Dari pernyataan diatas yang termasuk contoh qiyas adalah

Ada lima macam Qiyas ditinjau dari segi perbandingan antara ‘illat yang terdapat pada ashal [pokok] dan yang terdapat pada far’u [cabang], antara mulhaq [yang disamakan atau yang dibandingkan] dengan mulhaq bih [pembanding atau yang dibandingi]. Macam-macam Qiyas [analogi] dari perbandingan ashal dan far’u atau antara mulhaq dan mulhaq bih ini ada lima, yaitu: Qiyas Aula, Qiyas Musawi, Qiyas Al-Adwan, Qiyas Dilalah, dan Qiyas Syibhi.

🔊 Dengarkan Audio Podcast

Qiyas Aula

Qiyas Aula adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u [cabang] mempunyai hukum yang lebih utama dari ‘illat yang terdapat pada ashal [pokok]. Atau dengan kata lain, mulhaq [yang disamakan atau yang dibandingkan] tersebut memuat hukum yang lebih utama daripada mulhaq bih [pembanding atau yang dibandingi].

Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram memukul kedua orang tua dengan hukum haram mengatakan “Ah” dalam QS. Al-Israa/17:23. Tidak hanya mengqiyaskan atau menanalogikan, tetapi juga Qiyas Aula memberi hukum yang lebih berat dibanding hukum asalnya.


وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَـٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا

“Dan Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik.” QS. Al-Israa/17:23

Illat [alasan] hukum larangan menagatkan “Ah” adalah menyakiti orang tua. Dalam contoh ini Qiyas Aula berlaku, dimana far’u [cabang] mempunyai illat hukum yang lebih utama dari ‘illat yang terdapat pada ashal [pokok]. Hal ini karena tindakan memukul lebih menyakiti orang tua dibandingkan dengan mengatakan “Ah”. Dengan demikian keharaman hukum far’u [cabang ] lebih berat diban dingkan dengan ashal [pokok].

Qiyas Musawi

Qiyas Musawi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u [cabang] mempunyai bobot hukum yang sama dengan ‘illat yang terdapat pada ashal [pokok]. Atau dengan kata lain, mulhaq [yang disamakan atau yang dibandingkan] tersebut memuat hukum yang lebih utama daripada mulhaq bih [pembanding atau yang dibandingi].

Contohnya adalah menqiyaskan hukum haram merusak, membakar, menghancurkan atau perbuatan apapun yang dapat merusak harta anak yatim dengan “memakan harta anak yatim”, sebagaimana secara harfiah disebutkan dalam QS al-Nisa/4: 2. ‘Illat hukum keharaman merusak harta anak yatim tersebut sama bobotnya dengan memakan harta anak yatim.

وَءَاتُوا۟ ٱلْيَتَـٰمَىٰٓ أَمْوَٰلَهُمْ ۖ وَلَا تَتَبَدَّلُوا۟ ٱلْخَبِيثَ بِٱلطَّيِّبِ ۖ وَلَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَهُمْ إِلَىٰٓ أَمْوَٰلِكُمْ ۚ إِنَّهُۥ كَانَ حُوبًۭا كَبِيرًۭا

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim [yang sudah dewasa] harta mereka, janganlah kamu menukar yang baik dengan yang buruk, dan janganlah kamu makan harta mereka bersama hartamu. Sungguh, [tindakan menukar dan memakan] itu adalah dosa yang besar.” QS al-Nisa/4: 2

Contoh lainnya adalah hukum berbuat zalim terhadap anak yatim, dengan menqiyaskannya dengan hukum haram memakan harta anak yatim dalam QS al-Nisa/4: 2 tersebut.

Ayat ini menyebutkan larangan memakan harta anak yatim. Illat [alasan] hukum larangan memakan harta anak yatim adalah zalim. Jika kata yang maknanya sama dengan kata zalim berikut dapat diqiyaskan, maka Qiyas Musawi ini memiliki makna yang sangat luas. Kata yang semakna dengan zalim adalah: aniaya, bengis, buas, kejam, lalim, sewenang-wenang, sadis, beringas, biadab, brutal, buta hati, galak, ganas, garang, jahat, kasar, keji, liar, keras, kurang kjar, bertangan besi, amoral, asusila, barbar, brengsek, kurang kdat, lancang, semena-mena, tunasusila, dan lainnya.

