Kelebihan dan kekurangan teori Kedaulatan negara

Kelebihan dan kekurangan teori Kedaulatan negara

Loading Preview

Sorry, preview is currently unavailable. You can download the paper by clicking the button above.

BAB I

PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang

Amandemen Undang-Undang Dasar 1945 telah melahirkan beberapa perubahan mendasar di bidang ketatanegaraan.[1] Perubahan mendasar terdapat pada bentuk kedaulatan yang semula dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), namun setelah perubahan terdapat perbedaan, yakni kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.[2] Yang cukup mendasar pula adalah dengan diperjelasnya bahwa Indonesia adalah meganut negara hukum. Dengan demikian maka telah meruntuhkan pandangan yang sengaja dibangun oleh Presiden Soeharto bahwa Undang-Undang Dasar 1945 bernilai “keramat”.[3] Yakni Undang-Undang Dasar 1945  tidak dapat di rubah oleh siapun dan dalam kondisi apapun.

Perubahan yang cukup signifikan terjadi pada bergesernya kekuasaan lembaga negara.[4] Selain terdapat lembaga baru, juga terdapat lembaga negara yang dihapus dalam Undang-Undang Dasar 1945. Resstrukturisasi kelembagaan Negara merupakan agenda penting amandemen demi terciptanya pemerintahan yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Good Governance).[5] Pada aspek kelembagaan Negara dapat dilihat dalam konstitusi bahwa terdapat lembaga-lembaga seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daearah (DPD), Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Komisi Yudisial (KY) serta lembaga-lembaga Negara lainnya seperti Bank Indonesia (BI) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Kesemuanya itu merupakan pemisahan kekuasaan yang bersifat horizontal[6] dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan kedalam fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga Negara yang sederajat yang saling mengimbangi (check and balance).[7]

Pada aspek Hak Asasi Manusia dalam konstitusi adalah dicantumkannya pasal-pasal yang berkaitan dengan Hak-hak dasar manusia yang sebelumnya masih belum diatur secara spesifik dalam Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen.[8] Hal ini berkaitan dengan pemenuhan hak-hak dasar manusia yang sebelumnya kurang mendapatkan perlindungan hukum oleh pemerintah, sehingga banyak sekali pelanggaran-pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia yang tidak dan belum terselesaikan.[9] Dalam konteks itu akan menjadi sangat penting kepastian hukum tentang Hak Asasi Manusia, meskipun pada dasarnya Hak Asasi Manusia adalah hak yang telah melekat dalam setiap diri manusia sejak dia dilahirkan atau sejak berada dalam kandungan.

Konstitusi di Indonesia yang disebut dengan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), semenjak masa reformasi hingga sekarang Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami amandemen atau perubahan sebanyak empat kali yaitu :[10]

  1. Perubahan Pertama, disahkan 19 Oktober 1999
  2. Perubahan Kedua, disahkan 18 Agustus 2000
  3. Perubahan Ketiga, disahkan 10 November 2001
  4. PerubahanKeempat, disahkan 10 Agustus 2002

Dalam amandemen UUD 1945 masih jauh dari kata sempurna.[11] Masih banyak problem kebangsaan yang mestinya diatur langsung dalam UUD, namun belum termuat di dalamnya. Sebaliknya, barangkali terdapat beberapa poin yang mustinya tidak dimasukkan, tetapi dimasukkan dalam UUD. Salah satu poin penting yang terdapat dalam amandemen UUD 1945 adalah mengenai hak asasi manusia yang merupakan hak dasar yang melekat pada manusia sebagai insan ciptaan Tuhan yang dimiliki menurut kodratnya dan tidak dapat dipisahkan dari hakikatnya yang bersifat luhur dan suci.[12]

UUD 1945 bukanlah sekedar cita-cita atau dokumen bernegara,[13] akan tetapi ia harus diwujudnyatakan dalam berbagai persoalan bangsa akhir-akhir ini. Misalnya, kenyataan masih seringnya pelanggaran HAM terjadi di negeri ini.

Dengan demikian amandemen Undang-Undang Dasar 1945 dinilai belum transformatif.[14] Konstitusi ini masih bersifat parsial, lebih terfokus pada aspek restriktif negara dan aspek protektif individu dalam hak asasi manusia. Tiga hal yang belum disentuh amandemen UUD 1945 adalah bagaimana cara rakyat menarik kedaulatannya, penegasan mengenai supremasi otoritas sipil atas militer, serta penegasan dan penjaminan otonomi khusus dalam konstitusi.

Meski demikian, amandemen UUD 1945 sesungguhnya telah memuat begitu banyak pasal-pasal tentang pengakuan hak asasi manusia.[15] Memang UUD 1945 sebelum amandemen, boleh dikatakan sangat sedikit memuat ketentuan-ketentuan tentang hal itu, sehingga menjadi bahan kritik, baik para pakar konstitusi, maupun aktivis dan pemerhati HAM.[16] Dimasukkannya pasal-pasal HAM memang menandai era baru Indonesia, yang kita harapkan akan lebih memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Pemerintah dan DPR, juga telah mensahkan berbagai instrument HAM internasional[17], di samping juga mengsahkan undang-undang tentang HAM.

Ketentuan HAM dalam konstitusi yang menjadi basic law adalah norma tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara.[18] Karena letaknya dalam konstitusi, maka ketentuan-ketentuan mengenai HAM harus dihormati dan dijamin pelaksanaanya oleh negara. Karena itulah pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menegaskan bahwa perlindungan, pemajuan, penegakkan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah.

Memang dalam UUD 1945 ketentuan-ketentuan yang mengatur tentang HAM relatif terbatas[19], tetapi hal ini tidak akan menghambat penegakan HAM, karena sudah diperlengkapi dengan undang-undang lain, seperti UU Pokok Kekuasaan Kehakiman, UU Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU Hak Asasi Manusia, dan UU Pengadilan HAM.[20] Sekalipun demikian, telah diusulkan juga untuk membuka kesempatan memasukkan pasal-pasal HAM ke dalam UUD 1945 melalui amandemen.

Dalam tulisan ini akan dibahas tentang Kedaulatan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar. Tulisan ini berangkat dari Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen menyatakan “Kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”[21], ini menunjukkan bahwa bagi bangsa Indonesia dalam negara rakyatlah yang berkuasa atau rakyatlah yang memegang kedaulatan. Dengan demikian kedaulatan rakyat membawa konsekuensi bahwa rakyatlah sebagai pemegang otoritas tertinggi dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.[22] Ini berarti bahwa rakyatlah yang menjadi sumber kekuasaan dalam negara.[23] Sistem demokrasi yang diterapkan di Indonesia adalah sistem demokrasi yang diselaraskan dengan nilai-nilai Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa. Oleh sebab itu sistem tersebut disebut demokrasi Pancasila.[24] Dalam pelaksanaannya prinsip-prinsip demokrasi di Indonesia tidak akan terpisahkan dari nilai-nilai Pancasila.[25]

Dengan ketentuan itu dapat diartikan, bahwa pemilik kedaulatan dalam negara Indonesia ialah rakyat. Pelaksanaan kedaulatan ditentukan menurut Undang-Undang Dasar. Pelaksana kedaulatan negara Indonesia menurut UUD 1945 adalah rakyat dan lembaga-lembaga negara yang berfungsi menjalankan tugas-tugas kenegaraan sebagai representasi kedaulatan rakyat.[26] Lembaga-lembaga negara menurut UUD 1945 adalah Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), Mahkamah Konstitusi, Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Pemerintah Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan Komisi Yudisial. Pelaksanaan kedaulatan rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 inilah sebagai sistem pemerintahan Indonesia. Dengan kata lain sistem pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan yang didasarkan pada kedaulatan rakyat sebagaimana ditentukan oleh Undang-Undang Dasar 1945.[27]

Perubahan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen sebenarnya ingin menegaskan bahwa sudah tidak ada lagi kekuasaan tertinggi dalam lembaga Negara seperti Majelis Permusyawaratan Rakyat(MPR) sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 sebelum Amandemen. Untuk itu setelah adanya amandemen Undang-Undang dasar 1945 maka dapat dikatakan Indonesia menganut system check and balance.[28] System check and balance  (sistem pengawasan dan keseimbangan) masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol, system ini merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi.

Berdasaran bunyi Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen selain mengacu pada konsep kedaulatan rakyat, maka sebenarnya terdapat konsekwensi yang harus dipenuhi oleh Negara kepada rakyatnya, atau dengan bahasa yang sederhana sebenarnya terdapat hak-hak yang dimiliki oleh warga Negara melalui pilihan konsep yang dianut oleh Negara Indonesia melalui Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen tersebut.

Kedaulatan memiliki sifat-sifat pokok antara lain: Asli[29] yang berarti kekuasaan tersebut bukan berasal dari kekuasaan pihak lain yang kedudukannya lebih tinggi, Permanen[30] yang berarti kekuasaan tersebut tetap berdiri meskipun pemerintahan atau pemegang kedaulatan telah berulang kali berganti, Tunggal[31] yang berarti kekuasaan tersebut merupakan satu-satunya kekuasaan tertinggi dalam negara yang tidak dapat diserahkan atau dibagi-bagikan kepada badan-badan atau lembaga lainnya, Tidak Terbatas[32] yang berarti kekuasaan tersebut tidak dibatasi oleh kekuasaan lainnya dan apabila ada kekuasaan lain yang membatasinya, pasti kekuasaan tertinggi yang dipunyai tersebut akan hilang atau lenyap.

Dari penjelasan di atas, sesungguhnya dapat dilihat bagaimana hubungan kedaulatan rakyat dengan Hak Asasi Manusia. Kedaulatan rakyat punya keterkaitan yang erat dengan Hak Asasi Manusia karena makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yaitu rakyatlah sebagai pemegang kekuasaan politik tertinggi dalam suatu negara.[33] Posisi ini berarti, secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat (Konvenan Hak Sipil dan Politik)-pada dasarnya dikonsepsikan sebagai rakyat atau warga negara untuk mencapai kedudukannya sebagai penentu keputusan politik tertinggi.[34] Dalam persepktif kongkret ukuran untuk menilai demokratis atau tidaknya suatu negara, antara lain; berdasarkan jawaban atas pertanyaan seberapa besarkah tingkat kebebasan atau kemerdekaan yang dimiliki oleh atau diberikan kepada warga Negara di Negara itu? Makin besar tingkat kebebasan, kemerdekaan-dimaksudkan di sini adalah kebebasan, kemerdekaan dan hak sebagaimana dimasukkan dalam kategori Hak-Hak Asasi Manusia generasi pertama.[35] Misalnya, kebebasan untuk menyatakan pendapat, kemerdekaan untuk menganut keyakinan politik, hak untuk diperlakukan sama dihadapan hukum.

Hanya kemudian patut dijelaskan lebih lanjut, bahwa persoalan kedaulatan rakyat bukanlah sebatas hak sipil dan politik rakyat namun dalam perkembangannya, demokrasi juga terkait erat dengan sejauh mana terjaminnya hak-hak ekonomi dan sosial dan budaya rakyat.[36] Sama sebagaimana parameter yang dipakai di dalam Hak Asasi Manusia generasi pertama (hak sipil dan politik), maka dalam perspektif yang lebih kongkret negara demokratis juga diukur dari; sejauh mana negara menjamin kesejahteraan warga negaranya, seberapa rendah tingkat pengangguran dan seberapa jauh negara menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan penghidupan yang layak. Hal inilah yang secara langsung ataupun tidak langsung menegaskan bagaimana hubungan yang terjalin antara demokrasi dan Hak Asasi Manusia.[37]

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa, Hak Asasi Manusia akan terwujud dan dijamin oleh negara yang demokratis dan demikian sebaliknya, demokrasi akan terwujud apabila negara mampu manjamin tegaknya Hak Asasi Manusia. Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat.[38] Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.[39]

Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis berkeinginan untuk mengkaji tentang Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat, sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) bahwa Indonesia menganut kedaulatan rakyat, maka konsekwensi logis apa yang didapat oleh masyarakat apabila dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia.

I.2. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam tulisan ini adalah :

  1. Bagaimana Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ?
  2. Bagaimana Pelaksanaan Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ?
  3. Bgaimana Perbandingan Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat berdasarkan Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia ?

I.2. Tujuan Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan tulisan ini diantaranya :

  1. Untuk mengetahui dan mengidentifikasi Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
  2. Untuk menganalisis Pelaksanaan Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen
  3. Untuk menganalisis Perbandingan Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat berdasarkan Konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia

I.3. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dalam penulisan tulisan ini, diantaranya adalah :

  1. Secara teoritis dapat menambah dan memperdalam keilmuan dalam bidang Hukum Tata Negara, Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat
  2. Manafat praktis adalah untuk  membangun kesadaran dan pemahaman kepada publik akan Hak Warga Negara dalam Konsep Kedaulatan Rakyat
  3. Diajukan untuk memenuhi tugas Hak Asasi Manusia yang diasuh oleh Prof. Dr. Satya Arinanto, SH., MH.

I.4. Metodologi Penelitian

Dalam metode penelitian hukum menurut Prof. Dr. Soerjono Soekanto, SH., MA[40] terdiri dari penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Penelitian hukum normatif terdiri dari penelitian terhadap azas-azas hukum, sistematika hukum, sinkronisasi hukum dan perbandingan hukum. Sedangkan penelitian hukum sosiologis atau empiris merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum dan efektifitas hukum dalam dinamika sosial kemasyarakatan.[41] Untuk itu hukum seringkali dihubungkan dengan dinamika kemasyarakatan yang sedang dan akan terjadi.

Namun berbeda menurut Prof. Dr. Peter Mahmud Marzuki, SH., MS., LLM[42] yang menyatakan bahwa penelitian socio-legal research (penelitian hukum sosiologis) bukan penelitian hukum. Menurut beliau penelitian hukum sosiologis maupun penelitian hukum hanya memiliki objek yang sama, yakni hukum. Penelitian hukum sosiologis hanya menempatkan hukum sebagai gejala sosial, dan hukum hanya dipandang dari segi luarnya saja, dan yang menjadi topik seringkali adalah efektifitas hukum, kepatuhan terhadap hukum, implementasi hukum, hukum dan masalah sosial atau sebaliknya. Untuk itu hukum selalu ditempatkan sebagai variabel terikat dan faktor-faktor non-hukum yang mempengaruhi hukum dipandang sebagai variabel bebas.[43] Dalam Penelitian hukum sosiologis untuk menganalisis hipotesa diperlukan data, sehingga hasil yang diperoleh adalah menerima atau menolak hipotesis yang diajukan.

Berbeda menurut beliau dengan penelitian hukum, yang bukan mencari jawaban atas efektifitas hukum, oleh sebab itu beliau menyatakan bahwa dalam penelitian hukum tidak dikenal istilah hipotesis, variabel bebas, data, sampel atau analisis kualitatif dan kuantitatif, yang diperlukan hanya pemahaman tentang Undang-Undang yang ditelaah. Penelitian hukum dilakukan untuk memecahkan isu hukum yang diajukan sehingga hasilnya memberikan pretulisan mengenai apa seyogianya.

Hemat saya tidak perlu harus saling menyalahkan antar satu dan yang lainnya. Namun yang pasti perdebatan tentang Teori Hukum Murni dan Sosiological Yurisprudance (hukum sosiologis) bukan hanya terjadi belakangan ini dan hanya di Indonesia saja. Yang pasti aliran hukum diatas merupakan 2 (dua) pandangan besar yang satu sama lain memiliki cara pandang yang berbeda.[44] Itulah yang kemudian berdampak kepada perdebatan masalah penelitian hukum sebagaimana di jelaskan oleh pakar hukum terkemuka yang ada di Indonesia yang saling berbeda pandangan mengenai metode dalam penelitian hukum.

Aliran hukum positif juga dikenal sebagai aliran legisme. Aliran ini selalu mengidentikkan hukum dengan Undang-Undang, tidak ada hukum di luar Undang-Undang, satu-satunya sumber hukum adalah Undang-Undang. Pandangan-pandangan hukum positif ini dipertahankan oleh Paul Laband, Jellineck, Rudolf von Jherings, Hans Nawiasky, Hans Kelsen dan lain-lain.[45] Aliran hukum positif mulai berkembang di Jerman pada abad pertengahan dan telah banyak berpengaruh di berbagai negara, tidak terkecuali di Indonesia.

John Austin memberikan pengertian dan batasan tentang cakupan ilmu hukum. Pertama, hukum merupakan perintah penguasa, kedua, hukum merupakan sistem logika yang bersifat tetap dan tertutup, ketiga, hukum positif terdiri dari unsur-unsur perintah, sanksi, kewajiban dan kedaulatan, di luar itulah hanyalah moral positif (positive morality).[46]

Pendapat lain lain datang dari Hans Kelsen yang menyatakan ”hukum haruslah dibersihkan dari anasir-anasir bukan hukum, seperti anasir etika, sosiologi, politik dan sebagainya”.[47] Kelsen juga menerangkan bahwa hukum sebagai (sollenskatagori), yaitu hukum sebagai keharusan bukan sebagai (seinskategori) yakni sebagai kenyataan,[48] yakni orang menaati hukum karena sudah perintah negara, untuk itu pelalaian terhadap itu maka akan dikenakan sanksi. Sedangkan ajaran yang juga terkenal dari Hans Kelsen dan sering dijadikan rujukan dalam teori hierarki (tingkatan) norma hukum adalah ajaran ”stufentheory”[49], yakni sistem hukum  pada haikatnya merupakan sistem hierarkis yang tersusun dari peringkat terendah hingga peringkat tertinggi.

