Didalam konstitusi ris 1949 terdapat penyimpangan terhadap sistem parlementer terutama pasal

Di dalam Konstitusi RIS 1949, terdapat penyimpangan terhadap sistem parlementer, terutama:

Pasal 69 Ayat [1] dan Pasal 118 Ayat [1] Konstitusi RIS, yang berisi Presiden juga berkedudukan sebagai kepala negara yang tidak dapat diganggu gugat.


Bentuk penyimpangan dari pasal-pasal ini adalah 

- Presiden dapat membuat ketetapan sendiri tanpa melalui pertimbangan DPR.

- Presiden dapat membubarkan DPR.

- Kedudukan MPR dan DPR dibawah presiden, karena MPR dan DPR diberi status sebagai menteri.

Ilustrasi Penyimpangan Terhadap Sistem Parlementer Dalam RIS 1949 Foto: Unsplash

Sebelum menjadi negara yang merdeka, Indonesia sempat menetapkan Konstitusi Republik Indonesia Serikat [Konstitusi RIS] sebagai penyelenggaraan Negara Republik Indonesia.

Konstitusi RIS berlaku sejak 27 Desember 1949. Selain memberlakukan Konstitusi RIS, Indonesia juga resmi menjadi Negara Republik Indonesia Serikat.

Mengutip buku PKn 2 yang ditulis oleh Dewi Aniaty dan Aviani Santi, Konstitusi RIS terdiri dari Mukadimah 4 alinea, 6 bab, 197 pasal dan lampiran. Berlakunya negara Republik Indonesia dan Konstitusi RIS merupakan akibat dari perjanjian Konferensi Meja Bundar, yang berbunyi:

  • Didirikannya negara Republik Indonesia Serikat.

  • Didirikannya Uni antara RIS dan kerajaan Belanda

  • Pengakuan kedaulatan oleh pemerintah kerajaan Belanda kepada negara Republik Indonesia Serikat.

Sementara itu, Indonesia kala itu menganut sistem pemerintahan parlementer. Parlemen merupakan pihak yang memiliki tanggung jawab penuh dalam sistem pemerintahan.

Namun, ada banyak penyimpangan yang terjadi selama penerapan Konstitusi RIS 1949. Penyimpangan tersebut meliputi beberapa hal, salah satunya adalah sistem parlementer.

Lantas, apa saja penyimpangan terhadap sistem parlementer dalam RIS 1949? Mari simak penjelasan berikut untuk mengetahui jawabannya!

Ilustrasi Penyimpangan Terhadap Sistem Parlementer Dalam RIS 1949 Foto: Arsip Nasional RI

Penyimpangan Terhadap Sistem Parlementer dalam RIS 1949

Sistem parlementer dalam RIS 1949 dimulai ketika Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 dikeluarkan, berikut bunyi maklumat tersebut:

"Pemerintah Republik Indonesia setelah mengalami ujian-ujian yang hebat dengan selamat, dalam tingkatan pertama dari usahanya menegakkan diri, merasa bahwa saat sekarang sudah tepat untuk menjalankan macam-macam tindakan darurat guna menyempurnakan tata usaha Negara kepada susunan demokrasi. Yang terpenting dalam perubahan-perubahan susunan kabinet baru itu ialah, tanggungjawab adalah di dalam tangan menteri.”

Sistem ini menyebabkan kekuasaan pemerintahan bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau menteri-menteri. Setiap undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda tangan menteri [contra sign ministry]. Dengan demikian, presiden tidak dapat diganggu gugat.

Penyimpangan terhadap sistem parlementer dalam RIS 1949 meliputi beberapa hal, yaitu:

  • Presiden dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat.

  • Presiden bisa membuat ketetapan sendiri tanpa pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.

  • Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat di bawah presiden, karena keduanya diberikan status sebagai menteri.

Di samping itu, terdapat beberapa penyimpangan lain terhadap UUD RIS 1949, antara lain adalah:

  • Penyimpangan bentuk negara serikat yang bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia.

  • Pergantian UUD 1945 menjadi UUD RIS.

  • Pemerintahan parlementer tidak sesuai dengan semangat UUD 1945.

Ilustrasi Penyimpangan Terhadap Sistem Parlementer Dalam RIS 1949 Foto: Unsplash

Ciri-ciri Sistem Parlementer

Mengutip buku Kewarganegaraan tulisan Aim Abdulkarim, sistem pemerintahan parlementer memiliki ciri-ciri pokok sebagai berikut:

  • Perdana menteri bersama menteri, baik secara bersama atau sendiri-sendiri, bertanggung jawab kepada parlemen.

  • Para anggota kabinet, mungkin seluruhnya atau sebagian, mencerminkan kekuatan dalam parlemen.

  • Kabinet bisa dijatuhkan setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya, kepala negara dengan saran perdana menteri bisa membubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.

  • Kedudukan kepala negara tidak bisa diganggu gugat atau diminta pertanggungjawaban atas jalannya pemerintahan.

  • Lamanya masa jabatan kabinet tidak bisa ditentukan dengan pasti.

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề