Jenis angklung yang digunakan dalam ritual seren taun di kuningan adalah

Angklung gubrag terdiri dari 6, yaitu bibit, anak bibit, engklok 1, engklok 2, gonjing, dan panembal Masyarakat Kampung Budaya Sindang Barang menjadikan angklung gubrag sebagai iringan dalam ritual Ngala Cai Kukulu Angklung gubrag terbuat dari bambu hitam yang dihias kembang wiru di bagian atasnya Masyarakat adat percaya suara angklung gubrag mampu menggetarkan tumbuhan sehingga dapat cepat tumbuh Angklung gubrag merupakan salah satu bentuk seni yang lahir dari pola masyarakat Sunda yang agraris Angklung gubrag kini tidak hanya dimainkan saat nandur, melainkan juga dalam berbagai perhelatan, seperti pernikahan, sunatan, dan menyambut tamu agung Pertunjukkan angklung gubrag kerap dipadukan dengan kendang penca dan gong

ANGKLUNG identik dengan Jawa Barat. Alat musik multitonal atau bernada ganda ini memang berkembang di tengah masyarakat Sunda. Dalam tradisi Sunda masa lalu, angklung memiliki fungsi ritual keagamaan –untuk mengundang Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri [dewi padi lambang kemakmuran] agar memberikan berkah dan kesuburan pada tanaman padi. Menanam benih padi di tanah orang Kanekes, tulis Saleh Danasasmita dalam Kehidupan Masyarakat Kanekes, dipandang mengawinkan Nyi Pohaci dengan bumi dan ritual ini selalu diiringi dengan angklung. Demikian pula saat upacara seren taun atau panen padi dipersembahkan permainan angklung.

Angklung merupakan alat musik tradisional yang terbuat dari potongan bambu. Ia terdiri dari dua sampai empat tabung bambu yang dirangkai menjadi satu dengan tali rotan. Tabung bambu diukir detail dan dipotong sedemikian rupa untuk menghasilkan nada tertentu ketika bingkai bambu digoyang. Jenis bambu yang digunakan ialah bambu temen [bambu wulung], bambu belang, dan bambu tali. Untuk yang besar ada juga yang mempergunakan bambu surat.

Angklung termasuk ke dalam golongan alat-alat yang dengan istilah musik disebut idiophone, yakni alat-alat yang badannya sendiri mengeluarkan bunyi atau nada bilamana kita sentuh atau pukul.

“Karena bentuknya tegak lurus, maka angklung ini dimainkan [dibunyikan] dengan cara digoyang, tidak dipukul,” tulis Helius Sjamsuddin dan Hidayat Winitasasmita dalam Daeng Soetigna: Bapak Angklung Indonesia. Di dalam permainan, angklung ada yang berfungsi memainkan melodi lagu, dan ada juga sebagai angklung pengiring [pengiring lagu].

Kata “angklung” sendiri berasal dari bahasa Sunda “angkleung-angkleungan” yaitu gerakan pemain angklung serta dari suara “klung” yang dihasilkan instrumen bambu ini.

Tak ada keterangan pasti kapan angklung mulai dikenal dan dimainkan. Diperkirakan alat musik ini sudah dikenal sebelum masa Kerajaan Sunda sekitar abad ke-11.

Ada beberapa jenis angklung. Tapi umumnya dikelompokkan menjadi dua: angklung tradisional dan angklung modern.

Di kalangan masyarakat Sunda, keberadaan angklung tradisional terkait erat dengan mitos Nyai Sri Pohaci atau Dewi Sri sebagai lambang dewi padi. Angklung tradisional ini dimainkan pada upacara-upacara adat, seperti pesta panen, turun bumi, seren taun, menyambut tamu kehormatan, dan sebagainya. Di dalam permainan, angklung yang memiliki tangga nada pentatonik [da – mi – na – ti – la] biasa dilengkapi dengan alat lain seperti dogdog, kendang dan gong.

Beberapa jenis angklung tradisional, seperti termuat di buku Ketika Musik Bambu Dibicarakan, hingga kini masih ada di lingkungan masyarakat Sunda di Jawa Barat dan Banten. Sebut saja angklung buhun [Desa Kanekes, Banten], angklung bungko [Desa Bungko, perbatasan Cirebon dan Indramayu], angklung gubrag [Desa Cipining, Bogor], angklung dogdog lojor [Kasepuhan Pancer Pangawinan atau Kesatuan Adat Banten], angklung badeng [Desa Sanding, Garut], angklung buncis [Desa Baros, Bandung], angklung badud [Priangan Timur/Ciamis], angklung bungko [Indramayu], dan angklung ciusul [Banten].

Kemunculan angklung modern tak bisa dilepaskan dari sosok Daeng Soetigna. Pada 1938, rumah Daeng di Kuningan, Jawa Barat yang saat itu seorang guru HIS [Hollandsch-Inlandsche School] setingkat SD sekarang, kedatangan seorang pengemis tua yang memainkan angklung buncis. Karena terkesan, dia membeli angklung dari pengemis itu untuk dipelajarinya. Kemudian dia mencari dan bertemu dengan pembuat angklung bernama Pak Djaja, yang dia sebut sebagai “guru besarnya”. Dia juga berguru kepada Pak Djaja mengenai hal-ihwal angklung.

Karena keuletannya, Daeng berhasil mengubah tangga nada angklung tradisional yang pentatonik menjadi angklung modern dengan tangga nada diatonik chromatik [do – di – re – ri – mi – fa – fi – sol – sel – la – li – ti – do]. Angklung inilah yang kemudian diperkenalkan dan dipopulerkannya. Angklung ini kemudian disebut “angklung modern” atau disebut pula “Angklung Padaeng”. Untuk itu pula Daeng Soetigna mendapat julukan “Bapak Angklung Indonesia”.

Sejak itu, angklung berkembang dan mulai dikolaborasikan dengan alat musik lain seperti piano, gitar, drum, dan bahkan dalam bentuk orkestra. Angklung juga dipentaskan dalam pertunjukan-pertunjukan musik bertaraf regional, nasional, hingga internasional.

Setelah Daeng Soetigna, pengembangan angklung dilakukan muridnya: Mang Udjo Ngalagena. Pada 1967 dia mendirikan pusat pembuatan dan pengembangan kreasi kesenian angklung yang dikenal dengan nama Saung Angklung Mang Udjo di Padasuka Cicaheum, Bandung. Di tempat ini, pengunjung bisa belajar memainkan angklung, menonton pertunjukan musik angklung, serta melihat langsung proses pembuatan alat musik ini.

Berkat seniman-seniman kreatif dan inovatif, angklung terus berkembang dan mendapat pengakuan dunia. Pada November 2010, Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa [PBB] untuk Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan atau UNESCO menetapkan angklung sebagai Karya Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia.

Angklung sebagai instrumen musik maupun seni pertunjukan telah mengalami perkembangan cukup signifikan. Namun, inovasi tetap dibutuhkan agar angklung mampu bertahan seiring perkembangan zaman. Dari pengembangan dan inovasi itulah muncul angklung piano, angklung toel, hingga angklung robot.*

Jika Indonesia tidak terus-menerus mengembangkannya, penetapan angklung sebagai warisan budaya dunia bisa menjadi bumerang. Sebab, negara manapun bisa mengembangkan dan melakukan inovasi terhadap alat musik ini.*

[1]

Dinda Satya Upaja Budi1, R.M. Soedarsono, Timbul Haryono, dan Tati Narawati

Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini menjelaskan pertunjukan Angklung Dogdog Lojor dalam siklus upacara Seren Taun pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar, Kasatuan Adat Banten Kidul. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Data diperoleh melalui pengamatan di lapangan dan wawancara mendalam. Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa pertunjukan Angklung Dogdog Lojor dalam upacara Seren Taun bukan semata-mata hanya sebagai seni pertunjukan dalam paradigma Barat atau kelengkapan ritual, akan tetapi merupakan salah satu media do’a dalam upacara ritual ngadiukeun pare sebagai upacara pokok dalam rangkaian upacara Seren Taun. Pertunjukan Angklung Dogdog Lojor merupakan ekspresi budaya masyarakat Kasepuhan Ciptagelar. Bagi para pemainnya, Ngangklung merupakan tugas pokok atau kewajiban sebagai anggota masyarakat adat.

Kata kunci: Angklung, Dogdog Lojor, Seren taun, Kasepuhan Ciptagelar

ABSTRACT

Angklung Dogdog Lojor Performance in Seren Taun Ritual Ceremony. This paper describes Angklung Dogdog Lojor performance in Seren Taun ritual ceremony on Kasepuhan Ciptagelar community. The method used in this paper is a qualitative method that is based on the data in the form of text, the analysis in the form of interpretation, and the prototype in the form of in-depth interviews. The conclusion is that Angklung Dogdog Lojor in Seren Taun ritual ceremony is not solely as an art performance in the Western paradigm or completeness of any rituals. Angklung Dogdog Lojor is one of the ‘prayer’ media of various ‘prayer’ media in Seren Taun rituals, especially in ritual of ‘ngadiukeun pare’ as the main ritual in a series of Seren Taun ceremonies. Angklung Dogdog Lojor performance is an expression of culture Kasepuhan Ciptagelar Communities. Ngangklung, for the players, is a kind of the main duty or obligation to their community as indigenous people.

Keywords: Angklung, Dogdog Lojor, Seren Taun, Kasepuhan Ciptagelar

Alamat korespondensi: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa-UGM, Gedung Leng-kung, Jln. Teknika Utara, Pugung, Yogyakarta. Hp: 081321369866. E-mail:

1

Pendahuluan

Kehadiran musik bambu dalam kehidupan masyarakat budaya Sunda hadir sejak masyarakatnya menjalankan budaya agraris tradisional yaitu ngahuma atau berladang, hingga masuknya budaya sawah karena pengaruh budaya Jawa. Musik bambu selalu dihadirkan dalam siklus upacara penanaman padi, sehingga sangat beralasan apabila keberadaan musik bambu dalam budaya Sunda sampai sekarang masih terpelihara, khususnya pada masyarakat agraris tradisional.

Musik angklung termasuk salah satu jenis musik bambu yang masih terpelihara sampai saat

ini. Di wilayah budaya Sunda, kehadiran jenis-jenis kesenian angklung untuk kepentingan upacara ritual padi tersebar di beberapa wilayah dalam berbagai penyebutan, di antaranya: Angklung Buncis, Angklung Gubrag, Angklung Bungko, Badud, Dodod, Angklung Dogdog Lojor, Angklung Mayangsari, Angklung Baduy, Angklung Badeng, Badud, dan lain-lain. Hampir semua jenis kesenian angklung ini oleh masyarakat dikategorikan sebagai angklung buhun atau angklung kuna [baca: kuno] yang artinya tua.

Tulisan ini bermaksud memberi gambaran mengenai pertunjukan Angklung Dogdog Lojor [ADL] dalam rangkaian upacara ritual Seren Taun

[2]

pada masyarakat adat Kasepuhan Ciptagelar [KC] yang merupakan sebuah komunitas adat terbesar di wilayah budaya Banten Kidul [Jawa Barat dan Banten] yang tergabung dalam Kasatuan Adat Banten Kidul.

Angklung Dogdog Lojor sebagai Ekspresi Budaya

Seni pertunjukan merupakan suatu pening-galan tradisi yang memiliki nilai-nilai luhur dan cenderung besifat religius. Menurut Kusmayati [2000:1], seni pertunjukan merupakan bagian dari kehidupan yang hadir karena diperlukan oleh masyarakat. Tidak jarang seni pertunjukan berada dalam lingkup masyarakat untuk kebutuhan upacara tertentu. Maka tidak mengherankan apabila suatu jenis seni pertunjukan pada masyarakat agraris tradisional akan tetap dapat bertahan hidup dan berkembang, jika fungsi-fungsi sosialnya masih tetap dijalankan oleh masyarakat pendukungnya. Secara lebih spesifik R.M. Soedarsono [2002: 123] menyatakan bahwa, di lingkungan masyarakat Indonesia yang masih sangat kental dengan nilai-nilai kehidupan agrarisnya, sebagian besar seni pertunjukannya memiliki fungsi ritual.

Berkaitan dengan hal tersebut, pertunjukan ADL KC sebagai ekspresi budaya masyarakat akan tetap difungsikan oleh masyarakat pendukungnya. Kehadiran ADL bagi masyarakat KC bukan semata-mata karena untuk kepentingan pertunjukan seperti dalam paradigma Barat, tetapi lebih dari itu. Angklung dimainkan sebagai salah media do’a atau syukuran atas hasil bumi dan keseimbangan alamnya. Kepercayaan masyarakat KC terhadap kehadiran sesuatu yang gaib sangat kental, terutama pada kehadiran para karuhun [leluhur]-nya.

Sampai saat ini, beberapa kalangan atau kelompok masyarakat yang masih menjalankan tradisi Sunda Lama meyakini bahwa angklung merupakan salah satu peninggalan para karuhun yang perlu dihargai dan kadang dianggap keramat. Hal ini bisa dilihat dari cara masyarakat tradisi dalam memperlakukan angklung dalam siklus kehidupannya, mulai dari proses pembuatan, penggunaan, hingga penyimpanannya setelah dipakai dalam upacara ritual. Sebagai contoh,

dalam masyarakat Kanekes atau Baduy, proses pembuatan angklung dilakukan dalam berbagai tahap serta persyaratan harus dipenuhi dan dilengkapi. Demikian pula halnya pada saat penggunaan angklung harus sesuai dengan aturan adat dan kebiasaan serta amanat para karuhun, hingga sampai pada tahap penyimpanan atau saat angklung tidak akan dipakai dalam aktivitas pertaniannya, angklung selalu ditempatkan pada suatu tempat yang khusus [Budi, 2001: 60-94].

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa selain memiliki makna yang penting, angklung juga memiliki nilai yang sakral yang harus dihormati oleh masyarakat pendukungnya. Kehadiran angklung dalam sebuah upacara atau peristiwa ritual dianggap sebagai salah satu media ritual dari sekian banyak sarana demi lengkapnya penyampaian do’a sebagai persembahan dan permohonan atas segala berkah dan keselamatan seluruh umat manusia dan alam semesta. Menurut Senen [1997: 10], penyajian musik dapat berkedudukan sebagai bagian dari upacara dan sebagai pengiring atau pendukung suasana upacara. Sebagai bagian dari upacara, jenis musik seperti: do’a keagamaan, nyanyian wajib keagamaan, dan bunyi instrumen musik yang dipandang sakral wajib dihadirkan dalam upacara keagamaan.

Kehadiran ADL dalam berbagai rangkaian upacara ritual padi, terutama pada rangkaian kegiatan upacara Seren Taun pada beberapa kelompok masyarakat adat di Kasatuan Adat Banten Kidul sebenarnya merupakan ungkapan do’a sebagai persembahan dan permohonan atas segala berkah serta rasa syukur atas keberhasilan panen padi dan hasil bumi lainnya, dan juga sebagai permohonan keselamatan, agar terhindar dari berbagai musibah. Hal seperti ini terdapat pula di wilayah Jawa Barat lainnya yaitu di Rancakalong Sumedang dengan UpacaraNgalaksanya. Upacara Ngalaksa adalah salah satu kegiatan ritual yang dilakukan oleh masyarakat Rancakalong sebagai ungkapan rasa syukur atas limpahan berkah panen hasil pertanian yang meruah [Yulaeliah, 2008: 32]. R.M. Soedasono [2002: 118] juga menyatakan bahwa seni pertunjukan ternyata memiliki fungsi yang sangat kompleks dalam kehidupan manusia. Di samping itu, antara manusia yang hidup di

[3]

negara berkembang dengan yang hidup di negara maju, juga sangat berlainan dalam memanfaatkan seni pertunjukan dalam hidup mereka. Di negara sedang berkembang yang dalam tatanan kehidupannya masih mengacu ke budaya agraris, seni pertunjukan memiliki fungsi ritual yang sangat beragam, terutama apabila masyarakat selalu melibatkan seni dalam upacaranya. Sebaliknya, di negara-negara maju yang dalam tata kehidupannya sudah mengacu pada budaya industri yang segalanya selalu bisa diukur dengan uang, sebagian besar seni pertunjukannya merupakan penyajian estetis, untuk dinikmati keindahannya.

Keberadaan seni ADL dalam masyarakat KC dapat hidup, bertahan, dan berkembang, karena memiliki fungsi-fungsi sosial dalam masyarakatnya. Mengenai hal tersebut Mulyadi [1984: 4] mengatakan bahwa satu unsur kebudayaan akan tetap bertahan apabila memiliki fungsi atau peranan dalam kehidupan masyarakatnya. Sebaliknya unsur kebudayaan tersebut akan punah apabila tidak berfungsi lagi. Pertunjukan ADL dapat hidup, bertahan, dan berkembang karena telah menjadi kelengkapan hidup, ekspresi jiwa, rasa, dan karsa bagi masyarakat KC.

ADL dianggap sebagai kelengkapan siklus kehidupan masyarakat KC terutama dalam rangkaian siklus penanaman padi. Keharusan ini tercermin dari penurutan Abah Ugi sebagai sesepuh adat KC, Aki Karma sebagai pamakayan dan dukun tani, serta Aki Dai sebagai pimpinan grup ADL yang menyatakan bahwa kehadiran seni ADL dalam masyarakat KC sangat erat kaitannya dengan cerita rakyat yang berjudul Sulamjana [Jawa: Sulanjana]. Cerita Sulamjana ini merupakan cerita rakyat tentang asal usul padi yang dibawakan dalam bentuk seni pantun atau bentuk teater tutur sebagai salah satu seni resitasi. Dalam pengamatan di lapangan, masyarakat KC merupakan salah satu komunitas masyarakat adat yang tergabung Kasatuan Adat Banten Kidul yang sangat memuliakan padi. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas masyarakat KC yang sangat istimewa dalam memperlakukan padi.

Begitu pula halnya dengan kehadiran ADL. Kehadirannya sejak masa lampau memiliki makna penting, sangat sakral, dan dihormati hingga

saat ini bagi kehidupan masyarakat KC. ADL merupakan salah satu perangkat dan pengungkapan do’a dalam setiap upacara. Bagi masyarakat KC, do’a atau persembahan dapat dibaratkan sebagai membangun sebuah bangunan yang dikehendaki dapat bermanfaat, dapat memberi ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan semua manusia. ADL dalam suatu upacara ritual dapat diibaratkan sebagai salah satu tiang penyangga untuk memperkokoh sebuah bangunan. Bagian-bagian lainnya dapat diibaratkan sebagai lantai, dinding, atap, dan sebagainya, sehingga ketika bangunan do’a tersebut dibangun, berbagai kehendak diharapkan tercapai atau terpenuhi.

Masyarakat KC merupakan masyarakat yang taat pada tradisi dan kepercayaan yang telah diwariskan oleh para karuhun-nya. Mereka sangat mempercayai kehadiran para karuhun yang seolah selalu turut serta menjaga dan mengawasi segala aktivitas seluruh incu putu [para keturunan] mereka. Oleh sebab itu, setiap Sesepuh Girang menerima wangsit dari para karuhun, mereka senantiasa menuruti apa yang di-wangsit-kan, bahkan tidak bisa menolak wangsit tersebut, termasuk di antaranya harus berpindahnya Kampung Gede-nya. Menurut Aki Karma, para karuhun menyampaikan wangsit adalah untuk kebaikan dan kepentingan seluruh pihak.

Secara umum, kegiatan upacara ritual dalam masyarakat KC merupakan aktivitas yang paling menonjol dalam siklus hidup mereka, terutama pada kegiatan-kegiatan penanaman padi. Kegiatan upacara perlu dilaksanakan sebagai kewajiban dan bentuk pengetahuan serta pengalaman mereka dalam memelihara keseimbangan. Keseimbangan yang perlu dijaga adalah keseimbangan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan ma-nusia dengan alam. Ajaran ini merupakan spiritu-alitas masyarakat yang memiliki religiusitas tinggi. Dalam ajaran agama Hindu [Bali] ajaran tentang keseimbangan tersebut tergambar dalam ajaran Tri Hita Karana sebagai salah satu ajaran dalam agama Hindu yang mengajarkan bahwa kebahagiaan akan dapat dicapai dengan terwujudnya tiga keseimbang an, yaitu keseimbangan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia de-ngan lingkude-ngannya [Wiana, 2007: 5-6].

[4]

Fungsi Pertunjukan Angklung Dogdog Lojor

Fungsi pertunjukan ADL dapat ditelusuri dari penampilannya. R.M. Soedarsono [2002: 123] dalam tulisannya menyatakan bahwa, fungsi seni pertunjukan dapat dibagi ke dalam dua kelompok utama, yaitu: kelompok fungsi primer dan kelompok fungsi sekunder. Pembagian fungsi primer didasarkan atas siapa yang menjadi penikmat seni pertunjukan tersebut. Seni pertunjukan disebut seni pertunjukan karena dipertunjukkan bagi penikmat. Sejalan dengan hal tersebut, Simatupang [2013: 64-65] menyatakan bahwa suatu aktivitas baru disebut sebagai tontonan apabila ia dilakukan dengan kesengajaan maksud untuk dilihat, dipertontonkan atau digelar. Jadi, kehendak untuk mempergelarkan sesuatu merupakan sifat pertama tontonan. Lebih lanjut R.M. Soedarsono [2002: 123] menambahkan, apabila penikmatnya adalah kekuatan-kekuatan yang tak kasat mata, maka seni pertunjukan berfungsi sebagai sarana ritual. Apabila penikmatnya adalah pelakunya sendiri, maka seni pertunjukan tersebut berfungsi sebagai sarana hiburan pribadi. Sedangkan apabila penikmatnya adalah kebanyakan harus membayar, maka seni pertunjukan tersebut berfungsi sebagai sarana presentasi estetis. Fungsi-fungsi ritual suatu seni pertunjukan bukan saja berkenaan dengan peristiwa daur hidup yang dianggap penting, tetapi juga berbagai kegiatan yang dianggap penting yang memerlukan seni pertunjukan.

Dalam pandangan R.M. Soedarsono [2001: 170], secara garis besar setidaknya seni pertunjukan memiliki tiga fungsi primer, yaitu: [1] sebagai sarana ritual; [2] sebagai sarana hiburan pribadi; dan [3] sebagai presentasi estetis. Sementara itu fungsi sekunder seni pertunjukan adalah: [1] sebagai pengikat solidaritas sekelompok masyarakat; [2] sebagai media komunikasi massa; [3] sebagai propaganda politik; dan sebagainya. Apabila didasarkan pada pengelompokan tersebut fungsi seni pertunjukan ADL pada masyarakat habluminannasdapat diuraikan sebagai berikut.