Dari pemeparan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya aliran hukum positif adalah aliran pemikiran hukum yang memberikan penegasan terhadap bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum Kelsen).  Secar implisit aliran ini hakikatnya juga menegaskan beberapa hal:

Pertama, bahwa pembentuk hukum adalah penguasa

Kedua, bahwa bentuk hukum adalah Undang-Undang; dan

Ketiga, hukum diterapkan terhadap pihak yang di kuasai.

Sangat berbeda dengan sosiological jurisprudence yang merupakan aliran filsafat hukum yang memberi perhatian sama kuatnya terhadap masyarakat dan hukum, sebagai dua unsur utama hukum dalam penciptaan dan pemberlakuan hukum.[50] Itulah yang menyebabkan perbedaan yang tajam antara kalangan pemikir hukum normatif dan kalangan pemikir hukum sosiologis. Karena pemikir hukum sosiologis mendasarkan hukum pada teori tentang hubungan antara kaidah-kaidah hukum dengan kenyataan masyarakat.[51]

Pendasar mazhab ini dapat disebutkan, misalnya Roscoe Pound, Eugen ehrlich, Benyamin Cardozo, Kantorowics, Gaurvitch dan lain-lain.[52] Mazhab ini lebih mengarah pada kenyataan daripada kedudukan dan fungsi hukum dalam masyarakat. Inti dasar prinsip pemikiran mazhab ini adalah hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat.[53] Hukum lahir dan berkembang seiring dengan kemajuan zaman, sehingga hukum tidak dapat dipisahkan dari kehidupan  masyarakat. Seperti gejala-gejala peradaban lain, hukum juga dapat ditinjau secara sosiologis, dapat diteliti hubungan ekonomis dan kemasyarakatan apa, aliran bidang kejiwaan kejiwaan apa yang telah menimbulkan pranata hukum tertentu.[54]

Pada prinsipnya ialah sosiological jurisprudence menekankan pada masalah-masalah evaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, fungsi hukum sebagai sarana rekayasa sosial,[55] dengan cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum.

Dari perbedaan dua pandangan besar antara paradigma hukum positif dengan hukum sosiologis, tidak perlu untuk saling menjatuhkan dengan saling menyalahkan antara teori yang satu dengan teori yang lainnya, mengingat kedua-duanya sama-sama memiliki kelebihan dan kekuarangan. Paradigma hukum positif dapat di gunakan untuk mempelajari tentang bentuk hukum (Undang-Undang), isi hukum (perintah penguasa), ciri hukum (sanksi, perintah, kewajiban, dan kedaulatan) dan sistematisasi norma hukum (hierarki norma hukum) sedangkan paradigma hukum sosiologis dapat digunakan untuk mengevaluasi hukum (kualisifikasi hukum yang baik), kedudukan hukum tertulis dan tidk tertulis, sebagai sarana rekayasa sosial, cara pembentukan hukum yang baik (yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat), dan cara penerapan hukum yang efektif.

Terlepas dari perdebatan diatas, namun dalam tulisan ini metode yang digunakan adalah metode penulisan hukum normatif deskriptif, yaitu cara penulisan yang didasarkan pada analisis terhadap beberapa asas hukum dan teori hukum serta peraturan perundang-undangan yang sesuai dan berkaitan dengan permasalahan dalam tulisan ini. Penelitian hukum normatif ini adalah suatu prosedur dan cara penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari segi normatif deskriptifnya.[56]

Sedangkan pendekatan masalah yang digunakan dalam penulisan tulisan ini adalah terdiri dari 6 (empat) pendekatan yakni Pendekatan Politik, pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan sosiologi hukum, pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan historis (historical approach) dan pendekatan perbandingan mikro (micro comparative approach).[57]

Bahan hukum merupakan bahan dasar yang akan dijadikan acuan atau pijakan dalam penulisan tulisan ini. Adapun yang menjadi bahan hukum dalam penulisan tulisan ini terdiri dari 3 (tiga) bagian, yakni bahan hukum primer, skunder dan tersier yang dapat diurai sebagai berikut :

(1)    Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas.[58] Bahan-bahan hukum primer terdiri dari  peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Dalam tulisan ini di fokuskan pada bahan hukum yang berupa Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen dan Undang-Undang Dasar (konstitusi) yang pernah berlaku di Indonesia sebagai perbandingan, yang terdiri dari Undang-Undang Dasar sebelum amandemen, Konstitusi Republik Indonesia Serikat tahun 1949, Undang-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 maupun Undang-Undang Dasar 1945 setelah amandemen terutama yang berkaitan dengan Kekuasaan Presiden dan Sistem Pemerintahan.

(2)    Bahan Hukum Skunder

Bahan hukum skunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer.[59] Adapun bahan hukum skunder yang digunakan untuk memberikan penjelasan mengenai materi yang terdapat dalam bahan hukum primer berasal dari beberapa literatur, buku tesk, jurnal hukum, karangan ilmiah dan buku-buku lain yang berkaitan langsung dengan tema penulisan tulisan ini.

(3)    Bahan Hukum Tersier

Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan skunder.[60] Bahan hukum ini sebagai alat bantu dalam penulisan tulisan ini. Adapun bahan hukum tersier ini dapat berupa kamus-kamus hukum yang berkaitan langsung dengan tulisan ini.

Dalam tulisan ini di gunakan metode analisis induktif kualitatitif,[61] yaitu metode analisa dengan melakukan analisis terhadap peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan (rumusan masalah) yang terdapat dalam tulisan ini untuk kemudian di korelasikan dengan beberapa asas dan teori yang menjadi landasan atau pisau analisa  dalam penulisan tulisan ini sebagai langkah untuk menemukan konklusi, jalan keluar maupun konsepsi ideal tentang hal-hal yang berhubungan dengan tulisan ini.

BAB II

LANDASAN TEORI

II.1. Teori Kekuasaan dan Kewenangan

Diskusi permasalahan hukum tentunya akan berkaitan erat dengan masalah kekuasaan dan wewenang. Hubungan hukum dengan kekuasaan dapat di rumuskan dengan slogan ”hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”.[62] Dalam artian bahwa dalam penerapan hukum, maka di perlukan kekuasaan sebagai pendukung, salah satu sebabnya adalah di karenakan hukum bersifat memaksa, karena tanpa adanya paksaan, maka pelaksanaan hukum akan mengalami Hak Asasi Manusia hambatan. Namun semakin tertib masyarakatnya, maka semakin berkurang kekuasaan sebagai pendukungnya.

Karena begitu eratnya kaitan antara hukum dan kekuasaan, maka seakan tidak dapat memisahkan antara keduanya.[63] Bahkan ada yang menyebutkan bahwa hukum sendiri sebenarnya adalah kekuasaan.[64] Hukum merupakan salah satu sumber dari kekuasaan, namun juga merupakan pembatas bagi kekuasaan. Oleh karena itu tidak dapat dibenarkan apabila kekuasaan di gunakan sebagai alat untuk bertindak sewenang-wenang. Karena dalam tataran praktis dilapangan orang akan cenderung ingin memiliki kekuasaan yang melebihi dari apa yang telah di gariskan. Padahal hukum memang membutuhkan kekuasaan, tetapi ia juga tidak bisa membiarkan kekuasaan itu untuk menunggangi hukum.[65]

Miriam Budiardjo memberikan arti kekuasaan sebagai kemampuan seseorang atau sekelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah-laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.[66] Kekuasaan ini yang kemudian oleh sebagian besar di cari atau bahkan menjadi rebutan dalam setiap kehidupan masyarakat modern seperti sekarang ini. Hal itu di pengaruhi oleh adanya hasrat dan keinginan manusia yang bermacam-macam sehingga dirasa perlu untuk memaksakan kemauan dirinya atas orang lain.

Hal yang sama juga di katakan Mac Iver yang merumuskan kekuasaan sebagai berikut :

The capacity to control the behavior of other either directly by fiat or indirectly  by the manipulation of available means, yang artinya kemampuan untuk mengendalikan tingkah laku orang lain baik secara langsung dengan memberi perintah, maupun secara tidak langsung dengan mempergunakan segala alat dan cara yang tersedia. [67]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo bahwa kekuasaan dalam masyarakat selalu berbentuk piramida yang bersumber pada kekerasan fisik, kedudukan dan kepercayaan.[68] Agar kekuasaan dapat di jalankan maka di butuhkan penguasa atau organ sehingga negara itu di konsepkan sebagai himpunan jabatan-jabatan itu diisi oleh sejumlah pejabat yang mendukung hak dan kewajiban tertentu berdasarkan subjek-kewajiban.[69] Dengan demikian, lahirlah teori yang menyatakan bahwa negara merupakan subjek hukum buatan atau tidak asli atau yang di sebut teori organ atau organis.[70]

Asal atau sumber kekuasaan dalam suatu negara secara umum dapat di golongkan menjadi 2 (dua) bagian. Pertama, erat kaitannya dengan teori teokrasi, yang mana menyatakan bahwa asal mula kekuasaan berasal dari Tuhan. Teori ini berkembang pada zaman abad pertengahan yakni abad ke V sampai abad ke XV.[71] Sedang Kedua berhubungan dengan teori hukum alam yang secara umum memberikan pemaHak Asasi Manusiaan bahwa kekuasaan berasal dari rakyat. Kekuasaan dari rakyat tersebut yang kemudian di serahkan kepada seseorang (raja) untuk menyelenggarakan kebutuhan masyarakat.

Bila di hadapkan pada persoalan kekuasaan, maka orang berpendapat bahwa kekuasaan itu sering diartikan hanya dalam bidang politik saja.[72] Padahal kekuasaan dapat beraspek dua keilmuan, yakni berkaitan dengan hukum dan politik. Dalam hukum tata negara, wewenang (bevoegdheid) di detulisankan sebagai kekuasaan hukum (rechtsmacht), dalam hukum publik, wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[73] Kekuasaan mempunyai makna yang sama dengan wewenang karena kekuasaan yang dimiliki oleh legislatif, ekskutif dan yudikatif adalah kekuasaan formal.

Kekuasaan dapat berasal dari dua bagian, pertama berasal dari peraturan perundang-undangan dan yang kedua berasal dari bukan peraturan perundang-undangan atau karena jabatan yang dimilikinya. Sedangkan kewenangan hanya berasal dari peraturan perundang-undangan yang sah dan diakui oleh suatu negara.

Berdasarkan uraian diatas, maka kekuasaan memiliki dua aspek, yakni aspek politik dan aspek hukum. Sedangkan kewenangan hanya beraspek hukum saja. Dapat diartikan bahwa kekuasaan bersumber pada peraturan perundang-undangan dan di luar peraturan perundang-undangan, sedangkan kewenangan harus harus berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kewenangan merupakan kekuasaan yang sah, yang bersumber pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.[74] Sehingga dapat disimpulkan bahwa kekuasaan belum tentu kewenangan, akan tetapi kewenangan sudah tentu merupakan kekuasaan.

Kewenangan dan wewenang tentunya memiliki perbedaan yang mendasar. Dalam bahasa Belanda wewenang di sebut juga ”bevoegheid”. Menurut Philipus M. Hadjon, ada perbedaan antara kewenangan dengan wewenang, perbedaannya terletak pada karakter hukumnya. Istilah ”bevoegheid” digunakan baik dalam konsep hukum publik maupun dalam konsep hukum hukum privat. Dalam hukum kita istilah kewenangan atau wewenang seharusnya di gunakan dalam konsep hukum publik.[75]

Dalam konsep hukum tata negara, “bevoegheid” (wewenang) di detulisankan sebagai “rechtmacht” (kekuasaan hukum). Jadi dalam hukum publik wewenang berkaitan dengan kekuasaan.[76] Sedangkan dalam konsep hukum administrasi Belanda, soal wewenang selalu menjadi bagian penting dan bagian awal dari hukum administrasi karena objek hukum administrasi adalah “bestuursbevoegdheid” (wewenang pemerintahan).[77]

Jadi perbedaan antara kewenangan dan wewenang adalah pertama kali harus membedakan antara (authority, gezag) dan wewenang (competence, bevoegdheid). Gezag adalah ciptaan orang-orang yang sebenarnya paling berkuasa.[78] Kewenangan yang disebut juga “kekuasaan formal” yang berasal kekuasaan yang di berikan oleh Undang-Undang atau legislatif dari kekuasaan ekskutif atau administratif yang bersifat utuh atau bulat. Sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian tertentu saja dari kewenangan. Di dalam kewenangan terdapat wewenang-wewenang (rechtsbe voegdheben).[79] Wewenang juga merupakan dalam ruang lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintahan (besluit), akan tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas serta distribusi wewenang utamanya di tetapkan dalam Undang-Undang Dasar.

Sedangkan kewenangan dapat diperoleh dari konstitusi secara atribusi, delegasi  maupun mandat.[80] Atribusi adalah wewenang yang melekat pada suatu jabatan, sedang delegasi adalah pemindahan/pengalihan suatu kewenangan yang ada.[81] Secara sederhana dapat diartikan atribusi merupakan kewenangan yang asli atas dasar konstitusi (Undang-Undang Dasar), sedang kewenangan delegasi pelimpahan wewenang kepada organ pemerintahan yang lain dan mandat pemberian wewenang untuk bertindak untuk dan atas nama pemberi mandat.

Ada perbedaan khusus antara delegasi dan mandat. Delegasi merupakan pemberian, pelimpahan atau pengalihan kewenangan oleh suatu organ pemerintahan kepada pihak lainuntuk menganmbil keputusan atas tanggung jawab sendiri, sedangkan mandat bertanggung jawab atas nama atau tanggung jawabnya sendiri mengmbil kepuusan.[82] Akan tetapi sebenarnya dalam teori pendelegasian, apabila suatu kewenangan sudah di delegasikan, maka tidak dapat lagi di tarik kembali oleh lembaga pemberi delegasi.

II.2. Teori Konstitusi

Unsur pokok yang di pelajari dalam Hukum Tata Negara adalah konstitusi. Konstitusi sendiri berasal dari bahasa Perancis “constituir” yang berarti membentuk.[83] Dengan demikian secara sederhana konstitusi dapat diartikan sebagai peraturan dasar mengenai pembentukan Negara. Terdapat perbedaan tentang penunjukan peristilahan dan pengertian konstitusi di berbagai Negara. Di Indonesia istilah konstitusi juga dikenal dengan sebutan Undang-Undang Dasar, begitu juga di Belanda disamping dikenal istilah “groundwet” (undang-undang dasar) juga dikenal pula dengan istilah “constitutie”.

L.J Van Apeldoorn membedakan pengertian antara Undang-Undang Dasar “groundwet” dengan konstitusi “constitutie”. [84] Undang-Undang Dasar “groundwet” adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi, sedangkan konstitusi “constitutie” berisi peraturan tertulis maupun tidak tertulis. Jadi berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa suatu Undang-Undang Dasar “groundwet” adalah pengertian terkecil dari konstitusi karena mancakup peraturan tertulis saja, sedang konstitusi “constitutie” adalah pengertian yang lebih luas dari undang-undang dasar, yakni mencakup hukum tertulis dan tidak tertulis, untuk itu pengertian konstitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar.

Adapun penyamaan (yang menyamakan) pengertian antara konstitusi dan undang-undang dasar pernah dikemukakan oleh Sri Soemantri dalam disertasinya.[85] Namun sebelum itu ada pula yang menyamakan pengertian antara konstitusi dan undang-undang dasar yakni dimulai sejak Oliver Cromwell yang menamakan Undang-Undang Dasar itu sebagai instrument of government. Artinya adalah Undang-Undang Dasar di buat sebagai pegangan untuk memerintah, dari situlah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar.[86]

Para sarjana ilmu politik dan tata negara cukup berbeda-beda mendefinisikan tentang arti atau makna konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Adapun pengertian konstitusi menurut para penulis terkemuka adalah sebagai berikut :

Konstitusi dapat dikatakan sebagai kumpulan prinsip-prinsip yang mengatur kekuasaan pemerintahan, hak-hak pihakyang di perintah (rakyat), dan hubungan diantara keduanya.[87]

Konstitusi adalah keseluruhan system ketatanegaraan dari suatu Negara berupa kumpulan peraturan-peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah dalam pemerintahan suatu Negara.[88]

Hukum konstitusi terdiri dari (sebagaimana lazimnya) atas sejumlah aturan yang ditegakkan atau di akui oleh Negara yang merupakan dasar bagi terbentuknya hukum di bawahnya.[89]

Konstitusi adalah urutan tertinggi dalam tata hukum nasional yang merupakan rujukan bagi terbentuknya aturan yang berada di bawahnya.[90]

Konstitusi mencakup tiga pengertian yakni mencerminkan kehidupan politik dalam masyarakat, kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat dan merupakan naskah sebagai undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu Negara.[91]

  1. Lasalle membagi 2 (dua) pengertian tentang konstitusi yakni pengertian sosiologis dan pengertian yuridis. Pengertian konstitusi secara sosiologis merupakan sintesis dari faktor-faktor kkekuatan yang nyata (dreele machtsfactorn) dalam masyarakat, sedang pengertian yuridis adalah suatu naskah yang memuat semua bangunan Negara dan sendi-sendi pemerintahan.[92]

Pengertian konstitusi menurut J.H.P. Bellefroid mencakup pengertian materiil dan formil. Secara materiil adalah suatu aturan ketatanegaraan, secara formil adalah akte ketatanegaraan yang menetukan dasar-dasar ketatanegaraan.[93]

  1. Sri Soemantri Martosoewignyo

Undang-Undang Dasar adalah sebagai pembatasan kekuasaan yang dimiliki oleh pemimpin-pemimpin rakyat yang mempunyai kecendrungan untuk disalahgunakan.[94]

Undang-Undang Dasar merupakan dasar pijakan bagi dibentuknya peraturan-peraturan yang berada dibawahnya.[95]

  1. Abdul Hak Asasi Manusiaid Saleh Attamimi

Konstitusi merupakan aturan dasar yang mengatur hal-hal yang bersifat pokok, bersifat dasar dan biasanya merupakan landasan luas bagi tata hukum yang lebih terperinci lagi.[96]

Undang-Undang Dasar sebagai sarana jaminan dan kepastian hukum terhadap hak-hak asasi manusia.[97]

Konstitusi adalah hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelenggaraan Negara yang dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-Undang Dasar dan dapat pula tidak tertulis.[98]

Konstitusi adalah aturan pokok yang mengatur lembaga-lembaga negara dan wewenangnya serta hak asasi manusia.[99]

Konstitusi merupakan bentuk hukum tertulis yang mengatur ketentuan-ketentuan Hak Asasi Manusia di bidang sipil, politik, ekonomi, social dan budaya.[100]

Konstitusi merupakan dokumen formal yang mengatur bekerjanya lembaga-lembaga Negara dan pembatasan kekuasaannya dalam sistem pemerintahan Negara.[101]

  1. Maria Farida Indrati Soeprapto

Aturan dasar Negara atau aturan pokok Negara merupakan aturan-aturan yang masih bersifat pokok dan merupakan aturan-aturan umum yang bersifat garis besar sehingga masih merupakan norma tunggal dan belum disertai norma skunder.[102]

Undang-Undang Dasar suatu Negara merupakan bentuk peraturan perundang-undangan yang tertinggi, karena merupakan dasar serta sumber dari segala peraturan perundangan yang dapat dikeluarkan menurut Undang-Undang Dasar itu sendiri.[103]

Dahlan Thaib merumuskan makna konstitusi adalah kaidah yang memberikan batasan terhadap kekuasaan penguasa, dokumen tentang pembagian tugas, detulisan tentang lembaga Negara dan menyangkut masalah-masalah Hak Asasi Manusia.[104]

Konstitusi berarti hukum dasar baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, hukum dasar yang tertulis biasanya disebut sebagai Undang-Undang Dasar, sedang hukum dasar yang tidak tertulis disebut konvensi.[105]

Berdasar pada pendapat tentang pengertian konstitusi atau Undang-Undang Dasar diatas, maka dapat disimpulkan bahwa pengertian konstitusi dan Undang-Undang Dasar terdapat perbedaan. Pengertian konstitusi lebih luas daripada Undang-Undang Dasar. Karena konstitusi meliputi konstitusi tertulis dan tidak tertulis (dua bagian), sedang Undang-Undang Dasar merupakan konstitusi tertulis saja (satu bagian).

Konstitusi juga dapat diklasifikasikan dalam beberapa bagian. K.C. Wheare mengklasifikasikan konstitusi menjadi 5 (lima) bagian, diantaranya :[106]

  1. Konstitusi tertulis dan konstitusi tidak tertulis
  2. Konstitusi fleksibel dan rigid
  3. Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi non derajat tinggi
  4. Konstitusi serikat dan konstitusi kesatuan
  5. Konstitusi sistem pemerintahan presidensiil dan parlementer

Yang dikatakan konstitusi tertulis adalah konstitusi yang dituangkan dalam sebuah dokumen atau beberapa dokumen formal.[107] Sedangkan konstitusi tidak tertulis adalah merupakan suatu konstitusi yang tidak dituangkan dalam dokumen formal yang hanya berbentuk kebiasaan-kebiasaan atau konfensi ketatanegaraan ataupun juga dapat berbentuk konstitusi adat.

Kriteria tentang fleksibel dan rigidnya suatu konstitusi maka dapat dilihat dari prosedur perubahannya. Kalau prosedur perubahan konstitusi bersifat gampang maka dapat dikategorikan sebagai kaonstitusi fleksibel, namun apabila prosedur perubahan konstitusinya sulit atau tidak gampang, maka dapat dikategorikan sebagai konstitusi yang rigid.[108]

Tentang Konstitusi derajat tinggi dan konstitusi non derajat tinggi dapat di bedakan dari kedudukan konstitusi dalam suatu Negara. Apabila konstitusi dalam suatu negara memiliki kedudukan tertinggi dan supreme terhadap parlemen maka dapat dikategorikan sebagai konstitusi derajat tinggi, sedangkan konstitusi non derajat tinggi merupakan kebalikannya, yakni konstitusi tersebut tidak memiliki kedudukan tertinggi dalam Negara dan konstitusi tersebut berada dibawah supremasi parlemen.[109]

Pembagian konstitusi serikat ataupun kesatuan didasarkan pada pencantuman pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian. Apabila terdapat  pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian, maka dapat dikategorikan sebagai konstitusi Negara serikat, namun apabila tidak terdapat pembagian kekuasaan antara pemerintah negara serikat dengan pemerintah Negara bagian, maka digolongkan sebagai konstitusi Negara kesatuan.

Konstitusi juga dapat dikategorikan sebagai Konstitusi sistem pemerintahan presidensiil dan sistem pemerintahan parlementer. Dikatakan presidensiil dikarenakan presiden berkedudukan sebagai kepala Negara dan kepala pemerintahan. Sedang parlementer kabinet yang dipilih oleh perdana menteri dibentuk berdasarkan kekuatan-kekuatan yang menguasai parlemen.[110]

Mengenai materi muatan konstitusi K.C. Wheare berpendapat bahwa konstitusi harus sesingkat mungkin, dan yang singkat itu menjadi peraturan-peraturan hukum yang paling esensial.[111] Artinya K.C. Wheare ingin mengatakan bahwa konstitusi hanya berisi hal-hal yang esensial yang dianggap dibutuhkan saja. Untuk ketentuan yang mengatur lebih lanjut dapat diatur dalam ketentuan hukum berikutnya.

Sedang A.A.H. Struycken menyatakan bahwa isi konstitusi tertulis berupa dokumen formal yang berisi :[112]

  1. Hasil perjuangan politik bangsa diwaktu lampau
  2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa
  3. Pandangan tokoh bangsa yang hendak diwujudkan
  4. Suatu keinginan dengan mana perkembangan ketatanegaraan bangsa.

Apabila dikaji lebih mendalam maka dapat dikatakan selain konstitusi merupakan dokumen hukum juga dapat dikatakan dokumen politik bangsa. Dikatakan dokumen hukum dikarenakan mengikat bagi seluruh masyarakat bangsa, juga dapat dikatakan sebagai dokumen politik dikarenakan merupakan hasil dari perjuangan politik baik dikarenakan revolusi (proklamasi) maupun perubahan Undang-Undang Dasar.

C.F. Strong juga mengemukakan tentang 3 (tiga) materi pokok yang diatur dalam konstitusi, diantyaranya:[113]

  1. Kekuasaan Pemerintahan.;
  2. Hak-hak yang diperintah (hak-hak asasi); dan
  3. Hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah.

Berdasarkan pendapat C.F. Strong diatas, maka konstitusi merupakan hal yang mengatur kekuasaan dalam Negara. Pembatasan kekuasaan yang tercantum dalam konstitusi pada umunya menyangkut 2 (dua) hal, yaitu pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan isinya dan pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu.[114]

Lebih lanjut Miriam Budiardjo memberikan ketentuan mengenai batasan isi dari konstitusi diantaranya mengatur mengenai :[115]

  1. Organisasi Negara
  2. Hak-hak asasi manusia
  3. Prosedur mengubah Undang-Undang dasar
  4. Adakalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari UUD.

Sehubungan dengan itu pula Sri Soemantri berpendapat bahwa maeri muatan konstitusi pada umumnya adalah :[116]

Pertama   : jaminan hak asasi manusia warga negaranya,

Kedua     : susunan ketatanegaraan yang bersifat fundamental, dan

Ketiga    : pembagian dan pembatasan kekuasaan yang fundamental

Apabila dicermati maka sebenarnya tidak jauh berbeda dengan bebarapa pendapat yang lainnya, hanya saja berbeda dalam ruang lingkup bahasa yang digunakan saja, untuk itu berdasarkan beberapa pemaparan tentang materi konstitusi diantaranya:

  1. Tentang bentuk dan kedaulatan negara
  2. Tentang lembaga-lembaga Negara
  3. Tentang pembatasan kekuasaan lembaga Negara
  4. Tentang hubungan penguasa dengan rakyatnya
  5. Tentang perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
  6. Ketentuan tentang prosedur perubahan konstitusi

Tentang hal-hal lain yang bersifat lokal kenegaraan yang dianggap penting untuk diatur dalam konstitusi.

II.3. Teori Kedaulatan

Terdapat perbedaan antara makna kekuasaan dan kedaulatan, meskipun dalam lapangan sehari-hari khalayak banyak di kaburkan dengan pengertian keduanya. Kekuasaan merupakan bagian  kecil dari kedaulatan, dengan kata lain dalam kedaulatan masih terdapat kekuasaan-kekuasaan yang di bagikan. Kedaulatan adalah terjemahan dari kata ”souvereiniteit”[117] yang asal katanya superanur atau superanitas yang berarti kekuasaan yang terttinggi dalam suatu wilayah. Kata itu dalam masanya sering diartikan berlainan, misalnya : [118]

  1. Pada mulanya souvereiniteit berarti kekuasaan absolut tertinggi dan tidak dapat dibagi-bagi, seperti penggunaan pada istilah kedaulatan tuan tanah di wilayahnya masing-masing
  2. (Tetapi) setelah muncul raja-raja yang absolut maka kekuasaan itu menjadi terbagi, sehingga kedaulatan keluar di pegang oleh raja sedangkan kedaulatan kedalam di pegang oleh tuan tanah sendiri.

Perdebatan tentang pengertian kedaulatan terdapat perbedaan diantara para sarjana. Jean Bodin yang dikenal sebagai bapak teori kedaulatan merumuskan kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi untuk menentukan hukum dalam suatu negara, yang sifatnya : tunggal, asli, abadi, dan tidak dapat di bagi-bagi.[119] Namun menurut penulis perumusan yang di berikan Jean Bodin tidak dapat di laksanakan pada masa saat sekarang, karena kedaulatan pada waktu itu hanya diartikan pada hubungan antara masyarakat di dalam negara saja atau bersifat intern negara. Namun hal itu sangat di mengerti mengingat pada waktu itu hubungan antar negara belum seluas seperti sekarang yang terjadi yang hubungan kedaulatan sudah mencapai antar negara-negara atau sudah bersifat ekstern. Atas dasar itulah maka  muncullah teori macam kedaulatan yang diantaranya : [120]

  1. Interne souvereiniteit (kedaulatan ke dalam)
  2. Externe souvereiniteit (kedaulatan ke luar)

Dalam negara yang sangat penuh dengan kompleksitas persoalannya justru berada dalam bingkai pertanyaan siapakah yang memiliki kekuasaan itu. Berdasar pada pertanyaan tersebut kemudian memunculkan teori-teori kedaulatan yang mencoba merumuskan siapa dan siapakah yang berdaulat dalam suatu negara : [121]

  1. Kedaulatan Tuhan
  2. Kedaulatan Raja
  3. Kedaulatan Rakyat
  4. Kedaulatan Negara
  5. Kedaulatan Hukum

Kalau di lihat lebih mendalam lagi, maka diantara kedaulatan yang ada hanya kedaulatan Negara dan kedaulatan Hukum saja yang tidak di pegang oleh person, sdangkan kedaulatan Tuhan, kedaulatan Raja dan kedaulatan Rakyat di pegang oleh orang (person).

Pada dasarnya teori ini mendasarkan kekuasaan Negara yang tertinggi berasal dari Tuhan, sehingga banyak yang didasarkan pada agama. Tuhan dikatakan memiliki kekuasaan tertinggi (berdaulat) karena dialah yang menciptakan segala sesuatu dan berkuasa atas segala yang ada di dunia.[122] Pada teori ini dalam setiap kehidupan kenegaraan selalu didasarkan atas nilai-nilai agama yang mempercayai bahwa Tuhan sebagai pencipta alam dan segala isinya adalah pemilik kedaulatan negara. Sehingga tidak salah kalau kemudian dalam pemerintahan penganut teori ini sering bertindak atas nama Tuhan dan tak bisa diganggu gugat. Negara yang menempatkan pangkal kedaulatan pada Tuhan ini di sebut negara Teokrasi.[123]

Dalam teori ini salah satu atau beberapa orang dianggap sebagai perantara atau wakil Tuhan yang ada di muka bumi, untuk itu segala apa yang segala ia perintahkan merupakan salah satu penjewantahan Tuhan. Sehingga apapun yang menjadi kriteria baik dan buruk menurtnya, maka harus di penuhi karena dianggap dia sebagai media yang dapat berkomunikasi dengan Tuhan. Sifat pesan biasanya dapat berupa perintah yang harus di patuhi dan di jalankan oleh penduduk warga Negara.

Dalam Negara Teokrasi sebagian besar pemuka agama yang menjadi motor penggerak pemerintahan dan menduduki posisi penting dalam kenegaraan, seperti Ulama, Pendeta, Biksu dan pemuka agama lainnya. Teori ini Hak Asasi Manusiapir dimiliki oleh beberapa Negara pada umunya, cantoh Paus Gregorius VII yang selain sebagai pemimpin tertinggi agama Khatolik juga sebagai kepala dari Civitas Dei atau Negara Tuhan.[124] Sehingga Paus dalam menjalankan agama (Khatolik) dapat memberikan hukuman (gereja) di samakan dengan hukuman duniawi.[125]

Dalam teori ini terdapat kelemahan yakni seringkali pemuka agama yang mengatasnamakan wakil Tuhan di muka bumi sehingga melaksanakan kekuasaannya menyimpang dari kodrat Tuhan yang sebenarnya. Tidak adanya pembuktian yang dapat dipertanggung jawabkan seseorang mendapat mandat dari Tuhan merupakan bagian dari kelemahan dari teori ini, sehingga kemungkinannya seseorang akan saling berebut pengakuan bahwa dirinya telah mendapat mandat langsung dari Tuhan.

Raja dalam teori ini merupakan satu-satunya sumber dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam Negara. Seluruh aktivitas pemerintahan, dinamika sosial, ekonomi dan politik dianggap benar dan salah apabila telah melalui penilaian dari seorang raja. Otoritas raja dalam melaksanakan kekuasaannya tidak dapat di batasi dengan apapun, sehingga dalam teori kedaulatan raja ini sering terjadi penyalahgunaan kekuasaan akibat dari dominannya kekuasaan raja dalam setiap bidang apapun. Teori kedaulatan raja yang tertinggi dapat digabungkan dengan teori pembenaran Negara yang menimbulkan kekuasaan mutlak pada raja/satu penguasa.[126]

Aliran ini di kemukakan oleh Thomas Hobbes[127] yang mengatakan bahwa kekuasaan raja adalah absolut, raja dapat melaksanakan apa saja bahkan di perbolehkan untuk membunuh sekalipun.[128] Dalam perjanjian masyarakat yang menyerahkan hak-hak dari individu-individu kepada masing-masing masyarakat, raja berada posisi tidak turut campur dalam perjanjian yang dilakukan asyarakat, untuk itu kekuasaan raja tetap absolut karena raja tidak terikat dengan janji-janji apalagi terikat oleh perjanjian.

Dalam teori ini tentunya juga terdapat kelemahan. Kelemahan yang paling mendasar adalah tersentralnya kekuasaan hanya pada raja, sehingga tidak ada ukuran baik buruk dan benar salahnya suatu kebijakan yang diambil oleh raja. Kekuasaan raja yang absolut juga akan menimbulkan kesewenang-wenangan raja karena tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol dari lembaga lain atau masyarakat, untuk itu teori ini sebenarnya merupakan dasar lahirnya teori kedaulatan rakyat.

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa teori kedaulatan rakyat ini lahir atas dasar reaksi kedaulatan raja yang super absolut. Atas dasar itulah maka rakyat melakukan perjanjian kemasrakatan (contrac social)[129]. Masyarakat melakukan perjanjian dengan penguasa dan memberikan kekuasaan kepada pemerintah, namun tetap dalam kerangka kesepakatan-kesepakatan yang telah di lalui antara rakyat dan penguasa. Kekuasaan tetap berasal dari rakyat sehingga dalam melaksanakan tugasnya pemerintah harus berpijak pada keinginan rakyat (demos = rakyat, krator = pemerintah).[130]

Jean Jacques Rousseau yang sekaligus sebagai pencetus teori kontrak sosial mengemukakan demokrasi sebagai hasil perjanjian masyarakat yang akan berkonsekwensi bahwa jika dalam menjalankan tugasnya pemerintah itu bertindak tidak sesuai dengan keinginan rakyat, maka pemerintah dapat dijatuhkan oleh rakyatnya. Untuk itu posisi rakyat disini memiliki posisi yang absolut dan strategis karena memiliki otoritas untuk mengatur jalannya pemerintahan Negara.

Teori ini dalam sejarah yang di sebut sebagai inspirasi Revolusi Perancis yang juga kemudian menjadi inspirasi banyak Negara termasuk Amerika Serikat dan Indonesia atau bahkan dapat di golongkan pada teori yang menjadi trend pada abad ke-20. Namun pelaksanaan teori ini pada masa sekarang terdapat pergeseran seiring dengan luas cakupan suatu Negara, yang sebelumnya rakyat begitu saja melakukan perjanjian dengan penguasa namun pada waktu sekarang berubah dengan mekanisme perwakilan.

Teori ini banyak dipergunakan pada masa sekarang, namun pada kenyataannya wakil rakyat yang merupakan representasi wakil dari rakyat seringkali dalam setiap kebijakannya tidak sesuai dengan keinginan rakyat, dan anehnya tidak terdapat mekanisme kontrol yang dapat dilakukan oleh rakyat sesuai dengan teori yang sebenarnya.

Teori kedaulatan Negara ini juga sebagai reaksi dari teori kedaulatan rakyat. Namun apabila dikaji lagi, maka sebenarnya teori ini melanggengkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat.[131] Teori ini memandang bahwa Negara berdaulat karena ada Negara, jadi sumber kedaulatan adalah Negara itu sendiri. Untuk itu Negara dianggap mempunyai hak yang tidak terbatas terhadap warganya. Ajaran ini berkembang di Jerman[132] untuk mempertahankan kedudukan raja yang mendapat dukungan dari 3 (tiga) golongan yang besar pengaruhnya, yaitu (1) golongan bangsawan, (2) golongan angkatan perang atau militer (3) golongan birokrasi.[133]

Kedaulatan ini tidak diperoleh dari siapapun kecuali di peroleh karena ada Negara. Untuk itu Negara cukup mewadahi aspirasi masyarakat sehingga dapat mengeluarkan kebijakan-kebijakab atas dasar kekuasaan Negara. Sehingga pada umumnya Negara pada teori ini berusaha untuk mendapatkan simpati masyarakat yang pada tujuannya agar mendapat dukungan masyarakat sehingga Negara menjadi tambah kuat.[134]

Teori ini juga terdapat kekurangan, yakni otoritas Negara yang super kuat menyebabkan kekuasaan raja/Negara tidak terbatas, sehingga kesewenang-wenangan Negara terjadi di berbagai tempat. Untuk itu Negara dalam teori kedaulatan Negara ini dianggap sebagai penghalang tegaknya demokrasi yang tidak jauh beda dengan teori kedaulatan raja sebagimana telah di gambarkan pada bab sebelumnya.

Pada teori ini di ketengahkan bahwa kekuasaan itu bersumber dari aturan hukum (supremasi hukum). Teori ini menempatkan hukum sebagai panglima tertinggi, sehingga baik buruknya sesuatu dapat dilihat dalam hukum. Teori ini lahir atas penyangkalan terhadap teori kedaulatan negara. Kedaulatan negara yang tidak terbatas, maka dapat dibatasi dengan hukum.

Penganut teori ini adalah Krabbe. Menurut Krabbe yang menjadi sumber hukum adalah rasa hukum yang terdapat di masyarakat. Rasa hukum ini dalam bentuknya yang masih sederhana atau primitif dan dalam bentuknya yang telah maju disebut kesadaran hukum.[135] Namun Krabbe tidak ingin mengatakan bahwa rasa hukum dan kesadaran hukum itu sama, hanya saja kesadarn hukumtidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum.

Dalam teori ini juga terdapat beberapa kekurangan, diantaranya adalah bahwa hukum di bentuk oleh manusia, namun seringkali manusia pembentuk hukum justru tidak manusiwi. Lain lagi dengan adanya intervensi kepentingan dari pihak yang berkepentingan langsung maupun tidak langsung. Di tambah lagi hukum dalam tataran penegakannya justru tumpul dan tidak mempan melawan orang-orang tertentu yang dianggap memiliki kekuasaan dan kekuatan.

  1. 4. Teori Hak Asasi Manusia
  2. Sejarah HAK ASASI MANUSIA

Pada awal abad ke-20, gelombang aspirasi ke arah kebebasan dan kemerdekaan umat manusia dari penindasan penjajahan meningkat tajam dan terbuka dengan menggunakan pisau demokrasi dan hak asasi manusia sebagai instrumen perjuangan yang efektif dan membebaskan.[136] Puncak perjuangan kemanusiaan itu telah menghasilkan perubahan yang sangat luas dan mendasar pada pertengahan abad ke-20 dengan munculnya gelombang dekolonisasi di seluruh dunia dan menghasilkan berdiri dan terbentuknya negara-negara baru yang merdeka dan berdaulat di berbagai belahan dunia.

Sekarang, perjalanan sejarah ummat manusia telah memasuki abad baru, yaitu abad ke-21.[137] Menjelang berakhirnya abad ke-20, kita telah menyaksikan berbagai pergolakan yang terjadi di mana-mana yang pada pokoknya menggugat kemapanan dan ketidakadilan serta ketidakbebasan seperti yang pernah dialami oleh umat manusia pada era kolonial. Instrumen yang digunakan dalam perjuangan menuju kebebasan dan kemerdekaan itu adalah sama, yaitu wacana demokrasi dan hak asasi manusia.[138]

Peristiwa yang mendorong munculnya gerakan kebebasan dan kemerdekaan selalu mempunyai ciri-ciri hubungan kekuasaan yang menindas dan tidak adil, yaitu baik dalam struktur hubungan antara satu bangsa dengan bangsa yang lain maupun dalam hubungan antara satu pemerintahan dengan rakyatnya. Dalam wacana perjuangan untuk kemerdekaan dan hak asasi manusia pada awal sampai pertengahan abad ke-20 yang menonjol adalah perjuangan mondial bangsa-bangsa terjajah menghadapi bangsa-bangsa penjajah. Karena itu, rakyat di semua negara yang terjajah secara mudah terbangkitkan semangatnya untuk secara bersama-sama menyatu dalam gerakan solidaritas perjuangan anti penjajahan.[139]

Sedangkan yang lebih menonjol selama paruh kedua abad ke-20 adalah perjuangan rakyat melawan pemerintahan yang otoriter.[140] Wacana demokrasi dan kerakyatan di suatu negara, tidak mesti identik dengan perasaan perasaan rakyat di negara lain yang lebih maju dan menikmati kehidupan yang jauh lebih demokratis. Karena itu, wacana demokrasi dan hak asasi manusia di zaman sekarang juga digunakan, baikoleh kalangan rakyat yang merasa tertindas maupun oleh pemerintahan negara-negara lain yang merasa berkepentingan untuk mempromosikan demokrasi dan hak asasi manusia di negara-negara lain yang dianggap tidak demokratis.

Karena itu, pola hubungan kekuasaan antar negara dan aliansi perjuangan di zaman dulu dan sekarang mengalami perubahan struktural yang mendasar. Dulu, hubungan internasional diperankan oleh pemerintah dan rakyat dalam hubungan yang terbagi antara hubungan ‘Government to Government’ (G to G) dan hubungan ‘People to People’ (P to P). Sekarang, pola hubungan itu berubah menjadi bervariassi, baik ‘G to G’, ‘P to P’ maupun ‘G to P’ atau ‘P to G’.[141] Semua kemungkinan bisa terjadi, baik atas prakarsa institusi pemerintahan ataupun atas prakarsa perseorangan rakyat biasa. Bahkan suatu pemerintahan negara lain dapat bertindak untuk melindungi warganegara dari negara lain atas nama perlindungan hak asasi manusia.

Kata lainnya, masalah pertama yang kita hadapi dewasa ini adalah bahwa pemaHak Asasi Manusiaan terhadap konsep hak asasi manusia itu haruslah dilihat dalam konteks ‘relationalistic perspectives of power’ yang tepat.[142] Bahkan, konsep hubungan kekuasaan itu sendiripun juga mengalami perubahan berhubung dengan kenyataan bahwa elemen-elemen kekuasaan itu dewasa ini tidak saja terkait dengan kedudukan politik melainkan juga terkait dengan kekuasaan-kekuasaan atas sumber-sumber ekonomi, dan bahkan teknologi dan industri yang justru memperlihatkan peran yang makin penting dewasa ini. Oleh karena itu, konsep dan prosedur-prosedur hak asasi manusia dewasa ini selain harus dilihat dalam konteks hubungan kekuasaan politik, juga harus dikaitkan dengan konteks hubungan kekuasaan ekonomi dan industri.[143]

Dalam kaitan dengan itu, pola hubungan kekuasaan dalam arti yang baru itu dapat dilihat sebagai hubungan produksi yang menghubungkan antara kepentingan produsen dan kepentingan konsumen. Dalam era industrialisasi yang terus meningkat dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus meningkat dewasa ini, dinamika proses produksi dan konsumsi ini terus berkembang di semua sektor kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan umat manusia dewasa ini. Kebijakan politik, misalnya, selain dapat dilihat dengan kacamata biasa, juga dapat dilihat dalam konteks produksi.[144] Negara, dalam hal ini merupakan produsen, sedangkan rakyat adalah konsumennya. Karena itu, hak asasi manusia di zaman sekarang dapt dipaHak Asasi Manusiai secara konseptual sebagai hak konsumen yang harus dilindungi dari eksploitasi demi keuntungan dan kepentingan sepihak kalangan produsen.

Dalam hubungan ini, konsep dan prosedur hak asasi manusia mau tidak mau harus dikaitkan dengan persoalan-persoalan:[145]

  1. Struktur kekuasaan dalam hubungan antar negara yang dewasa ini dapat dikatakan sangat timpang, tidak adil, dan cenderung hanya menguntungkan negara-negara maju ataupun negara-negara yang menguasai dan mendominasi proses-proses pengambilan keputusan dalam berbagai forum dan badan-badan internasional, baik yang menyangkut kepentingan-kepentingan politik maupun kepentingan-kepentingan ekonomi dan kebudayaan.
  2. Struktur kekuasaan yang tidak demokratis di lingkungan internal negara-negara yang menerapkan sistem otoritarianisme yang hanya menguntungkan segelintir kelas penduduk yang berkuasa ataupun kelas penduduk yang menguasai sumber-sumber ekonomi.
  3. Struktur hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara pemodal dengan pekerja dan antara pemodal beserta manajemen produsen dengan konsumen di setiap lingkungan dunia usaha industri, baik industri primer, industri manufaktur maupun industri jasa.

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pola hubungan ‘atas-bawah’, baik pada peringkat lokal, nasional, regional maupun global antara lain adalah faktor kekayaan dan sumber-sumber ekonomi, kewenangan politik, tingkat pendidikan atau kecerdasan rata-rata, penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi, citra atau nama baik, dan kekuatan fisik termasuk kekuatan militer.[146] Makin banyak faktor-faktor tersebut di atas dikuasai oleh seseorang, atau sekelompok orang ataupun oleh suatu bangsa, makin tinggi pula kedudukannya dalam stratifikasi atau peringkat pergaulan bersama.[147] Di pihak lain, makin tinggi peringkat seseorang, kelompok orang ataupun suatu bangsa di atas orang lain atau kelompok lain atau bangsa lain, makin besar pula kekuasaan yang dimilikinya serta makin besar pula potensinya untuk memperlakukan orang lain itu secara sewenang-wenang demi keuntungannya sendiri. Dalam hubungan-hubungan yang timpang antara negara maju dengan negara berkembang, antara suatu pemerintahan dengan rakyatnya, dan bahkan antara pemodal atau pengusaha dengan konsumennya inilah dapat terjadi ketidakadilan yang pada gilirannya mendorongnya munculnya gerakan perjuangan hak asasi manusia dimana-mana. Karena itu, salah satu aspek penting yang tak dapat dipungkiri berkenaan dengan persoalan hak asasi manusia adalah bahwa persoalan ini berkaitan erat dengan dinamika ‘perjuangan kelas’ (meminjam istilah Karl Marx)[148] yang menuntut keadilan.

  1. Konseptual HAK ASASI MANUSIA

Salah satu masalah pokok yang dihadapi dalam setiap upaya untuk melembagakan ide-ide pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia adalah soal penegakan berbagai instrumen hak asasi manusia dalam praktek di negara-negara yang beranekaragam, baik dalam kondisi-kondisi sosial ekonomi dan budayanya maupun dalam tingkat perkembangannya masing-masing.[149] Karena itu, sering muncul perdebatan baik mengenai universalitas konsep hak asasi manusia itu maupun mengenai relativitas prosedural upaya-upaya untuk mengimplementasikan prinsip-prinsip hak asasi manusia yang universal itu dalam kenyataan-kenyataan di lapangan.

Kritik pertama terhadap konsep hak asasi manusia yang mengklaim dirinya sebagai konsepsi yang universal itu sering menghadapi kritik konseptual yang mendasar, baik mengenai substansinya maupun mengenai prosedur pelembagaan dan pengambilan keputusan yang menjadikannya sebagai instrumen universal.[150] Dari segi substansinya, pernyataan umum hak asasi manusia oleh PBB pada tahun 1948 tidak seluruhnya dapat diterima sebagai sesuatu yang universal menurut kacamata warisan kemanusiaan di semua belahan dunia. Dunia Islam, misalnya, sering mempersoalkan pemaHak Asasi Manusiaan konseptual mengenai prinsip-prinsip hak asasi manusia yang telah diadopsi ke dalam berbagai instrumen internasional[151] itu sebagai sesuatu yang dipaksakan dan bernuansa ‘bias’ kepentingan kultural barat ataupun mencerminkan dominasi barat dalam mendefinisikan apa yang dianggap hak asasi manusia dan apa yang bukan. Demikian pula, dari segi prosedur perumusan dan penetapannya, piagam hak asasi manusia PBB itu juga didominasi penentuannya oleh negara-negara barat yang memegang hak veto dalam setiap pengambilan keputusan di sidang-sidang perserikatan bangsa-bangsa. Oleh karena itu, menurut pandangan ini, konsep hak asasi manusia PBB itu tidaklah sungguh-sungguh universal sifatnya, melainkan ‘bias’ untuk kepentingan barat jua.

Kritik kedua yang lebih moderat adalah bahwa meskipun dapat diakui bahwa prinsip-prinsip yang telah diterima dalam berbagai instrumen hak asasi manusia merupakan prinsip-prinsip yang universal sifatnya[152], akan tetapi dalam implementasinya di berbagai negara haruslah mempertimbangkan keragaman kondisi dan tingkat perkembangan yang ada di negara-negara yang bersangkutan. Pandangan kedua ini tidak mempersoalkan eksistensi konseptual HAK ASASI MANUSIA, melainkan implementasinya di lapangan yang membutuhkan pertimbangan sosial, ekonomi, politik, dan budaya setempat.[153] Kita tidak boleh mengeneralisasikan kenyataan seakan-akan semua bangsa di dunia siap dan dapat menerapkan prinsip-prinsip yang bersifat universal itu dengan kecepatan yang sama ataupun dengan teknik-teknik yang seragam.

Akan tetapi, pandangan seperti ini, dalam praktek penerapannya di lapangan juga tidak lepas kemungkinan bergeser dari tujuan semua untuk melindungi, menghormati dan memajukan hak asasi manusia.[154] Kadang-kadang sikap demikian pulalah yang menyebabkan banyaknya aturan-aturan formal di negara-negara sedang berkembang yang hanya tertulis di atas kertas. Di negara-negara yang berlatarbelakang tradisi ‘civil law’ seperti Indonesia, dorongan membuat peraturan tertulis sebanyak-banyaknya tumbuh subur, tetapi penerapan dan penegakan aturan-aturan formal itu dalam kenyataan sering tertinggal. Di lingkungan negara-negara seperti ini, orang mudah menerima ide untuk meratifikasi semua konvensi internasional yang menyangkut hak asasi manusia, karena tokh penerapannya di lapangan, menurut pandangan moderat ini, akan dengan sendiri menyesuaikan diri dengan kenyataan-kenyataan historis dan kultural masyarakatnya sendiri. Karena itu, konsepsi hak asasi manusia yang unversal diterima, tetapi prosedur-prosedur implementasinya di lapangan dengan sendirinya berbeda dari praktek-praktek yang diterapkan di negara-negara lain yang lebih maju dalam pelaksanaan perlindungan hak asas manusia.[155]

Karena itu, dapat dikatakan ada persoalan konseptual dan prosedural dalam upaya pemajuan dan penegakan hak asasi manusia itu yang dikaitkan dengan dimensi-dimensi historis dan kultural yang deterministik atau menentukan corak pemahaman Hak Asasi Manusiaan dan implementasi prinsip hak asasi manusia dimana-mana.[156] Wacana mengenai perbedaan ini juga penting untuk mendapat perhatian yang seksama, agar hegemoni informasi dan hegemoni definisi konseptual (hegemoni makna) serta definisi prosedural HAK ASASI MANUSIA tidak didominasi secara sepihak dalam hubungan yang timpang antara masyarakat maju dan masyarakat yang sedang berkembang.[157] Memang benar bahwa untuk keperluan pemajuan dan apresiasi publik terhadap isu-isu hak asasi manusia, masyarakat Indonesia, misalnya, janganlah buru-buru dihantui oleh pemikiran yang membatasi kesadarannya sendiri untuk menghormati HAK ASASI MANUSIA.

Dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju demokrasi yang lebih sejati, apresiasi terhadap konsepsi hak asasi manusia masih harus ditingkatkan menurut standar-standar atau ukuran-ukuran hak asasi manusia yang universal.[158] Akan tetapi, proses adopsi terhadap universalitas hak asasi manusia itu tidak seharusnya menghalangi upaya kita bersama-sama bangsa-bangsa lain yang masih terbelakang untuk bangkit memperjuangkan aspirasi, mengatasi kecenderungan hegemoni makna yang didominasi oleh bangsa-bangsa maju dalam wacana umum tentang hak asasi manusia itu. Bangsa-bangsa yang sedang berkembang, di tengah arus globalisasi yang makin menggila dewasa ini, haruslah tampil menyuarakan aspirasi bangsa-bangsa yang sedang membangun, sehingga dapat terhindar dari hegemoni informasi yang didominasi secara sepihak dalam tata hubungan dunia yang timpang dewasa ini, dan bahkan cenderung makin timpang di masa-masa mendatang.[159]

Oleh sebab itu, perlu ditemukan dan dirumuskan batas-batas keseimbangan yang rasional dan proporsional mengenai universalitas dan relativitas konseptual dan prosedural hak asasi manusia dan hak-hak dasar atas informasi yang bebas. Dimensi-dimensi persoalan hak asasi manusia itu sendiri juga tidak dapat dilepaskan dari persoalan hubungan-hubungan kekuasaan yang timpang dan tidak adil, baik dalam peringkat lokal, nasional, regional, maupun internasional, baik dalam hubungan antara rakyat dengan suatu pemerintahan maupun antara konsumen dengan produsen dalam arti yang luas.[160] Dalam kaitan dengan hal itu, kecenderungan peta kekuatan dunia yang makin hegemonik dewasa ini, juga perlu mendapat perhatian yang seksama dalam upaya memperjuangkan aspirasi ke arah penataan kembali peta dunia baru yang lebih adil dan damai di masa depan.

  1. Generasi HAK ASASI MANUSIA

Sering dikemukakan bahwa pengertian konseptual hak asasi manusia itu dalam sejarah instrumen hukum internasional setidak-tidaknya telah melampauai tiga generasi perkembangan.[161] Ketiga generasi perkembangan konsepsi hak asasi manusia itu adalah:

Generasi Pertama, pemikiran mengenai konsepsi hak asasi manusia yang sejak lama berkembang dalam wacana para ilmuwan sejak era ‘enlightenment’ di Eropah, meningkat menjadi dokumen-dokumen hukum internasional yang resmi. Puncak perkembangan generasi pertama hak asasi manusia ini adalah pada persitiwa penandatangan naskah Universal Declaration of Human Rights Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1948 setelah sebelumnya ide-ide perlindungan hak asasi manusia itu tercantum dalam naskah-naskah bersejarah di beberapa negara, seperti di Inggeris dengan Magna Charta dan Bill of Rights, di Amerika Serikat dengan Decalaration of Independence, dan di Perancis dengan Declaration of Rights of Man and of the Citizens.[162] Dalam konsepsi generasi pertama ini elemen dasar konsepsi hak asasi manusia itu mencakup soal prinsip integritas manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik.

Generasi Kedua,[163] konsepsi hak asasi manusia mencakup pula upaya menjamin pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi, sosial dan kebudayaan, termasuk hak atas pendidikan, hak untuk menentukan status politik, hak untuk menikmati ragam penemuan penemuan-penemuan ilmiah, dan lain-lain sebagainya. Puncak perkembangan kedua ini tercapai dengan ditandatanganinya ‘International Couvenant on Economic, Social and Cultural Rights’ pada tahun 1966.[164]

Kemudian pada tahun 1986, muncul pula konsepsi baru hak asasi manusia yaitu mencakup pengertian mengenai hak untuk pembangunan atau ‘rights to development’. Hak atas atau untuk pembangunan ini mencakup persamaan hak atau kesempatan untuk maju yang berlaku bagi segala bangsa, dan termasuk hak setiap orang yang hidup sebagai bagian dari kehidupan bangsa tersebut. Hak untuk atau atas pembangunan ini antara lain meliputi hak untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan, dan hak untuk menikmati hasil-hasil pembangunan tersebut, menikmati hasil-hasil dari perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan, pendidikan, kesehatan, distribusi pendapatan, kesempatan kerja, dan lain-lain sebagainya. Konsepsi baru inilah yang oleh para ahli disebut sebagai konsepsi hak asasi manusia Generasi Ketiga.[165]

Namun demikian, ketiga generasi konsepsi hak asasi manusia tersebut pada pokoknya mempunyai karakteristik yang sama, yaitu dipaHak Asasi Manusiai dalam konteks hubungan kekuasaan yang versifat vertikal, antara rakyat dan pemerintahan dalam suatu negara. Setiap pelanggaran terhadap hak asasi manusia mulai dari generasi pertama sampai ketiga selalu melibatkan peran pemerintah yang biasa dikategorikan sebagai ‘crime by government’ yang termasuk ke dalam pengertian ‘political crime’ (kejahatan politik) sebagai lawan dari pengertian ‘crime against government’.[166] Karena itu, yang selalu dijadikan sasaran perjuangan hak asasi manusia adalah kekuasaan represif negara terhadap rakyatnya. Akan tetapi, dalam perkembangan zaman sekarang dan di masa-masa mendatang, sebagaimana diuraikan di atas dimensi-dimensi hak asasi manusia itu akan berubah makin kompleks sifatnya.

BAB III

PEMBAHASAN

III.1.Hak Warga Negara Dalam Konsep Kedaulatan Rakyat Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Kita pasti sudah tidak asing lagi dengan kedaulatan atau kedaulatan rakyat. Pada Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 aline ke empat juga dinyatakan “… maka disusunlah kemerdekaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada …” dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan “kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Pembukaan dan UUD 1945 Pasal 1 ayat 2 tersebut memuat pernyataan bahwa kedaulatan itu berada di tangan rakyat.

Kedaulatan berasal dari bahasa Arab (daulah)[167], yang berarti kekuasaan tertinggi. Menurut Jean Bodin (tokoh ilmu negara), kedaulatan dalam negara ialah kekuasaan tertinggi dalam negara yang tidak berasal dari kekuasaan lain. Berdasarkan pengertian tersebut maka kedaulatan memiliki sifat asli, tidak terbagi bagi, mutlak, dan permanen. Kedaulatan bersifat asli karena kekuasaan yang tertinggi itu tidak berasal dari pemberian kekuasaan yang lebih tinggi. Kedaulatan itu bersifat tidak terbagi-bagi artinya utuh dimiliki oleh pemegang kedaulatan itu tanpa dibagi kepada pihak lain.[168] Kedaulatan itu bersifat permanen, artinya kedaulatan itu tetap, tidak berubah berada dalam kekuasaan pemegang kedaulatan tersebut. Dengan demikian, kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi. Jika dikaitkan dengan pemerintahan, pemerintah adalah lembaga yang diberi mandat atau wewenang oleh lembaga yang lebih tinggi untuk memegang kedaulatan dalam negara.

Dalam memahami konsep kedaulatan rakyat, lebih baik kita meng kaji terlebih dahulu tentang konsep perjanjian masyarakat dalam pembentukan negara. Kedaulatan rakyat hanya dapat dilak sana kan di negara yang dibangun atas dasar perjanjian masyarakat. Tokoh tokoh atau para ahli yang mengemukakan teori perjanjian negara adalah sebagai berikut:[169]

Menurut Thomas Hobbes, pada awalnya suatu negara dalam keadaan kacau (homo homini lupus, bellum omnium contra omnes) yang menimbulkan rasa takut. Untuk itu, manusia menyadari bahwa untuk menghilangkan kekacauan tersebut masyarakat berjanji untuk membentuk suatu wadah atau negara yang kepemimpinannya diserahkan kepada seorang raja yang memiliki kekuasaan mutlak (absolute).

John Locke adalah peletak dasar hak asasi manusia. Menurut pendapatnya, hak asasi manusia harus dilindungi. Untuk melindungi hak asasi, dibuatlah per janjian untuk membuat suatu wadah atau negara yang akan melindungi hak tersebut. Kemudian, wadah itu harus menjamin kepentingan masyarakat dalam suatu peraturan perundang-undangan. John Locke me nyimpulkan bahwa ter bentuknya negara melalui perjanjian adalah sebagai berikut.[170]

  • Pactum unionis, yaitu perjanjian antarindividu untuk membentuk suatu negara.
  • Pactum subjektionis, yaitu perjanjian antara individu dan wadah atau negara untuk memberi kewenangan atau mandat kepada negara berdasarkan konstitusi atau UUD.

Jean Jacques Rousseau hidup pada abad ke-18. Menurut pendapat nya, individu menyerahkan hakhaknya kepada negara untuk dilindungi. Kemudian, negara harus melindungi dan mengembalikan hak-hak warga negara. Oleh karena itu, penguasa dibentuk berdasarkan kehendak rakyat. Hal ini melahirkan sebuah negara demokrasi (kedaulatan rakyat).[171] Dalam teori perjanjian masyarakat, akan muncul sebuah negara yang kedaulatannya di tangan raja (Thomas Hobbes) dan kedaulatan yang berada di tangan rakyat (John Locke dan Jean Jacques Rousseau).[172] Di dalam negara demokrasi, rakyat yang berdaulat dan penguasa-penguasa negara hanya merupakan wakil-wakil rakyat. Dengan demikian, kedaulatan rakyat membawa akibat rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam bernegara. Kedaulatan rakyat juga dapat berarti pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Kedaulatan sebuah negara tidak mungkin akan dimiliki jika negara tersebut berada dalam penjajahan negara lain. Kedaulatan terdiri atas kedaulatan ke dalam dan ke luar. Kedaulatan ke dalam, yaitu kedaulatan untuk mengatur fungsi-fungsi alat perlengkapan negara.[173] Kedaulatan ke luar, yaitu wewenang suatu negara untuk melakukan tindakan atau hubungan ke luar dengan negara lain. Kedaulatan harus dijaga agar tidak dirampas dan di ganggu oleh negara lain. Dalam hal siapa yang memegang kedaulatan tertinggi dalam suatu negara, ada berbagai teori yang membahasnya.[174]

Rakyat merupakan unsur yang pertama kali berkehendak membentuk suatu negara, dan rakyat pulalah yang merencanakan, merintis, mengendalikan dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Oleh sebab itulah rakyat merupakan faktor terpenting dan utama dalam pembentukan suatu negara. Rakyat dalam hal ini dapat diartikan sebagai sekumpulan manusia yang dipersatukan oleh rasa solidaritas dan bersama-sama mendiami suatu wilayah tertentu.

Rakyat dapat dibedakan menjadi dua macam yakni:[175]

  1. Penduduk, yaitu mereka yang bertempat tinggal atau berdomisili di dalam suatu wilayah negara (menetap). Mereka disebut penduduk karena orang-orang tersebut lahir secara turun-temurun, berkembang dan besar di dalam suatu negara tertentu.
  2. Bukan penduduk, yaitu mereka yang berada di dalam suatu wilayah negara hanya untuk sementara waktu. Misalnya para turis mancanegara, orang-orang asing yang bekerja dalam suatu Negara tertentu, orang-orang asing yang belajar dalam suatu negara tertentu maupun tamu-tamu instansi tertentu.

Pembagian di atas pada hakikatnya didasarkan pada hak dan kewajiban. Seseorang yang berstatus sebagai penduduk mempunyai hak untuk mendapatkan identitas yang sah. Misalnya di Indonesia setiap orang yang berusia 17 tahun berhak mendapat KTP (Kartu Tanda Penduduk). Sedangkan rakyat berdasarkan hubungannya dengan pemerintahan dapat pula dibedakan menjadi dua yakni:[176]

  1. Warga negara, yaitu mereka yang berdasarkan hukum tertentu dianggap bagian sah dari suatu negara. Atau dengan kata lain warga negara adalah mereka yang menurut undang-undang atau perjanjian diakui sebagai warga negara melalui proses naturalisasi.
  2. Bukan warga negara (orang asing), yaitu mereka yang berada pada suatu negara tetapi secara hukum tidak menjadi anggota Negara yang bersangkutan, namun tunduk pada pemerintah di mana mereka berada. Misalnya duta besar, konsuler, kontraktor asing, pekerja asing, dan lain sebagainya.

Warga negara atau bukan warga negara mempunyai konsekuensi yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari hak dan kewajibannya. Seorang warga negara mempunyai hak-hak tertentu dalam suatu negara, missal hak ikut berkumpul, bersuara dalam partai politik atau ikut serta dalam pemilihan umum. Sedangkan yang bukan warga negara tidak diberi hakhak tersebut.

Kekuasaan dalam suatu organisasi dapat diperoleh berdasarkan legitimasi religius, legitimasi ideologis eliter atau pun legitimasi pragmatis.[177] Namun kekuasaan berdasarkan legitimasi-legitimasi tersebut  dengan sendirinya mengingkari kesamaan dan kesederajatan manusia, karena mengklaim kedudukan lebih tinggi sekelompok manusia dari manusia lainnya. Selain itu, kekuasaan yang berdasarkan ketiga legitimasi diatas akan menjadi kekuasaan yang absolut, karena asumsi dasarnya menempatkan kelompok yang memerintah sebagai pihak yang berwenang secara istimewa dan lebih tahu dalam menjalankan urusan kekuasaan negara. Kekuasaan yang didirikan berdasarkan ketiga legitimasi tersebut bisa dipastikan akan menjadi kekuasaan yang otoriter.

Konsepsi demokrasilah yang memberikan landasan dan mekanisme kekuasaan berdasarkan prinsip persamaan dan kesederajatan manusia. Demokrasi menempatkan manusia sebagai pemilik kedaulatan yang kemudian dikenal dengan prinsip kedaulatan rakyat. Berdasarkan pada teori kontrak sosial,[178] untuk memenuhi hak-hak tiap manusia tidak mungkin dicapai oleh masing-masing orang secara individual, tetapi harus bersama-sama. Maka dibuatlah perjanjian sosial yang berisi tentang apa yang menjadi tujuan bersama, batas-batas hak individual, dan siapa yang bertanggungjawab untuk pencapaian tujuan tersebut dan menjalankan perjanjian yang telah dibuat dengan batas-batasnya. Perjanjian tersebut diwujudkan dalam bentuk konstitusi sebagai hukum tertinggi di suatu negara (the supreme law of the land)[179], yang kemudian dielaborasi secara konsisten dalam hukum dan kebijakan negara. Proses demokrasi juga terwujud melalui prosedur pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat dan pejabat publik lainnya.

Konsepsi HAM dan demokrasi dalam perkembangannya sangat terkait dengan konsepsi negara hukum. Dalam sebuah negara hukum, sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dimaknai sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak pada konstitusi. Hal ini berarti bahwa dalam sebuah negara hukum menghendaki adanya supremasi konstitusi. Supremasi konstitusi disamping merupakan konsekuensi dari konsep negara hukum, sekaligus merupakan pelaksanaan demokrasi karena konstitusi adalah wujud perjanjian sosial tertinggi.[180]

Selain itu, prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat dapat menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang diterapkan dan ditegakkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan atau hanya untuk kepentingan penguasa. Hal ini bertentangan dengan prinsip demokrasi. Hukum tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan beberapa orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan keadilan bagi semua orang. Dengan demikian negara hukum yang dikembangkan bukan absolute rechtsstaat, melainkan democratische rechtsstaat.[181]

Hak Warga Negara dalam konsep Kedaulatan rakyat dalam Undang-Undang Dasar 1945 amandemen dapat dikonsepsikan dan dilihat dalam beberapa pasal Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 amandemen memasukkan prinsip-prinsip Hak Asasi manusia, baik Hak-Hak Sipil, Hak-Hak Politik, Ekonomi, Sosial dan Budaya, Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan bahkan Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia juga di masukkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 amandemen.

Sebagaimana telah berhasil dirumuskan dalam naskah Perubahan Kedua UUD 1945, ketentuan mengenai hak-hak asasi manusia telah mendapatkan jaminan konstitusional yang sangat kuat dalam Undang-Undang Dasar. Sebagian besar materi Undang-Undang Dasar ini sebe­narnya berasal dari rumusan Undang-Undang yang telah disah­kan sebe­lum­nya, yaitu UU tentang Hak Asasi Manusia. Jika dirumuskan kembali, maka materi yang sudah diadopsikan ke dalam rumusan Undang-Undang Dasar 1945 mencakup 27 materi berikut:

  1. Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak memper­tahankan hidup dan kehidupannya[182].
  2. Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjut­kan keturunan melalui perkawinan yang sah[183].
  3. Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari ke­ke­rasan dan diskriminasi[184].
  4. Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskri­minatif atas dasar apapun dan berhak mendapat­kan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat dis­kri­mi­natif itu[185].
  5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menu­rut aga­ma­nya, memilih pendidikan dan pengajaran, me­mi­­­lih peker­jaan, memilih kewarganegaraan, memilih tem­pat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali[186].
  6. Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini keperca­yaan, me­nya­takan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya[187].
  7. Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkum­pul, dan mengeluarkan pendapat[188].
  8. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memper­oleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan ling­kungan sosial­nya serta berhak untuk mencari, mem­per­oleh, memiliki, menyim­pan, mengolah, dan menyam­pai­kan informasi dengan menggu­nakan segala jenis saluran yang tersedia[189].
  9. Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, ke­luar­ga, ke­hor­matan, martabat, dan harta benda yang di bawah kekua­saannya, serta berhak atas rasa aman dan per­lindungan dari an­caman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi[190].
  10. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia dan berhak mem­peroleh suaka politik dari negara lain[191].
  11. Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, ber­tempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kese­hatan[192].
  12. Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perla­ku­an khu­sus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan[193].
  13. Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memung­kinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manu­sia yang ber­martabat[194].
  14. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil alih secara sewe­nang-wenang oleh siapapun[195].
  15. Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pe­me­nuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidik­an dan memper­oleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kese­jah­teraan umat manusia[196].
  16. Setiap orang berhak untuk memajukan dirinya dalam mem­perjuangkan haknya secara kolektif untuk mem­ba­ngun ma­sya­rakat, bangsa dan negaranya[197].
  17. Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlin­dung­an, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadap­an hukum[198].
  18. Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbal­an dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja[199].
  19. Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan[200].
  20. Negara, dalam keadaan apapun, tidak dapat mengurangi hak setiap orang untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut[201].
  21. Negara menjamin penghormatan atas identitas budaya dan hak masyarakat tradisional selaras dengan perkem­bangan zaman dan tingkat peradaban bangsa[202].
  22. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral ke­ma­nu­siaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan men­ja­min kemer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk me­me­luk dan menjalankan ajaran agamanya[203].
  23. Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, ter­utama pemerintah[204].
  24. Untuk memajukan, menegakkan dan melindungi hak asasi ma­nusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang demokratis, ma­ka pelaksanaan hak asasi manusia dija­min, diatur dan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan[205].
  25. Untuk menjamin pelaksanaan Pasal 4 ayat (5) tersebut di atas, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat inde­penden menurut ketentuan yang diatur dengan undang-un­dang[206].
  26. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain da­lam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan ber­negara.
  27. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan de­ngan undang-undang dengan maksud semata-mata un­tuk menjamin peng­akuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertim­bangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis[207].

Jika ke-27 ketentuan yang sudah diadopsikan ke dalam Undang-Undang Dasar diperluas dengan memasukkan ele­men baru yang ber­sifat menyempurnakan rumusan yang ada, lalu dikelompokkan kembali sehingga mencakup ketentuan-ketentuan baru yang belum dimuat di dalamnya, maka ru­mus­an hak asasi manusia dalam Un­dang-Undang Dasar da­pat mencakup lima kelompok materi sebagai berikut:

  1. Kelompok Hak-Hak Sipil yang dapat dirumuskan men­jadi:
  2. Setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan kehidupannya.
  3. Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat kemanusiaan.
  4. Setiap orang berhak untuk bebas dari segala bentuk perbu­dakan.
  5. Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya.
  6. Setiap orang berhak untuk bebas memiliki keyakinan, pikiran dan hati nurani.
  7. Setiap orang berhak untuk diakui sebagai pribadi di ha­dapan hukum.
  8. Setiap orang berhak atas perlakuan yang sama di ha­dapan hukum dan pemerintahan.
  9. Setiap orang berhak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.
  10. Setiap orang berhak untuk membentuk keluarga dan melan­jutkan keturunan melalui perkawinan yang sah.
  11. Setiap orang berhak akan status kewarganegaraan.
  12. Setiap orang berhak untuk bebas bertempat tinggal di wi­layah negaranya, meninggalkan dan kembali ke negaranya.
  13. Setiap orang berhak memperoleh suaka politik.
  14. Setiap orang berhak bebas dari segala bentuk perla­kuan dis­kriminatif dan berhak mendapatkan perlin­dungan hukum dari perlakuan yang bersifat diskrimi­natif tersebut.

Terhadap hak-hak sipil tersebut, dalam keadaan apa­pun atau ba­gai­manapun, negara tidak dapat mengurangi arti hak-hak yang ditentukan dalam Kelompok 1 “a” sampai dengan “h”. Namun, ke­tentuan tersebut tentu tidak di­mak­sud dan tidak dapat diartikan atau digunakan seba­gai dasar untuk membebaskan seseorang dari penun­tutan atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang diakui menurut ketentuan hukum Internasional. Pembatasan dan penegasan ini penting untuk memas­tikan bahwa ketentuan tersebut tidak dimanfaatkan secara semena-mena oleh pihak-pihak yang berusaha membebaskan diri dari ancaman tuntutan. Justru di sini­lah letak kontro­versi yang timbul setelah ketentuan Pasal 28I Perubahan Kedua UUD 1945 disahkan beberapa waktu yang lalu.

  1. Kelompok Hak-Hak Politik
  2. Setiap warga negara berhak untuk berserikat, ber­kum­pul dan menyatakan pendapatnya secara damai.
  3. Setiap warga negara berhak untuk memilih dan di­pi­lih dalam rangka lembaga perwakilan rakyat.
  4. Setiap warga negara dapat diangkat untuk mendu­duki ja­batan-jabatan publik.
  1. Kelompok Hak-Hak Ekonomi
  2. a. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih peker­jaan yang sah dan layak bagi kemanusiaan.
  3. b. Setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbal­an, dan men­dapat perlakuan yang layak dalam hu­bung­an kerja yang berkeadilan.
  4. c. Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi.
  1. Hak-Hak Sosial
  2. a. Setiap warga negara berhak atas jaminan sosial yang dibu­tuh­kan untuk hidup layak dan memungkinkan pengembangan dirinya sebagai manusia yang ber­martabat.
  3. b. Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan mem­peroleh informasi.
  4. c. Setiap orang berhak untuk memperoleh dan memilih pendi­dikan dan pengajaran.
  5. d. Setiap orang berhak mengembangkan dan memper­oleh man­faat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya untuk peningkatan kualitas hidup dan kesejahteraan umat manusia.
  1. Hak-Hak Budaya
  2. a. Negara menjamin penghormatan atas identitas bu­da­ya dan hak-hak masyarakat lokal selaras dengan per­kembangan za­man dan tingkat peradaban bangsa[208].
  3. b. Negara mengakui setiap budaya sebagai bagian dari kebu­dayaan nasional.
  4. c. Negara menjunjung tinggi nilai-nilai etika dan moral kema­nusiaan yang diajarkan oleh setiap agama, dan menjamin ke­mer­dekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk dan menja­lankan ajaran agamanya[209].
  1. 6. Kelompok Hak-Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan
  2. Setiap warga negara yang menyandang masalah so­sial, terma­suk kelompok masyarakat yang terasing dan yang hidup di lingkungan terpencil, berhak men­dapat kemudahan dan per­lakuan khusus untuk mem­peroleh kesempatan yang sama.
  3. Hak perempuan dijamin dan dilindungi untuk men­capai kesetaraan gender dalam kehidupan nasional.
  4. Hak khusus yang melekat pada diri perempuan yang dika­renakan oleh fungsi reproduksinya dijamin dan dilindungi oleh hukum.
  5. Setiap anak berhak atas kasih sayang, perhatian dan perlin­dungan orangtua, keluarga, masyarakat dan ne­ga­ra bagi per­tumbuhan fisik dan mental serta per­kem­bangan pribadinya.
  6. Setiap warga negara berhak untuk berperan serta da­lam pengelolaan dan turut menikmati manfaat yang diperoleh dari pengelolaan kekayaan alam.
  7. Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang ber­sih dan sehat.
  8. Kebijakan, perlakuan atau tindakan khusus yang ber­sifat sementara dan dituangkan dalam peraturan per­undangan-un­dangan yang sah yang dimaksudkan un­tuk menyetarakan tingkat perkembangan kelom­pok tertentu yang pernah me­nga­lami perlakuan dis­krimi­nasi dengan kelompok-kelompok lain dalam masya­rakat, dan perlakuan khusus sebagaimana di­ten­tukan dalam ayat (1) pasal ini, tidak termasuk dalam pe­nger­tian diskriminasi sebagaimana ditentu­kan dalam Pasal 1 ayat (13).
  9. 7. Tanggungjawab Negara dan Kewajiban Asasi Manusia
  10. Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
  11. Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang dite­tap­kan oleh undang-undang dengan maksud semata-ma­ta untuk menjamin pengakuan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk meme­nuhi tuntutan keadilan sesuai dengan nilai-nilai aga­ma, moralitas dan kesusilaan, keamanan dan keter­tib­an umum dalam masyarakat yang demokratis.
  12. Negara bertanggungjawab atas perlindungan, pema­juan, penegakan, dan pemenuhan hak-hak asasi ma­nusia.
  13. Untuk menjamin pelaksanaan hak asasi manusia, dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang bersifat independen dan tidak memihak yang pem­bentukan, susunan dan kedu­dukannya diatur dengan undang-undang.

Ketentuan-ketentuan yang memberikan jaminan konsti­tusional terhadap hak-hak asasi manusia itu sangat penting dan bahkan diang­gap merupakan salah satu ciri pokok dianutnya prinsip negara hukum di suatu negara. Namun di samping hak-hak asasi manusia, harus pula dipa­hami bahwa setiap orang memiliki kewajiban dan tanggung­jawab yang juga bersifat asasi. Setiap orang, selama hidup­nya sejak sebe­lum kelahiran, memiliki hak dan kewajiban yang hakiki seba­gai manusia.

Pembentukan negara dan pemerin­tahan, untuk alas­­an apapun, tidak boleh menghilangkan prinsip hak dan kewa­jiban yang disandang oleh setiap ma­nu­sia. Karena itu, jaminan hak dan kewajiban itu tidak diten­tukan oleh kedu­dukan orang sebagai warga suatu negara. Setiap orang di ma­na­pun ia berada harus dija­min hak-hak dasarnya. Pada saat yang bersamaan, setiap orang di manapun ia berada, juga wajib menjunjung tinggi hak-hak asasi orang lain sebagai­mana mestinya. Keseim­bangan kesadaran akan ada­nya hak dan kewajiban asasi ini merupakan ciri penting pan­dangan dasar bangsa Indonesia mengenai manusia dan kemanusiaan yang adil dan beradab.

III.2.Pelaksanaan Hak Warga Negara Dalam Konsep Kedaulatan Rakyat Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen

Undang Undang RI Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak – hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Rights). Kovenan ini mengukuhkan pokok-pokok hak asasi manusia di bidang sipil dan politik yang tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights sehingga menjadi ketentuan-ketentuan yang mengikat secara hukum. Kovenan tersebut terdiri dari pembukaan dan Pasal-Pasal yang mencakup 6 bab dan 53 Pasal.

Hak-hak sipil (Civil Rights) dalam pengertian yang luas, mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan kebudayaan, merupakan hak yang dinikmati oleh manusia dalam hubungannya dengan warga negara yang lainnya, dan tidak ada hubungannya dengan penyelenggaraan kekuasaan negara, salah satu jabatan dan kegiatannya.

Hak – hak sipil (kebebasan-kebebasan fundamental) meliputi hak-hak berikut :

  1. hak hidup;
  2. hak bebas dari siksaan, perlakuan atau penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat;
  3. hak bebas dari perbudakan;
  4. hak bebas dari penangkapan atau penahanan secara sewenang-wenang;
  5. hak memilih tempat tinggalnya, untuk meninggalkan negara manapun termasuk negara sendiri;
  6. hak persamaan di depan peradilan dan badan peradilan;
  7. hak atas praduga tak bersalah.
  8. hak kebebasan berpikir;
  9. hak berkeyakinan (consciense) dan beragama;
  10. hak untuk mempunyai pendapat tanpa campur tangan pihak lain;
  11. hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat;
  12. hak atas perkawinan/membentuk keluarga;
  13. hak anak atas perlindungan yang dibutuhkan oleh statusnya sebagai anak dibawah umur, keharusan segera didaftarkannya setiap anak setelah lahir dan keharusan mempunyai nama, dan hak anak atas kewarganegaraan;
  14. hak persamaan kedudukan semua orang di depan hukum; dan
  15. hak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi.

Masuknya pasal-pasal Hak Asasi Manusia dalam UUD 1945, tidak lepas dari perdebatan yang mendahuluinya antara kelompok yang keberatan (terutama Ir.Soekarno dan Mr.Soepomo) dan kelompok yang menghendaki dimasukkanya konsep hak asasi manusia (terutama Moh. Hatta).

Munculnya dua pendapat yang berbeda tersebut, sebagaimana dituturkan Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya, Naskah Persiapan UUD 1945, Jilid I, antara lain sebagai berikut.[210]

Bung Karno menjelaskan bahwa telah ditentukan sidang pertama bahwa “kita menyetujui keadilan sosial. Keadilan sosial inilah protes kita yang maha hebat terhadap dasar individualisme. Kita menghendaki keadilan sosial. Buat apa grondwet (Undang – Undang Dasar) menuliskan bahwa manusia bukan saja mempunyai hak kemerdekaan memberi suara, mengadakan persidangan dan berapat, jikalau misalnya tidak ada sociale rechvaardigheid (keadilan sosial) yang demikian itu? Buat apa kita membikin grondwet, apa guna grondwet itu kalau ia tidak dapat mengisi perut orang yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu, jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-menolong, faham gotong – royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tipe-tipe pikiran, tiap-tiap faham individualisme dan liberalisme daripadanya. Kita rancangkan UUD dengan kedaulatan rakyat, dan bukan kedaulatan individu. Inilah menurut paham Panitia Perancang UUD satu-satunya jaminan, bahwa bangsa Indonesia seluruhnya akan selamat di kemudian hari.” Demikianlah pendapat Bung Karno, yang kemudian didukung oleh Soepomo.

Sedangkan pendapat Drs.Mohammad Hatta, antara lain menyatakan : “…Mendirikan negara yang baru, hendaknya kita memperhatikan syarat-syarat supaya negara yang kita bikin jangan sampai menjadi negara kekuasaan. Kita menghendaki Negara Pengurus, kita membangun masyarakat baru yang berdasarkan gotong-royong, usaha bersama, tujuan kita adalah membaharui masyarakat. Tetapi disebelah itu janganlah kita memberikan kekuasaan yang tidak terbatas kepada negara untuk menjadikan di atas negara baru itu suatu Negara Kekuasaan. Sebab itu ada baiknya dalam salah satu fasal yang mengenai warga negara disebutkan juga sebelah hak yang sudah diberikan kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya tiap – tiap warga negara jangan takut mengeluarkan suara”. Demikianlah pendapat Bung Hatta, yang pendapatnya kemudian didukung oleh Muhammad Yamin.

Dari kedua pendapat di atas, maka memahami pokok-pokok hak asasi manusia dalam UUD 1945, rujukannya (referensinya) yang akurat adalah pendapat Drs.Mohammad Hatta, yang esensinya mencegah berkembangnya Negara Kekuasaan. Bung Hatta melihat dalam kenyataan bahwa pelanggaran hak asasi manusia terutama dilakukan oleh penguasa.[211]

Sedangkan pemikiran Bung Karno yang memandang hak asasi manusia bersifat individualisme dan dipertentangkan dengan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial, sampai saat ini masih dianut terutama oleh penguasa.

Apa yang dikhawatirkan oleh Bung Hatta terbukti sudah.[212] Hal itu dapat dicermati bahwa pada abad ke-20 masih tampak perjuangan hak asasi manusia terutama dilakukan masyarakat terhadap pemerintahan sendiri yang otoriter. Sampai memasuki abad ke-21, persoalan pada abad ke-20 masih belum berakhir. Hanya saja persoalan hak asasi manusia, demokrasi dan lingkungan telah menjadi isue global, sehingga negara-negara yang otoriter semakin terdesak untuk merealisasikan hak asasi manusia tidak hanya dari tuntutan masyarakatnya tetapi juga dari dunia internasional.

Meskipun di Indonesia telah ada jaminan secara konstitusional dan telah dibentuk lembaga yang berkomitmen melindungi hak asasi manusia, tetapi belum menjamin bahwa perlindungan hak asasi manusia telah dilaksanakan.[213]

Lukman Soetrisno seorang sosiolog, mengajukan indikator bahwa suatu pembangunan telah melaksanakan hak-hak asasi manusia apabila telah menunjukkan adanya indikator-indikator, sebagai berikut :[214]

Pertama, dalam bidang politik berupa kemauan pemerintah dan masyarakat untuk mengakui pluralisme pendapat dan kepentingan dalam masyarakat; kedua, dalam bidang sosial berupa : (1) perlakuan yang sama oleh hukum antara wong cilik dan priyayi; (2) toleransi dalam masyarakat terhadap perbedaan atau latar belakang agama dan ras warga negara Indonesia; serta Ketiga, dalam bidang ekonomi dalam bentuk tidak adanya monopoli dalam sistem ekonomi yang berlaku. Ketiga indikator tersebut, jika dipakai untuk melihat pelaksanaan pembangunan di Indonesia dewasa ini di bidang politik, sosial dan ekonomi, masih jauh dari yang diharapkan.[215]

Kehidupan politik masih cenderung didominasi konflik antar elit politik sering berimbas pada konflik dalam masyarakat (konflik horizontal) dan elit politik lebih memperhatikan kepentingan diri atau kelompoknya, sementara kepentingan masyarakat sebagai konstiuennya diabaikan.[216] Ingat berkecamuknya konflik di Ambon, Poso, konflik prokontra pemekaran provinsi di Papua, dan konflik antar simpatisan partai politik (akhir Oktober 2003) di Bali.

Di bidang hukum, masih terlihat lemahnya penegakan hukum, banyak pejabat yang melakukan pelanggaran hukum sulit dijamah oleh hukum, sementara ketika pelanggaran itu dilakukan oleh wong cilik hukum tampak begitu kuat cengkeramannya. Dalam masyarakat juga masih tampak kurang adanya toleransi terhadap perbedaan agama, ras konflik. Berbagai konflik dalam masyarakat paling tidak dipermukaan masih sering terdapat nuansa SARA.

Sedangkan di bidang ekonomi masih tampak dikuasai oleh segelintir orang (konglomerat) yang menunjukkan belum adanya kesempatan yang sama untuk berusaha.[217] Kondisi tersebut merupakan salah satu faktor mengapa Indonesia begitu sulit untuk keluar dari krisis politik, ekonomi dan sosial. Ini berarti harus diakui bahwa dalam pelaksanaan hak-hak sipil masih banyak terjadi pelanggaran dalam berbagai bidang kehidupan.

Banyaknya pelanggaran hak-hak sipil di Indonesia, baik dilakukan oleh Pemerintah, aparat keamanan maupun oleh masyarakat.[218] Namun ada kecenderungan pihak Pemerintah lebih dominan, karena sebagai pemegang kekuasaan dapat secara leluasa untuk memenuhi kepentingan yang seringkali dilakukan dengan cara-cara manipulasi sehingga mengorbankan hak-hak pihak lain. Seperti kebijakan pemerintah mengenai impor beras, dirasakan sangat merugikan para petani.

Masih terbenam dalam ingatan, kasus Marsinah. Kasus yang berawal dari unjuk rasa dan pemogokan yang dilakukan buruh PT.CPS pada tanggal 3-4 Mei 1993 yang berbuntut di PHK-nya 13 buruh. Marsinah menuntut dicabutnya PHK yang menimpa rekan-rekannya. Pada 5 Mei 1993, Marsinah ‘menghilang’, yang kemudian ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan pada 9 Mei 1993 di hutan Wilangan, Nganjuk. Perkembangan pengusutan kasus ini membuktikan adanya keterlibatan 6 anggota TNI-AD dari kesatuan Danintel Kodam, Kopasus, 20 anggota Polri dan 1 orang dari Kejaksaan. Namun perlakuan Kodim tidak berhenti pada PHK 13 orang dan tewasnya Marsinah, karena pada tanggal 7 Mei 1993masih ada 8 orang buruh PT.CPS yang juga di PHK oleh pihak Kodim di Markas Kodim.

Peristiwa berdarah di Universitas Muslim Indonesia (UMI), Ujung Pandang pada tanggal 26 April 1996 juga menyisakan kenangan yang memilukan. Kasus yang berawal dari aksi unjuk rasa mahasiswa Universitas Muslim Indonesia terhadap kenaikan tarif angkutan kota (pete-pete) bagi kalangan pelajar dan mahasiswayang dikenai aturan lebih dari yang ditetapkan Menteri Perhubungan yaitu sebesar Rp.100,-. Dalam kasus tersebut, aparat keamanan bersikap berlebihan dan represif dalam menghadapi pengunjuk rasa dengan menyerbu kampus UMI dan menembak dengan peluru tajam sehingga pecah insiden berdarah yang menimbulkan korban jiwa di pihak mahasiswa.

Pelanggaran hak-hak sipil yang dilakukan oleh masyarakat, terutama tampak pada kasus konflik horizontal di berbagai daerah, seperti konflik berdarah di Palangkaraya, Sambas, kasus Sanggauledo, Tasikmalaya, Maluku dan Ambon. Salah satu kebiasaan yaitu pengeroyokan sebagai bentuk main hakim sendiri (eigenrichting)[219] dalam menyelesaikan pertikaian atau konflik sudah sangat kuat mempengaruhi kalangan pelajar dan mahasiswa, serta pembakaran sampai tewas terhadap orang yang dituduh atau tertangkap tangan melakukan pencurian.

Kewenangan Pemerintah Daerah untuk mengatur diri sendiri merupakan perwujudan dari semangat otonomi daerah. Untuk melaksanakan otonomi tersebut maka diperlukan peraturan daerah untuk mendukung tercapainya tujuan tersebut. Landasan hukum Perda ini adalah berdasarkan Pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Namun, dalam pelaksanaan dan penerbitannya, kewenangan Pemda ini telah memunculkan Perda hanya mementingkan golongan agama tertentu dan bersifat diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Contoh dari Perda tersebut adalah:

  • Perda Nomor 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran di Propinsi Banten. Perda ini mengakibatkan petugas trantib di lapangan bertindak sembarangan menangkap perempuan yang berada di jalan, di malam hari, yang dituduh sebagai pelacur. Perda ini perlu dicabut karena menimbulkan penyalahgunaan dan tindak sewenang-wenang karena tidak jelasnya criteria yang membedakan antara orang yang berada diluar rumah di malam hari dan yang bukan sehingga menimbulkan potensi pelanggaran HAM;
  • Perda Nomor 17 Tahun 2003 tentang Pedagang Kaki Lima di Surabaya. Perda tersebut telah melanggar HAM karena mensyaratkan PKL harus memiliki KTP Surabaya sebagai syarat untuk mendapatkan tanda daftar usaha. Persyaratan ini merupakan pembatasan bagi penduduk di luar Surabaya untuk melakukan kegiatan sebagai PKL dan telah menghambat hak setiap orang untuk memperoleh pekerjaan yang layak serta hak setiap orang untuk bergerak, berpindah dan bertempat tinggal dimanapun di wilayah negara RI.

Padahal dalam ketentuan Pasal 6 UU Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menetapkan bahwa salah satu asas pembentukan suatu peraturan perundangan-undangan adalah ‘kemanusiaan’, yang berarti harus menghormati HAM.

Hak Mendirikan Organisasi Buruh dan Menjadi Anggotanya, Hak ini telah jelas dijamin UUD 1945 sebagai hak konstitusional warga negara dan juga di dalam UU HAM, serta lebih diperjelas lagi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU Pembentukan Serikat Buruh. Akan tetapi pada prakteknya, masih banyak pengusaha yang tidak menyukai keberadaan organisasi buruh di perusahaannya. Pengusaha ini baik secara sengaja atau tidak sengaja, diam-diam maupun terang-terangan berusaha untuk menghalangi terbentuknya organisasi buruh dan mengintimidasi pengurusnya atau buruh yang menjadi anggota serikat buruh. Kurangnya keberpihakan dan perlindungan dari instansi yang terkait dalam perlindungan hak ini membuat hak-hak ini menjadi terlanggar yang ditunjukkan dari indikasi banyaknya kasus-kasus yang terjadi dan masuk sebagai pengaduan ke Komnas HAM.

Hak untuk tidak Ditahan dan Ditangkap Serta Dijadikan Tersangka/Terdakwa Secara Sewenang-wenang, Penahanan adalah bentuk pengekangan kebebasan yang tidak boleh dilakukan kecuali memenuhi persyaratan yang secara ketat diberlakukan untuk membatasi penahanan tersebut. Kasus Asrori di Jombang menunjukkan penegakkan hak ini masih dilanggar dan di banyak kasus lainnya hak ini tidak begitu dihormati oleh aparat penegak hukum yang memiliki kewenangan untuk menahan/menangkap seseorang.

  1. Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya

Persoalan korupsi yang sekarang telah menjadi gurita dalam sistem pemerintahan di Indonesia merupakan gambaran dari bobroknya tata pemerintahan di negara ini. Fenomena ini telah menghasilkan kemiskinan, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan serta buruknya pelayanan publik. Akibat dari korupsi penderitaan selalu dialami oleh masyarakat, terutama yang berada di bawah garis kemiskinan.

Dibeberapa daerah banjir, longsor, infrastruktur hancur, tranportasi terganggu distribusi barang terhambat merupakan efek dari perbuatan korupsi, yang mau tidak mau dirasakan oleh masyarakat yang tidak berdosa. Perubahan kekuasan dari sentralisasi ke otonomi daerah justru menimbulkan persoalan baru, dimana korupsi berpindah dari pusat ke daerah. Dengan berbagai modus operandi, korupsi yang dikemas sedemikian rapi terkadang atas nama kebijakan, telah melahirkan persoalan baru di beberapa daerah.

Beberapa data telah menujukan bagaimana sumberdaya alam telah diselundupkan oleh mereka yang tidak bertanggungjawab. Pasir laut 8 miliar dollar AS (lebih kurang Rp 72 triliun), Bahan Bakar Minyak 5,6 miliar dollar AS ( lebih kurang Rp. 50 triliun), Kayu 3-4 miliar dollar AS (lebih kurang 30 triliun), Kekayaan Laut 4 miliar dollar AS ( lebih kurang 36 triliun), satwa langka diperkirakan lebih dari Rp. 100 triliun( kompas 2004).

Data-data ini menunjukan bahwah sumberdaya alam yang dimiliki oleh banyak daerah di Indonesia sesungguhnya menyimpan potensi yang luar biasa untuk memberikan kesejahateraan masyarakat di daerah, namun karena perbuatan korupsi penderitaan juga diaalami oleh masyarakat daerah. Dengan data yang ditunjukan diatas, terlihat persoalan korupsi telah menjadi sistimatis dan melibatkan banyak orang, bukan cuma mereka yang ada dilapangan, tetapi pengambil kebijakan juga menjadi penentu dari berbagai persoalan korupsi di negri ini. Jika dikaitkan dengan HAM, apakah korupsi bisa dikatakan merupakan bentuk pelanggaran HAM, terutama dalam Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

Kualifikasi Pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya dapat dilakukan melalui cara yang sangat sering dilakukan negara dalam melanggar isi kovenan adalah melalui kebijakan, undang-undang, program atau tindakan diskriminasi terhadap kelompok tertentu. Secara umum yang disebut dengan pelanggaran dalam kovenan ini, speerti dijelaskan Allan Mc Chesney adalah :

  1. Gagal mengambil tindakan untuk melindungi hak yang sudah ada
  2. Tidak mengambil tindakan cepat untuk mencegah halangan yang menyebabkan gagal terpenuhinya suatu hak secara total
  3. Gagal memenuhi suatu kewajiban yang diharuskan kovenan agar segera dilaksanakan langsung
  4. Tidak berhasil mencapai pemenuhan hak dalam tingkat yang minimum, padahal dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat. Misal negara negara lebih memilih mengeluarkan banyak dana untuk membangun sarana umum yang baru, atau lebih memilih untuk memajukan lagi perkembangan komputer atau senjata. Pengeluaran ini tak mungkin membantu warga negara, yang bahkan pada tingkat esensial minimum hak asasinya tidak terpenuhi
  5. Membatasi suatu hak yang diakui dalam kovenan dengan cara yang tidak dibolehkan oleh kovenan. Misalnya dengan melakukan diskirminasi terhadap wanita atau kelompok minoritas
  6. Dengan sengaja memperlambat atau menghentikan perkembangan bertahap dalam pemenuhan hak
  7. Membatalkan atau mengurangi hukum atau program yang telah membantu terpenuhinya suatu kovenan (dengan kata lain memutar kembali kemajuan ekenomi, sosial dan budaya yang sebelumnya sudah dicapai)
  8. Gagal mengumpulkan informasi kepada PBB yang dibutuhkan di bawah Kovenan

Dari itu Korupsi dapat dikatakan sebagai pelanggaran Hak Ekonomi Sosial dan Budaya. Dari semua kualifikasi dijelaskan di atas untuk melihat apakah dalam kasus-kasus korupsi telah terjadi pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, penulis mengunakan 2 alasan, yaitu belum adanya instrumen hukum yang cukup memadai untuk mencegah perbuatan korupsi dan yang kedua adalah dengan melihat dampak korupsi di masyarakat.

Pada alasan yang pertama, tindakan yang selalu dilakukan oleh pemerintah (negara) adalah memberantas korupsi, artinya yang di utamakan adalah tindakan represif, begitu perbuatan korupsi terjadi maka aparat penegak hukum langsung bertindak. Hal ini bisa dilihat dari munculnya UU Korupsi dan UU Komisi Pemberantasan Korupsi, yang memiliki tugas begitu luas dalam menyelidiki kasus hingga menuntutnya ke pangadilan. Padahal kasus korupsi tidak saja menyangkut pelanggaran pidana, tapi juga menyangkut pelanggaran administrasi dalam pelayanan publik, yang setiap hari dirasakan oleh masyarakat secara langsung.

Tindakan represif oleh negara justru tidak menimbulkan dampak yang berarti bagi bagi masyarakat banyak, ia hanya berdampak bagi pelaku dan keluarganya. Tindakan represif justru melahirkan modus baru dalam perbuatan korupsi, yang jauh lebih sulit untuk dibuktikan. Pada konteks ini sesungguhnya hukum pidana hanya berguna sebagian untuk memberikan efek jera bagi pelakunya, sementara yang menyangkut sistem dalam birokrasi pemerintahan harusnya diupayakan dengan pendekatan atau cara yang berbeda.

Disinilah kemudian dibutuhkan tindakan preventif, yang menyangkut perbaikan sistem dalam birokrasi pemerintahan, dari yang paling atas hingga yang paling bawah dalam semua kekuasaan (Legislatif, Yudikatif dan Eksekutif), yang justru manfaatnya bisa dinikmati oleh masyarakat banyak. Aturan hukum yang seperti inilah yang tidak dimiliki bangsa ini. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam konteks ini sesungguhnya negara telah melakukan pelanggaran HAM, karena membiarkan perbuatan korupsi terus terjadi, tanpa membuat aturan hukum yang mampu mencegah perbuatan tersebut.

Alasan yang kedua adalah dengan melihat dampak yang ditimbulkan oleh korupsi, yang dirasakan di hampir semua lapisan masyarakat. Bagi kalangan pengusaha korupsi menyebabkan persaingan yang tidak kompetitif antar pengusaha karena semua proses harus melalui uang pelicin dan memerlukan waktu yang lama. Bagi masyarakat bawah korupsi justru menimbulkan biaya hidup yang lebih tinggi, harga-harga menjadi mahal akibatnya muncul banyak pengemis, penganguran, pemerasan, hingga pembunuhan yang sumber utamnya adalah duit, hanya dengan satu alasan untuk hidup. Belum lagi jika dikaitkan dengan persoalan dasar masyarakat yaitu pendidikan dan kesehatan, akan terbentang bagaimana dampak korupsi, melahirkan generasi bodoh, yang putus sekolah dan sakit-sakitan.

Inilah yang menyebabkan korupsi dikualifikasikan sebagai pelanggaran Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya karena perbuatan ini justru mendatangkan penderitaan bagi masyarakat banyak dan jika perbuatan ini terus menerus terjadi, bukan tidak mustahil akan mendatangkan tragedi kemanusiaan, yang berujung pada kejahatan kemanusaian.

  1. Hak Khusus dan Hak Atas Pembangunan

Sangat banyak, salah satunya pada anak-anak. Contoh pelanggaran HAM pada anak-anak  dapat terjadi saat hak anak di abaikan. Anak merupakan masa depan bangsa, jadi tidak ada pengecualian, hak asasi manusia untuk anak perlu di perhatikan. Contoh-contoh pelanggaran hak asasi manusia pada anak seperti pembuangan bayi, penelantaran anak, gizi buruk hingga penularan HIV/Aids. Berdasarkan catatan Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), kasus pembuangan bayi di Indonesia yang umumnya dilakukan kalangan orang tua mengalami peningkatan.

Seperti yang saya baca beritanya di Republika, ternyata pada tahun 2008, Komnas PA menerima pengaduan kasus pembuangan bayi sebanyak 886 bayi. Sedangkan tahun 2009 jumlahnya meningkat menjadi 904 bayi. Tempat pembuangan bayi juga beragam, mulai dari halaman rumah warga, sungai, rumah ibadah, terminal, stasiun kereta api, hingga selokan dan tempat sampah.

Dari laporan yang didapatkan dari masyarakat, sekitar 68 persen bayi yang dibuang tersebut meninggal dunia, sedangkan sisanya diasuh masyarakat atau dititipkan di panti asuhan. Kemudian, dari data yang didapatkan dari Direktorat Pelayanan Rehabilitasi Sosial Kementerian Sosial, Komnas PA menemukan sekitar 5,4 juta anak yang mengalami kasus penelantaran. Sedangkan anak yang hampir ditelantarkan mencapai 17,7 juta orang.

Contoh pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi pada anak adalah gizi buruk (marasmus kwasiokor) yang berdasarkan dari UNICEF, badan PBB untuk perlindungan anak, jumlahnya mencapai 10 juta jiwa di Indonesia. Dalam data Komnas PA, salah satu wilayah yang paling terjadi kasus gizi buruk itu adalah Sumatera Barat. Di Sumatera Barat, 23 ribu anak dari 300 ribu usia balita mengalami gizi buruk. Namun Arist Merdeka Sirait menyatakan, kasus gizi buruk dan kekurangan gizi juga banyak terdapat di daerah lain.

Adapun kasus penularan HIV/Aids di Indonesia, terdapat 18.442 kasus orang tua yang menderita penyakit mematikan tersebut hingga September 2009. Mereka, kata Aries, tentu berpotensi menularkan terhadap anak berdasarkan laporan yang didapatkan dari Kementerian Kesehatan.

Ada banyak kasus tentang pelanggaran hak atas anak. Misalnya pernikahan dini, minimnya pendidikan, perdagangan anak, penganiayaan anak dan mempekerjakan anak di bawah umur. Pernikahan dini banyak terjadi di pedesaan, 46,5% perempuan menikah sebelum mencapai 18 tahun dan 21,5% menikah sebelum mencapai 16 tahun. Survey terhadap pekerja seks komersial (PSK) di lokalisasi Doli, di Surabaya ditemukan bahwa 25% dari mereka pertama kali bekerja berumur kurang dari 18 tahun.

Contoh kasus paling nyata dan paling segar adalah pernikahan yang dilakukan oleh Kyai Pujiono Cahyo Widianto atau dikenal dengan Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa (12 tahun). Di dalam pernikahan itu seharusnya melanggar Undang Undang perkawinan dan Undang Undang perlindungan anak. Kasus ini juga ikut membuat Seto Mulyadi, Ketua KOMNAS Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terjun langsung. Menurutnya perkawinan antara Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa melanggar tiga Undang Undang sekaligus. Pelanggaran pertama yang dilakukan Syekh Puji adalah terhadap Undang Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Di dalam Undang Undang tersebut disebutkan bahwa perkawinan dengan anak-anak dilarang. Pelanggaran kedua, dilakukan terhadap Undang Undang No. 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak yang melarang persetubuhan dengan anak.

BAB IV

PENUTUP

IV.1. Kesimpulan

  1. Hak warga Negara dalam konsep Kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 terdiri Hak Sipil, Hak Politik, Hak Ekonomi, Hak social, Hak Budaya, Hak Khusus dan Hak atas Pembangunan, juga dicantumkan Tanggung Jawab Negara dan Kewajiban Hak Asasi Manusia
  2. Pelaksanaan Hak warga Negara dalam konsep Kedaulatan rakyat dalam UUD 1945 terdiri Hak Sipil, Hak Politik, Hak Ekonomi, Hak social, Hak Budaya, Hak Khusus dan Hak atas Pembangunan belum optimal, masih adanya pelanggaran-pelanggaran HAM dalam tataran pelaksanaan kedaulatan rakyat.

IV.2. Saran

  1. Diharapkan hak warga Negara dalam konsep kedaulatan rakyat yang tercantum dalam UUD 1945 amandemen benar-benar dapat dilaksanakan, sehingga perlindungan terhadap HAM dapat berjalan dengan baik.
  2. Diharapkan semua lapisan menegakkan konsep kedaulatan rakyat sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Amandemen.

DAFTAR PUSTAKA

Al Rasyid, Harun, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 1993

__________, Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945, Jakarta: UI Press, 2002

__________, Himpunan Peraturan Hukum Tata Negara, UI Press, Jakarta:UI Press, 1996.

Al-Qardhawy, Fiqih Daulah Dalam Perspektif Al Quran Dan Sunnah, Jakarta: Pustaka AlQautsar,1997

Arinanto, Satya, Hukum Dan Demokrasi, Jakarta: Ind Hill-Co, 1991

___________, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Jakarta: PSHTNUI, 2008.

___________, Politik Hukum 1, Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2001

___________, Politik Hukum 2, Jakarta: Pascasarjana FHUI, 2001

Asshiddiqie, Jimly, Pergumulan Peran Pemerintah Dan  Parlemen Dalam Sejarah, Jakarta:UI Press, 1996

____________, Gagasan Gagasan Kedaulatan Rakyat Dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya di Indonesia,  Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994

____________, Konsolidasi Naskah UUD 1945  Setelah Perubahan Keempat,Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 2002

____________, Teori Dan Aliran  Penafsiran Hukum Tata Negara, Jakarta:Ind.Hill-Co,  1998

Budiarjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,  1998

_________________, Demokrasi di Indonesia Demokrasi Parlementer dan Demokrasi Pancasila, Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama,1998

Basah, Sjachran, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60

Busroh, Abubakar, Abudaud, Hukum Tata Negara, Jakarta:Ghalia Indonesia, 1984

Burns, James; Peltason, J.W.; Cronin, Thomas,  Government By The People, New Jersey: Prentice Hall, 1989.

Carter, April, Otoritas Dan Demokrasi, Jakarta: CV Rajawali,1985

De Tocqueville, Alexis, Democracy In America, New York: Washington Square Press, 1965

Diamond, Larry, Revolusi Demokrasi Perjuangan Untuk Kebebasan Dan Pluralisme Di Negara Sedang Berkembang, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1994

Dicey,AV, Introduction To The Study Of The Law Of The Constitution, London:Mc. Millan Education LTD,  1959

Djokosutono .  Ilmu Negara, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985

Dood, Lawrence,  Coalitions in Parliamentary Government, New Jersey: Princeton University Press, 1976

Echols, John, Shadily, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1997

Eidelberg, Paul, The Philosopy Of The American Constitution, Toronto: Collier-Macmillan Canada, 1968

Garner, Bryan, Black’s Law Dictionary , sevent edition, St Paul, Minn:West Group, 1999

Hasan, Ismail, Pemilihan Umum 1987, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 1986

Hariadi, Didit,  Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Jakarta: Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, 2001

Hermawan, Eman, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar, Yogyakarta: KLIK dan DKN GARDA BANGSA, 2003,

Hornby, AS, Oxford Advanced Learner’s Dictionary Of Current English, London: Oxford University Press, 1987

Huntington, Samuel, Benturan Antara Peradaban Dan Masa Depan Politik Dunia, Yogyakarta: CV Qalam Yogyakarta, 2003

Ibrahim, Harmaily, Majelis Permjusyawaratan Rakyat Suatu Tinjauan Dari Sudut Hukum Tata Negara, Jakarta: Sinar Bakti, 1979

Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, Jakarta: PT. Bina Aksara , 1984

Khaldun, Ibnu, Mukaddimah, Jakarta: Pustaka Firdaus,2000

Kusnardi, Mohammad, Ibrahim, Harmaily, Pengantar Hukum Tata Negara, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, 1988

Kusumaatmaja, Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Bina Cipta, 1990

Laski, Harold.  A Grammmar Of Politics, London: George Allen & Unwin LTD, 1938.

Manan, Bagir,  Konvensi Ketatanegaraan, Bandung:Armico,  1987

__________________,  Teori Dan Politik Konstitusi, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional,  Jakarta, 2000, h. 15

Marzuki, Suparman, Tragedi Politik Hukum Hak Asasi Manusia di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2011

__________________, Runtuhnya Keadilan HAM, Pusham UII, Yogyakarta, 2011.

Geoffrey  Marshal, Parliamentary Sovereignty And  The Commonwealth,Oxford: Oxford University Press, 1957

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006.

J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

Kelsen, Hans, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978.

________, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007.

Manan, Abdul, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005

Meny, Yves; Knap, Andrew, Government And Politics In Western Europe, third edition, New York:Oxford University Press,1998

Mulyono, Doto,  Kekuasaan MPR Tidak Mutlak, Erlangga, Jakarta, 1985

Naning, Ramdlon, Lembaga Legislatif Sebagai Pilar Demokrasi Dan Mekanisme Lembaga Lembaga Negara Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty 1982

Nurtjahjo, Hendra, Perwakilan Golongan Di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara UI2002.

O’Donnel, Schmitter, Whitehead, Transisi Menuju Demokrasi Kasus Eropa Selatan, Jakarta: LP3S, tanpa tahun

Plato, Republik, Jakarta:Bentang, 2002

Poerwadarminta, WJS, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1976

Puspa, Pramadya, Yan, Kamus Hukum, Semarang:CV. Aneka Ilmu, 1977

Purbopranoto, Kuntjoro, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981

Scholten, Paul, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005.

Thaib, Dahlan. Implementasi Sistem Ketatanegaraan Menurut UUD 1945, Yogyakarta: Liberty, 1989

Thaib, Dahlan; Hamidi, Jazim; Huda, Ni’matul , Teori Hukum Dan Konstitusi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999

Ranawijaya, Usep, Hukum Tata Negara Indonesia Dasar-Dasarnya, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983

Rapar, J.H, Filsafat Politik Aristoteles, Jakarta: Rajawali Grafindo Persada, 1988.

Rasjidi, Lily dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004.

Rasjidi, Lily dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003.

Redaksi Sinar Grafika, Tiga Undang-Undang Dasar: Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Serikat 1950, Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950, Jakarta: Sinar Grafika, 2000

Renan, Ernest, Apakah Bangsa Itu?, Jakarta:Bandung, 1994

Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat, Dan Kaitannya Dengan Kondisi Sosio Politik Dari Zaman Kuno Hingga Sekarang, Yogyakarta:Pustaka Pelajar,  2002

Salman, Otje dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung.

Samsul Wahidin, MPR Dari Masa Kemasa, Jakarta: Bina Aksara,  1986

Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa  MPR 1998, Jakarta: Sekretariat Jendral MPR RI, Cetakan 2, Jakarta, 2001

Shklar, Judith, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka Utama  Grafiti,1996

Sekretariat Jendral MPR RI, Himpunan Ketetapan MPRS Dan MPR Tahun 1960 S/D 2002, Jakarta:Sekretariat Jendral MPR RI, 2002

Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tata Negara Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1993

Simorangkir, J.C.T, Hukum Dan Konstitusi Indonesia, Jakarta:CV. Masagung, 1988

Simanjuntak, Marsilam, Pandangan Negara Integralistik: Sumber, Unsur Dan Riwayatnya, Jakarta:Pustaka Utama Grafiti, 1994

Soehino, Ilmu Negara, Yogyakarta: Liberty,1980

Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta:
1986.

Soekanto, Soerjono, Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1995

Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan: Dasar-Dasar Dan Pembentukannya. Jakarta: Kanisius, 1998

Soemantri, Sri, Tentang Lembaga-Lembaga Negara Menurut UUD 1945. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,  1989

_____________, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981

_____________,Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni, Bandung, 1987, h.133-134

Soetiksno, Filsafat Hukum Bagian 2, Jakarta:PT Pradnya Paramita, 2003

_________, Filsafat Hukum Bagian 1, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 2002, h.16

Solly, Lubis.  Ilmu Negara, Bandung:Mandar Maju, 1989

Sunny, Ismail, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Jakarta: Aksara Baru,  1986

____________, Pembagian Kekuasaan Negara, Jakarta: Aksara Baru, 1985

Taimiyah, Ibnu, Pedoman Islam Bernegara, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1989

Tambunan, ASS,  MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991

Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001

Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia, 2000

Tim Sekretariat Negara, Risalah Sidang Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia, 1995

Varma, SP, Teori Politik Modern, Jakarta:CV Rajawali, 1990

Wahjono, Padmo, Ilmu Negara, Jakarta: Ind Hill-Co, 1996

Yamin, Muhammad, Proklamasi Dan Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1982

Yara, Muchyar, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara, Jakarta: PT.Nadhillah Ceria Indonesia, 1995

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Perubahan Pertama Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Perubahan Kedua Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Perubahan Ketiga  Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945

Indonesia, Konstitusi RIS 1949

Indonesia, Undang-Undang Dasar Sementara 1950

MPR, Ketetapan MPR No 1 tahun 1983 tentang  Peraturan Tata Tertib Majelis Permusyawaratan Rakyat

MPR, Ketetapan MPR No V/MPR/1973 tentang Peninjauan Produk-Produk Yang Berupa Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara

MAKALAH

Ashhidiqie, Jimly, Refleksi  Tentang Arah Sistem Hukum Dan Kenegaraan Indonesia Pasca Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar  1945, Jakarta, 28 Maret 2003

_________________,Demokratisasi Pemilihan Presiden dan Peran MPR Di Masa Depan, www.theceli.com diakses pada tanggal 29 Maret 2003

________________, Reformasi Menuju Indonesia Baru: Agenda Restrukturisasi Organisasi Negara,Dan Keberdayaan Masyarakat Madani, Disampaikan dalam forum Kongres Mahasiswa Indonesia Sedunia I, di Chicago, Amerika Serikat, 28 Oktober 2000.

_______________________,  Struktur  Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, disampaikan dalam Simposium Nasional yang diadakan oleh BPHN dan DEPKEH HAM , Bali, Juli 2003

Suny, Ismail,  Implikasi Amandemen UUD 1945 Terhadap Sistem Hukum Nasional, disampaikan pada Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII, BPHN dan DEPKEH HAM RI, Bali, Juli,  2003, h.4

      [1] Ni’matul Huda, Politik Ketatanegaraan Indonesia, Kajian Terhadap Dinamika Peubahan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2003,  hal. 67.

[2] Anwar C, Teori dan Hukum Konstitusi, Paradigma Kedaulatan dalam UUD 1945, In-Trans Publishing, Malang, 2011, Hal. 24

      [3] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Gema Insani Press, Jakarta, 1996, hal. 12-13

[4] Bagir Manan, Hukum Kewarganegaraan Indonesia Dalam UU No. 12 Tahun 2006, UII Press, Yogyakarta, 2010, Hal. 12

[5] Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi, Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, Cetakan-1, 2010, Hal 31

[6] Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Serpihan Pemikiran Hukum, Media dan HAM, Konpress, Jakarta, 2006, Hal 5

      [7]  Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, FH UII Press, Yogyakarta, 2005, hal. 35.

      [8] Majda El-Muhtaj, Hak Asasi Manusia Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen, Pustaka Kencana, Jakarta, 2005, hal 15

[9] Muhammad Alim, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia dalm Konstitusi Madinah dan UUD 1945, UII Press, Yogyakarta, 2008, Hal. 52

[10] Abdul Muktie Fadjar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Konpress & Citra Media, Jakarta, 2009, Hal. 47

[11] Denny Indrayana, Negara antara ada dan tiada, Reformasi Hukum Ketatanegaraan, Kompas Gramedia, Jakarta,  2009, Hal 71

[12] A. Masyhur Effendi, Perkembangan Dimensi Hak Asasi Manusia (HAM) & Proses Dinamika Penyusunan Hukum Hak Asasi Manusia (HAKHAM), Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004,  Hal. 5

[13] Jeremy Bentham, The Theory of Legislation (NM. Tripathi Private Limited, Bombay, 1979), hal 52

[14] Juanda, Hukum Pemerintahan Daerah, Pasang Surut Kewenangan Antara DPRD dan Kepala Daerah, Alumni, Bandung, 2006, Hal 32

[15] Suparto Wijoyo, Laku Lika-Liku Ilmu Hukum, Airlangga University Press, Surabaya, 2009, Hal. 92

[16] Henry Mono, HAM dan Peradilan HAM di Indonesia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1999, Hal. 41

[17] Andan Buyung Nasution dan Patra A. Zein, Instrumen Internasional Pokok Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, YLBHI, KKAA, Jakarta, 2009, Hal 28

[18] Hans Kelsen, Introduction to the Problems of Legal Theory, (Clarendon Press-Oxford, 1996), Hal. 36

[19] Marwan Effendy, Kejaksaan RI, Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum, Gramedia Pustaka Utama, 2005, Hal. 46

[20] Marwan Effendy, Ibid.

[21] Perubahan keempat Undang-Undang Dasar 1945

[22] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi,  Bumi Aksara, Jakarta, 2008, Hal 3-5

[23] Jimly Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sinar Grafika, Jakarta, 2009, Hal. 10-11

[24] Muhammad Tahir Azhay, Negara Hukum, suatu studi tentang prinsip-prinsipnya dilihat dari segi hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Prenada Media, Jakarta, 2004, Hal. 92

[25] Muhammad Tahir Azhay, Ibid.

[26] Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran Konstitusionalisme (Tata Negara), Kata Hasta Pustaka, 2007, Hal 52

[27] Todung Mulya Lubis, Catatan Hukum Todung Mulya Lubis (Mengapa saya mencintai negeri ini), Kompas Gramedia, Jakarta, 2008, Hal 37

[28] System check and balance (sistem pengawasan dan keseimbangan) masing- masing kekuasaan saling mengawasi dan mengontrol, system ini merupakan suatu mekanisme yang menjadi tolok ukur kemapanan konsep negara hukum dalam rangka mewujudkan demokrasi. Untuk memahami tentang ini baca Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT. Buana Ilmu Populer, Jakarta, 2007, Hal. 169

[29] Bagir Manan (editor), Kedaulatan Rakyat, Hak Asasi Manusia dan Negara Hukum, Kumpulan Esai guna Menghormati Prof. Dr. R. Sri Soemantri Martosoewignjo, SH., Gaya Media Publishing, Jakarta, 1996, Hal 56

[30] Bagir Manan (editor),Ibid.

[31] Bagir Manan (editor),Ibid.

[32] Bagir Manan (editor),Ibid.

[33] Ahamd Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan kekuasaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2007,  hal. 171

[34] Soekarno, Filsafat Pancasila Menurut Bung Karno, Media Pressindo, Yogyakarta, 2006, Hal. 119

[35] Satya Arinanto, Hukum dan Demokrasi, Penerbit Ind-Hill-Co, Jakarta, 1991, Hal. 1-2

[36] Abdurahman Wahid, Gus Dur Menjawab Kegelisahan Rakyat, Kompas Gramedia, Jakarta, 2007, Hal. 83

[37] Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Aksara Baru, Jakarta, 1984, Hal 8

[38] Solly Lubis, Hukum Tata Negara, Mandar Maju, Bandung, 1972, Hal. 43

[39] Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, Jakarta, 1985, Hal 38

      [40] Soerjono Soekanto, Metode Penelitian Hukum, UI Press, Jakarta, 2001, Hal.51

[41] Sulistyowati Irianto & Sidharta, Metode Penelitian Hukum, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2010, Hal 85

      [42] Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 87 – 91

      [43] Peter Mahmud Marzuki, Ibid, Hal. 87

      [44] Otje Salman dan F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan Membuka Kembali, Refika Aditama, Bandung, 2005, Hal. 46

      [45] Lily Rasjidi dan Ira Thania Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, Hal. 56

      [46] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, CV. Mandar Maju, Bandung 2003, Hal. 119-120

      [47] Hans Kelsen, Pure Theory Of Law, Berkely: Unibersity California Press 1978, Hal. 1

      [48] Hans Kelsen, General Theory Of Law And State, Terjemahan Somardi, Bee Media Indonesia, Jakarta, 2007, Hal. 202-203

      [49] Hans Kelsen, Op Cit, Hal. 165-169

      [50] Lily Rasjidi dan I.B Wyasa Putra, Op Cit, Hal. 121

      [51] J.J.H. Bruggink, Rechts Refflectie, Grondbegrippen Uit De Rechtstheory, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal. 163

      [52] Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 66

      [53] Lily Rasjidi, Ibid, Hal. 66

      [54] Paul Scholten, De Struktuur Der Rechtswetenschap, Alih Bahasa B. Arief Sidharta, P.T Alumni, Bandung, 2005, Hal. 6

      [55] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Prenada Media, Jakarta, 2005, Hal. 3

      [56] Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayu Media Publishing, Malang, 2006, Hal.57

      [57] Untuk lebih lebih jelasnya tentang macam-macam pendekatan dalam penelitian hukum normatif bandingkan Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif (Suatu Tinjauan Singkat), Rajawali Pers, Jakarta, 2001, Hal. 14 dengan Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 93-137 dan Johnny Ibrahim, Op Cit, Hal. 299-321

      [58] Peter Mahmud Marzuki, Op Cit, Hal. 141

      [59] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Op Cit, Hal.13

      [60] Soerjono Soekanto, Op Cit, Hal. 52

      [61] Metode induktif adalah metode yang merupakan kesimpulan-kesimpulan umum yang diperoleh berdasarkan proses pemikiran setelah mempelajari peristiwa-peristiwa khusus atau peristiwa-peristiwa yang konkret. Untuk lebih jelasnya baca : Sjachran Basah, Ilmu Negara, Pengantar, Metode dan Sejarah Perkembangan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, Hal. 60

      [62] Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, dalam Lily Rasjidi, Op Cit, Hal. 75

[63] Francis Harry Hinsley, Sovereignty, Cambridge University Press, New York, 1966, Hal 63

      [64] Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, