Jelaskan pengaruh penjajahan Belanda bagi indonesia dalam aspek ilmu pengetahuan

Tuliskan 10 persamaan dan perbedaan negara ASEAN!!![[TOLONGG BANTU JAWAB YAA, BESOK DEADLINEE]]​

siapa jokoWi di tahun 1945​

Carilah informasi dari buku-buku di perpustakaan disekolahmu atau internet tentang interaksi sosial yang terjadi antara Indonesia dengan para pedagang … yang melalui wilayah Indonesia!

tolong yaaaaaaaaaaaaa​

5. Apa perbedaan perjuangan rakyat Indonesia sebelum dan setelah proklamasi kemerdekaan? Jelaskan.​

salah satu bentuk kerjasama negara - negara Asean dalam bidang industri adalah....​

IPA 16. Bacalah dengan teliti penyataan berikut [1] Akar napas berada di bawah permukaan air. [2] Akar napas berasal dari akar utama. [3] Akar napas … diperlukan karena habitat bakau kaya oksigen. [4] Akar napas memiliki jaringan spons. a. [1] dan [3] c. [1], [2], dan [3] b. [2] dan [4] d. Semua benar

bagaimana posisi perekonomian negara negara Asia terhadap dunia! apa keunggulan dan kekurangan negara negara di benua Asia. Tuliskan! ​

65 Celcius berapa Reamur?​

Secara geografia, wilayah Amerika berbatasan dengan Samudra Atlantik. Pernyataan yang tepat trrkait Samudra Atlantik adalah....

Program Studi Ilmu Sejarah UNY mengadakan kuliah umum dengan mengundang Prof. Martijn Eickhoff dari University of Groningen, Belanda, sebagai pembicara. Acara tersebut berlangsung pada Jumat [21/2/2019] di Ruang Aula Gedung IsDB lantai 4, FIS UNY.

Prof. Martijn Eickhoff sendiri merupakan peneliti senior di Nederlands Instituut voor Oorlongs Documentatie [NIOD] dan mengkhususkan diri dalam studi perang dan budaya [war and culture].

Beliau meneliti sejarah, dimensi budaya dan dampak dari kekerasan skala besar serta perubahan rezim di Eropa dan Asia pada abad ke-19 dan ke-20, dengan penekanan khusus pada aspek ruang, materi dan transtrukturalnya.

Acara dengan tajuk “Public Lecture: Decolonising Heritage in Indonesia” tersebut, dipandu oleh Muhammad Yuanda Zara, Ph.D., dosen sejarah UNY sekaligus sejarawan pentolan University of Leiden.

Sesuai dengan tema kuliah umum, Martijn Eickhoff banyak membahas tentang bagaimana cara orang Indonesia mendekolonisasi warisan mereka di masa lalu.

“Saya coba memberikan contoh pembentukan warisan dalam situs arkeologi di masa kolonial dan pasca-kolonial” ujar profesor asal Belanda tersebut dalam bahasa Inggris.  “Bagaimana orang Indonesia berurusan dengan sistem kolonial, yang tidak hanya ekonomi, sosial-politik dan militer, tetapi juga budaya?” imbuhnya.

Berbekal 38 salindia dalam PowerPoint-nya, peneliti senior itu mempresentasikan hasil penelitiannya dalam periode 2008-2013, yang mana ia meneliti transformasi situs-situs arkeologi di masa kolonial dan pasca-kolonial Hindia-Belanda-- kini Indonesia.

“Dengan melihat beberapa sumber kolonial yang saya bagikan kepada Anda hari ini, mengajarkan kepada kita bahwa penciptaan pengetahuan arkeologis juga melibatkan orang Indonesia. Namun, proses mendapatkannya, dan juga aksesnya, serta yang memiliki otoritas, berkenaan dengan ini sangat ditentukan oleh keadaan kolonial,” ujarnya.

Di akhir, Martijn juga memaparkan temuannya yang memberikan kita petunjuk terakhir bagaimana warisan kolonial yang berhubungan dengan warisan prasejarah didefinisikan dan ditangani museum nasional Indonesia. Ia coba membandingkan dua katalog koleksi Prasejarah Museum Nasional tahun 1934 [masa kolonial] dengan 1955 [sepuluh tahun setelah kemerdekaan].

Kesimpulannya, ia menemukan perbedaan perspektif dari keduanya. Dalam katalog tahun 1955, telah terjadi dekolonisasi pertama mengenai warisan Prasejarah, di mana mereka menghapus semua objek mengenai Eropa termasuk Belanda [baca: kolonial].

“Acara ini begitu menarik, banyak yang antusias. Meski profesor berbicara dalam bahasa inggris, namun ini bukan suatu kendala. Terbukti banyak juga tadi yang bertanya,” ujar Alhidayath Parinduri, Ketua Hima Ilmu Sejarah UNY 2020, saat ditanya mengenai jalannya acara.

“Harapannya kedepan, kita semakin memahami persoalan yang berhubungan dengan arkeologi dan cultural heritage. Karena ternyata ini juga menarik,” imbuh mahasiswa berusia 20 tahun tersebut.

Sementara iu, Yuanda Zara, moderator sekaligus dosen sejarah UNY menjelaskan beberapa hal mendasar terkait kuliah umum kali ini. Pertama, ia berpandangan bahwa kehadiran Martijn sebagai pembicara sangatlah penting. Terlebih jika melihat latar belakang dan rekam jejaknya sebagai seorang peneliti senior.

“Salah satu catatan pentingnya [Martijn] adalah bahwa orang Indonesia punya peranan dalam menemukan dan mengekskavasi situs-situs sejarah di Indonesia pada masa kolonial, yang artinya membantah pandangan bahwa hanya arkeolog Belanda yang punya andil,” ujar alumnus Universteit van Amsterdam itu.

“Selanjutnya yang penting lagi terkait tema, yang mana tema seperti ini masih jarang di Indonesia, bahkan bagi arkeolog sekalipun. Prof. Martijn memakai pendekatan yang sedang berkembang di Eropa, yang melihat warisan budaya dalam konteks sosial-politik masa kini.”

Lebih jauh, menurut Yuanda Zara apa yang dilakukan oleh Martijn merupakan sumbangan yang penting bagi mahasiswa ilmu sejarah. Agar kedepannya, mereka dapat membaca warisan budaya dengan lebih dalam dan reflektif. [Muhammad Abdul Hadi/JK]

David Fairchild [tengah] sedang meminum air kelapa di sela penelitiannya di Jawa Barat. [David Fairchild via The Conversation Indonesia]

Nationalgeographic.co.id - Dalam penulisan sejarah ilmu pengetahuan di Hindia Belanda, peran orang-orang pribumi kerap diabaikan. Hal ini terjadi karena masih kuatnya narasi kolonial dalam penulisan sejarah.

Narasi jenis ini melihat kisah sejarah dari sudut pandang penjajah yang seringkali meminggirkan keberadaan orang-orang yang dijajah. Padahal dari beberapa sumber tertulis, orang-orang pribumi disebut memiliki pengetahuan yang mumpuni.

Seorang ahli botani dan hewan asal Amerika, David Fairchild, di dalam otobiografinya The World was My Garden: Travels of a Plant Explorer menyebut beberapa nama orang pribumi yang membantunya selama kunjungan ke Hindia Belanda pada 1895. Ia diundang oleh Melcior Treub, Direktur Kebun Raya Bogor, untuk menjadi peneliti tamu di sana.

Di buku itu, Fairchild memuji Oedam, Kepala Tukang Kebun di Kebun Raya Bogor, sebagai “ahli botani yang luar biasa dalam segala aspek.” Ia kagum karena Oedam mengingat setiap tanaman koleksi Kebun Raya Bogor. Tidak hanya nama lokal, tapi juga nama tanaman-tanaman tersebut dalam sistem Eropa yang dikelompokkan berdasarkan genus dan spesiesnya.

Selain Oedam, ada Mario, pembantu lokal khusus untuk Fairchild, yang dianggap kompeten karena keterampilannya menggunakan peralatan modern penunjang penelitian.

Fairchild juga bertemu Papa Iidan yang bekerja sebagai pengumpul materi bagi para ilmuwan dan tahu lebih banyak soal serangga dibanding dirinya.

Ilmuwan asal Skotlandia, Henry Ogg Forbes, yang meneliti tanaman dan hewan tropis di Hindia Belanda selama kurun waktu 1878-1883, memiliki pendapat yang serupa.

Forbes dibuat terkesima oleh orang-orang Banten. Ia menemukan fakta bahwa mereka sangat cerdas dan pengamat yang mengagumkan. Di esainya “Through Bantam” yang dimuat dalam Science and Scientists in the Netherlands Indies, Forbes memuji pengetahuan orang-orang lokal yang memberi nama tanaman dan hewan lokal menyerupai sistem Eropa.

Simon Schaffer, profesor sejarah dan filsafat Ilmu Inggris, dalam The Brokered World: Go-Betweens and Global Intelligence 1770 — 1820 menyebut orang-orang seperti Oedam, Mario, dan Papa Iidan sebagai sebagai perantara [go-between] antara ilmuwan Barat dan pengetahuan lokal.

Meski peran mereka penting, kelompok ini sering hilang dari narasi sejarah kolonial. Artikel ini akan menjelaskan mengapa hal tersebut bisa terjadi.

