Jelaskan apa saja usaha pemerintah untuk memperbaiki perekonomian pada Masa Demokrasi Liberal

Home Edukasi / Teks Cerita Sejarah


Pada masa berlakunya Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950) bangsa Indonesia melaksanakan pesta Demokrasi Liberal dengan menggunakan sistem pemerintahan secara perlementer, di mana kepala negara adalah presiden sedangkan kepala pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dan bertanggung jawab pada Parlemen (DPR).

Jelaskan apa saja usaha pemerintah untuk memperbaiki perekonomian pada Masa Demokrasi Liberal

Pada masa itu situasi politik tidak stabil karena sering terjadinya pergantian kabinet dan sering terjadi pertentangan politik di antara partai-partai yang ada. Di masa ini, juga muncul upaya-upaya untuk mengatasi masalah ekonomi sebagaimana pada uraian berikut ini. Kebijakan Gunting Syafruddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada 20 Maret 1950 dengan cara memotong semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke atas menjadi dua sehingga nilainya tinggal setengah. Hasilnya pemerintah RI mendapat pinjaman wajib dari rakyat sebesar Rp 1,6 miliyar. Selain itu, pemerintah juga mengurangi jumlah uang yang beredar. Sistem ekonomi Gerakan Banteng merupakan ide Dr. Sumitro Joyohadikusumo pada waktu itu menjabat Menteri Perdagangan pada masa Kabiner Natsir. Menurutnya, untuk membangun perekonomian dimulai dari sektor perdagangan. Untuk mengubah struktur ekonomi dari sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional, dilakukan dengan memberikan bantuan kredit kepada para pengusaha nasional. Adapun tujuan program ekonomi gerakan benteng adalah
  • Memberikan motivasi kepada para importir nasional agar mampu bersaing dengan perusahaan impor asing.
  • Menumbuhkan nasionalisme ekonomi dan membina wiraswastawan Indonesia.
  • Memberikan kredit pada para pengusaha Indonesia.
  • Memberikan izin khusus dalam membatasi impor barang-barang tertentu.
Program Benteng ini berlangsung pada 1950-1953. Kurang lebih 700 pengusaha pribumi mendapatkan bantuan kredit. Namun usaha ini mengalami kegagalan. Hal ini disebabkan karena,
  • Para pengusaha Indonesia belum mampu memanfaatkan atau menyalahgunakan bantuan kredit.
  • Pengusaha pribumi belum mampu bersaing dengan pengusaha nonpribumi.
  • Mentalitas pengusaha pribumi yang cenderung konsumtif.
  • Pengusaha Indonesia lamban untuk menjadi dewasa.

Pada masa Kabiner Sukirman, melalui Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis melakukan penataan terhadap lembaga keuangan negara yaitu menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Adapun langkah-langkah yang ditempuh pemerintah antara lain,
  1. Tanggal 19 Juni 1951 dibentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank berdasarkan Keputusan Pemerintah No. 118 Tanggal 2 Juni 1951. Tugas panitia adalah mengajukan usul tentang nasionalisasi, rencana undang-undang nasionalisasi, dan merencanakan UU baru bank sentral.
  2. Memberhentikan Dr. Houwink (Belanda) sebagai presiden De Javasche Bank berdasarkan Keppres RI No. 122 Tanggal 12 Juli 1951.
  3. Mengangkat Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai Presiden De Javasche Bank berdasarkan Keppres No. 123 Tanggal 12 Juli 1951.
  4. Tanggal 15 Desember 1951 berdasarkan UU No. 24 Tahun 1951 diumumkan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia yang berfungsi sebagai bank sentral dan bank sirkulasi.
  5. Diperkuat lagi dengan dikeluarkannya UU No. 117 Tahun 1953 dan Lembaran Uang Negara No. 40 Serta UU Pokok Bank Indonesia, maka semakin kuatlah keberadaan Bank Indonesia sebagai bank milik pemerintah RI.

Sistem ini merupakan gagasan dari Mr. Iskhaq Tjokrohadisurjo (Menteri Perekonomian) pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang bertujuan untuk memajukan pengusaha pribumi melalui kerja sama ekonomi antara pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha Cina (Baba). Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah,
  • Mendirikan perusahaan-perusahaan negara.
  • Memberikan kredit dan izin baru bagi perusahaan swasta nasional.
  • Memberi perlindungan terhadap perusahaan nasional.
  • Menghapus pengusaha asing untuk memberikan jabatan penting kepada tenaga bangsa pribumi.
Program ini tidak berjalan dengan baik dikarenakan pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Indonesia menerapkan sistem liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas, dan pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas. Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanudin Harahap dikirimkan suatu delegasi ke Jenewa yang dipimpin oleh anak Agung Gede Agung untuk merundingkan masalah finansial ekonomi antara pihak Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan finek di antaranya berisi :
  1. Persetujuan finek hasil KMB dibubarkan.
  2. Hubungan finek Indonesia dan Belanda didasarkan atas hubungan liberal.
  3. Hubungan finek didasarkan pada Undang-Undang Nasional antara kedua belah pihak.
Pada tanggal 13 Februari 1956, Kabiner Burhanudin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia dan Belanda secara sepihak. Akibatnya banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut. Pada bulan Mei 1965, Biro Perancang Negara dipimpin oleh Ir. Juanda berhasil menyusun Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan pada kurun waktu 1956-1961. Namun, dalam perkembangannya RPLT ini tidak dapat dijalankan karena adanya depresi ekonomi di Eropa dan Amerika pada tahun 1958 yang mengakibatkan ekspor turun, upaya nasionalisasi perusahaan Belanda dalam rangka pembebasan Irian Barat menimbulkan gejolak ekonomi, serta adanya ketegangan antara pusat dan daerah yang menyebabkan daerah melaksanakan kegiatan ekonomi sendiri-sendiri. Pada masa Kabinet Djuanda terjadi ketegangan hubungan antara pusat dan daerah. Masalah tersebut untuk sementara waktu dapat teratasi dengan Musyawarah Nasional Pembangunan (Munap). Tujuan diadakannya Munap adalah untuk mengubah rencana pembangunan agar dapat dihasilkan rencana pembangunan yang menyeluruh untuk jangka panjang.

Namun, rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik dikarenakan adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas, terjadi ketegangan politik yang tidak dapat diredakan, timbul pemberontakan PRRI/Permesta dan memuncaknya ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat.


Suka dengan artikel diatas? Jangan lewatkan postingan-postingan menarik lainnya dengan berlangganan artikel gratis yang akan dikirim otomatis ke alamat Email Anda.


Gerakan Benteng adalah program perekonomian yang berlaku pada masa Kabinet Natsir dari September 1950 hingga April 1951. Kebijakan ini dicetuskan oleh Soemitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan era Kabinet Natsir. Gerakan Benteng berlangsung selama tiga tahun (1950-1953) dan berakhir setelah Kabinet Natsir tak lagi berkuasa. Program Gerakan Benteng yang bertujuan melindungi pengusaha pribumi ini akhirnya dihentikan karena dianggap gagal.

Gerakan Benteng terdiri dari dua kebijakan. Pertama, Gerakan Benteng mengistimewakan importir pribumi. Importir pribumi diberi kewenangan impor khusus. Selain itu, mereka juga menerima jatah devisa dengan kurs murah. Kedua, kebijakan ekonomi dilakukan dengan pemberian kredit modal pada pengusaha yang selama ini sulit memperoleh pinjaman dari lembaga pendanaan seperti bank. Lewat Gerakan Benteng, pemerintah memilih pengusaha-pengusaha pribumi yang akan menerima bantuan. Para pengusaha yang dinamakan importir Benteng ini telah lulus sejumlah persyaratan di antaranya.

  • Merupakan importir baru
  • Berbentuk badan hukum, perseroan terbatas, atau kongsi
  • Memiliki modal kerja minimal sebesar Rp 100.000
  • Modal kerja sekurang-kurangnya 70 persen berasal dari bangsa Indonesia asli (pribumi) atau golongan ekonomi lemah
  • Memiliki kantor untuk pegawai dan tenaga kerja

Selama pelaksanaan Gerakan Benteng, persyaratan ini beberapa kali diubah dan diperbaiki agar benar-benar tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh pengusaha yang tidak berhak. Selama tiga tahun pelaksanaan, ada sekitar 700 perusahaan yang menerima bantuan dari program Gerakan Benteng. Namun ditengarai banyak penerima bantuan yang curang. Para pengusaha pribumi hanya dijadikan sebuah alat bagi para pengusaha nonpribumi untuk bisa mendapatkan kredit dari pemerintah. Ini menjadi salah satu penyebab berakhirnya sistem ekonomi Gerakan Benteng. Banyak penerima lisensi impor menjual lisensinya kepada importir yang sudah mapan. Mereka dikenal dengan istilah "aktentas".

Selain itu, persyaratan kepemilikan modal juga menjadi perdebatan karena mendiskriminasi pengusaha Tionghoa. Pada September 1955, Gerakan Benteng dikaji oleh Kabinet Burnahuddin Harahap dan Sumitro yang saat itu menjabat Menteri Keuangan. Persyaratan berdasarkan etnis akhirnya dihapus dan diganti dengan persyaratan uang muka. Pada bulan Maret dan April 1957, Kabinet Karya atau yang disebut Kabinet Djuanda menghentikan Gerakan Benteng seiring dengan transisi ke demokrasi terpimpin.

Dengan demikian pelaksanaan program benteng dianggap gagal karena terjadi penyelewengan lisensi untuk kemudahan usaha.