Fungsi primer pertama: ADL sebagai sarana upacara ritual pada siklus penanaman padi serta daur hidup masyarakat KC. Pada siklus upacara penanaman padi, upacara ritual dimulai dari

acara turun nyambut, tebar [benih], ngaseuk atau tandur, sapangjadian, prah-prahan, mapag pare beukah, mabay, mipit atau dibuwat [panen], nyimbur, ngunjal, nutu, nganyaran, hingga seren taun. Berkenaan dengan peristiwa daur hidup masyarakat KC, ADL dipertunjukkan pada peristiwa ngembang, hajat sundatan atau khitanan serta perkawinan, bulan purnama, ngasah atau pencucian benda-benda pusaka setiap bulan Maulud Nabi, serta berbagai upacara rosulan. Dalam hal ini, pertunjukan ADL pada siklus upacara ritual padi penikmatnya merupakan para penguasa dunia atas, yaitu Nyai Pohaci Dangdayang Asri atau Dewi Sri sebagai dewi padi. Masyarakat pelakunya, dalam hal ini Sesepuh Girang, para Baris Kolot, masyarakat KC, termasuk para pemain ADL lebih mementingkan tujuan dari rangkaian upacara ritual tersebut daripada menikmati seluruh sajian pertunjukannya. Seni pertunjukan semacam ini bukan disajikan bagi manusia, tetapi harus dilibati [arts of participation].

Pertunjukan ADL dalam upacara ritual di KC tidak seluruhnya menampilkan gerak tari dari para pemainnya, meskipun tarian termasuk salah satu bagian dari pertunjukannya. Dalam ritual ngaseuk, mabay atau nyimbur, dan ngadiukeun pare, pertunjukan ADL KC tidak ditemukan tampilan tarian. Pertunjukan ADL dilakukan dengan begitu khidmat. Seluruh pemain selama mengikuti seluruh jalannya upacara tersebut dilihat dari mimik mukanya seolah tanpa ekspresi, tapi sebenarnya dalam jiwa mereka bermain dengan sangat serius, layaknya orang yang sedang khusyuk berdoa. Dalam rangkaian upacara ritual turun nyambut, tebar [benih], sapangjadian, mapag pare beukah, mipit atau dibuwat [panen], ngunjal, nutu, nganyaran, dan seren taun, pertunjukan ADL dilengkapi dengan sajian gerak tari dari pemain-pemain wanita. Apabila dilihat dari peristiwa-peristiwa upacara tersebut, nuansa kegembiraan sangat kentara sekali, seolah mereka berbahagia melalui rangkaian upacara tersebut.

Rangkaian upacara tersebut biasa dilakukan oleh masyarakat KC merupakan persembahan dan permohonan atas segala berkah dan keselamatan seluruh umat manusia dan alam semesta. Masyarakat KC sangat mengharapkan segala

[5]

limpahan rizki, keselamatan, perlindungan, dan kebahagiaan selama proses penanaman padi. Upacara-upacara ritual senantiasa dilaksanakan, karena dalam pemahaman masyarakat KC upacara tersebut merupakan suatu kegiatan yang diadatkan secara sakral dan wajib dilaksanakan.

Upacara-upacara ritual merupakan pening-galan para karuhun yang menyangkut keselamatan dan kemaslahatan kehidupan seluruh masyarakat atau hajat hidup orang banyak. Ritual ini dilakukan oleh masyarakat setempat sebagai wujud rasa syukur kepada Tuhan dan leluhur mereka. Menurut Aki Karma, seluruh rangkaian tahapan dalam upacara-upacara ritual penanaman padi harus dilakukan secara menyeluruh, tidak boleh ada satu tahap pun yang terlewati apalagi diabaikan, karena akan berdampak tidak baik terhadap padi juga terhadap masyarakat KC. Terdapat sebuah ungkapan yang juga selalu dijadikan tolok ukur dalam berbagai aktivitas, yaitu lojor teu meunang dipotong, pondok teu meunang disambung, kurang teu meunang ditambah, leuwih teu meunang dikurang [Panjang tidak boleh dipotong, pendek tidak boleh disambung, kurang tidak boleh ditambah, lebih tidak boleh dikurangi]. Apabila terdapat satu tahap saja yang terlewati, maka salah seorang masyarakat akan kabadiatau suatu peristiwa yang terjadi disebabkan oleh adanya kekuatan makhluk gaib, bisa berupa penyakit atau kasurupan, yang [biasanya] dampaknya akan langsung bisa dirasakan oleh Sesepuh Girang,para Baris Kolot, atau masyarakat. Apabila memang hal ini terjadi, maka Sesepuh Girang dan para pembantunya akan melakukan beberes.

Ciri Angklung Dogdog Lojor sebagai Pertunjukan Ritual

Berhubungan dengan pertunjukan ritual R.M. Soedarsono [2001: 143] menguraikan enam ciri-ciri khas pertunjukan ritual, yaitu:

[1] diperlukan tempat pertunjukan yang terpilih, yang biasanya dianggap sakral, [2] diperlukan pemilihan hari serta saat [waktu] terpilih yang juga dianggap sakral, [3] diperlukan pemain yang terpilih, biasanya mereka dianggap suci, atau yang telah membersihkan diri secara spiritual,

[4] diperlukan seperangkat sesaji yang kadang-kadang sangat banyak jenis dan macamnya, [5] tujuan lebih dipentingkan daripada penampilannya secara estetis, dan [6] diperlukan busana yang khas.

Upacara Seren Taun merupakan upacara ritual terbesar sebagai puncak perayaan atau pesta panen bagi masyarakat Kasatuan Adat Banten Kidul, khususnya masyarakat KC. Oleh karena itu, Seren Taun akan selalu dijadikan salah satu objek tontonan menarik bagi masyarakat. Masyarakat datang dari berbagai penjuru wilayah, baik dari dalam maupun dari luar wilayah Banten Kidul. Banyaknya pengunjung tentunya memerlukan tempat yang luas. Untuk mengantisipasi membludaknya pengunjung ini, panitia menyediakan beberapa panggung hiburan untuk membagi konsentrasi para penonton agar tidak berjejal di satu lokasi saja.

Pelaksanaan puncak upacara ritual Seren Taun di KC terdapat beberapa tempat khusus yang dijadikan sebagai tempat berlangsungnya upacara, di antaranya perbatasan atau gerbang masuk ke Kampung Gede, buruan Kampung Gede atau alun-alun, Imah Gede, Leuit Si Jimat, dan bale pertemuan, sedangkan tempat untuk menampilkan berbagai jenis kesenian ada yang ditempatkan secara khusus atau permanen dalam bentuk ajeng atau panggung, ada pula yang sesaat atau dibongkar pasang hanya pada saat kegiatan Seren Taun saja. Panggung yang permanen biasanya digunakan untuk pertunjukan Wayang Golek, Topeng atau teater rakyat, Jipeng, dan ADL. Letak semua panggung berada di seputar buruan Kampung Gede, sedangkan panggung hiburan dibangun secara dadakan di lapangan Sekolah Dasar Ciptagelar agak jauh dari buruan atau alun-alun Kampung Gede KC.

Apabila dibandingkan dengan tulisan Mulyana [2013: 20-21], terdapat beberapa persamaan antara peristiwa Upacara Ngarot Lelea Indramayu dan Upacara Seren Taun di KC yaitu suasana rame atau ramai. Mulyana mengungkapkan bahwa dalam Upacara Ngarot, ramé diproduksi dari tiga pertunjukan topéng, ronggéngketuk, dan jidor atau organ tunggal. Di sana terdapat interaksi yang intens di antara anggota komunitas penari, pemusik, penyanyi, dan penonton. Mereka sudah terbiasa dengan pola ramé seperti itu. Pada rangkaian

[6]

upacara Seren Taun di KC situasi atau suasana ramé ini juga terjadi dan memiliki kesamaan dalam hal keramaian. Interaksi antar pemain ADL, Topeng, Jipeng, Wayang Golek, dan para penonton atau pengunjung juga terjadi secara intens. Penonton dapat dengan mudah berkomunikasi dengan para pemain pada saat bertugas.

Beberapa rangkaian upacara ritual yang melibatkan ADL sebagai kelengkapan upacaranya, memiliki tempat-tempat khusus yang sudah dipilih secara adat. Seperti dalam rangkaian upacara seren taun, terdapat satu tempat yang secara khusus dijadikan pusat lokasi upacara atau puncak upacara ritual yaitu pada sebuah bangunan lumbung padi yang diberi nama Leuit Si Jimat, karena seperti sudah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa acara pokok pada upacara Seren Taun adalah peristiwa ritual ngadiukeun pare atau memasukkan padi ke dalam lumbung.

Menurut Ema Alit, Leuit bagi masyarakat Kasatuan Adat Banten Kidul dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Dewi Sri atau Nyai Pohaci Sanghyang Dangdayang Asri. Leuit Si Jimat juga merupakan leuit adat atau lumbung padi milik masyarakat adatyang dikelola oleh Sesepuh Girang dan dijadikan layaknya koperasi simpan pinjam bagi seluruh warga KC. Dalam hal ini, apabila ada masyarakat yang mau menggunakan beberapa pocongan padi yang terdapat di dalam Leuit Si Jimat, maka pada suatu saat masyarakat yang meminjam padi tersebut harus menggantinya sesuai dengan jumlah pocongan yang digunakannya. Tata cara peminjaman padi dari Leuit Si Jimat ini tentunya melalui prosedur aturan yang ditentukan oleh adat KC, terutama atas izin dari Sesepuh Girang.

Pada saat upacara ngadiukeun pare ke Leuit Si Jimat, letak posisi para pemain ADLRurukan selalu ditempatkan di sebelah kiri leuit atau sebelah kanan depan peserta upacara seren taun. Dilihat dari posisi arah mata angin, pemain ADL selalu diposisikan di bagian utara Leuit Si Jimat. Walau demikian, berdasarkan pengamatan dapat terlihat bahwa posisi para pemain ADL tidak selalu statis di satu tempat, tetapi posisinya tetap di bagian sebelah kiri Leuit Si Jimat. Tidak diketahui alasan penyebab pergeseran posisi tersebut. Menurut Aki Dai, tos diperenahkeun ku sesepuh di dieu, di palih

kenca [sudah ditempatkan oleh para sesepuh di sini, di sebelah kiri]. Semua keputusan atau ketentuan selalu dikembalikan kepada Sesepuh Girang,dalam hal ini semua didasarkan pada kebijakan pimpinan adat.

Tempat lainnya adalah dikhususkan bagi para pelaku dan partisipan upacara. Salah satu tempat berkumpulnya seluruh rombongan helaran adalah di perbatasan antara Kampung Gede dengan Kampung Lebak Lengkob, sebagai tempat keberangkatan rombongan atau starting point pertunjukan Helaran. Rute jalan atau jalur yang akan dilewati rombongan sudah ditentukan oleh aturan adat dan sudah dilaksanakan sejak tahun 2001, yaitu sejak kepindahan Kampung Gede dari Ciptarasa ke Ciptagelar. Alur yang dilalui adalah menyusuri jalan setapak yang melalui lahan huma, sawah, dan talun dengan jarak tempuh dari perbatasan Kampung Lebak Lengkob sekitar 1 km. Di perbatasan Kampung Lebak Lengkob ini dipasang sebuah lantayan padi yang akan dikunjal pada prosesi upacara Seren Taun. Lantayan ini merupakan lantayan khusus dipasang untuk menggantungkan berbagai macam jenis padi yang selanjutnya akan disimpan di Leuit Si Jimat, yang merupakan padi-padi pilihan.

Tempat selanjutnya adalah pusat Kampung Gede KC yang menjadi tempat dilaksanakannya puncak seluruh kegiatan seren taun. Adapun tempat berkumpulnya seluruh keluarga sesepuh Girang, tamu kehormatan baik dari pihak pemerintahan, pengusaha, maupun tamu penting lainnya adalah di Imah Gede, sambil menunggu sampainya rombongan Helaran di pelataran alun-alun kampung Gede.

[7]

Tempat lainnya adalah ajeng-ajeng atau panggung-panggung yang memang sudah secara tetap diperuntukkan bagi pertunjukan Topeng, Jipeng, dan Wayang Golek. Panggung lainnya tidak didirikan secara permanen, artinya panggungnya hanya insidental saja, dibuat hanya sementara, dan akan dibongkar jika upacara sudah selesai.

Sistem penanggalan atau kalender yang lazim digunakan di masyarakat Kasatuan Adat Banten Kidul adalah penanggalan berdasarkan kalender pertanian. Menurut Adimihardja [1992], penanggalan untuk menentukan waktu dalam memulai kegiatan di huma atau di sawah di kalangan warga Kasepuhan biasanya berpedoman pada munculnya dua jenis bintang di langit. Keduanya masing-masing disebut dalam ilmu astronomi sebagai the orion belt dan bintang kerti. Gerak kedua bintang tersebut dicocokkan dengan kalender Islam. Berdasarkan data di lapangan, ternyata terdapat pergeseran penerapan antara kalender pertanian dan kalender Islam. Hal ini disebabkan adanya perbedaan perhitungan dengan tahun Masehi yang lebih lazim dipergunakan sebagai kalender resmi pemerintah.

Penentuan waktu penyelenggaraan Seren Taun ditentukan pada saat upacara serah ponggokan yang merupakan salah satu bentuk perwujudan permintaan maaf kepada Indung atau bumi sebagai ibu yang telah digali, dicangkul, dibakar, dibajak, dan sebagainya. Upacara Seren Taun bagi masyarakat KC merupakan upacara ungkapan rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta yang telah memberikan rejeki dari hasil pertanian yang baik.

Dalam perhitungan bulan masyarakat KC, upacara Seren Taun dilaksanakan setiap bulan Hapit [dalam budaya Jawa bulan hapit atau apit merupakan bulan ke 11]. Pelaksanannya selalu mengambil setiap hari minggu, karena sesungguhnya upacara Seren Taun ini diperuntukkan bagi masyarakat luar KC. Menurut penuturan Yogasmana, upacara Seren Taun ini merupakan pesta masyarakat yang kehidupan sehari-harinya adalah bertani, untuk itu perayaannya secara khusus dilaksanakan dalam bentuk sebuah pesta atas didapatnya hasil panen. Upacara Seren Taun juga dianggap sebagai pemberitahuan bahwa satu siklus kehidupan bertani pada masyarakat KC sudah dilalui,

dan pelaksanaan upacara Seren Taun ini dalam rangka memperlihatkan prosesi Ngadiukeun atau penyimpanan padi ke dalam Leuit Si Jimat kepada masyarakat yang lebih luas. Hari minggu dipakai sebagai puncak acara salah satu alasannya karena supaya masyarakat luar lebih banyak yang bisa menyaksikan jalannya upacara.

Kehadiran petugas sebagai pemain atau pelaku sangat penting dalam kelancaran dan kesuksesan jalannya upacara Seren Taun. Tanpa kehadiran para pelaku tersebut, sangat mustahil kelangsungan upacara dapat terselenggara. Situasinya akan berbeda ketika semua petugas sudah siap dengan peralatan dan kelengkapannya masing-masing. Bagaikan kinerja sebuah mesin, apabila satu bagian tidak bekerja maka berdampak pada kelancaran bagian-bagian lainnya.

Para pelaku yang terlibat dalam upacara Seren Taun terdiri atas berbagai macam kalangan baik usia, gender, status, maupun perannya. Kategori usia dibedakan berdasarkan pengelompokkan budak [anak-anak], rumaja [remaja], dan kolot [orang tua]. Kategori gender ditentukan dalam kaum lalaki [laki-laki] dan awewe [wanita]. Status didasarkan pada golongan status keanggotaan masyarakat adat, dan perannya didasarkan pada tugasnya yang sudah ditentukan oleh adat.

Dari pengelompokan tersebut tercermin keberagaman status serta peran setiap warganya. Bagi yang statusnya sebagai warga adat, mereka selalu dapat berpartisipasi dalam berbagai kepentingan adat, namun partisipasinya dibatasi dengan perannya dalam masyarakat adat, karena sudah terbatasi dengan tugasnya yang sudah turun temurun. Sebagai contoh, ketika tidak ada kegiatan ngangklung, para pemain ADL dapat dengan mudah membantu pekerjaan memasak dodol, tapi mereka tidak bisa terlibat langsung memasak di pawon Imah Gede, karena sudah ada petugas lain yang lebih khusus.

Khusus untuk para rumaja, selain membantu para orang tuanya di huma, sawah¸ atau kebon ma-sing-masing keluarga, mereka juga dituntut untuk berpartisipasi aktif melaksanakan tugas adatnya. Apabila anak tukang ngangklung maka mereka akan melaksanakan dengan penuh kesetiaan. Keterli-batan para rumaja ini sangat membantu para orang

[8]

tuanya, terutama dalam hal kebutuhan tenaga dalam proses bertani. Situasi seperti ini memiliki kemiripan dengan yang terjadi di Desa Trunyan-Bali [Danandjaya, 1989: 449]. Para rumaja adalah mereka yang usianya sudah memasuki pemuda atau pemudi belia atau yang belum menikah. Adapun peran anak-anak masih diberi kebebasan, sesuai dengan usia si anak yang memang masih masanya untuk banyak bermain, dan biasanya lokasi serta cara bermainnya juga tidak akan jauh dari apa yang biasa dilakukan oleh orang tuanya.

Di dalam berbagai kegiatan adat masyarakat KC, hampir seluruh warganya seolah sudah memi-liki apa yang menjadi tugas atau tanggung jawab dalam kelangsungan tradisinya. Selain pembantu-pembantu Sesepuh Girang yang sudah ditentukan secara adat, terdapat petugas lainnya yang diang-gap cukup penting bagi kelancaran jalannya se-tiap pelaksanaan upacara. Pada sese-tiap pelaksanaan upacara ritual, Sesepuh Girang KC tidak perlu lagi membentuk panitia khusus demi kelancaran setiap kegiatannya. Masyarakat sudah dengan sendirinya akan melakukan semua tugas sesuai dengan bidang-nya masing-masing, dan seolah menjadi kegiatan rutin yang selalu mereka lakukan selama menjadi anggota masyarakat atau pengikut KC.

Hal ini telah mereka lakukan secara turun-temurun. Apabila suatu saat seseorang meninggalkan KC, kemudian dia datang kembali ke KC, dengan sendirinya mereka akan kembali pada rutinitasnya sebagai anggota masyarakat adat KC. Mereka yang bertugas membantu keperluan Sesepuh Girang dan keluarganya selalu setia membantu, melayani, serta memenuhi berbagai keperluan Sesepuh Girang dan keluarganya, terutama yang berkaitan dengan berbagai keperluan yang menyangkut kepentingan adat. Di pawon atau dapur Imah Gede tersebar petugas yang sudah mengetahui bagian atau tanggung jawabnya. Ada yang menyiapkan bumbu, mencuci, memotong-motong, memasak, dan menghidangkannya. Ada 19  baris bikang [barisan para ibu] yang bekerja bergiliran siang dan malam melayani kebutuhan para tamu, mulai dari menyiapkan tempat penginapan dan sebagainya. Di rumah Sesepuh Girang sendiri terdapat beberapa petugas yang selalu siap selama 24 jam penuh melayani berbagai kebutuhan Sesepuh Girang.

Terjaganya tatanan kehidupan masyarakat KC tidak dapat dilepaskan dari tatali paranti karuhun yang dijadikan aturan adat yang sangat dihormati dan ditaati seluruh warga. Dalam tulisan Asep [2000: 37-38] diuraikan bahwa secara harfiah, makna tatali paranti karuhun adalah mengikuti, mentaati, dan mematuhi tuntutan rahasia hidup seperti yang dilakukan oleh para karuhun. Tatali paranti merupakan warisan karuhun yang patut ditaati dan dihormati untuk mencapai tujuan hidup, karenanya tuntutan rahasia hidup yang diwariskan karuhunnya dipahami sebagai suatu religi dalam masyarakat Kasepuhan.

Di dalam bidang kesenian, baik itu ADL, Rengkong, Wayang Golek, Jipeng, Topeng, dan sebagainya, para pemainnya sudah mengetahui kapan mereka harus menampilkan keseniannya. Mereka sudah menyadari bahwa apa yang mereka lakukan sudah menjadi tugas hidupnya sebagai anggota masyarakat KC. Aki Dai sebagai salah seorang pimpinan dari grup ADL di KC menceri-takan, bahwa pada awalnya tidak memiliki cita-cita sebagai pemain ADL, bahkan ia sempat tidak menekuni sebagai pemain angklung semasa mu-danya. Namun, karena sudah panggilan jiwa atau tugas adat, ternyata seolah sudah tercatat bahwa jalan hidupnya akan menjadi petugas angklung meneruskan tugas kakeknya sebagai penanggung jawab kesenian ADL dan Rengkong di KC. Dalam mengemban tugas mulia ini, Aki Dai diberi keper-cayaan penuh dan secara langsung oleh Abah Anom [Abah Encup Sucipta alm.] untuk mengurus dan bertanggung jawab atas kelangsungan ADL dan Rengkong. Penugasannya juga dilakukan melalui proses ritual tersendiri, baik oleh Sesepuh Girang maupun oleh panarosan Aki Dai sendiri.

Di hampir seluruh masyarakat adat di Banten Kidul, termasuk masyarakat KC, ketika melaksanaan sebuah upacara ritual selalu melengkapi berbagai sasajen atausesajian. Sasajen merupakan seperangkat sesajian yang kadang-kadang jumlahnya sangat banyak jenis dan macamnya. Sesajen dalam upacara Seren Taun dalam masyarakat KC terdiri dari berbagai macam, yang terdiri dari parukuyan atau parupuyan [berisi arang serta menyan atau kemenyan]; rurujakan yang biasanya terdiri dari tujuh macam rujak dengan berbagai rasa seperti

[9]

manis, asin, pahit, masam, serta campuran dari rasa-rasa tersebut] serta tujuh macam bunga. Tujuh macam rujak dari buah-buahan dan bunga yang dijadikan sesajen merupakan simbol bilangan, yaitu tujuh melambangkan jumlah hari atau dalam satu minggu ada tujuh hari. Beberapa hari menjelang hari pelaksanaan upacara Seren Taun juga disembelih beberapa ekor munding atau kerbau, terkadang disembelih juga beberapa ekor mencek atau rusa hutan, ribuan ayam, dan sebagainya.

Pada pelaksanaan upacara Seren Taun ke-644, ke-645, dan ke 646, disembelih tiga ekor kerbau. Menurut Aki Amil, penyembelihan kerbau dimaksudkan untuk membuang kesalahan yang ada pada diri manusia. Kain putih di atas kerbau melambangkan kesucian atau kebersihan hati manusia. Ada juga beberapa macam sasajen yang bukan berbentuk makanan seperti kaca cermin, minyak rambut, sejumlah uang, dan berbagai jenis bunga-bungaan. Persembahan sasajen tersebut ada yang disajikan di atas alas kain berwarna putih atau samping [kain] batik.

Menurut Sumardjo [2011: 203-204], bahan-bahan sesajen tersebut bukan makanan roh-roh halus yang dipercayai masyarakat. Sesajen yang berupa makanan, buah-buahan, dan lain-lain hanyalah simbol-simbol semesta. Sesajen adalah simbol entitas lelaki dan entitas perempuan. Kedua entitas ini diharmonikan, dijejerkan, dikawinkan dalam wadah sesajen. Dengan perkawinan unsur-unsur semesta ini maka terjadilah keselamatan, kesuburan, kesehatan, kemakmuran, dan kesejahteraan seluruh keluarga. Namun pada kenyataannya berbeda dengan apa yang terjadi di KC. Sasajen-sasajen tersebut setelah selesai pelaksanaan upacara Seren Taun justru disajikan kepada para pengunjung atau tamu yang hadir.

