Jelaskan apa saja usaha pemerintah untuk memperbaiki perekonomian pada Masa Demokrasi Liberal
Home Edukasi / Teks Cerita Sejarah Saturday, August 10, 2019 August 10, 2019 Saturday, August 10, 2019 Pada masa berlakunya Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950) bangsa Indonesia melaksanakan pesta Demokrasi Liberal dengan menggunakan sistem p...
Pada masa berlakunya Konstitusi RIS (1949) dan UUDS (1950) bangsa Indonesia melaksanakan pesta Demokrasi Liberal dengan menggunakan sistem pemerintahan secara perlementer, di mana kepala negara adalah presiden sedangkan kepala pemerintahan dipimpin oleh Perdana Menteri dan bertanggung jawab pada Parlemen (DPR). Pada masa itu situasi politik tidak stabil karena sering terjadinya pergantian kabinet dan sering terjadi pertentangan politik di antara partai-partai yang ada. Di masa ini, juga muncul upaya-upaya untuk mengatasi masalah ekonomi sebagaimana pada uraian berikut ini. Kebijakan Gunting Syafruddin adalah pemotongan nilai uang. Tindakan keuangan ini dilakukan pada 20 Maret 1950 dengan cara memotong semua uang yang bernilai Rp 2,50 ke atas menjadi dua sehingga nilainya tinggal setengah. Hasilnya pemerintah RI mendapat pinjaman wajib dari rakyat sebesar Rp 1,6 miliyar. Selain itu, pemerintah juga mengurangi jumlah uang yang beredar. Sistem ekonomi Gerakan Banteng merupakan ide Dr. Sumitro Joyohadikusumo pada waktu itu menjabat Menteri Perdagangan pada masa Kabiner Natsir. Menurutnya, untuk membangun perekonomian dimulai dari sektor perdagangan. Untuk mengubah struktur ekonomi dari sistem ekonomi kolonial menjadi sistem ekonomi nasional, dilakukan dengan memberikan bantuan kredit kepada para pengusaha nasional. Adapun tujuan program ekonomi gerakan benteng adalah
Pada masa Kabiner Sukirman, melalui Menteri Keuangan Mr. A. A. Maramis melakukan penataan terhadap lembaga keuangan negara yaitu menasionalisasi De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia. Adapun langkah-langkah yang ditempuh pemerintah antara lain,
Sistem ini merupakan gagasan dari Mr. Iskhaq Tjokrohadisurjo (Menteri Perekonomian) pada masa Kabinet Ali Sastroamijoyo I yang bertujuan untuk memajukan pengusaha pribumi melalui kerja sama ekonomi antara pengusaha pribumi (Ali) dengan pengusaha Cina (Baba). Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah,
Namun, rencana pembangunan tersebut tidak dapat dilaksanakan dengan baik dikarenakan adanya kesulitan dalam menentukan skala prioritas, terjadi ketegangan politik yang tidak dapat diredakan, timbul pemberontakan PRRI/Permesta dan memuncaknya ketegangan politik Indonesia-Belanda menyangkut masalah Irian Barat. Suka dengan artikel diatas? Jangan lewatkan postingan-postingan menarik lainnya dengan berlangganan artikel gratis yang akan dikirim otomatis ke alamat Email Anda. Gerakan Benteng adalah program perekonomian yang berlaku pada masa Kabinet Natsir dari September 1950 hingga April 1951. Kebijakan ini dicetuskan oleh Soemitro Djojohadikusumo, Menteri Perdagangan era Kabinet Natsir. Gerakan Benteng berlangsung selama tiga tahun (1950-1953) dan berakhir setelah Kabinet Natsir tak lagi berkuasa. Program Gerakan Benteng yang bertujuan melindungi pengusaha pribumi ini akhirnya dihentikan karena dianggap gagal. Gerakan Benteng terdiri dari dua kebijakan. Pertama, Gerakan Benteng mengistimewakan importir pribumi. Importir pribumi diberi kewenangan impor khusus. Selain itu, mereka juga menerima jatah devisa dengan kurs murah. Kedua, kebijakan ekonomi dilakukan dengan pemberian kredit modal pada pengusaha yang selama ini sulit memperoleh pinjaman dari lembaga pendanaan seperti bank. Lewat Gerakan Benteng, pemerintah memilih pengusaha-pengusaha pribumi yang akan menerima bantuan. Para pengusaha yang dinamakan importir Benteng ini telah lulus sejumlah persyaratan di antaranya.
Selama pelaksanaan Gerakan Benteng, persyaratan ini beberapa kali diubah dan diperbaiki agar benar-benar tepat sasaran dan tidak dimanfaatkan oleh pengusaha yang tidak berhak. Selama tiga tahun pelaksanaan, ada sekitar 700 perusahaan yang menerima bantuan dari program Gerakan Benteng. Namun ditengarai banyak penerima bantuan yang curang. Para pengusaha pribumi hanya dijadikan sebuah alat bagi para pengusaha nonpribumi untuk bisa mendapatkan kredit dari pemerintah. Ini menjadi salah satu penyebab berakhirnya sistem ekonomi Gerakan Benteng. Banyak penerima lisensi impor menjual lisensinya kepada importir yang sudah mapan. Mereka dikenal dengan istilah "aktentas". Selain itu, persyaratan kepemilikan modal juga menjadi perdebatan karena mendiskriminasi pengusaha Tionghoa. Pada September 1955, Gerakan Benteng dikaji oleh Kabinet Burnahuddin Harahap dan Sumitro yang saat itu menjabat Menteri Keuangan. Persyaratan berdasarkan etnis akhirnya dihapus dan diganti dengan persyaratan uang muka. Pada bulan Maret dan April 1957, Kabinet Karya atau yang disebut Kabinet Djuanda menghentikan Gerakan Benteng seiring dengan transisi ke demokrasi terpimpin. Dengan demikian pelaksanaan program benteng dianggap gagal karena terjadi penyelewengan lisensi untuk kemudahan usaha. |