Jelaskan perjanjian internasional yang dibedakan berdasarkan jumlah pesertanya

Pada masa reformasi penerapan Pancasila tidak lagi menghadapi pemberontkan yang akan mengganti Pancasila dengan ideology lain, tapi dihadapkan pada ke … hidupan masyrakat yang….a. Serba bebasb. Lebih ikhlasc. Lebih makmurd. Sejahtera​

3. Siapa yang membentuk BPUPKI? Jawab: ......pliss tolong di bantu soalny mau di kumpulkan besok​

kum tertulis 5. Pancasila sebagai sumber segala sumber hukum mengandung arti....* A. nilai-nilai Pancasila merupakan nilai yang sakral B. nilai Pancas … ila bersumber dari kebiasaan masyarakat C. peraturan perundangan harus dibuat oleh Badan resmi D. semua peraturan perundangan tidak boleh bertentangan dengan nilai Pancasila​

Pokok pikiran keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara demokrasi. Dalam negara demokrasi, rakyat adalah pemegang … kedaulatan tertinggi di negara Indonesia. Konsekuensi dari pernyataan tersebut adalah.....A. sistem ketatanegaraan Indonesia harus sesuai UUD NRI Tahun 1945b. pemerintah harus melaksanakan pemilihan umum secara berkala setiap empat tahun sekalic. Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah harus menjadi lembaga tertinggi sebagai penjelmaan kekuasaan rakyat d. sistem negara yang terbentuk dalam undang-undang dasar harus berdasar atas kedaulatan rakyat dan berdasar atas permusyawaratan perwakilan​

Mengapa negara belanda menganut sistem pemerintahan parlementer​

Mengapa negara Malaysia menganut sistem pemerintahan parlementer​

tolong di jawab ya,soalnya ada di atas besok hari selasa di kumpulan kan​

Mengapa negara Singapore menganut sistem pemerintahan parlementer​

Mengapa negara jepang menganut sistem pemerintahan parlementer​

Inti dari pokok pikiran keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 adalah negara berdasar Ketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan be … radab. Pokok pikiran tersebut mengandung konsekuensi.....A. warga negara yang tidak mematuhi ibadah wajib agamanya akan dikenakan hukum positifb. warga negara Indonesia diwajibkan memeluk agama dan menjalankan ajarannya dengan baikc. pemerintah akan menjadikan salah satu agama menjadi agama wajib bagi warga negarad. pemerintah mewajibkan masyarakat untuk berkontribusi pada negara​

Apa Itu Perjanjian Internasional?

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber utama hukum Internasional, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 38 ayat (1) huruf a Statuta Mahkamah Internasional. Oleh karena itu, kedudukan perjanjian internasional amatlah penting dalam hubungan antar negara, termasuk juga ketika terjadi konflik, sebagaimana dijelaskan dalam Peran Perjanjian Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional.

Dalam hukum internasional, perjanjian antar negara diatur dalam Konvensi Wina 1969, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan perjanjian internasional adalah:

“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

Pada intinya, perjanjian internasional adalah kesepakatan antar negara yang dibuat dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional.

Jenis-jenis Perjanjian Internasional

Secara umum, perjanjian internasional dibagi menjadi 2 jenis, yaitu perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral, berikut ini kami akan menjelaskan masing-masing:

Perjanjian bilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh 2 subjek hukum internasional, yang dalam hal ini yaitu negara, yang masing-masing mempunyai kapasitas hukum untuk membuat perjanjian internasional. Dalam situasi tertentu, dimungkinkan juga beberapa negara dan atau organisasi internasional tergabung menjadi satu pihak dalam perjanjian bilateral.[1]

Perjanjian bilateral pada umumnya berbentuk sebuah instrumen yang ditandatangani oleh kedua belah pihak, atau pertukaran dua dokumen, nota/surat diplomatik, yang mengkonfirmasi bahwa keduanya telah menyetujui.[2]

Contoh dari perjanjian bilateral bagi Indonesia adalah perjanjian tentang penetapan garis batas laut wilayah Indonesia dan Singapura di bagian barat selat Singapura, yang telah disahkan melalui UU 4/2010.

Jenis perjanjian kedua ini adalah jenis perjanjian yang Anda tanyakan. Perjanjian multilateral adalah perjanjian internasional yang dibuat oleh 3 atau lebih subjek hukum internasional, atau dalam hal ini oleh 3 atau lebih negara, yang masing-masing mempunyai kapasitas hukum untuk membuat perjanjian internasional.[3]

Jadi, menjawab pertanyaan Anda, perjanjian yang dilakukan lebih dari dua negara yaitu perjanjian multilateral.

Perjanjian multilateral biasanya dibuat dalam satu dokumen, namun dalam keadaan tertentu bisa juga dilakukan dalam bentuk pertukaran dokumen apabila pihaknya tidak lebih dari 3 atau 4.[4] 

Karena jumlah pihaknya lebih dari 3, biasanya dalam perjanjian multilateral ditentukan tempat penyimpan (depository) perjanjian multilateral tersebut. Depository perjanjian multilateral yang lebih banyak dipilih adalah sekretariat organisasi internasional yang menaungi pembuatan perjanjian multilateral tersebut, seperti PBB yang saat ini menjadi depository lebih dari 550 perjanjian internasional.[5]

Contoh dari perjanjian internasional yang sudah diratifikasi Indonesia adalah Konvensi PPB Anti Korupsi yang disahkan dengan UU 7/2006.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. Claude Schenker. Practice Guide to International Treaties. Directorate of International Law (DIL), Federal Department of Foreign Affairs (FDFA), Switzerland, yang diakses pada 15 Maret 2022, pukul 08.37 WIB;
  2. Treaty Handbook. Treaty Section of the Office of Legal Affairs, United Nations, yang diakses pada 15 Maret 2022, pukul 08.37 WIB.

[1] Treaty Handbook, Treaty Section of the Office of Legal Affairs, United Nations, hal. 33

[3] Treaty Handbook, Treaty Section of the Office of Legal Affairs, United Nations, hal. 33

Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional merupakan salah satu sumber utama hukum internasional sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional. Sedangkan definisi dari perjanjian internasional (treaty) jika merujuk pada Pasal 2 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969 adalah sebagai berikut:

“treaty” means an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation;

Berdasarkan definisi di atas, pada intinya yang dimaksud dengan treaty atau perjanjian internasional adalah kesepakatan internasional yang dibuat antar negara-negara dalam bentuk tertulis dan diatur oleh hukum internasional.

Perlu diperhatikan, Konvensi Wina 1969 memang merupakan salah satu instrumen utama dalam hukum internasional yang mengatur tentang perjanjian internasional. Akan tetapi, keberlakukan aturan dalam konvensi tersebut terbatas hanya terhadap perjanjian antar negara, dan tidak berlaku untuk perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional.

Dalam hukum internasional, perjanjian antara negara dengan organisasi internasional maupun perjanjian antara sesama organisasi internasional diatur dalam konvensi terpisah yakni Konvensi Wina 1986.

Pemisahan tersebut dilakukan atas dasar pertimbangan bahwa kewenangan membuat perjanjian internasional oleh organisasi internasional berlainan dengan kewenangan membuat perjanjian internasional oleh negara, demikian pula prosedur untuk membuat perjanjian internasional yang dilakukan oleh negara berbeda dengan prosedur yang dilakukan oleh organisasi internasional.[1]

Karena adanya perbedaan prosedur tersebut, guna menyederhanakan jawaban, kami akan fokus membahas proses/tahapan pembuatan perjanjian internasional yang dibuat oleh negara saja.

Tahapan Perjanjian Internasional

Selanjutnya, menyambung pertanyaan Anda, apa saja tahapan dalam proses pembuatan perjanjian internasional? Pada pokoknya, ada 3 tahapan pembuatan perjanjian internasional adalah sebagai berikut:[2]

Tahapan perjanjian internasional adalah dimulai dari perundingan, di mana biasanya didahului oleh pendekatan-pendekatan oleh pihak yang bermaksud mengadakan perjanjian internasional, atau yang dalam bahasa diplomatik dikenal dengan lobbying. Lobbying dapat dilakukan secara formal maupun secara nonformal. Bila dalam lobbying telah ada titik terang tentang kesepakatan tentang suatu masalah, maka kemudian diadakan perundingan secara resmi yang akan dilakukan oleh orang-orang yang resmi mewakili negaranya, menerima kesepakatan yang telah dirumuskan, dan mengesahkannya.[3]

Orang-orang yang berwenang mewakili negaranya ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969, di antaranya yaitu kepala negara (seperti presiden), kepala pemerintahan (seperti perdana Menteri), dan menteri luar negeri.

Dalam tahapan perundingan ini terdapat juga proses penerimaan teks (adoption of the text),[4] di mana para pihak yang berunding merumuskan teks dari perjanjian yang kemudian diterima oleh masing-masing pihak peserta perundingan. Penerimaan naskah/teks dalam konferensi yang melibatkan banyak negara dilakukan dengan persetujuan 2/3 dari negara yang hadir dan menggunakan suaranya, kecuali jika 2/3 negara tersebut setuju untuk memberlakukan ketentuan lain.[5]

Setelah adanya penerimaan teks dalam tahapan perundingan, tahapan perjanjian internasional selanjutnya adalah dilakukan pengesahan teks yang telah diterima oleh peserta perundingan tadi.[6] Proses pengesahan teks perjanjian internasional dilakukan sesuai kesepakatan para peserta perundingan, atau dengan pembubuhan tanda tangan wakil negara dalam teks perjanjian internasional tersebut.[7] 

Menurut Pasal 1 angka 2 UU 24/2000, ratifikasi merupakan salah satu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian internasional.

Namun, dari perspektif hukum perjanjian internasional, proses ratifikasi ini tak selalu diperlukan agar sebuah perjanjian internasional bisa berlaku mengikat terhadap suatu negara. Hal ini dikarenakan, bisa saja peserta perundingan perjanjian internasional menyepakati bahwa penandatanganan perjanjian saja sudah cukup menandakan persetujuan negara terhadap perjanjian tersebut.[8]

Proses ratifikasi ini diperlukan, di antaranya jika teks perjanjian internasional terkait menyatakan bahwa persetujuan negara untuk terikat ditunjukkan dengan cara ratifikasi.[9]

Di Indonesia, ratifikasi sebagai pengesahan perjanjian internasional ini dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.[10]

Baca juga: Status Hukum UU Ratifikasi

Sebagai catatan, selain ratifikasi, ada juga berbagai cara lainnya untuk menunjukkan persetujuan sebuah negara untuk terikat kepada perjanjian internasional, seperti aksesi (accession), penerimaan (acceptance) dan penyetujuan (approval). Penggunaan cara-cara tersebut bisa dilakukan tergantung kepada persetujuan para pihak dan ketentuan dalam perjanjian internasional.[11]

Singkatnya, 3 tahapan perjanjian internasional adalah terdiri dari awal pembentukannya melalui perundingan hingga berlaku mengikat ke sebuah negara misalnya dengan ratifikasi sebagaimana kami jelaskan di atas.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Hukumonline Bagi-Bagi THR! Buat ucapan Selamat Lebaran dengan menggunakan dua istilah hukum di kolom comment Instagram Hukumonline selama periode 20 - 25 April 2022. Ada total hadiah Rp1,5jt untuk para pemenang dengan ucapan yg paling menarik dan kreatif. Yuk segera ikutan di sini!

Demikian jawaban dari kami tentang tahapan perjanjian internasional, semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

Referensi:

  1. I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016;
  2. Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.

[1] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 4

[2] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 25; I Made Pasek Diantha, dkk. Buku Ajar Hukum Perjanjian Internasional. Bagian Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Udayana, 2016, hal. 19

[3] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 24-25

[4] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29

[6] Sri Setianingsih Suwardi, Ida Kurnia. Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 29

[7] Pasal 10 Konvensi Wina 1969

[8] Pasal 12 ayat (1) huruf b Konvensi Wina 1969

[9] Pasal 14 ayat (1) huruf a Konvensi Wina 1969

[11] Pasal 11 Konvensi Wina 1969