Jelaskan arti penting perang palagan ambarawa bagi perjuangan mempertahankan kemerdekaan indonesia

Home Nasional Nasional Lainnya

tim | CNN Indonesia

Jumat, 16 Jul 2021 13:15 WIB

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran pasca kemerdekaan Indonesia di Ambarawa, Jawa Tengah. Berikut sejarah peristiwa Ambarawa.[Foto: Ahmad Yudi via Wikimedia Commons [CC-BY-SA-3.0]

Jakarta, CNN Indonesia --

Pertempuran Ambarawa adalah pertempuran besar pasca kemerdekaan Indonesia yang terjadi antara Tentara Keamanan Rakyat [TKR] dengan pasukan Belanda dan Inggris atau sekutu di Ambarawa, Jawa Tengah. Peristiwa Ambarawa disebut juga dengan Palagan Ambarawa.

Pertempuran Ambarawa terjadi pada 20 November - 15 Desember 1945. Peristiwa Ambarawa dipicu oleh kedatangan pasukan Inggris di Semarang pada 20 Oktober 1945.

Pada awalnya, kedatangan pasukan Inggris disambut baik karena dinilai tak memiliki maksud buruk. Namun ternyata, tentara Inggris menunggu kedatangan Netherlands Indies Civiele Administration [NICA] untuk membebaskan tawanan perang.


Setelah tawanan perang dibebaskan, Inggris pun mempersenjatai mereka. Tentara sekutu itu juga melucuti senjata TKR.

TKR dan masyarakat Ambarawa pun marah besar. Situasi yang gaduh pun berujung pada pertempuran.

Puncak Pertempuran Ambarawa

Tentara Keamanan Rakyat [TKR] bersama rakyat mengibarkan bendera merah putih setelah berhasil mengalahkan tentara sekutu dalam sosiodrama pertempuran Ambarawa, pada peringatan HUT Ke-72 RI di Lapangan Pancasila Semarang, Jawa Tengah. [Foto: ANTARA FOTO/R. Rekotomo]

Letkol M. Sarbini mengerahkan pasukan untuk mengepung sekutu dari segala penjuru. Situasi ini sempat mereda saat Presiden Soekarno turun tangan menenangkan suasana dan memerintahkan untuk gencatan senjata.

Namun, sekutu melanggar aturan tersebut. Pasukan sekutu diam-diam bergerak meninggalkan Magelang menuju Ambarawa.

Letkol Isdiman mengadang pasukan sekutu. Namun sayang, usaha Letkol Isdiman membebaskan dua desa yang dikuasai sekutu dibayar dengan nyawanya.

Setelah Letkol Isdiman tewas, komando perang diambil alih oleh Kolonel Soedirman.

Kehadiran Soedirman di garis depan perang memberikan semangat bagi para pasukan TKR. Soedirman menyusun strategi dengan mencari titik lemah sekutu.

Soedirman menggunakan taktik gelar supit urang atau pengepungan rangkap dari kedua sisi agar musuh tidak dapat melarikan diri. Jalur komunikasi dan logistik pasukan sekutu juga diputus untuk mengurangi kekuatan militer.

Benteng Willem I di Ambarawa menjadi saksi sejarah pertempuran Ambarawa pasca kemerdekaan Indonesia. [Foto: CNN Indonesia/Hesti Rika]

Kolonel Soedirman dan pasukannya berhasil mendesak pasukan sekutu yang bersembunyi di Benteng Willem selama empat hari.

Pertarungan di Benteng Willem pada 15 Desember 1945 menjadi tanda kemenangan Indonesia atas pasukan sekutu. Sisa pasukan sekutu yang kalah mundur ke Semarang.

Keberhasilan para pejuang mempertahankan Ambarawa dari sekutu diperingati menjadi Hari Juang Kartika.

Hari Juang Kartika atau Hari Infanteri merupakan simbol kekuatan militer Angkatan Darat Indonesia.

Selain itu, sejarah Pertempuran Ambarawa diabadikan di Monumen Palagan Ambarawa, museum yang berisikan barang-barang perang selama pertempuran Ambarawa.

[imb/ptj]

Saksikan Video di Bawah Ini:

TOPIK TERKAIT

Selengkapnya

LAINNYA DARI DETIKNETWORK

Dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, para tokoh sentral pergerakan dianugerahi gelar pahlawan nasional. Salah satunya adalah Jenderal Soedirman. Selain dikenal sebagai gerilyawan dalam perjuangannya, Soedirman juga menghadapi berbagai pertempuran kota, salah satunya adalah apa yang terjadi di Ambarawa, atau biasa kita kenal sebagai pertempuran Ambarawa. Dimana, sang Jenderal melawan Inggris dan Belanda.

Sesuai namanya, Pertempuran Ambarawa atau disebut juga Palagan Ambarawa adalah sebuah peristiwa perlawanan rakyat Indonesia terhadap sekutu atau Inggris dan Belanda yang terjadi di Ambarawa, sebelah selatan Semarang Jawa Tengah pada 20 November 1945 dan berakhir pada 15 Desember 1945. Pertempuran Ambarawa ini, dilatarbelakangi dengan mendaratnya pasukan Inggris di kota Semarang pada 20 Oktober 1945.

Kedatangan pihak sekutu untuk mengurus tawanan perang atau tentara Belanda yang saat itu berada di penjara Magelang dan Ambarawa, awalnya disambut baik oleh pemerintah Indonesia. Bahkan, kedua negara melakukan kesepakatan, dimana pihak Indonesia akan menyediakan bahan makanan dan keperluan lain bagi kelancaran tugas pihak sekutu, selama mereka berjanji tidak mengganggu kedaulatan Republik Indonesia.

Sayangnya, niat pihak sekutu tersebut diboncengi oleh Netherlands Indies Civiele Administration [NICA] karena setelah pembebasan tawanan perang, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga menimbulkan kemarahan pihak Indonesia. Maka pada 26 Oktober 1945 terjadilah sebuah insiden di Kota Magelang, dimana tentara sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat [TKR] dan membuat kekacauan.

Meletusnya Pertempuran Ambarawa

TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol M Sarbini membalas tindakan tersedut dengan mengepung tentara sekutu dari segala penjuru. Untuk menenangkan suasana maka Presiden Soekarno dan Brigjen Bethel melakukan perundingan gencatan senjata pada 2 November 1945, tetapi sayangnya sekutu mengabaikan perjanjian dalam gencatan senjata tersebut sehingga meletuslah pertempuran pada 20 November 1945 yang kemudian menjalan ke dalam kota pada 22 November 1945.

Bala tentara sekutu melakukan pemboman ke pedalaman Ambarawa untuk mengancam kedudukan TKR. Dengan tidak gentar pihak Indonesia melakukan pembalasan untuk mempertahankan wilayah dari sekutu, dimana pihak sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa, sehingga pasukan Indonesia di bawah pimpinan Letkol Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut.

[Baca juga: 7 Pahlawan Nasional Paling Fenomenal, Siapa Saja?]

Semangat perlawanan rakyat di Ambarawa yang bersatu dengan TKR membuat sekutu kesulitan menaklukan wilayah tersebut, meskipun harus mengorbankan Letkol Isdiman yang gugur di medan perang. Namun dalam perlawanan tersebut senjata yang digunakan oleh pasukan sekutu lebih modern, sehingga pasukan tentara Indonesia berhasil sedikit dikalahkan.

Kolonel Soedirman Pimpin Pertempuran

Setelah gugurnya Letkol Isdiman maka Komando Kolonel Soedirman yang saat itu merupakan Panglima Divisi Banyumas akhirnya langsung menuju Ambrawa dan memimpin komando seluruh TKR dan pasukan rakyat saat itu. Kehadiran Kolonel Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan tentara Indonesia.

Koordinasi diadakan di antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat dengan siasat yang diterapkan adalah serangan pendadakan serentak disemua sektor. Pada 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi serangan mulai dilancarkan dan Kolonel Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang atau pengepungan rangkap dari kedua sisi, sehingga musuh benar-benar terkurung.

Suplai dan komunikasi dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Kekuatan sekutu yang berada di Benteng Willem berhasil dikepung TKR 4 hari 4 malam, hal ini menyebabkan kedudukan sekutu terjepit dan muncul dari Ambarawa tepat pada 15 Desember 1945.

Berkat jasa-jasanya maka Kolonel Soedirman diangkat sebagai Jenderal Panglima Besar TKR. Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen Palagan Ambarawa dan pada 15 Desember juga diperingati hari Infantri Nasional Indonesia.

tirto.id - Sedari zaman kolonial, Ambarawa adalah kota militer bagi Hindia Belanda. Ada Benteng Willem I, yang disebut juga Benteng Pendem, di sana. Lokasinya tak jauh dari Museum Kereta Api Ambarawa, yang dulunya stasiun.