Menyan akan mengeluarkan asap ketika ditaburkan ke dalam bara api yang terdapat di dalam parupuyan sehingga mengeluarkan kepulan asap beraroma harum yang khas yang membumbung ke atas. Bau harum menyan yang khas menandakan penghormatan pada penguasa alam, Nyai Sri atau ibu bumi, dan para karuhun. Menurut Aki Karma, perlakukan seperti ini dilambangkan sebagai perhatian warga masyarakat serta pendukung upacara yang setia dalam menjalankan perintah

adat yang telah diwariskan oleh para karuhun-nya. Seren Taun bagi masyarakat yang tergabung dalam masyarakat Kasatuan Adat Banten Kidul memiliki makna tersendiri, yaitu sebagai ungkapan rasa syukur masyarakat atas keberhasilan panen dan berharap agar pada musim tanam berikutnya mendapatkan hasil yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Upacara adat Seren Taun dalam masyarakat KC atau masyarakat Kasatuan Adat Banten Kidul pada umumnya merupakan upacara ritual adat yang menampilkan berbagai simbol-simbol, salah satunya adalah makna sebagai sebuah proses interaksi. Pelaksanaan Seren Taun sendiri menurut Yogasmana hanyalah sebagai salah satu bentuk interaksi dengan masyarakat luar KC. Selain sebagai pesta perayaan panen, ritual Ngadiukeun Pare merupakan salah satu bentuk upacara simbolik penyimpanan padi ke dalam lumbung padi yang secara khusus dipersembahkan kepada masyarakat luar KC. Masyarakat KC sebagai pelaksana Seren Taun selalu menegaskan komitmen mereka terhadap keberlangsungan tradisi dan adat para Karuhun-nya, khususnya adat Banten Kidul. Pertunjukan ADL dalam setiap upacara ritual memiliki tujuan untuk lebih memperkuat persembahan atau doa-doa masyarakat KC.

Kelengkapan busana yang dikenakan oleh para pemain pria dalam pertunjukan ADL adalah busana yang khas dipergunakan oleh masyarakar Kasatuan Adat Banten Kidul secara umum, yaitu pakaian serba hitam dengan ikat kepala bermotif batik dalam beragam corak. Ciri khas busana pe-main ADL adalah terdapat semacam bordiran atau sulaman yang bertuliskan Kasatuan Adat Ciptagelar dan gambar dua buah dogdog lojor yang mengapit satu buah angklung. Menurut Teh Suwar, gambar tersebut dimaksudkan agar orang-orang mengeta-hui atau menjadi identitas yang menggambarkan atau menunjukkan bahwa mereka adalah pemain angklung yang berasal dari KC. Busana tersebut terkadang mereka gunakan pula ketika melakukan pertunjukan di tempat atau Kasepuhan lain dalam Kasatuan Adat Banten Kidul. Demikian pula halnya dengan para pemain ADL yang berasal dari ka-sepuhan lain seperti Kasepuhan Cisungsang mereka mempergunakan cara yang sama dengan membuat bordiran logo kasepuhan masing-masing.

[10]

Busana pemain Angklung Dogdo Lojor wanita yang melakukan pertunjukan pada upacara Seren Taun biasanya mempergunakan kabaya atau kebaya. Kebayanya tidak memiliki bentuk yang seragam, biasanya yang dipakai adalah kebaya yang terbaru. Busana para pria pendukung lainnya juga memiliki kesamaan dengan para pemain ADL, yaitu memakai baju kampret serba hitam dengan ikat kepala batik berbagai corak, namun dalam busananya tidak memakai logo bordiran atau sulaman gambar KC. Pada awalnya tidak di-ketahui apa yang melatarbelakangi kostum pria para pemain ADL selalu memasang logo Angklung Ciptagelar, namun belakangan terungkap alasan pe-makaian logo tersebut, selain sebagai identitas, juga menunjukkan perasaan bangga sebagai warga KC. Repertoar Lagu Angklung Dogdog Lojor

Lagu sakral yang selalu dibawakan dalam upacara Ngadiukeun Pare [menyimpan padi] ke dalam Leuit Si Jimat [adalah satu lumbung padi yang paling dikeramatkan] adalah lagu Adulilang yang dibawakan secara sekar [vokal]. Isi dari lirik Lagu Adulilang ini memiliki makna siloka yaitu suatu bahasa sindir, yang memiliki arti yang mendalam. Lagu Adulilang memiliki makna tentang mengadu liang [lubang]. Manusia senantiasa hidup dimulai dari lubang dan akan kembali lagi kepada lubang pula. Apabila dilihat dari struktur pertunjukannya secara musikal kehadiran ADL seolah hanya sebagai pengiring saja, tetapi dari struktur pertunjukan secara keseluruhan ADL, sekar [vokal], dan sebagainya merupakan media doa dari ritual upacara Ngadiukeun Pare. Dalam hal ini kedudukan ADL secara musikal hanya berfungsi sebagai patokan irama bagi pembawa lagu vokal. Notasi 1 menunjukkan pola ritmis dari instrumen angklung dan instrumen Dodog Lojor. Intro dimulai oleh angklung Gonggong.

Motif pukulan Dogdog Lojor langsung mengikuti irama musikal angklung yang sudah terjalin setelah intro dari angklung gongong dan panembal, diikuti oleh angklung-angklung lainnya. Berikut ini adalah lagu sekar atau vokal dari lagu Adulilang. Laras yang dipakai pada lagu Adulilang ini adalah laras Mataraman.

Berikut ini merupakan bait-bait dari rumpaka atau lirik lagu Adulilang lainnya:

Adulilang cenah horeng tobat

Silang lain geuningan cenah horeng tobat Neda agung nya paralun

Neda panjang nya pangampura

Abdi horeng ngan dedengean bae horeng silang lain Tobat sidu laelah

[adulilang untuk bertobat

tidak ada maksud lain selain bertobat memohon kepada Hyang Agung memohon segala maaf

hanya kabar angin, tak ada maksud lain tobat ya sidu laelah]

Adulilang cenah horeng tobat

Silang lain geuning cenah horeng tobat Isuk ngentrung mah horeng sore

Lodong karanjang horeng ari na panggulaan Isuk nyemprung mah meureunan nya kapiheulaan silang lain

Tobat sidu laelah

Notasi 1. Pola ritmis instrumen angklung

[11]

[adulilang untuk bertobat

tidak ada maksud lain selain bertobat besok menenun sore hari

lodong keranjang untuk membuat gula besok pergi mungkin terdahului tobat ya sidu laelah]

Pola ritmis instrumen angklung pada Lagu Adulilang dimainkan secara repetitif atau berulang-ulang mengikuti suasana konteks upacara ritual. Lain halnya dengan pola permainan instrumen Dogdog Lojor memiliki variasi pola permainan, terutama variasi tabuh pada setiap akhir lagu dalam satu goongan atau satu periode lagu. Pada setiap peralihan satu periode lagu yang didasarkan pada setiap akhir bait dari rumpaka atau lirik lagu, motif pukulan dogdog dibunyikan seperti pada Notasi 3.

Pola ritme Angklung dan Dogdog Lojor tersebut dapat dikatakan sebagai sebuah simbolisasi masyarakat Kasepuhan Ciptagelar yang hidup dalam kesederhanaan, tetapi juga memiliki makna yang sangat kompleks. Kesederhanaan ritme yang dimainkan secara berulang atau repetitif merupakan gambaran akan kesinambungan dan keteraturan siklus hidup masyarakat KC.

Penutup

Kehadiran ADL bagi masyarakat KC dalam upacara Seren Taun bukan semata-mata hanya untuk kepentingan pertunjukan seperti pertunjukan dalam paradigma Barat atau kelengkapan ritual saja. Kehadiran ADL bagi para pemainnya dijadikan sebagai salah satu media do’a yang dibangun secara bersamaan dalam sebuah atmosfir doa bersama pada upacara ritual Seren Taun. Pertunjukan ADL dalam upacara ritual di KC tidak seluruhnya menambahkan gerak-gerak tari. Sebagai sebuah upacara ritual, ngadiukeun pare dilakukan dengan sangat khidmat, seluruh masyarakat yang hadir sangat serius, layaknya orang yang sedang khusyuk berdoa. Doa atau persembahan tersebut dapat dibaratkan sebagai mendirikan sebuah bangunan

yang dikehendaki akan selalu bermanfaat, memberi ketenangan, kenyamanan, kebahagiaan, dan kesejahteraan bagi semua manusia, di samping sebagai ungkapan rasa syukuran atas hasil bumi. ADL diibaratkan sebagai salah satu tiang penyangga yang turut memperkokoh sebuah bangunan.

Kehadiran ADL dalam upacara ritual Seren Taun merupakan ekspresi budaya masyarakat KC. Hal ini tersirat dari pola ritmis yang repetitif dari instrumen angklung serta pola tabuh Dogdog Lojor yang begitu sederhana. Ngangklung bagi para pe-mainnya merupakan ‘tugas hidup’ atau kewajiban bagi mereka dalam siklus hidupnya sebagai bagian dari masyarakat KC. Para pemain ADL seolah telah tersuratkan bahwa tugas hidupnya akan bertang-gung jawab demi kelangsungan ADL dalam siklus hidup komunitasnya. Meskipun pernah beralih pada profesi lain, tugas hidup sebagai para pemain ADL seolah sudah digariskan dalam hidup mereka sebagai pemelihara keberlangsungan hidup ADL. Kepustakaan

Adimihardja, Kusnaka. 1992. Kasepuhan Yang Tumbuh Di Atas Yang Luruh: Pengelolaan Lingkungan Secara Tradisional di Gunung Halimun Jawa Barat. Bandung: Tarsito. Ardana, I Ketut. 2009 “Fungsi Karawitan Bali di

Yogyakarta: Sebuah Tinjauan Kontekstual” dalam Mudra Jurnal Seni Budaya, Volume 24 No. 1 Januari 2009: 131-147.

Asep. 2000. “Kasatuan Adat banten Kidul: Dinamika Masyarakat dan Budaya Sunda Kasepuhan di Kawasan Gunung Halimun Jawa Barat”. [Tesis]. Bogor: Program Studi Sosiologi Pedesaan, Institut Pertanian Bogor. Bandem, I Made. 1986.Prakempa Sebuah Lontar

Gamelan Bali. Denpasar: ASTI Denpasar. Budi, Dinda Satya Upaja. 2001. “Angklung Dalam

Upacara Ritual Ngaseuk”. [Tesis] Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Program Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Danandjaya, James. 1989. Kebudayaan Petani Desa Trunyan Di Bali: Lukisan Analitis Yang Menghubungkan Praktek Pengasuhan Anak Trunyan Dengan Latar Belakang Etnografisnya.

[12]

Jakarta: Universitas Indonesia Press.

Dharsono, Sony Kartika. 2007. Budaya Nusantara: Kajian Konsep Mandala dan Konsep Triloka/ Buana Terhadap Pohon Hayat Pada Batik Klasik. Bandung: Rekayasa Sains.

Eliade, Mircea. 1959. The Sacred and The Profan, The Nature Of Religion. New York: A Harvest Book Harcourt.

Harnish, David. 1990. “The Preret of The Lombok Balinese: Transformation and Continuity With A Sacred Tradition”, dalam Selectetd Reports of Ethnomusikology. Los Angeles: University of California.

Haryono, Timbul. 1984. “Artifak Kualitas dan Validitasnya sebagai Data Arkeologi” dalam Artifak Jurusan Arkeologi UGM, No. 1/1: 5-15.

Hermawan, Deni., dkk. 2012. “Angklung sebagai Wahana Industri Kreatif dan Pembentukan Karakter Bangsa”. [Laporan Penelitian Unggulan]. Bandung: Puslitmas STSI. Ichsan, Iing Moh. 2009. “Etika Lingkungan

Masyarakat Adat Kasepuhan Dalam Mengelola Hutan di Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak: Inspirasi Taoisme”. [Disertasi]. Yogyakarta: Program Pascasarjana Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada. Jasni, dkk. 2012. Atlas Rotan Indonesia.

Jilid III. Bogor: Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan Dan Pengolahan Hasil Hutan, Kementerian Kehutanan.

Kusmayati, Hermien. 2000. Arak-arakan Seni Pertunjukan dalam Upacara Tradisional di Madura. Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia.

Mulyadi. 1984. Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Proyek Inventarisasi dan Dokumen Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Mulyana, Aton Rustandi. 2013. “Ramé: Estetika Kompleksitas Dalam Upacara Ngarot Di Lelea Indramayu, Jawa Barat” [Disertasi]. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah

Pascasarjana Universitas Gadjah Mada. Mustika, I Wayan. 2011. “Perkembangan

Bentuk Pertunjukan Sakura Dalam Konteks Kehidupan Masyarakat Lampung Barat Tahun 1986-2009” [Disertasi]. Yogyakarta: Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada.

Senen, I Wayan 1997. “Aspek Ritual Musik Nusantara”. [Pidato Ilmiah] Dies Natalis XIII Institut Seni Indonesia Yogyakarta tanggal 23 Juli 1997.

Simatupang, G.R Lono L.. 2013. Pergelaran: Sebuah Mozaik Penelitian Seni Budaya. Yogyakarta: Jalasutra.

Soedarsono, R.M. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia Di Era Globalisasi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Soepandi, Atik. 1974. Khasanah Kesenian Daerah Jawa Barat. Bandung: Pelita Masa.

Sumardjo, Jakob. 1997. Perkembangan Teater dan Drama Indonesia. Bandung: STSI Press _____________ 2010. Pola Rasionalitas Budaya.

Bandung: Kelir.

Wiana, I Ketut. 2007. Tri Hita Karana Menutut Konsep Hindu. Paramita: Surabaya.

Yulaeliah, Ela. 2008. “Musik Pengiring dalam Upacara Ngalaksa Masyarakat Rancakalong Sumedang” dalam Resital Jurnal Seni Pertunjukan, Volume 9 No. I Juni 2008: 31-36.

Informan

Aad, Aki [70 tahun]. Pimpinan grup Angklung Dogdog Lojor. Tinggal di Kampung Cibengkung, Kasepuhan Ciptagelar

Alit, Ema [30 tahun]. Isteri Sesepuh Girang. Tinggal di Kasepuhan Ciptagelar

Karim, Aki [80 tahun]. Mantan Dukun. Tinggal di Kasepuhan Ciptagelar.

Karda [Aki Dai] [70 tahun]. Pimpinan grup seni Angklung Dogdog Lojor dan Rengkong. Tinggal di Kasepuhan Ciptagelar

Karma, Aki [70 tahun]. Pamakayan [dukun tani] tinggal di Kasepuhan Ciptagelar

[13]

Girang [sesepuh adat]. Tinggal di Kasepuhan Ciptagelar.

Yogasmana, Yoyo [46 tahun]. Humas Kasepuhan Cipta Gelar. Pustaka Laman h t t p : / / w w w. i s i - d p s . a c . i d / w p - c o n t e n t / uploads/2010/01/peran-dan-fungsi-karawitan-bali-di-yogyakarta.pdf. Diunduh tanggal 12 Januari 2014. //lppm.unud.ac.id/wp-content/uploads/Tri-Hita-Karana-dalam-Awig-Awig-oleh-Astiti. pdf. Diunduh tanggal 6 September 2014.

//www.isi-dps.ac.id/berita/gamelan-gambang- dalam-ritual-keagamaan-umat-hindu-di-kota-denpasar. Diunduh tanggal 6 September 2010.

Video yang berhubungan

Bài mới nhất

Chủ Đề