Barat sebagai pusat

Salah satu penyebabnya adalah karena sejarah ilmu masih dibahas dalam perspektif Barat yang berat sebelah. Perspektif yang dominan ketika itu mengatakan bahwa orang-orang Eropa adalah pihak yang aktif memproduksi dan menyebarkan sains, sedangkan masyarakat non-Eropa hanya penerima pasif.

Salah satu pencetusnya, George Basalla, sejarawan sains Amerika mengatakan dalam esainya bahwa tahap penyebaran sains ke wilayah non-Eropa berlangsung satu arah.

Page 2

David Fairchild [tengah] sedang meminum air kelapa di sela penelitiannya di Jawa Barat. [David Fairchild via The Conversation Indonesia]

Basalla membagi proses penyebaran sains tersebut ke dalam tiga tahap: eksplorasi, produksi sains kolonial, dan pembentukan tradisi sains mandiri.

Pada tahap pertama, orang-orang Eropa membangun kontak dengan koloni dalam rangka perdagangan, penaklukan, atau pembangunan permukiman baru.

Masyarakat “non-ilmiah” yang mereka temui itu berfungsi sebagai sumber informasi untuk sains modern. Informasi itu dikumpulkan dalam bentuk peta serta spesimen flora dan fauna endemik. Informasi yang diperoleh dari koloni kemudian diolah sehingga menjadi ilmu Barat yang dapat dipahami secara universal. Ilmu itu selanjutnya dibawa “kembali” ke wilayah koloni untuk dikembangkan.

Tahap kedua ditandai dengan peningkatan aktivitas ilmiah di wilayah koloni. Para ilmuwan Eropa mendirikan institusi lokal dan mereplikasi seutuhnya penyelidikan ilmiah yang biasa dilakukan di Eropa agar risetnya dapat dilakukan lebih efektif dan dekat dengan wilayah penelitiannya.

Pada tahap ketiga, seiring dengan munculnya gerakan nasionalisme, ilmu kolonial berangsur-angsur berkembang menjadi tradisi ilmiah mandiri di daerah asal. Ilmuwan kolonial digantikan oleh orang “asli” yang terlatih dalam sains dan bekerja dalam batas-batas negara. Ilmu pengetahuan dari negara induk dianggap telah selesai diserahterimakan.

Kritik atas narasi kolonial

Model Basalla tersebut banyak mendapat kritik karena mengasumsikan bahwa pusat pengetahuan berada di negara-negara Eropa Barat saja. Baginya, tidak ada pusat pengetahuan selain di sana. Oleh karena itu, Basalla menggunakan istilah difusi, alih-alih kolaborasi.

Untuk kasus Hindia Belanda, model Basalla tidak tepat. Tahap pertama justru merupakan bukti kuat proses kolaborasi, bukan permulaan difusi. Tahap ini menjadi ajang saling bertukar informasi di antara para ilmuwan yang setara. Proses ini dijalankan melalui komunikasi dua arah yang intens.

Dinamika hubungan tersebut terwujud dalam komunikasi antara Fairchild dan asisten-asisten lokal dan Forbes dengan orang-orang Banten.

Bahkan, ilmuwan Jerman, Georg Everhard Rumpf [Rumphius] memberikan kredit terhadap penduduk lokal yang membantu dalam penelitiannya tentang tumbuhan di Nusantara. Praktik ini tidak lazim dilakukan kala itu.

Mengubah narasi

Hubungan tidak sejajar antara penjajah dan yang dijajah ini menjadi “ruh” dokumen-dokumen tertulis yang dibuat pada masa kolonial.

Ann Stoler, profesor antropologi dan studi sejarah asal Amerika mengungkapkan bahwa arsip-arsip kolonial itu tidak netral. Namun, penulisan karya sejarah sering bergantung kepada jenis dokumen ini. Akibatnya, narasinya dibangun dalam perspektif penjajah yang seringkali meminggirkan orang-orang yang dijajah dari narasi utama.

Interaksi antara penjajah dan yang dijajah memiliki hubungan yang lebih kompleks dari sekadar komunikasi satu arah. Ada aspek lain terkait kerja sama pengembangan sains yang tidak dilihat di dalam narasi kolonial, yakni peran perantara.

Usaha untuk menempatkan para perantara tersebut ke dalam narasi sejarah kolonial yang timpang mutlak dilakukan. Catatan pribadi Forbes, Fairchild, dan sejenisnya dapat membantu proses itu.

Penulis: Irawan Santoso Suryo Basuki, Peneliti Ahli Muda, Research and Development Agency of Indonesian Education and Culture Ministry

Artikel ini terbit pertama kali di The Conversation. Baca artikel sumber.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề