Jaminan hukum tentang tata cara mengemukakan pendapat di indonesia

Jaminan hukum tentang tata cara mengemukakan pendapat di indonesia

Jaminan hukum tentang tata cara mengemukakan pendapat di indonesia
Lihat Foto

KOMPAS.COM/HANDOUT

Aksi Demonstrasi anggota Kepolisian dari Satlantas Polres Jombang, Jawa Timur, di Bundaran Ringin Contong, Sabtu (21/3/2020) petang. Aksi itu dilakukan untuk mengingatkan pengguna jalan tentang pentingnya Social Distance terkait merebaknya virus corona atau Covid-19.

KOMPAS.com - Kebebasan mengemukan pendapat merupakan hak asasi manusia (HAM) setiap negara.

Setiap warga negara bebas mengemukan pendapat untuk menyampaikan pendapat, pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagai secara bebas dan bertanggung bertanggung jawab sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar hukum Kebebasan Mengemukakan Pendapat di Indonesia

Kebebasan mengemukan pendapat dimuka umum di jamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights).

Baca juga: Bagian Paru-Paru

Dikutip situs Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), kemerdekaan setiap warga negara untuk menyampaikan pendapat di muka umum merupakan perwujudan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Untuk membangun negara demokrasi yang menyelanggarakan keadilan sosial dan menjamin hak asasi manusia diperlukan adanya suasana yang aman, tertib, dan damai.

Hak menyampaikan pendapat di muka umum secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Sehingga perlu dibentuk UU tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum Nomor 9 Tahun 1998.

Pada UU tersebuat Kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum dilaksanakan berlandaskan pada:

  1. Asas keseimbangan antara hak dankewajiban
  2. Asas musyawarah dan mufakat
  3. Asas kepastian hukum dan keadilan
  4. Asas proporsionalitas
  5. Asas manfaat.

Baca juga: Unsur dan Jenis Seni Rupa

Pada konstitusi Indonesi menjami warganya menyampaikan pendapat baik secara lisan maupun tulisan, sejauh tidak menebar fitnah dan melanggar hukum.

Dilansir situs Komisi Nasional (Komnas) Hak Asasi Manusia (HAM), deklarasi universal hak-hak asasi manusia atau Universal Declaration of Human Rights adalah sebuah deklarasi yang di adopsi oleh Majelis Umum PBB pada 10 Desember 1948 di Palais de Chaillot, Paris, Prancis melalui General Assembly Resolution 217 A (III).

Jaminan hukum tentang tata cara mengemukakan pendapat di indonesia

Hukum Positif Indonesia-

Penyampaian pendapat di muka umum merupakan hak setiap warga negara Indonesia sebagai perwujudan demokrasi di Indonesia. Untuk menjamin kepastian hukum dan keadilan dalam penyampaian pendapat di muka umum, pemerintah telah menetapkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Dalam uraian ini disampaikan mengenai:

Hak dan kewajiban penyampaian pendapat di muka umum diatur dalam ketentuan Pasal 5 – Pasal 8 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Hak Warga Negara Indonesia dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Setiap warga negara Indonesia berhak menyampaikan pendapat di muka umum dengan ketentuan sebagai berikut:

  1. Mengeluarkan pikiran secara bebas.
  2. Memperoleh perlindungan hukum.

Mengeluarkan pikiran secara bebas maksudnya adalah mengeluarkan pendapat, pandangan, kehendak, atau perasaan yang bebas dari tekanan fisik, psikis, atau pembatasan yang bertentang dengan tujuan kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum.

Memperoleh perlindungan hukum dalam hal ini salah satunya adalah jaminan keamanan.

Kewajiban dan Tanggung Jawab dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Kewajiban dan tanggung jawab dalam penyampaian pendapat di muka umum berdasarkan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dibedakan menjadi:

  • Kewajiban dan Tanggung Jawab Warga Negara Indonesia dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum.
  • Kewajiban dan Tanggung Jawab Aparatur Pemrintah Terhadapa Peyampaian Pendapat di Muka Umum.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Warga Negara Indonesia dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Setiap warga negara Indonesia dalam penyampaian pendapat di muka umum juga mempunyai kewajiban dan bertanggung jawab dalam hal-hal sebagai berikut:

  1. Menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
  2. Menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum.
  3. Menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
  4. Menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum.
  5. Menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Aparatur Pemerintah Terhadap Peyampaian Pendapat di Muka Umum

Aparatur pemerintah juga mempunyai kewajiban dan tanggung jawab terhadap penyampaian pendapat di muka umum yang dilakukan oleh warga negara Indonesia sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu:

  1. Melindungi hak asasi manusia.
  2. Menghargai asas legalitas.
  3. Menghargai prinsip praduga tidak bersalah.
  4. Menyelenggarakan pengamanan.

Sanksi Terhadap Pelanggaran Kewajiban dan Tanggung Jawab dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Sebagaimana telah diuraikan di atas bahwa kewajiban dan tanggung jawab dalam penyampaian pendapat dimuka umum dibedakan menjadi:

  1. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai Warga Negara.
  2. Kewajiban dan tanggung jawab sebagai Aparatur Pemerintah.

Terhadap pelanggaran kewajiban dan tanggung jawab sebagaimana tersebut di atas telah diatur dalam ketentuan Pasal 15 – Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Sanksi Terhadap Pelanggaran Kewajiban dan Tanggung Jawab Warga Negara Indonesia dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Setiap warga negara Indonesia yang menyampaikan pendapatnya di muka umum apabila tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dikenakan sanksi sebagai berikut:

  1. Pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum dibubarkan.
  2. Peserta pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang melakukan perbuatan melanggar hukum dapat dikenakan sanksi hukum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
  3. Penanggung jawab pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum yang pesertanya melanggar hukum, dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan ditambah 1/3 dari pidana pokok.

Sanksi Terhadap Pelanggaran Kewajiban dan Tanggung Jawab Aparatur Pemerintah dalam Penyampaian Pendapat di Muka Umum

Tidak hanya peserta penyampaian pendapat di muka umum yang dapat dikenakan sanksi, aparatur pemerintah pun dapat dikenakan kenakan sanksi apabila tidak melaksanakan kewajiban dan tanggung jawabnya sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu dalam hal sebagai berikut:

  • Menghalang-halangi hak warga negara Indonesia untuk menyampaikan pendapat di muka umum dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, dan ini termasuk kejahatan.

Tentunya sanksi yang dijatuhkan kepada aparatur pemerintah sebagaimana tersebut di atas, setelah pelaksanaan penyampaian pendapat di muka umum memenuhi syarat dan tata cara yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan. (RenTo)(081020)

Sebuah Materi Podcast “Bincang Hukum”

Narasumber : Kenny Santiadi – Relawan Lembaga Bantuan Hukum “Pengayoman” UNPAR

Pembahasan mengenai kebebasan menyampaikan pendapat akan dibagi menjadi 2 (dua) sudut pandang, yaitu sudut pandang konstitusional dan sudut pandang peraturan perundang-undangan. Sudut pandang hukum nasional akan dikaitkan dengan kebebasan berpendapat sebagai hak. Hak kebebasan berpendapat ini bisa memiliki berbagai macam tujuan, tapi dalam tulisan ini akan difokuskan dengan penggunaan hak kebebasan berpendapat untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Tujuan mencerdasarkan kehidupan bangsa, dapat diupayakan dengan perlindungan kebebasan berpendapat.

Secara teoritik untuk menjelaskan hak kebebasan berpendapat (freedom of speech), bisa merujuk pendapat dari Frederick Schauer. Schauer berpendapat,[1]

“…when a free speech is accepted, there is a principle according to which speech is less subject to regulation (within a political theory) than other forms of conduct having the same or equivalent effects. Under a free speech principle, any govermental action to achieve a goal, whether that goal be positive or negative, must provide stronger justification when the attainment of that goal…”

(…ketika kebebasan berpendapat diterima, ada prinsip yang menyatakan bahwa pendapat kurang tunduk pada regulasi (dalam teori politik) daripada bentuk perilaku lain yang memiliki efek yang sama atau setara. Berdasarkan prinsip kebebasan berbicara, setiap tindakan pemerintah untuk mencapai tujuan, apakah tujuan itu positif atau negatif, harus memberikan justifikasi yang lebih kuat ketika pencapaian tujuan itu …)

Penjelasan di atas tepat untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, sebab Schauer menjelaskan bahwa kebebasan berpendapat berkaitan dengan pendapat yang tidak penuh pada aturan tertentu, bisa digunakan untuk tindakan pemerintah, dan memiliki tujuan tertentu. Menimbang beberapa ciri yang disampaikan untuk menjelaskan kebebasan berpendapat, maka penting untuk melihat kesamaannya sesuai dengan regulasi di Indonesia. Kesamaan tersebut untuk mencari tahu terkait dengan tujuan dari penggunaan kebebasan berpendapat di Indonesia.

Pengaturan hukum di Indonesia mengenai hak kebebasan berpendapat terdapat dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD 1945) dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum (selanjutnya disingkat UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum). Jaminan perlindungan hak kebebasan meyampaikan pendapat ini diatur secara umum dalam dua peraturan perundang-undangan tersebut. Perlindungan kebebasan berpendapat diatur secara spesifik dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945,

“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.**)”

Kemerdekaan pendapat termasuk hak yang sangat dasar, sebab hak kebebasan berpendapat merupakan hak asasi manusia. Tujuan kebebasan menyampaikan pendapat berdasarkan bagian menimbang pada UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum untuk mewujudkan demokrasi dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perwujudan kebebasan menyampaikan pendapat dibagi menjadi berbagai macam bentuk, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, yaitu:

“Kemerdekaan menyampaikan pendapat adalah hak setiap warga negara untuk menyampaikan pikiran dengan lisan, tulisan dan sebagainya secara bebas dan bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”

Kemerdekaan menyampaikan pendapat yang bisa diungkapkan dengan berbagai bentuk mengindikasikan bahwa pendapat bisa disampaikan tidak hanya dengan lisan dan tulisan saja. Pendapat yang disampaikan tentu membutuhkan ruang sebagai sarana ekspresi dari pendapat yang hendak disampaikan. Pendapat yang hendak diekspresikan bisa disampaikan dalam ruang publik, Pasal 1 angka 2 UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menjelaskan,

“Di muka umum adalah dihadapan orang banyak, atau orang lain termasuk juga di tempat yang didatangi dan atau dilihat setiap orang.”

Ruang publik yang digunakan sebagai sarana untuk menyampaikan pendapat menjadi penting, sebab dengan pendapat yang disampaikan di ruang publik bisa memenuhi dua aspek ontologis (berkaitan dengan keadaan). Aspek ontologis pertama yang bisa dipenuhi berkenaan dengan ekspresi kemanusiaan (express themselves) dan keunikan identitas (unique identity). Pemenuhan dua aspek ontologis ini sangat penting, mengacu pada pendapat Arendt,[2]

“Grounding speech as a distinctive characteristic of human beings that express themselves publicly might provide a non-consequentialist aspect to the theory of personal development. In an Arendtian sense, one might attribute to speech an existential signifiance: only by way of speech do human being express their unique identity among others in the public realm.”

(Sebagai ciri khas manusia yang mengekspresikan diri secara terbuka dapat memberikan aspek non-konsekuensialis pada teori pengembangan pribadi. pengertian Arendtian, orang mungkin mengaitkan ucapan dengan makna eksistensial: hanya dengan cara bicara manusia mengekspresikan identitas unik mereka di antara yang lain di ranah publik.)

Pendapat yang dikemukakan oleh Arendt bisa menjembatani tentang hak kebebasan berpendapat dengan upaya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt mengkategorikan kebebasan berpendapat terkait dengan eksistensi manusia yang signifikan untuk mengungkapkan keunikan identitasnya. Pendapat tersebut jika ditarik lebih jauh bisa ditafsirkan bahwa pembatasan kebebasan berpendapat secara sewenang-wenang atau pelarangan kebebasan berpendapat secara mutlak, berdampak manusia tidak dapat mewujudkan eksistensinya. Keterbatasan dalam perwujudan eksistensi manusia, sama halnya dengan membatasi juga upaya untuk membuat manusia lebih cerdas. Hasil akhir dari berbagai macam pembatasan kebebasan berpendapat, tanpa menimbang eksistensi manusia dapat berakhir dengan komunitas yang eksklusif, jauh dari kata inklusif.

Pendapat dari Arendt, diakui juga dalam Pasal 4 huruf c UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum,

“Mewujudkan iklim yang kondusif bagi partisipasi dan kreativitas setiap warga negara sebagai perwujudan hak dan tanggung jawab dalam kehidupan berdemokrasi.”

Kreativitas dan partisipasi merupakan bagian dari iklim demokrasi. Perlindungan terhadap kebebasan berpendapat termasuk hal yang penting. Pengabaian terhadap perlindungan hak kebebasan berpendapat bisa menyebabkan menurutnya tingkat partisipasi dan kreativitas dari warga negara. Cara untuk menyampaikan pendapat juga aspek yang tidak boleh dilupakan sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Arendt berpendapat ruang tersebut dinamakan sebagai ruang penampakan (ersheinungsraum),[3]

“Ruang penampakan terjadi di tempat orang-orang saling berinteraksi dengan bertindak dan berbicara; ruang itulah yang menjadi dasar pendirian dan bentuk negara…Ruang itu ada secara potensial pada setiap himpunan orang, memang hanya secara potensial; ia tidak secara niscaya diaktualisasi di dalam himpunan itu dan juga tidak dipastikan untuk selamanya atau untuk waktu tertentu…”

Partisipasi dan kreativitas ini tidak jarang dibungkam, padahal dengan terwujudnya kedua hal ini bisa mendorong upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Kejadian paling baru terjadi teror kepada Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (CLS FH UGM). Pembicara di CLS FH UGM yang berjudul “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden Ditinjau dari Sitem Ketatanegaraan”. Pembicara diskusi tersebut Prof. Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.Hum mendapat teror dari tanggal 28 Mei 2020 hingga 29 Mei 2020, selain pembicara yang mendapat teror, moderator dan narahubung juga diteror.[4] Meskipun pelaku teror belum terungkap, kejadian itu menunjukan bahwa diskusi ilmiah tidak bebas dari teror pihak-pihak tertentu.

Simpulan yang dapat diberikan atas paparan di atas terkait dengan hak kebebasan menyampaikan pendapat sebagai upaya dalam mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan hal yang patut diperhatikan. Perhatian yang diberikan terhadap hak menyampaikan pendapat bisa digunakan sebagai sarana untuk meningkatkan kreativitas dan partisipasi publik yang pada akhirnya berkontribusi dalam mencerdaskan kehidupan bangsa. Kecerdasan tidak hanya diukur dengan seberapa banyak warga negara bisa menikmati sistem pendidikan konvensional, melainkan tingginya atensi partisipasi publik merupakan hal yang harus diperhatikan.

Tersedia di
Spotify

Anchor

Google Podcast

Referensi:

[1] Schauer, Frederick. 1982. Free Speech: A Philosophical Inquiry. New York: Cambridge University Press.

[2] Arendt, Hannah. 1958. The Human Condition. Chicago: Chicago University Press.

[3] Hardiman, F. Budi. 2010. Ruang Publik: Melacak “Partisipasi Demokratis” dari Polis sampai Cyberspace. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius.

[4] Pradito Rida Pertana, UGM Ungkap Teror Gegara Diskusi: Ojol ‘Serbu’ Rumah, Ancaman Pembunuhan, https://news.detik.com/berita-jawa-tengah/d-5034266/ugm-ungkap-teror-gegara-diskusi-ojol-serbu-rumah-ancaman-pembunuhan (diakses pada tanggal 27 Juli 2020).

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.
  2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.