahu’anhu,

27. Abu Umamah Al-Bahili radhiyallahu’anhu,

28. Tsauban radhiyallahu’anhu,

29. Abu Haritsah radhiyallahu’anhu,

30. Khaulah binti Hakim radhiyallahu’anha, dan

31. ‘Uqbah bin ‘Amir Al-Juhani radhiyallahu’anhu.

[Lihat Syarh Ushul I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah (I/275-285) dan Mukhtashar Shawa’iq Mursalah(III/1125)]

Hadits ini dikeluarkan oleh sekelompok ulama ahli hadits, diantaranya:

1. Al-Bukhari dalam Shahih-nya, kitab At-Tahajud, bab Ad-Du’a fish Shalah min Akhiril Lail, no. 1145; kitab Ad-Da’awat, bab Ad-Du’a Nishfu Al-Lail, no. 6321; dan kitab At-Tauhid, bab Qaul Allahu Ta’ala: Yuriduna An Yubaddilu Kalam Allah, no. 7494.

2. Muslim dalam Shahih-nya, kitab Shalatul Musafirin wa Qasriha, bab At-Targhib fid Du’a wal Dzikri fil Akhiril Lail wal Ijabati Fihi, no. 758.

3. At-Tirmidzi dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalah, bab Ma Ja’a Fi Nuzulir Rabbi Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i Ad-Dunya Kulla Lailah, no. 446; kitab Ad-Da’awat ‘An Rasulillah, bab Ma Ja’a Fi ‘Aqdit Tasbih Bil Yad, no. 3498.

4. Abu Dawud dalam Sunan-nya, kitab Ash-Shalah, bab Ayyu Lail Afdhal?, no. 1315; dan kitab As-Sunnah, bab Ar-Raddu ‘Alal Jahmiyyah, no. 4733.

5. Ibnu Majah dalam Sunan-nya, kitab Iqamah Ash-Shalah was Sunnah Fiha, bab Ma Ja’a Fi Ayyi Sa’at Al-Lailah Afdhal, no. 1366 .

6. Imam Malik dalam Muwaththa’, kitab Ash-Shalah, bab Ma Ja’a Fid Du’a, no. 470.

7. Ibnu Abi ‘Ashim dalam kitab As-Sunnah, bab Dzikru Nuzul Rabbuna Tabaraka wa Ta’ala Ilas Sama’i Ad-Dunya Lailah An-Nishfu Min Sya’ban wa Mathla’ihi Ila Khalqihi, no. 492.

8. Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhid, I/280.

Dan sejumlah ulama ahli hadits selainnya.

SYARAH HADITS AN-NUZUL

Turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia merupakan salah satu dari sekian banyak sifat-sifat fi’liyah yang dimiliki-Nya. Sifat fi’liyah adalah sifat-sifat Allah yang berkaitan dengan kehendak Allah Subhanahu wa Ta’ala, seperti turun, istiwa, tertawa, murka, ridha, dan selainnya. Sifat-sifat tersebut telah ada sejak dahulu (qadim) jika dilihat dari segi jenisnya. Artinya sejak dulu Allah mampu untuk turun, tertawa, murka, ridha, berbicara dst.

Sementara jika dilihat dari kasus terjadinya maka semua sifat di atas adalah satu hal yang baru, yang bisa muncul jika Allah berkehendak untuk melakukannya.Ketika Allah berkehendak maka Dia akan melakukan hal tersebut, namun ketika Allah tidak berkehendak maka Dia tidak melakukannya. [Lihat Mukhtashar Al-Ajwibah Al-Ushuliyyah (hal. 30) dan Syarh Al-‘Aqidah Al-Wasithiyyah (hal. 78-79)]

Hadits di atas menyebutkan dengan sangat jelas bahwa Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam terakhir untuk mengijabahi do’a hamba-Nya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menjelaskan kepada kita tentang bagaimana cara turunnya Allah ke langit dunia. Allah pun tidak mewahyukan bagaimana caranya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. [Lihat Syarh ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Khalil Harras (hal. 165)]

Untuk itu, selaku hamba sekaligus ummat yang taat, sudah sepatutnya kita menerima khabar ini tanpa menanyakan kaifiyat (cara) turunnya Allah, karena perkara tersebut berada diluar jangkauan nalar kita. Kalaupun kita hendak bersikap takalluf (memberat-beratkan diri) dengan mengkhayalkan bagaimana turunnya Allah, maka hakekatnya kita telah melakukan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhlukNya). Padahal Allah telah berfirman,

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىْءٌۚ وَهُوَالسَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ۝

Artinya: “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Qs. Asy-Syura: 11)

Selain itu, kita juga tidak patut untuk mengubah hakikat sifat turunnya Allah dengan permisalan-permisalan yang tidak ada asal-usulnya. Contohnya mengatakan bahwa yang turun bukanlah Dzat Allah, tetapi yang turun adalah rahmat Allah. Orang yang memiliki keyakinan ini, berarti telah terjebak dalam tahrif (mengubah makna). Padahal sejatinya, kebiasaan seperti itu adalah kebiasaan buruk orang-orang Mu’tazilah dan Asy’airah yang zhahirnya adalah perilaku kaum Yahudi, sebagaimana difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala,

مِنَ الَّذِيْنَ هَادُوْا يَحَرِّفُوْنَ الْكَلِمَ عَنْ مَّوَاضِعِهِ … ۝

Artinya: “Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah perkataan dari tempat-tempatnya…” (Qs. An-Nisa’: 46)

Mengingat pentingnya masalah ini, banyak diantara para ulama yang menulis risalah khusus tentang hal ini. Dan berikut ini adalah komentar mereka:

1. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Aqidah yang aku yakini dan diyakini oleh orang-orang yang pernah aku temui seperti Sufyan, Malik dan selainnya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya, lalu mendekat kepada makhluk-Nya sesuai dengan apa yang Dia kehendaki, dan sesungguhnya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang Dia kehendaki.” [Lihat Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah (hal. 94 dan 122), Mukhtashar Al-‘Uluw (hal. 176), Majmu’ Fatawa (IV/181), dan ‘Aunul Ma’bud (XIII/41 dan 47)]

2. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyahrahimahullah berkata, “Sesungguhnya pendapat tentang turunnya Allah setiap malam, telah tersebar luas melalui Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Salafush Shalih serta para ulama dan ahli hadits telah sepakat membenarkannya dan menerimanya. Siapa yang berkeyakinan sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perkataan itu adalah haq dan benar, kendati ia tidak mengetahui tentang hakikat dan kandungan serta makna-maknanya. Sebagaimana orang yang membaca Al-Qur’an sedang dia tidak memahami makna ayat yang dibacanya. Karena sebenar-benar kalam adalah Kalam Allah (Al-Qur’an) dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (as-sunnah).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan perkataan ini dan yang semisalnya secara umum, tidak mengistimewakan seseorang atas orang lain, dan tidak pula disembunyikannya dari seseorang. Sedangkan para Sahabat serta para Tabi’in menyebutkannya, menukilnya, menyampaikannya dan meriwayatkannya di majelis-majelis khusus dan umum pula, yang selanjutnya dimuat dalam kitab-kitab Islam yang dibaca di majelis-majelis khusus maupun umum, seperti Shahih Al-Bukhari, Shahih Muslim, Muwaththa’ Imam Malik, Musnad Imam Ahmad, Sunan Abi Dawud, Sunan At-Tirmidzi, Sunan An-Nasa’i, dan yang semisalnya.” [Lihat Majmu’ Fatawa (V/322-323) dan Syarah Hadits Nuzul(hal. 69)]

3. Abdul Ghani Al-Maqdisi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits tentang turunnya Allah ke langit dunia setiap hari telah mencapai derajat mutawatir dan (sanadnya) shahih. Maka wajib bagi kita untuk mengimaninya, pasrah menerimanya, tidak menentangnya, menjalankannya tanpa takyif (menanyakan caranya) dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk) sertatakwil (menyelewengkan artinya) sehingga meniadakan hakikat turunnya Allah.” [Lihat Al-Iqtishad fil I’tiqad(hal. 100)]

4. Imam Al-Ajurri rahimahullahberkata, “Mengimaninya adalah wajib, tetapi tidak boleh bagi seorang muslim untuk bertanya, ‘Bagaimana cara Allah turun?’ Dan tidak ada yang mengingkari hal ini, kecuali golongan Mu’tazilah. Adapun ahlul haq, mereka mengatakan, “Mengimaninya adalah wajib tanpa takyif (menanyakan caranya), sebab telah datang hadits-hadits yang shahih dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam. Orang-orang yang meriwayatkan hadits ini kepada kita, mereka pula yang meriwayatkan hadits-hadits tentang hukum halal haram, shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Maka seperti halnya para ulama dalam menerima semua itu, mereka (ahlul haq) juga menerima hadits-hadits ini, bahkan mereka menegaskan, ‘Barang siapa yang menolaknya maka dia sesat dan keji.’” Mereka (ahlul haq) bersikap waspada darinya (para penolak kebenaran itu) dan memperingatkan ummat dari penyimpangannya.”[Lihat Asy-Syari’ah(II/93) dan ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits (hal. 81)]

5. Imam Ash-Shabuni rahimahullah berkata, “Para ulama ahli hadits menetapkan turunnya Rabb ‘Azza wa Jalla ke langit terendah pada setiap malam tanpa menyerupakan turun-Nya Allah itu dengan turunnya makhluk (tasybih), tanpa memisalkan (tamtsil) dan tanpa menanyakan bagaimana sifat turun-Nya (takyif). Tetapi menetapkannya sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengakhiri perkataan padanya (tanpa ada komentar lagi), memperlakukan kabar shahih yang memuat hal itu sesuai dengan zhahirnya, serta menyerahkan ilmunya kepada Allah.” [Lihat ‘Aqidatus Salaf Ash-habil Hadits (hal. 75)]

Ahlus Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat mengenai wajibnya mengimani turunnya Allah Tabaraka wa Ta’ala ke langit dunia pada setiap malam, karena khabar tentang hal ini telah shahih datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penerima wahyu dan pembawa risalah. Dengan demikian, cukuplah bagi kita untuk mengimani bahwa Allah memang benar turun ke langit dunia pada setiap sepertiga malam, yang merupakan waktu paling baik untuk diijabahnya do’a-do’a, tanpa mempertanyakan kaifiyatnya (takyif), tanpa merubah maknanya (tahrif), tanpa menyerupakan cara turunnya Allah dengan cara turun makhluk (tasybih), tanpa membuat permisalan-permisalan yang tidak ada asal-usulnya (tamtsil), dan juga tanpa pengingkaran dalam bentuk apa pun (ta’thil). Itulah penjelasan dan pemahaman paling baik serta paling selamat –insya Allah– untuk permasalahan ini, karena demikianlah yang difahami oleh orang-orang dari generasi terbaik, dan mereka itulah orang-orang yang paling mengerti dengan sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sebagaimana dikatakan oleh Asy-Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah, “Pendapat yang benar adalah pendapat Salafush Shalih, yaitu menyakini turunnya Allah dan memahami riwayat ini sebagaimana datangnya, tanpa takyif (mempertanyakan caranya) dan tanpa tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Inilah jalan yang paling benar, paling selamat, paling cocok, dan paling bijaksana. Pegangilah keyakinan ini dan gigitlah dengan gigi gerahammu serta waspadalah dari keyakinan-keyakinan yang menyelisihnya.” [Lihat Ta’liq Fathul Bari (III/30)]

bersambung insyaallah

***
muslimah.or.id
Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Murajaah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:
1. Al-Muwaththa’ Imam Malik, Imam Malik bin Anas, cet. Maktabah Al-Furqan.
2. ‘Aqidah As-Salaf wa Ash-habul Hadits, Imam Ash-Shabuni, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh.
3. Ar-Risalah, Imam Muhammad bin ‘Idris Asy-Syafi’i, tahqiq dan syarah: Ahmad Muhammad Syakir, cet. Maktabah Darut Turats, Kairo.
4. Asy-Syari’ah. Imam Al-Ajurri, cet. Mausu’ah Qurthubah.
5. Ijtima’ul Juyusy Al-Islamiyyah ‘ala Ghazwil Mu’aththilah wal Jahmiyyah, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, tahqiq: Basyir Muhammad ‘Uyun, cet. Maktabah Darul Bayan, Beirut.
6. Kitab As-Sunnah, Al-Hafizh Ibnu Abi ‘Ashim, cet. Al-Maktab Al-Islamiy, Amman.
7. Mukhtashar Al-‘Uluw lil ‘Aliyyil ‘Azhim, Imam Abu ‘Abdillah Muhammad Adz-Dzahabi, tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cet. Al-Maktab Al-Islami, Amman.
8. Mukhtashar Shawa’iq Al-Mursalah ‘Alal Jahmiyyah wal Mu’aththilah, Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cet. Maktabah Adhwa’us Salaf, Riyadh.
9. Shahih Al-Bukhari, Imam Al-Bukhari, cet. Dar Ibnu Katsir, Damaskus.
10. Shahih Muslim, Imam Muslim, cet. Dar Al-Mughni, Saudi Arabia.
11. Sunan Abu Dawud, Imam Abu Dawud, cet. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
12. Sunan At-Tirmidzi, Imam At-Tirmidzi, cet. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
13. Sunan Ibnu Majah, Imam Ibnu Majah, cet. Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
14. Syarh ‘Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cet. Pustaka Imam Asy-Syafi’i, Jakarta.
15. Syarh ‘Aqidah Al-Wasithiyyah, Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cet. Dar Ibnul Jauzi, Riyadh.
16. Syarh Hadits An-Nuzul, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, tahqiq: Muhammad bin ‘Abdurrahman Al-Khumaiyis, cet. Darul ‘Ashimah, Riyadh.
17. Syarh I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah, Imam Al-Lalika’i, cet. Dar Al-Hadits, Kairo.

🔍 Dalil Tentang Keutamaan Menuntut Ilmu, Apa Itu Namimah, Adap Makan Dan Minum, Nasihat Untuk Para Suami, Cerita Sek Dubur, Mandi Wajib Bagi Wanita, Sihir Ain, Pedihnya Siksa Neraka, Situs Situs Islam, Hal Yang Dilarang Saat Hamil Menurut Islam

Apakah Allah turun ke langit dunia?

Allah ﷻ yang bersemayam di atas 'Arsy, dan turun ke langit dunia di waktu yang telah ditetapkan.

Kapan Allah swt turun ke dunia?

Kapan Waktu Turunnya Allah ke Langit Dunia? Terdapat riwayat yang berbeda-beda tentang penentuan waktu turunnya Allah ke langit dunia. Di antaranya hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah Radhiyallahu anhu terdahulu yang menunjukkan bahwa turunnya Allah terjadi pada sepertiga malam terakhir.

Apakah di sepertiga malam Allah turun ke bumi?

Sebab, dalam sebuah hadits shahih disebutkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala turun ke langit dunia setiap sepertiga malam yang terakhir.

Siapa nabi yang meminta Allah turun ke bumi?

Nabi Adam dan Siti Hawa Turun ke Bumi.