Demokrasi yang diterapkan di indonesia saat ini adalah demokrasi yang brainly

Skip to content

Demokrasi merupakan nilai universal sebagai kehendak rakyat yang diekspresikan secara bebas untuk menentukan sistem politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Secara sederhana, demokrasi digambarkan sebagai "pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat". Pada hakekatnya demokrasi diwujudkan untuk mencapai kemakmuran.

KOMPAS/BAHANA PATRIA GUPTA Warga menggunakan hak pilihnya di TPS 25 yang dibangun di Tempat Pemakaman Umum Kapas Krampung, Kelurahan Gading, Kecamatan Tambaksari, Surabaya, Rabu [17/4/2019]. Untuk mensukseskan terselenggranya Pemilu 2019 TPS dibanguan dibanyak tempat, [...]

This entry was posted in Paparan Topik and tagged bentuk demokrasi, demokrasi, demokrasi belum penuh, demokrasi langsung, demokrasi penuh, demokrasi perwakilan, elemen demokrasi, fasisme, Hari Demokrasi Internasional, indeks demokrasi, Jenis Demokrasi, komunisme, konsep demokrasi, kriteria demokrai sukses, penyebaran demokrasi, Perang Dunia Kedua, Perang Dunia Pertama, Perkembangan Demokrasi, Politik dan Demokrasi, Revolusi Amerika, Revolusi Perancis, rezim hibrida, rezim otoriter, Sejarah Demokrasi, Sejarah Hari Demokrasi, Variasi Demokrasi.

Pendidikan demokrasi pada hakekatnya membimbing peserta didik agar semakin dewasa dalam berdemokrasi dengan cara mensosialisasikan nilai-nilai demokrasi, agar perilakunya mencerminkan kehidupan yang demokratis. Dalam pendidikan demokrasi ada dua hal yang harus ditekankan, demokrasi sebagai konsep dan demokrasi sebagai praksis.

Sebagai konsep berbicara mengenai arti, makna dan sikap perilaku yang tergolong demokratis. Sedang sebagai praksis sesungguhnya demokrasi sudah menjadi sistem. Sebagai suatu sistem kinerja demokrasi terikat suatu peraturan main tertentu, apabila dalam sistem itu ada orang yang tidak mentaati aturan main yang telah disepakati bersama, maka aktivitas itu akan merusak demokrasi dan menjadi anti demokrasi .

Tugas seorang pendidik adalah mensosialisasikan dua tataran tersebut dalam konsep dan fraksisnya, sehingga peserta didik memahami dan ikut terlibat dalam kehidupan demokrasi. Membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional seperti yang tercantum dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas.

 Selain pengembangan nilai-nilai demokrasi dalam pembentukan mental peserta didik sesuai nilai-nilai demokrasi, demokrasi di sekolah juga mencakup proses pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Hal ini diantaranya adalah untuk menyikapi persoalan yang tentunya tekait dengan nilai-nilai demokrasi dalam hal ilmu pengetahuan.

Melalui Kementrian Dalam Negeri, Universitas Paramadina bersama Konrad Adenauer Stiftung salah salu NGO asal Jerman selenggarakan pelatihan pendidikan demokrasi bagi  guru Surabaya, tadi pagi Rabu [24/02] di Hotel Santika, Gubeng.

Acara yang dibuka langsung Kepala Dinas Pendidikan Kota [Dispendik] Surabaya Dr. Ikhsan, S. Psi, MM dihadiri oleh 30 guru perwakilan dari setiap mata pelajaran. Dalam sambutannya Ikhsan, mengemukakan bahwa kesempatan yang baik ini hendaknya dimanfaatkan para guru untuk menimba ilmu sebanyak-sebanyaknya sehingga nantinya setelah mengikuti pelatihan dapat mengimbaskan pengalaman dan pengetahuannya kepada teman seprofesinya ataupun MGMP/KKG, tujuannya ialah meskipun guru lainnya tidak mengikuti pelatihan secara langsung mereka juga mendapatkan pengetahuan yang sama agar peningkatan mutu dan kualitas guru Surabaya bertambah baik dan merata.

Terkait inovasi program pendidikan, mantan Kepala Bapemas dan KB Kota Surabaya menyampaikan bahwa saat ini terdapat terdapat 15 inovasi pengembangan program  pendidikan. Lima belas inovasi program pendidikan di Surabaya, diantaranya Profil Sekolah, Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Sekolah [SIPKS], Seleksi Kepala Sekolah, Jurnal Online, Surabaya Belajar, Multimedia Pembelajaran, Rapor Online, Try Out Online, PPDB Online, Sahabat Dispendik,  Klinik Kurikulum, Kenaikan Pangkat Online, Tantangan Membaca 2015, P2KGS, Profil LKP dan PKBM serta Aplikasi Gaji Online.

“Untuk program tantangan membaca, sampai akhir Desember 2015 buku yang dibaca siswa Surabaya mencapai 1.741.725 buku, melampaui dari 1.000.000 buku yang ditargetkan”.

  Sementara itu, Direktur Universitas Paramadina Muhammad Abdul Zein mengungkapkan pelatihan pendidikan demokrasi ini dirangcang untuk meningkatkan kemampuan guru dalam memahami kehidupan berdemokrasi yang tengah berkembang dewasa ini dui masyarakat.

“Konsep pelatihannya dirancang senyaman mungkin berbasis edutainment”, ujar Zein.

Zein menambahkan, pembelajaran tentang pendidikan demokrasi nantinya lebih mengedepankan penanaman nilai-nilai demokrasi kepada anak, sehingga para siswa akan memahami perilaku-perilaku positif dalam kehidupan berdemokrasi. [Humas Dispendik Surabaya]

Secara etimologis, dalam bahasa Yunani demokrasi berasal dari kata demos [rakyat] dan kratos [kekuatan], yang secara harfiah apabila digabungkan memiliki makna kekuatan rakyat. Dalam konteks demokrasi, Franklin D. Roosevelt menegaskan bahwa masyarakat memiliki kekuasaan penuh atas negara, sedangkan filsuf Yunani, Aristoteles, mengatakan bahwa demokrasi terjadi ketika masyarakat miskin memegang kekuasaan. Definisi demokrasi lainnya yang paling sering kita dengar adalah oleh Presiden Amerika Serikat ke-16, Abraham Lincoln, yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan suatu sistem pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. 

Konsep demokrasi muncul sekitar tahun 508-507 SM di era Yunani Kuno. Setelah itu Republik Romawi pertama kali mengadopsi konsep demokrasi dari Yunani Kuno dan menggunakan sistem pemerintahan republik di peradaban Barat, yang kemudian diikuti oleh negara-negara modern lainnya. Sebagai sebuah sistem bernegara, demokrasi menempatkan aspirasi rakyat melalui wakil-wakilnya sebagai pemilik kekuasaan tertinggi yang memberikan legitimasi kepada seorang pemimpin melalui mekanisme pemilihan yang terbuka, adil, dan jujur. Namun, apabila prinsip demokrasi tidak diimbangi oleh literasi politik dan pengetahuan yang baik, kebebasan berpendapat bisa disalahgunakan sehingga berpotensi memicu konflik sosial-politik di kalangan masyarakat.

Demokrasi Pancasila sebagai pilihan

Di Indonesia sistem demokrasi mulai semarak kembali sejak era Orde Baru [1966] karena di masa pemerintahan Soeharto masyarakat Indonesia dilibatkan secara langsung dalam menentukan pemimpin negara melalui Pemilihan Umum yang bersifat Luber [langsung, umum, bebas, dan rahasia]. Selain itu, lembaga-lembaga perwakilan rakyat seperti DPR baik di pusat maupun daerah, MPR, dan lain-lainnya juga mulai menjalankan fungsinya untuk menampung suara rakyat. Meskipun demikian, praktik demokrasi juga tidak bisa dikatakan maksimal di era ini karena sistem pemerintahan Soeharto yang opresif dan militeristik, khususnya terhadap kelompok minoritas dan kelompok agama. Namun, sejauh ini prinsip atau sistem demokrasi merupakan pilihan tepat untuk negara Negara Kesatuan Republik Indonesia [NKRI] mengingat masyarakatnya yang sangat pluralis. Oleh karena itu, sejauh ini Demokrasi Pancasila yang berlandaskan nilai-nilai Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan sistem pemerintahan yang paling mungkin diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan konsep Demokrasi Liberal, Demokrasi Kapitalis, dan Demokrasi Terpimpin yang dalam catatan sejarah perjalanan bangsa pernah gagal diterapkan di Indonesia. Demokrasi Pancasila merupakan representasi dari realitas masyarakat Indonesia yang memiliki ciri beragam atau multikultural, namun tetap menempatkan budaya gotong royong dan persatuan di atas segala perbedaan. Penerapan konsep musyawarah untuk mencapai suatu mufakat yang selama ini kita kenal di masyarakat juga merupakan bukti bahwa Demokrasi Pancasila bertujuan untuk mengutamakan keselarasan, keseimbangan, dan keselamatan bangsa di atas kepentingan pribadi maupun golongan.

Tantangan demokrasi di Indonesia

Sejak memasuki era reformasi, konsep demokrasi semakin nyata didengungkan. Hal ini terlihat dari kebebasan pers dan kebebasan berpendapat di kalangan masyarakat dalam mengkritik pemerintah. Dicabutnya larangan ekspresi budaya Tionghoa oleh Presiden RI ke-4 Abdurrahman Wahid menandakan bahwa prinsip Demokrasi Pancasila masih diminati oleh bangsa ini. Namun di sisi lain, era reformasi juga membawa dilema untuk bangsa ini. Salah satunya adalah karena kebebasan berpendapat kerap disalahgunakan sebagai penegasan terhadap identitas kelompok tertentu atas nama mayoritas. Hal tersebut tentunya menjadi permasalahan tersendiri bagi bangsa ini dan secara potensial ini dapat mencederai hakikat Demokrasi Pancasila. Sebagai contohnya, banyak kita temukan konflik berbasis perbedaan agama dan budaya terjadi di masyarakat, maraknya ujaran kebencian terhadap kelompok minoritas, serta bermunculannya ideologi intoleran dan kejahatan terorisme. Di level pemerintahan dan politik, kondisi demokrasi di Indonesia, khususnya dari aspek supremasi hukum, juga cukup mengkhawatirkan. Salah satunya bisa kita soroti dari banyaknya tindakan pelanggaran HAM, minimnya pelibatan aspirasi publik terhadap Rancangan berbagai Undang-Undang seperti Revisi UU KPK, RKUHP, keberadaan UU ITE yang menyulitkan pejuang HAM, beberapa penerbitan Perpu yang tidak dilandaskan pada kajian yang objektif dan masih banyak lagi. Hal tersebut sangat ironis karena kedaulatan ada di tangan rakyat dan partisipasi rakyat adalah hal yang mutlak sekaligus kunci dari demokrasi itu sendiri. Selain itu, jika kita melihat situasi politik belakangan ini, banyak politikus yang memanfaatkan isu-isu SARA untuk saling menyerang lawan politik mereka demi mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Oleh karena itu, beberapa contoh di atas berpotensi mencederai Demokrasi Pancasila dan memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa. Kita seakan lupa bahwa negeri ini menjadi kuat karena dibangun dari perbedaan.

Bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan secara ideal?

Lalu, bagaimana kita menjaga Demokrasi Pancasila agar tetap lestari sebagai prinsip bernegara dan bermasyarakat? Sebagai bangsa demokratis, negara harus mengakomodasi aspirasi atau suara rakyat [khususnya kaum minoritas] karena dalam sistem demokrasi rakyat memegang kekuasaan penuh atas pemerintahan yang dijamin secara konstitusional. Oleh karena itu, sebagai upaya menjalankan demokrasi yang bebas, adil, dan jujur, penentuan pemimpin harus dilakukan melalui pemilihan umum yang melibatkan penuh asprirasi rakyat, atau kata kuncinya adalah legitimasi. Dengan kata lain, legitimasi merupakan salah satu tolok ukur apakah prinsip demokrasi dijalankan dengan sebaik-baiknya atau tidak karena legitimasi merupakan representasi dari suara rakyat yang seharusnya dijadikan referensi utama oleh negara dalam menentukan pemimpin. Musyawarah untuk mencapai mufakat yang merupakan prinsip utama demokrasi juga harus dilakukan secara bertanggung-jawab karena dengan cara inilah rakyat dapat menentukan harapan bersama dengan tetap menjaga harmoni dan stabilitas sosial-politik. Selain itu, di lingkup sosial, literasi masyarakat tentang prinsip dan hakikat demokrasi juga harus disuarakan. Media massa dan negara melalui sektor pendidikan harus memberikan pendidikan politik dan demokrasi yang baik supaya kebebasan berpendapat dapat diutarakan dengan kritis, santun, dan bertanggungjawab. Satu hal yang terpenting dari penerapan demokrasi yang kita jalankan harus bermuara pada kemanusiaan karena secara filosofis prinsip demokrasi adalah merangkul dan mengakomodasi suara rakyat baik mayoritas maupun minoritas demi terciptanya suatu masyarakat yang adil, makmur, dan beradab.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tantangan Demokrasi di Indonesia", //www.kompas.com/tren/read/2020/07/12/102904765/tantangan-demokrasi-di-indonesia?page=all#page2.

Editor : Heru Margianto

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề