Jelaskan apa saja yang menjadi nilai estetis dalam seni teater mamanda

A. Nilai Estetika Ubrug

          Freire mengatakan bahwa berekspresi melalui kesenian, hakekatnya juga memberi pendidikan kepada masyarakat secara lebih bermakna. Nilai-nilai estetika sering hanya sebagai kreativitas seniman melalui media seni, namun dibalik itu, seni memiliki sisi lain yang penting bagi masyarakat, karena seni dapat memberi inspirasi, pemahaman, apresiasi, dan pengalaman estetis yang esensial dalam proses penyadaran. Dalam kerangka teori sosial dan kebudayaan kritis, aktivitas seniman dapat dipahami tidak hanya sebagai aktivitas ritual, namun yang dilakukan seniman yang oleh Freire dikatakan sebagai “aksi kultural” untuk pembebasan. Seni lebih berpihak pada rakyat atau lebih dikatakan seni kerakyatan, menganalisis secara kritis segala bentuk kebijakan, fenomena masyarakat sosial dan budaya serta sistem yang ada untuk diperjuangkan agar lebih berpihak pada rakyat bukan sebagai “rekayasa budaya” yang membuat rakyat tunduk pada struktur yang ada. (Sachari 2002: 27).

            Dalam Ubrug, beban pencapaian estetika para aktornya tidaklah seketat para aktor teater modern. Ini disebabkan, Ubrug menerapkan ‘dramaturgi’ yang longgar bagi para aktornya. Di samping itu, tujuan utama lakon dalam pementasan Ubrug sangat sederhana, yakni selama penonton merasa terhibur dan mengerti dengan jalannya cerita, maka tugas aktor selesai. Selain itu, unsur-unsur instrinsik pemanggungan kedua teater tersebut juga ada perbedaan. Untuk mendapatkan gambaran jelas perbedaannya, akan dijelaskan lewat table berikut ini:

Teater Tradisional (Ubrug)

Teater Modern

Sumber Lakon

Sastra Lisan

Sastra Tertulis

Acuan Pemeranan

Tokoh sebelumnya (mimetis)

Dramaturgi

Jenis Dialog

Improvisasi

Hapalan

Pengarah

Tak ada

Sutradara

            Dari tabel di atas, maka bisa disimpulkan bahwa dalam memberi penilaian capaian estetis teater tradisional tidak bisa ditakar dengan standar teater modern. Meskipun begitu, pemeranan kedua teater tersebut adalah sama; aktor sebagai tubuh pencerita kesatu. Agak sedikit berbeda dengan pemeranan seni wayang (kulit ataupun golek). Dalang selaku sutradara memanfaatkan media lain untuk bercerita, berupa wayang (boneka) untuk menyampaikan cerita atau pesan yang ingin disampaikan. Pemakaian media lain itu, menempatkan wayang sebagai tubuh pencerita kedua.

            Suyatna Anirun dalam bukunya menegaskan bahwa tugas utama seorang aktor adalah membawakan peran sesuai porsinya (Menjadi Aktor; 1998). Ini berarti bahwa seorang aktor harus memiliki kecakapan dalam membawakan perannya, terlebih aktor merupakan corong utama penyampai pesan lakon yang dipentaskan. Dalam pementasan Ubrug, kita tidak bisa mengharapkan adanya eksplorasi-eksplorasi yang dilakukan para aktornya dalam ruang, bentuk dan gerak seperti lazimnya di teater modern, ini dikarenakan Ubrug sudah mempunyai aturan (dramaturgi) sendiri. Meskipun muncul semacam eksplorasi ruang seperti fase-fase tata cahaya di atas, tak lebih dari sekedar penyesuaian teknologi.

            Nilai estetis Ubrug bukanlah pada dramaturgi yang mereka anut, melainkan faktor-faktor diluar itu yang mampu membuat mereka bertahan dan diterima masyarakatnya. Pertama, kesederhanaan dalam menuangkan ide. Sewaktu memilih dan memainkan lakon, para aktornya sadar bahwa penonton tidak perlu dibebani dengan suatu pemikiran besar, mereka lebih disodorkan pada persoalan keseharian mereka sendiri. Kedua, ikatan yang terjalin diantara personelnya meskipun tidak mengikat, rasa kekeluargaannya sangat besar. Ketiga, mereka dalam menjalani profesi itu, tidak memiliki pretensi besar apapun selain menghibur diri sendiri dari kepenatan sekaligus menghasilkan uang buat tambahan biaya keluarganya. Mereka tidak berpikir menjadi artis sinetron atau pun film. Keempat, Karakteristik pementasan Ubrug yang terbuka. Grup Ubrug manapun memastikan hal ini dalam upaya menjaring audiens, sebagai bentuk regenerasi penontonnya.

B. Peranan Ubrug di Masyarakat

            Sebagai sebuah produk pemikiran mewakili zamannya, Ubrug telah melewati ruang dan waktu. Beberapa dekade telah dilewatinya, begitu pula Ubrug telah mendapatkan posisinya sesuai perlakuan dan kebutuhan masyarakat penontonnya.

            James Danandjaja mengungkapkan bahwa teater rakyat atau folklore berfungsi sebagai alat pendidikan anggota masyarakat, sebagai alat penebal perasaaan solidaritas kolektiva, sebagai alat yang memungkinkan orang biasa bertindak dengan penuh kekuasaan terhadap orang yang menyeleweng, sebagai alat untuk mengeluarkan protes terhadap ketidak adilan, memberi kesempatan bagi seseorang melarikan diri untuk sementara dari kehidupan nyata yang membosankan ke dunia hayalan yang indah. (Seni Pertunjukan Indonesia; 1993).

            Sementara, Ninuk Kleden dalam tulisannya dengan mengambil contoh teater tradisional Mamanda, mengungkap bahwa Mamanda Tubau maupun Mamanda Pariuk secara tradisional dipentaskan sehubungan dengan pesta perkawinan yang di kabupaten Hulu Sungai sering digabungkan dengan panen raya. Di daerah ini Mamanda tampak sebagai media solidaritas masyarakat. Pertunjukan untuk memeriahkan panen raya dibayar dengan sistem jumputan (Artikel; 2005).

            Dari pendapat-pendapat di atas dan dengan memerhatikan keterkaitan sejarah, dan kondisi Ubrug di Banten yang pertumbuhan dan perkembangannya berbarengan dan hampir sama dengan teater tradisional daerah lain, maka bisa digeneralisasikan bahwa Ubrug juga memiliki fungsi yang serupa. Yakni:

  1. Bagian dari upacara ritual

Ubrug menjadi bagian kehidupan agama dan budaya tradisi. Misalnya pesta panen, perkawinan dan lain-lain.

      Dari awal sampai akhir pertunjukan Ubrug, penonton disuguhkan lelucon yang menghibur, iringan musik tradisional yang membuai, dan suasana santai.

  1. Alat komunikasi tradisional

Ubrug sebagai alat komunikasi tradisional sejak jaman penjajahan Belanda hingga sekarang. Ubrug bisa diposisikan sebagai komunikator dalam menyampaikan pesan-pesan apa saja untuk khalayaknya dengan bahasa daerah yang mudah dicerna.

C. Nilai-nilai Moralitas dalam Ubrug

            Moralitas, merupakan persoalan semua orang Indonesia yang nota bene menganut nilai tradisi ketimuran. Persoalan ini sendiri mulai muncul berbarengan dengan masuknya ideologi-ideologi barat sejak jaman penjajahan belanda, dan lebih mencuat sekarang ini.

            Seiring dengan perkembangan teknologi dunia yang semakin futuristik, ada nilai-nilai positif dan negatif menyertainya. Reaksi berantai atas ‘meledak’nya teknologi ditengah masyarakat begitu dahsyat dampaknya. Memicu tumbuhnya media-media baru yang menyediakan informasi berbasis IT. Informasi yang disediakan pun beragam, mulai dari pengetahuan, hiburan sampai peluang usaha.

Menjamurnya stasiun–stasiun televisi swasta ikut andil dalam pembentukan karakter dan moralitas.  Betapa tidak, televisi merupakan media terdekat di tengah keluarga; Bapak, ibu dan anak-anak bisa dengan mudah menonton film, sinteron, berita, dan reality show tanpa harus meninggalkan rumah. Dampak positifnya adalah adanya proses penyerapan-penyerapan informasi terbaru mengenai peristiwa yang terjadi lingkungan mereka. Hanya saja hal itu tidak dibarengi upaya pemilahan program televisi dalam bentuk saringan nilai. Alhasil, banyak orang (khususnya anak-anak) menelan mentah-mentah informasi yang terinderai itu. Rekonstruksi pemikiran baru yang dihasilkan media elektronik berbanding dengan dekonstruksi nilai-nilai positif di masyarakat.

            Masalah moralitas juga menjadi perhatian pelaku Ubrug, hal itu dituangkan lewat pementasan lakonnya. Lakon yang dibawakan menjadi sebuah corong kritik atau cermin atas perilaku-perilaku masyarakat di sekitar, tema yang diusung pun bukanlah tema-tema besar, melainkan sesuatu yang sederhana dan dialami hampir semua orang. 

            Misalnya saja lakon berjudul Indung Tere yang kerap dibawakan grup Cantel. Kisah itu mengangkat perilaku ‘jahat’ seorang ibu terhadap anak tirinya. Sementara sang suami (ayah anak itu) tidak mengetahui ‘kejahatan’ istrinya. Dengan dalih, bahwa anak itu bukan anak kandungnya dan anak itu hanya menjadi beban bagi hidupnya, maka sang istri tidak memiliki alasan untuk memberi kasih sayang seperti pada anaknya sendiri dengan memperlakukannya secara buruk. Di akhir cerita, sang istri tersadarkan bahwa bagaimana pun dia dan anak itu sudah menjadi satu keluarga.

            Pesan-pesan yang ingin disampaikan lewat cerita itu sebagai berikut:

  • Perlakuan seperti itu masih kerap terjadi  di tengah masyarakat.
  • Kekerasan dalam rumah tangga menyebabkan semua anggota keluarga menjadi korban.
  • Anak adalah amanat, meskipun posisinya hanya anak tiri
  • Anak mempunyai hak yang harus dipenuhi.

            Atau lakon Pondok Jodo Panjang Baraya dari topeng putera Tolay yang mengangkat tema pentingnya menjalin erat tali silaturahim, meskipun berjauhan dan berbeda status sosial. Begitulah Ubrug secara sederhana menanggapi realita di masyarakat. Mengembalikan nilai-nilai hidup rakyat ke tengah rakyat dengan cara rakyat.

D. Model Komunikasi dalam Ubrug

            Untuk menjelaskan peranan Ubrug dalam diseminasi informasi publik, peneliti melakukan pendekatan teoritis Anderson. Dalam bukunya, Introduction to Communication Theory and Practice (1972) yang dikutip Kanti Walujo (1995). Menurutnya hal-hal yang memungkinkan terjalinnya komunikasi (pesan) terdiri dari beberapa faktor:

  1. Adanya narasumber dan pendengar (Source dan Receiver)
  2. Terbentuknya keadaan yang mengikat (Communication Binding Context)
  3. Dalam satu ruang (Channel)
  4. Pesan yang ingin disampaikan (Message)
  5. Situasi tertentu lingkungan sekitar (Spesific Setting Situation & General Environment)

Source & Receiver Factors

Communication-Binding Context

Channel Elements

Message Elements

Specific Setting Situation & General Environment

Knowledge, ideas, experience

Interaction of all the elements

Nature of Media

Ideas and content

State of things generally

Attitudes, beliefs, values

Effect of time

Limits on audience

Organisation

State of the topic

Needs, wants, goals.

Process nature of communication

Selectivity in transmission of stimuli: sound, sight, others.

Language & style

Immediate environment

.Interests

Complexities due to nature of processes involved in communication.

Delivery elements: spoken, written, others

Audience size

Group & role memberships

Interaction of other elements affecting setting

Communication Abilities

Public of private.

Perception of other elements

            Dari tabel di atas, peneliti merekonstruksi unsur-unsur eksternal Ubrug ke dalam rumusan Anderson untuk mendapatkan deskripsi rinci tentang Ubrug. Penjabarannya sebagai berikut:

1) Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku komunikasi adalah sumber (source), dalam hal ini adalah aktor Ubrug. Aktor Ubrug adalah seseorang yang menyampaikan informasi publik melalui saluran (channel) pentas lakon kepada penonton (receivers) aktor Ubrug sebagai komunikator dalam diseminasi informasi publik sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain:

a.      Pengetahuan umumnya (knowledge) baik mengenai seni pemeranan maupun informasi publik (ideas), dan pengalaman pentas (experiences). Aktor Ubrug yang mempunyai pengetahuan umum yang luas ditambah dengan pengalaman pentas yang lama akan memudahkan baginya untuk menyampaikan informasi publik yang mudah ditangkap.

b.      Keterampilan seorang aktor Ubrug dalam berkomunikasi (communication abilities) akan mempengaruhi berhasil tidaknya proses komunikasi. Pesan-pesan baik yang bersifat normative maupun filosofis yang disampaikan aktor akan dipahami penontonnya kalau pesan tersebut mudah dicerna.

c.      Seorang aktor Ubrug harus mengetahui norma-norma yang berlaku (values) dalam hal ini pakem. Di samping itu aktor Ubrug harus memperhatikan adat istiadat masyarakat penanggapnya. Apabila norma-norma tersebut dilanggar dapat mengakibatkan penontonnya bubar.

d.      Sampai saat ini grup-grup Ubrug di Banten belum membentuk persatuan dalam satu organisasi (group member ships),

2)     Faktor-faktor yang mempengaruhi channel, dalam hal ini Pementasan Uburg, antara lain:

1.  Sifat media (nature of media). Ubrug terikat pada Pakem, pedoman yang harus diikuti oleh aktor Ubrug baik dalam mengambil isi cerita maupun pesan-pesan filosofis yang disampaikan ke dalam pagelarannya.

2.   Pementasan Ubrug di panggung mempunyai penonton tertentu (limits on audience). Pementasan Ubrug di desa-desa seringkali menyerap banyak penonton. Dengan radius 5 km. Apabila publikasi pementasan Ubrug disiarkan melalui radio atau televisi, maka jangkauan penontonnya akan lebih luas lagi.

3.     Pementasan Ubrug yang bagus sangat dipengaruhi oleh stimuli, yang berupa:

a.      Suara ( sounds) aktor Ubrug. Aktor yang baik dapat memainkan pelbagai karakter suara. mampu menjaga intensitas volume suaranya.

b.      Segi pemeranan (sight) aktor Ubrug harus mampu mengetahui dan menjalankan fungsi dan tugasnya di panggung, sesuai dengan karakter masing-masing.

3)     Faktor-faktor yang mempengaruhi situasi dan lingkungan (specific setting situation and general environment):

      Menyaksikan pementasan Ubrug di panggung, tentunya jauh lebih menarik dibandingkan dengan menonton dari produk digital (VCD/DVD). Setiap kali pentas Ubrug, durasinya bisa mencapai 8 jam nonstop tanpa berhenti. Para penontonnya pun dapat leluasan menonton para nayaga atau juru nandung, di samping mereka juga bisa membeli makanan dan minuman di sekitar panggung Ubrug. Bahkan tidak jarang, di lingkung penontonnya, terjadi juga transaksi bisnis

4) Faktor-faktor yang mempengaruhi pesan-pesan menurut Anderson adalah

a.   Ideas and content (Ide cerita)

      Dalam membawakan cerita yang akan dibawakan, biasanya tergantung pada pesanan yang punya hajat. Inipun, mereka sudah menerakan pada tuan rumah bahwa mereka sudah menyediakan beberapa cerita. Tidak jarang juga, tuan rumah meminta cerita di luar yang ditawarkan, dan mereka menyanggupinya. Hal ini mengindikasikan bahwa aktor Ubrug sudah siap payung sebelum hujan. Mereka mampu mengkondisikan dan membentuk cerita dari wawasan mereka. Hanya perlu 15 menit bagi mereka untuk merembukkan alur cerita dan berbagi peran sesuai permintaan. Misalnya saja tuan rumah meminta cerita korban lumpur Lapindo, maka mereka segera mendiskusikan soal lumpur Lapindo, dengan dasar informasi dari berita yang mereka tonton.

b.   Organization (Struktur pementasan)

Pengadegan dalam Ubrug dibagi dua, pertama lawakan (bodoran), kedua lakon satu babak. Untuk lawakan, dialog-dialog tercipta dari juru kendang dan aktor utama, terkadang disertai adanya permainan tubuh (pantomime) aktor utama yang dibantu dengan iringan musik (khususnya kendang dan rebab), dalam seni Ubrug kendang bias di jadikan melodi. Selain itu juga ada aktor lain yang mendukung dan menguatkan lelucon aktor utama. Untuk lakon, seperti teater modern, dibuka dengan prolog, konflik dan epilog. Setiap aktor memainkan karakter tokohnya masing-masing. Lakon yang dibawakan biasanya hanya satu babak, artinya tidak ada pergantian latar atau pun property.

 c.    Language and style (Bahasa)

      Bahasa yang digunakan dalam pementasan Ubrug adalah Sunda atau Jawa ‘Banten’, tergantung dari lingkungan grup Ubrug berdiam. Ada dua perbedaan penggunaan bahasa Ubrug secara territorial, untuk wilayah Tangerang, Banten Selatan, bahasa yang digunakan adalah Sunda. Sementara Banten Tengah dan Utara menggunakan bahasa Jawa ‘Serang’.

      Setiap grup Ubrug di Banten memiliki ciri khas dan gaya tersendiri. Nampak dari aktor utama dan gaya humornya. Di Serang, aktor Ubrug yang paling popular saat ini adalah Mang Cantel dengan gaya lawakannya menitik beratkan pada gesture tubuhnya. Sementara di Tangerang, masyarakatnya mengenal Ocong dengan gaya lawakannya menekankan pada dialog-dialognya. Di banten Selatan ada mang Kobet dengan gaya lawakannya hampir serupa dengan mang Cantel.

d.   Delivery elements: spoken, written, others.

      Sampai saat ini, penyampaian pesan pementasan Ubrug baru taraf lisan saja, belum ada yang mengolah dalam tulisan. Ini dikarenakan mereka belum menganggap penting menuliskannya, baik itu pengalaman ataupun sejarah dan struktur pementasannya. Mereka masih mengandalkan daya ingat (memori).