Pada masa pendudukan Jepang, Ambarawa memiliki sebuah kamp yang berisikan khusus perempuan dan anak-anak Belanda. Seperti diungkap Rosihan Anwar dalam Sejarah Kecil Petite Histoire Indonesia Volume I [2004:192], di antara perempuan-perempuan itu dijadikan budak nafsu militer Jepang. Data tersebut dipetik Rosihan dari De Japanse bezetting in dagboeken — Vrouwenkamp Ambarawa 6 [2001] yang disusun Mariska Heijmans van Bruggen. Buku ini adalah kumpulan catatan harian seorang perempuan di Kamp Ambarawa pada zaman Jepang

Sebagai kota yang ada kamp tawanannya, Ambarawa pun didatangi pasukan sekutu setelah Jepang menyerah kalah. Mereka datang atas nama Rehabilitation of Allied Prisoners of War and Internees [RAPWI], yang tugasnya melakukan rehabilitasi tawanan perang dan internir. RAPWI tak melulu datang sebagai tim medis. Pasukan bersenjata bersama mereka.

Baca juga: Bandung Lautan Api: Jalan Tengah Pejuang

Pada 19 Oktober 1945, militer Inggris di bawah pimpinan Brigadier R.G. Bethell, "dikirim ke Semarang satu brigade campuran yang diberi nama CRA's Brigade," tulis R.H.A. Saleh dalam Mari Bung Rebut Kembali [2000: 77]. CRA's Brigade bukan kesatuan organik, melainkan campuran dari satuan-satuan infanteri. Brigadier Bethell sendiri sejatinya Komandan Satuan Artileri Divisi 23 militer Inggris. Pasukan inilah yang ikut mengurusi pembebasan tawanan di sekitar Semarang, Ambarawa, dan Magelang.

Tak hanya Ambarawa yang menjadi sasaran RAPWI, mereka merangsek lebih dalam lagi ke tengah pulau Jawa. “Kesatuan-kesatuan kecil dari pasukan Gurkha bergerak ke suatu tempat di selatan Ambarawa, dan Magelang, di mana lebih dari 10.000 tahanan, terutama wanita dan anak-anak, sedang menunggu," catat Ben Anderson dalam Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 [1988: 174].

Baca juga: Memahami Gurkha, Tentara dari Negeri Atap Dunia

Pasukan itu tiba di Magelang pada 26 Oktober 1945. Magelang diduduki, walau katanya hanya untuk mengevakuasi tawanan-tawanan perang yang disekap bertahun-tahun oleh serdadu Jepang. Banyak dari tawanan tersebut adalah orang Indonesia.

“Perselisihan timbul karena sikap orang-orang Belanda tertentu yang diperbantukan kepada RAPWI, dan pemboikotan dilancarkan sebagai tindakan balasan oleh pemuda setempat," tulis Ben. Bentrokan antara tentara Sekutu dengan Tentara Keamanan Rakyat [TKR] dan laskar-laskar pemuda memang tak bisa dihindari. Namun, pasukan Inggris, termasuk di dalamnya dari unit-unit Gurkha, bisa dipukul mundur pada 21 November 1945. Meski sudah pergi dari Magelang, pasukan Sekutu yang mundur ke Ambarawa terus didesak pasukan Republik. Bahkan Ambarawa berhasil dikepung pasukan Republik.

Salah satu pasukan pemukul dari arah selatan berasal dari Divisi V Kedu. Komandan Divisi-nya adalah Kolonel Sudirman. Sebelum memukul mundur pasukan Sekutu, pada 12 November 1945, Sudirman sudah terpilih menjadi Panglima TKR dalam sebuah rapat yang semula hendak membahas strategi perang. Setelah terpilih, Sudirman tidak langsung dilantik jadi panglima.

Dua minggu kemudian, salah seorang bawahannya terbunuh, yakni Komandan Resimen Purwokerto Letnan Kolonel Isdiman. Perwira andalan Sudirman itu terbunuh di daerah Jambu, selatan Ambarawa.

Baca juga: Rapat Koboi Untuk Memilih Panglima Tentara

Menang tapi Banyak Korban

Isdiman terbunuh pada 26 November 1945, “Ketika tank-tank Sekutu menyerbu kedudukan pasukan TKR yang dipimpinnya. Pasukan TKR dan Laskar-laskar rakyat yang juga memiliki meriam-meriam, memberikan perlawanan yang hebat. Tetapi di tengah-tengah api pertempuran Sekutu mendatangkan beberapa pesawat terbang pemburu [cocor merah]," catat Radik Utoyo Sudirjo dalam Panglima Besar Sudirman: Sebuah Kenangan Perjuangan[1985: 57]. Betapa tidak main-mainnya pasukan sekutu di hari-hari pengepungan kota Ambarawa.

Kematian Isdiman disusul dengan turun langsungnya Sudirman memimpin pasukan Republik untuk memukul mundur Sekutu. Pertempuran di sekitar Ambarawa itu seolah menjadi ujian bagi Sudirman sebagai komandan.

Di front utara Ambarawa, sekutu berusaha mempertahankan jalur Ambarawa-Semarang. Kapal penjelajah Inggris HMS Sussex bahkan ikut menembakkan meriam artilerinya ke pegunungan Ungaran. Namun, hal itu tidak membuat militer mereka nyaman di Ambarawa.

Dalam Ignatius Slamet Rijadi: dari mengusir Kempeitai sampai menumpas RMS [2008:35], Julius Pour mengutip kesaksian Komodor Tull dari tim RAPWI. “Pertempuran Ambarawa sangat mengerikan. Setiap jengkal tanah dipertahankan secara mati-matian oleh kedua belah pihak. Ini benar-benar Total War," aku Tull [hlm. 35]. Sampai-sampai, 75 orang bekas tawanan perang pun harus ikut bertempur melawan tentara Republik.

Baca juga: Slamet Riyadi: Mati Muda dengan Gagah Berani

Untuk menggempur serdadu-serdadu Inggris yang sudah terkepung di Ambarawa, “Kolonel Sudirman merencanakan akan melancarkan serangan serentak. Rencana itu disetujui oleh komandan-komandan yang lain," tulis Amrin Imran dalam Panglima Besar Sudirman [2001: 30]. TKR berusaha tak memberi celah pada militer Sekutu untuk mundur. Kepungan itu berakhir pada 15 Desember 1945, di mana pasukan Sekutu hanya bisa mundur ke Semarang.

Kehadiran Sekutu di Jawa Tengah pun terpaksa hanya sebatas di Semarang. Di pihak Republik, Sudirman tentu jadi pahlawan. Tak ada lagi alasan untuk tidak menjadikannya sebagai Panglima. Ben mencatat, “Orang-orang Indonesia sangat gembira. Mereka menganggap bahwa pengundurun terpaksa dari pihak sekutu itu adalah suatu kemenangan taktis militer." Meskipun, menurut Tull, Indonesia kehilangan 2.000 orang, baik dari laskar maupun TKR. Sementara itu, pihak Inggris kehilangan 100 orang prajurit.

Banyaknya korban di pihak Indonesia termaklumi karena terampilnya militer Inggris. Apalagi terdapat orang-orang Gurkha yang dikenal jago perang. Sudah pasti dengan senjata modernnya, Inggris juga lebih unggul. TKR dan laskar-laskar Indonesia tentu sebaliknya. Baik dalam kelengkapan senjata maupun keterampilan militer.

Pertempuran tersebut dikenang orang Indonesia sebagai Palagan Ambarawa. Lalu, oleh Angkatan Darat, diperingati sebagai Hari Infantri, dan belakangan menjadi Hari Juang Kartika TNI-AD.

Baca juga laporan In-Depth Tirto tentang Pertempuran 10 November 1945:

  • Inggris Ngamuk dan Republik Remuk dalam Pertempuran Surabaya
  • Senja Terakhir Brigadir Mallaby
  • Usaha Mempertahankan Surabaya tanpa Komandan Terlatih
  • Kotoran Sapi di Taman Bunga Pertempuran Surabaya
Apa yang terjadi di Ambarawa pada 15 Desember 1945 itu terulang lagi di Dien Bien Phu, Vietnam, pada 7 Mei 1954. Begitu menurut Radik Utoyo Sudirjo [1985], yang menyebut Ambarawa adalah Dien Bien Phu-nya Indonesia [hlm. 51]. Setelah dua bulan lebih bertempur mengepung kota Dien Bien Phu, pasukan Vietnam berhasil memukul mundur Prancis. Sama seperti Indonesia, persenjataan Vietnam juga minim dan banyak jatuh korban jiwa. Sementara Prancis mirip Inggris yang punya persenjataan lengkap.

Para pemimpin militer yang sukses mengusir tentara asing itu juga bernasib hampir mirip: masing-masing jadi panglima tertinggi dan sempat menghadapi invasi militer asing lagi. Vo Nguyen Giap memimpin pengusiran tentara Amerika pada 1975, Sudirman memimpin perang melawan tentara Belanda pada 1948; dua-duanya lewat gerilya. Belakangan, keduanya juga jadi Jenderal Bintang Lima di negaranya masing-masing. Kemiripan lain: Sudirman dan Vo Nguyen Giap sama-sama pernah jadi guru sebelum memasuki dunia militer.

Baca juga artikel terkait SEJARAH INDONESIA atau tulisan menarik lainnya Petrik Matanasi
[tirto.id - pet/ivn]

Reporter: Petrik Matanasi
Penulis: Petrik Matanasi
Editor: Ivan Aulia Ahsan

Subscribe for updates Unsubscribe from updates

Video yang berhubungan

Bài Viết Liên Quan

Bài mới nhất

Chủ Đề