Perbuatan zalim tidak terbatas memakan atau membelanjakan harta saja, tetapi disebut zalim jika melenyapkan, membakar, atau menghancurkan harta anak yatim. Dan jika diqiyaskan secara lebih luas, dimana Illat [alasan] hukumnya adalah larangan berbuat zalim, maka dapat keharaman dapat dimasukkan kepada apa saja perbuatan yang dikategorikan kedalam kezaliman.

Qiyas Al-Adwan

Qiyas Al_Adwan adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u [cabang] mempunyai bobot hukum yang lebih rendah daripada ‘illat yang terdapat pada ashal [pokok]. Atau dengan kata lain, mulhaq [yang disamakan atau yang dibandingkan] tersebut memuat hukum yang lebih rendah daripada mulhaq bih [pembanding atau yang dibandingi].

Contohnya adalah menqiyaskan hukum bunga bank dengan riba, sebagaimana disebutkan dalam QS Al-Baqarah/2: 278.

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَذَرُوا۟ مَا بَقِىَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓا۟ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan tinggalkan sisa riba [yang belum dipungut] jika kamu orang beriman.” QS Al-Baqarah/2: 278

Ayat tersebut menjelaskan perintah untuk meninggalkan praktek riba. Penjelasan tentang riba ini diperinci dalam Hadits. Lihat penjelasan posisi Sunah terhadap Quran.

Riba sebagaimana dalam hadis nabi terbagi dalam dua jenis, yaitu riba yad [transaksi langsung] dan riba nasia’ah [hutang]. Bunga bank sering disamakan dengan riba nasia’ah [hutang] ini. Hanya saja ‘illat bunga bank zaman sekarang dinilai lebih rendah dibandingkan dengan praktek riba zaman dahulu.

Qiyas Dilalah

Qiyas Dilalah adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u [cabang] mempunyai hukum yang tidak menuntut adanya kewajiban, tidak seperti ‘illat yang terdapat pada ashal [pokok]. Atau dengan kata lain, mulhaq [yang disamakan atau yang dibandingkan] tersebut memuat hukum tetapi tidak menuntut adanya kewajiban [tidak mewajibkan adanya hukum].

Contohnya adalah pandangan Abu Hanifah tentang kewajiban zakat terhadap harta yang berkembang bagi anak kecil dan orang baligh [dewasa]. Abu Hanifah mengqiyaskan harta anak kecil dengan harta orang yang sudah baligh [dewasa] sebagaimana Qiyas terhadap ibadah haji. Sebagaimana anak kecil tidak wajib untuk melaksanakan ibadah haji, maka tidak wajib zakat terhadap harta anak kecil

Qiyas Syibhi

Qiyas Syibhi adalah Qiyas dimana illat yang terdapat pada far’u [cabang] dapat diqiyaskan kepada dua hukum ashal [pokok]. Atau dengan kata lain, mulhaq [yang disamakan atau yang dibandingkan] tersebut dapat diqiyaskan kepada dua mulhaq bih [pembanding atau yang dibandingi].

Jika kasus ini terjadi maka illat yang terdapat pada far’u [cabang] diqiyaskan kepada hukum ashal [pokok] atau mulhaq bih yang mengandung lebih banyak persamaan.

Contohnya pada masalah yang sudah tidak relevan dalam kasus budak. Ushulfiqih.com akan memperbarui artikel ini jika menemukan contoh lain yang lebih relevan

Dalil-dalil hukum yang telah disepakati oleh jumhur ulama ada 4 yakni Al-Qur'an. Sunnah, ijma' dan qiyas dan keempat hukum tersebut sudah ditetapkan urutan-urutannya. Jika menghadapi masalah yang berhubungan dengan fiqhi, maka yang pertama harus mencari hukumnya melalui Al-qur'an, jika tidak dijumpai di dalam Al-Qur'an, maka melalui hadits atau sunnah nabi, jika hukum itu tidak ditemukan pada Al-Qur'an dan hadits/sunnah Nabi, maka hukum tersebut maka harus diperhatikan apakah dikalangan mujtahidin pernah ada kesepakatan [ijma'], jika tidak ditemukan maka hendaknya melakukan ijtihad dengan menggunakan qiyas. Berbicara masalah qiyas tentunya harus dipahami pengertian dari qiyas itu sendiri sebagai sumber hukum yang ke 4 [empat] dari sumber hukum Islam. Pengertian Qiyas dan Unsur-unsurnya Qiyas secara etimologis berasal dari bahasa arab, yang artinya mengukur dan menyamakan antara dua hal, baik yang konkrik, serti benda-benda yang dapat dipegang, diukir dan sebagainya, maupun yang abstrak, seperti kebahagiaan, kepribadian dan sebagainya. Qiyas menurut istilah ushul fiqhi, ialah menyamakan suatu masalah yang tidak terdapat ketentuan hukumnya dalam nash [Al-Qur'an dan Sunnah], karena adanya persamaan illat hukumnya [motif hukum] antara kedua masalah itu. Beberapa contoh tentang qiyas sebagai berikut :

  1. Dalam surah Al-maidah ayat 90 terdapat larangan keras minum khamar. Khamar minuman keras yang dibuat dari anggur. Mengapa dilarang ? dan bagaimana bila minuman keras itu dibuat dari bahan lainnya, seperti dari beras kentan, ketela dan sebagainya ? Dalam hal ini, kita perlu meneliti illat hukumnya [sebab adanya larangan keras minuman itu] ialah karena bisa memabukkan, dan dapat merusak saraf otak/akal. Sudah tentu unsur memabukkan itu diterdapat di semua minuman keras. Karena itu, dengan qiyas, semua jenis minuman keras diharamkan.
  2. Berdasarkan hadits Nabi, orang yang membunuh orang yang mewariskan hartanya itu gugur hak warisnya. Illat hukumnya [sebabnya], bahwa pembunuhannya di maksudkan untuk mempercepat hak warisnya. Tetapi justru hak warisnya gugur, sebagai hukuman atas kejahatannya. Demikian pula pembunuh orang orang yang memberi wasiat, gugur hak wasiatnya, diqiyaskan dengan pembunuh orang yang mewariskan hartanya, karena ada permaan illatnya.
  3. Berdasarkan Surah Al-Juma'ah ayat 9, jual beli dilarang pada waktu sudah dikumandangkan adzan pada hari jumat, karena jual beli itu bisa mengelahkan sholatnya. Hanya saja larangan ini tidak sampai ketingkatan haram, tetapi makruh. Demikian pula semua kegiatan bisnis dan nonbisnis diqiyaskan hukumnya dengan jual beli, karena sama-sama bisa melengahkan sholat.
Pada ketiga contoh tersebut diatas, terdapat qiyas menurut istilah ushul fiqhi, karena menyamakan suatu masalah yang tidak ada nash hukumnya dengan masalah yang telah ada nash hukumnya berdasarkan persamaan illat hukumnya [motif hukumnya] yakni :
  1. Pada contoh pertama, semua jenis minuman keras mempunyai unsur yang sama, ialah memabukkan dan merusak saraf otak/akal
  2. Pada contoh kedua, kedua macam pembunuhan mempunyai motif yang sama, ialah mempercepat waktu untuk menerima warisan.
  3. Pada contoh ketiga, semua kegiatan bisnis pada waktu adzan sholat jum'at dapat melengahkan/melupakan orang dari sholat jum'at yang wajib itu.
Dari contoh-contoh qiyas di atas, dapatlah diketahui bahwa qiyas itu mempunyai 4 [empat] rukun unsur, yaitu :
  1. Ashl [pokok], ialah masalah yang telah ada nashnya mengenai hukumnya. Ashl juga disebut maqis 'alaih [yang disamai] dan musyabbah bih [yang diserupai].
  2. Far' [cabang], ialah masalah yang tidak ada nashnya mengenai hukumnya. Far' juga disebut maqis [yang disamakan] dan musyabbah [yang diserupakan]
  3. Hukum ashl [hukum pokok], ialah hukum syara' yang telah ditetapkan nashnya untuk pokok dan dikehendaki hukumnya berlaku juga untuk cabang
  4. Illat hukum, ialah yang menjadi motif [alasan] adanya ketentuan hukum pada ashl, dan ingin dicari apakah illat hukum pada pokok itu juga terdapat pada cabang.
Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua yakni ashl dan far' tidak ada syarat-syarat lainnya, kecuali bahwa masalah pokok sudah ada kepastian hukumya dengan nash, dan far' [masalah cabang] belum ada kepastian hukumnya baik dengan nash maupun dengan ijma' dan juga tidak ada hambatan yang menghalangi persamaan hukumnya pada masalah pokok dan cabang. Mengenai rukun qiyas yang pertama dan kedua, yakni ashl dan far' tidak  ada syarat-syarat lainnya, kecuali bahwa masalah pokok sudah ada kepastian hukumnya dengan nash, dan far' [masalah cabang] belum ada kepastian hukumnya baik dengan nash maupun dengan ijma', dan juga tidak ada hambatan yang menghalangi dipersamakan hukumnya pada masalah pokok dan cabang. Mengenai rukun qiyas yang ketiga, yakni hukum ashl, maka untuk berlakunya hukum pokok pada cabang ada syarat-syarat nya. Sebab tidak setiap hukum syara' yang ditetapkan nash untuk suatu masalah itu bisa diterapkan pada masalah lain dengan jalan qiyas,  tetapi harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
  1. Hukum syara' pada pokok harus ditetapkan dengan nash Al-Qur'an atau Sunnah. Karena itu, hukum syara' yang ditetapkan dengan jima', tidak atau bisa diterapkan hukumnya pada masalah lain masih dipersoalkan ulama. Menurut Abdul Wahab Khallaf, tidak bisa dipakai qiyas. Sebab hukum yang berdasarkan ijma' itu belum tentu mempunyai landasan nash, sehingga kalau tidak ada landasan nashnya, maka tak ada jalan untuk memahami illat hukumnya, padahal illat hukum itu merupakan unsur yang sangat vital untuk pemakaian qiyas. Tetapi menurut Asy Syaukani, pengarang kitab Irsya dul Fahul, ijma' bisa menjadi landasan qiyas. Apakah hukum syara' yang ditetapkan dengan jalan qiyas, bisa diterapkan pada masalah lain? Tidak bisa sama sekali, dan mengenai hal ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Misalnya mengharamkan perasaan buah apel karena menyamakannya dengan perasaan buah kurma. Qiyas macam ini tidak sah, sebab kalau perasaan apel memang sama dengan perasaan kurma [sama-sama mengandung unsur memabukkan dan merusak saraf otak], maka tentunya perasaan apel itu sama dengan khamar[perasaan anggur] yang keharamnya berdasarkan nash Al-Qur'an. Jadi, kalau mengharamkan perasaan apel itu dengan diqiyaskan pada perasaan anggur, kalau benar-benar sama mengandung unsur memabukkan dan merusak akal. Jika tidak sama dengan khamar, maka tidak sama hukumnya.
  2. Hukum syara' pada pokoknya harus bisa dijangkau oleh akal untuk memahami illatnya. Sebab jika kita tidak bisa menangkap illatnya, kita tidak bisa menggunakan qiyas, karena landasan qiyas adalah illat hukumnya yang bisa kita tangkap. Sebenarnya semua hukum syara' disyariatkan atas dasar kepentingan atau kemaslahatan manusia dan atas sebab-sebab yang menjadi landasan adanya hukum-hukum syara' itu. Tiada suatu hukum syara' yang disyariatkan dengan main-main tanpa ada illat/motif hukumnya. Hanya saja hukum-hukum syara' itu ada yang bersifat ta'abbudi atau tidak bisa dirasionalkan, dan ada pula hukum-hukum yang bisa dirasionalkan. Sedangkan hukum-hukum yang bersifat ta'abbudi atau yang tidak bisa dirasionalkan misalnya, ketentuan jumlah rakaat dalam sholat lima waktu, ketentuan hukum had untuk tindak pidana, hukuman kaffarat.
  3. Hukum syara' pada pokok-pokok harus bersifat umum, bukan merupakanhal yang khusus atau pengecualian, misalnya larangan mengawini istri Nabi setelah Nabi wafat. Dan kesaksian dalam peradilan yang cukup seorang saksi saja, yakni sahabat Khuzaimah bin tsabit. Padahal nash-nash Al-Qur'an dan sunnah menunjukkan bahwa wanita yang sudah meninggal suaminya dan sudah habis masa iddahnya boleh dinikahi oleh laki-laki lain. larangan menikahi istri Nabi merupakan hal yang khusus untuk istri Nabi, sehingga tidak boleh diqiyaskan dengan selain istri-istri Nabi.

Pengertian Qiyas, Contohnya dan Motif Hukumnya serta Rukun Unsurnya 2016-05-09T05:03:00-07:00 Rating: 4.5 Diposkan Oleh: Ilmusaudara.com

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề