Dibawah ini tokoh pahlawan yang memimpin perlawanan terhadap belanda kecuali

Perjuangan melawan penjajah di bumi Indonesia sejak dulu memang terkenal sengit. Hampir di tiap daerah punya cerita perjuangan pahlawannya sendiri. Pahlawan nasional dari Maluku merupakan salah satu saksi kesemena-menaan penjajah terhadap rakyat Indonesia kala itu sehingga mereka memilih untuk melawan.

Berikut ini adalah beberapa nama-nama pahlawan yang sering Sahabat dengar dan muncul di uang kertas dan juga menjadi nama jalan di berbagai kota di Indonesia.

Kapitan Pattimura

Kapitan Pattimura, nama ini tidak asing lagi didengar oleh Sahabat kan sejak SD dulu. Kapitan Pattimura juga sempat muncul di uang kertas 1000 rupiah. Nama asli Kapitan Pattimura adalah Thomas Matulessy.

Perlawanan Kapitan Pattimura terhadap Belanda saat itu karena ulah Belanda yang memonopoli perdagangan dan meminta upeti yang sangat besar pada rakyat Maluku. Akibatnya, rakyat Maluku sengsara meskipun mereka menghasilkan banyak hasil bumi. Ikan asin, kopi, dan hasil laut lainnya harus diserahkan di Belanda.

Sifatnya yang pemberani, tubuhnya yang kuat, serta memiliki kejujuran yang tinggi membuatnya diangkat menjadi pemimpin oleh para ketua adat, raja-raja patih, dan masyarakat. Kapitan Pattimura adalah julukan yang diberikan oleh rakyat Maluku pada Thomas Matulessy ini.

Pertempuran Pattimura dengan Belanda cukup sengit. Bahkan sebuah benteng Belanda di Maluku berhasil diduduki oleh pasukan Pattimura dengan semua orang Belanda yang ada di benteng dibunuh. Kejadian ini menjadikan Belanda marah dan mengirimkan bala tentara yang jauh lebih banyak.

Pattimura dan pasukannya pun berhasil ditaklukkan oleh Belanda. Belanda menawarkan kerja sama pada Pattimura, namun ditolak. Alhasil, Belanda geram dan menjatuhkan hukuman mati padanya di Benteng Victoria, Ambon.

Martha Christina Tiahahu

Martha Christina Tiahahu adalah pejuang perempuan Maluku yang sangat dikenal gigih. Dia adalah anak dari Kapitan Paulus Tiahahu. Perjuangan Martha Christina Tiahahu terinspirasi dari ayahnya dan dia tergerak untuk ikut berjuang dan menyemangati para perempuan Maluku untuk turut ikut di medan perang melawan Belanda.

Kisah akhir perjuangan Martha Christina Tiahahu ini adalah ketika Kapitan Pattimura dan pasukannya berhasil ditangkap oleh Belanda. Dia pun tetap melakukan perlawanan bergerilya di hutan. Namun berhasil tertangkap dan diasingkan ke Pulau Jawa. Sedangkan ayahnya, Kapitan Paulus Tiahahu, dijatuhi hukuman mati oleh Belanda.

Sultan Hairun

Sultan Hairun adalah raja Ternate yang sebelumnya memiliki hubungan baik dengan Portugis dalam perdagangan. Namun, ternyata suatu hari Portugis melakukan kecurangan dengan cara melakukan monopoli perdagangan. Kerajaan Ternate pun marah dan tidak melakukan suplai rempah-rempah ke Portugis. Akibatnya pihak Portugis pun mengancam Sultan Hairun, namun Sultan menolak dan menantangnya. Sultan Hairun pun berhasil ditangkap dan dipenjarakan oleh Portugis.

Tak tinggal diam dengan kondisi seperti ini, Sultan Hairun pun menyuruh anaknya Sultan Babullah untuk menyerang armada Portugis di Ambon dengan bantuan orang Hitu dan orang Jawa. Perang berkecamuk hingga pihak Portugis menawarkan perjanjian damai.

Pihak Ternate dan Portugis pun melakukan perdamaian setelahnya. Namun, ternyata perjanjian damai tersebut dirusak dengan adanya orang Portugis yang membunuh Sultan Hairun saat dia mengunjungi benteng Portugis.

Sultan Babullah

Melihat apa yang dilakukan oleh Portugis kepada ayahnya, tentu Sultan Babullah tidak tinggal diam. Sultan Babullah mengerahkan pasukannya serta bantuan pasukan dari berbagai kerajaan yang berafiliasi dengan Ternate untuk menyerang Portugis.

Portugis pun akhirnya bertekuk lutut setelah terus menerus dikepung oleh Sultan Babullah dan pasukannya selama 5 tahun. Persediaan makanan orang Portugis di dalam benteng pun menipis karena kepungan yang dilakukan Sultan Babullah.

Meskipun Portugis sudah kalah, Sultan Babullah tetap memperlakukan mereka dengan baik. Orang Portugis dipindahkan ke Ambon. Sedangkan orang Portugis yang sudah menikah dengan orang Ternate tetap boleh tinggal di sana.

Itulah 4 pahlawan nasional dari Maluku dan keberaniannya. Masih banyak lagi nama-nama pahlawan Maluku seperti Kapitan Kakiali, Kapitan Tulukabessy, Johan Pais, dan lainnya.

Penulis: Iskael

Dibawah ini tokoh pahlawan yang memimpin perlawanan terhadap belanda kecuali

No Sk 088 / TK / 1973 Tgl Sk 06 November 1973

Berasal dari Sumatera Barat

Lahir 24 Agustus 1903 di Talawi, Sawahlunto,Sumatera Barat

Meninggal 17 Oktober 1962 di Jakarta,Indonesia

Meninggal di usia 59 tahun

Di makamkan Talawi, Sawahlunto

Riwayat Singkat :

  • Aktifis Kemerdekaan Indonesia. Sastrawan, sejarawan, budayawan, politikus, ahli hukum. Anggota BPUPKI. Menteri Penerangan. Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Menteri Kehakiman. Menteri Sosial dan Budaya. Ketua Dewan Perancang Nasional. Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara, dsb.

  • Mohammad Yamin beraala dari kalangan ulama Minangkabau ayahnya adalah seorang pegawai mantri kopi. Ia menyesaikan sekolahnya di AMS dan melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi dan mandapat gelar Mr (Sarjana Hukum). Saat bersekolah di Sumatera Barat, ia memimpin Jong Soematranen Bond, ia juga memasuki Partai Partindo, dan juga menjadi anggota Volksraad (1938-1942).

  • Pada tahun 1923 ia mengemukakan gagasannya mengenai bahasa kebangsaan Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu dengan sajak yang ditulisnya yang berjudul “Indonesia, Tanah Tumpah Darah” yang dilanjutkan dalam Kongres Pemuda I yaitu perlunya memiliki bahasa persatuan.

  • Yamin memiliki kekuatan yang luar biasa membaca, menulis, dan berpidato. Ia menerbitkan banyak buku, diantarnya ken Arok dan Ken Dedes, Gajahmada, Diponegoro, Tan Malaha, Septa Darma, dan Tatanegara Majapahit.

Nama Pangeran Diponegoro mungkin sudah tidak asing di telinga Sobat SMP. Beliau merupakan salah satu pahlawan nasional yang turut melawan penjajahan Belanda. Di bulan kemerdekaan ini, Direktorat SMP akan mengupas sosok Pangeran Diponegoro serta peristiwa Perang Diponegoro sebagai upaya perlawanan terhadap penjajahan Belanda.

Pangeran Diponegoro adalah putra dari Sri Sultan Hamengku Buwono III memiliki nama asli Raden Mas Ontowiryo, lahir pada 11 November 1785 di Yogyakarta. Sosok Pangeran Diponegoro dikenal secara luas karena memimpin Perang Diponegoro atau disebut sebagai Perang Jawa karena terjadi di tanah Jawa. Perang ini merupakan salah satu pertempuran terbesar yang pernah dialami oleh Belanda selama masa pendudukannya di Nusantara.

Perang tersebut terjadi karena Pangeran tidak menyetujui campur tangan Belanda dalam urusan kerajaan. Selain itu, sejak tahun 1821 para petani lokal menderita akibat penyalahgunaan penyewaan tanah oleh warga Belanda, Inggris, Prancis, dan Jerman. Van der Capellen mengeluarkan dekrit pada tanggal 6 Mei 1823 yang menyatakan bahwa semua tanah yang disewa orang Eropa dan Tionghoa wajib dikembalikan kepada pemiliknya per 31 Januari 1824. Namun, pemilik lahan diwajibkan memberikan kompensasi kepada penyewa lahan Eropa.

Pangeran Diponegoro membulatkan tekad untuk melakukan perlawanan dengan membatalkan pajak Puwasa agar para petani di Tegalrejo dapat membeli senjata dan makanan. Kekecewaan Pangeran Diponegoro juga semakin memuncak ketika Patih Danureja atas perintah Belanda memasang tonggak-tonggak untuk membuat rel kereta api melewati makam leluhurnya. Beliau kemudian bertekad melawan Belanda dan menyatakan sikap perang. 

Pada hari Rabu, 20 Juli 1825, pihak istana mengutus dua bupati keraton senior yang memimpin pasukan Jawa-Belanda untuk menangkap Pangeran Diponegoro dan Mangkubumi di Tegalrejo sebelum perang pecah. Meskipun kediaman Diponegoro jatuh dan dibakar, pangeran dan sebagian besar pengikutnya berhasil lolos karena lebih mengenal medan di Tegalrejo. Pangeran Diponegoro beserta keluarga dan pasukannya bergerak ke barat hingga Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga keesokan harinya tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota Bantul.

Pangeran Diponegoro kemudian pindah ke Selarong, sebuah daerah berbukit-bukit yang dijadikan markas besarnya. Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah barat yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaannya, sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa Putri di sebelah Timur.

Penyerangan di Tegalrejo memulai perang Diponegoro yang berlangsung selama lima tahun. Diponegoro memimpin masyarakat Jawa, dari kalangan petani hingga golongan priyayi yang menyumbangkan uang dan barang-barang berharga lainnya sebagai dana perang, dengan semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati”; “sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati”. 

Sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung dengan Diponegoro. Bahkan Diponegoro juga berhasil memobilisasi para bandit profesional yang sebelumnya ditakuti oleh penduduk pedesaan, meskipun hal ini menjadi kontroversi tersendiri. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Mojo yang juga menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubuwono VI serta Raden Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan. 

Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Mojo, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Alibasah Sentot Prawirodirjo menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Oleh karena itu, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.

Perang Diponegoro yang terjadi selama lima tahun (1825 – 1830) telah menelan korban tewas sebanyak 200.000 jiwa penduduk Jawa, sementara korban tewas di pihak Belanda berjumlah 8.000 tentara Belanda dan 7000 serdadu pribumi.

Selain melawan Belanda, perang ini juga merupakan perang (sesama) saudara antara orang-orang keraton yang berpihak pada Diponegoro dan yang anti-Diponegoro (antek Belanda).  Akhir perang ini menegaskan penguasaan Belanda atas Pulau Jawa.

Setelah perang Diponegoro, pada tahun 1832 seluruh raja dan bupati di Jawa tunduk menyerah kepada Belanda kecuali bupati Ponorogo Warok Brotodiningrat III, justru hendak menyerang seluruh kantor belanda yang berada di kota-kota karesidenan Madiun dan di jawa tengah seperti Wonogiri, karanganyar yang banyak dihuni oleh Warok.

Begitulah peristiwa perang Diponegoro yang dipimpin langsung oleh Pangeran Diponegoro. Semoga setelah membaca artikel ini, pengetahuan SMP Sobat mengenai perjuangan para pahlawan nasional akan semakin bertambah, ya. Sebab menurut Presiden Soekarno, bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya. 

Baca Juga  Tanamkan Sadar Menaati Norma Sejak Dini

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi: 

http://repositori.kemdikbud.go.id/20225/

http://repositori.kemdikbud.go.id/8315/

http://repositori.kemdikbud.go.id/20595/