Dibawah ini kerajaan yang pernah ditaklukkan oleh sultan Alaudin Riayat Syah kecuali

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar yaitu Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard[1] sampai tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571[1]. beliau menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, beliau juga dikenang sbg penguasa yang memisahkan warga Aceh ke grup administratif [kaum atau sukeë].

Kampanye militer

Pada saat naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar nampak menyadari kebutuhan Aceh untuk menginginkan bantuan militer kepada Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk memainkan futuhat ke wilayah-wilayah berlainan, khususnya kawasan pedalaman Sumatera, seperti kawasan Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, beliau menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abbesinia.[2] Pasukan Turki berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kumpulan elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang sela pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo.[3]

Beliau juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi beliau terlibat dalam penyerangan negara yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah perihal jadinya ini, Aceh berganti menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an.

Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, beliau menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, belakang menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh belakang mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 beliau melancarkan kembali penyerangan negara yang gagal ke Malaka. Ketika Muzaffar diracun di Johor, Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi harus kembali karena pertahanan Johor yang kuat.

Referensi

  • M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, Stanford: Stanford University Press, 1994, pages 33.

  1. ^ a b Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6
  2. ^ Pusponegoro, Marwati Djuned [1984]. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Balai Pustaka. hlm. 33. 
  3. ^ Azra, Azyumardi [2004]. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Zaman XVII dan XVIII. Prenada Media. hlm. 27–28. 


edunitas.com

Page 2

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar merupakan Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard[1] sampai tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571[1]. beliau menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, beliau juga dikenang sbg penguasa yang memisahkan warga Aceh ke grup administratif [kaum atau sukeë].

Kampanye militer

Pada ketika naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar nampak menyadari kebutuhan Aceh untuk menginginkan bantuan militer untuk Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk memainkan futuhat ke wilayah-wilayah berlainan, khususnya kawasan pedalaman Sumatera, seperti kawasan Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, beliau menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abbesinia.[2] Pasukan Turki berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kumpulan elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang sela pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo.[3]

Beliau juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi beliau terlibat dalam penyerangan negara yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah perihal jadinya ini, Aceh berganti menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an.

Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, beliau menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, belakang menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh belakang mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 beliau melancarkan kembali penyerangan negara yang gagal ke Malaka. Ketika Muzaffar diracun di Johor, Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi mesti kembali karena pertahanan Johor yang kuat.

Pustaka

  • M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, Stanford: Stanford University Press, 1994, pages 33.

  1. ^ a b Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6
  2. ^ Pusponegoro, Marwati Djuned [1984]. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Balai Pustaka. hlm. 33. 
  3. ^ Azra, Azyumardi [2004]. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Zaman XVII dan XVIII. Prenada Media. hlm. 27–28. 


edunitas.com

Page 3

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar merupakan Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard[1] sampai tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571[1]. beliau menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, beliau juga dikenang sbg penguasa yang memisahkan warga Aceh ke grup administratif [kaum atau sukeë].

Kampanye militer

Pada ketika naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar nampak menyadari kebutuhan Aceh untuk menginginkan bantuan militer untuk Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk memainkan futuhat ke wilayah-wilayah berlainan, khususnya kawasan pedalaman Sumatera, seperti kawasan Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, beliau menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abbesinia.[2] Pasukan Turki berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kumpulan elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang sela pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo.[3]

Beliau juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi beliau terlibat dalam penyerangan negara yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah perihal jadinya ini, Aceh berganti menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an.

Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, beliau menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, belakang menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh belakang mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 beliau melancarkan kembali penyerangan negara yang gagal ke Malaka. Ketika Muzaffar diracun di Johor, Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi mesti kembali karena pertahanan Johor yang kuat.

Pustaka

  • M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, Stanford: Stanford University Press, 1994, pages 33.

  1. ^ a b Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6
  2. ^ Pusponegoro, Marwati Djuned [1984]. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Balai Pustaka. hlm. 33. 
  3. ^ Azra, Azyumardi [2004]. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Zaman XVII dan XVIII. Prenada Media. hlm. 27–28. 


edunitas.com

Page 4

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar merupakan Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard[1] sampai tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571[1]. beliau menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, beliau juga dikenang sbg penguasa yang memisahkan warga Aceh ke grup administratif [kaum atau sukeë].

Kampanye militer

Pada ketika naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar nampak menyadari kebutuhan Aceh untuk menginginkan bantuan militer untuk Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk memainkan futuhat ke wilayah-wilayah berlainan, khususnya kawasan pedalaman Sumatera, seperti kawasan Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, beliau menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abbesinia.[2] Pasukan Turki berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kumpulan elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang sela pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo.[3]

Beliau juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi beliau terlibat dalam penyerangan negara yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah perihal jadinya ini, Aceh berganti menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an.

Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, beliau menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, belakang menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh belakang mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 beliau melancarkan kembali penyerangan negara yang gagal ke Malaka. Ketika Muzaffar diracun di Johor, Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi mesti kembali karena pertahanan Johor yang kuat.

Pustaka

  • M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, Stanford: Stanford University Press, 1994, pages 33.

  1. ^ a b Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6
  2. ^ Pusponegoro, Marwati Djuned [1984]. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Balai Pustaka. hlm. 33. 
  3. ^ Azra, Azyumardi [2004]. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Zaman XVII dan XVIII. Prenada Media. hlm. 27–28. 


edunitas.com

Page 5

Sultan Alauddin al-Qahhar bergelar resmi `Ala ad-Din Ri`ayat Syah al-Kahhar merupakan Sultan Aceh ketiga yang memerintah dari tahun 1537 atau sekitar tahun 1539 menurut Lombard[1] sampai tahun 1568 atau 8 Jumadil awal 979 H / 28 September 1571[1]. beliau menggantikan saudaranya Sultan Salahuddin pada tahun 1537 atau 1539 pada kudeta kerajaan kerajaan. Dalam tradisi Aceh, beliau juga dikenang sbg penguasa yang memisahkan warga Aceh ke grup administratif [kaum atau sukeë].

Kampanye militer

Pada ketika naik tahta, Sultan Alauddin Al-Qahhar nampak menyadari kebutuhan Aceh untuk menginginkan bantuan militer untuk Turki. Bukan hanya untuk mengusir Portugis di Malaka, namun juga untuk memainkan futuhat ke wilayah-wilayah berlainan, khususnya kawasan pedalaman Sumatera, seperti kawasan Batak pada tahun 1539. Dalam penyerbuan itu, beliau menggunakan pasukan Turki, Arab, dan Abbesinia.[2] Pasukan Turki berjumlah 160 orang ditambah 200 orang tentara dari Malabar membentuk kumpulan elit angkatan bersenjata Aceh. Mendez Pinto, yang mengamati perang sela pasukan Aceh dengan Batak melaporkan kembalinya armada Aceh di bawah komando orang Turki bernama Hamid Khan, keponakan Pasha di Kairo.[3]

Beliau juga menyerang Kerajaan Aru, tetapi dilawan oleh pasukan Kesultanan Johor. Tahun 1547, secara pribadi beliau terlibat dalam penyerangan negara yang gagal ke Kesultanan Malaka. Setelah perihal jadinya ini, Aceh berganti menjadi negara yang damai selama 10 tahun pada dekade 1550-an.

Akan tetapi, pada tahun 1564 atau 1565, beliau menyerang Johor dan membawa Sultannya, Alauddin Riayat Shah II dari Johor, ke Aceh dan ia-pun dihukum mati, belakang menobatkan Muzaffar II dari Johor di takhta Kesultanan Johor. Aceh belakang mengambil kekuasan atas Aru dari Kesultanan Johor. Tahun 1568 beliau melancarkan kembali penyerangan negara yang gagal ke Malaka. Ketika Muzaffar diracun di Johor, Alauddin mengirimkan armadanya ke Johor, tetapi mesti kembali karena pertahanan Johor yang kuat.

Pustaka

  • M.C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia Since c. 1300, Stanford: Stanford University Press, 1994, pages 33.

  1. ^ a b Denys Lombard, Kerajaan Aceh: Zaman Sultan Iskandar Muda [1607-1636]. Jakarta: Kepustakan Populer Gramedia, 2006. ISBN 979-9100-49-6
  2. ^ Pusponegoro, Marwati Djuned [1984]. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Balai Pustaka. hlm. 33. 
  3. ^ Azra, Azyumardi [2004]. Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Zaman XVII dan XVIII. Prenada Media. hlm. 27–28. 


edunitas.com

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề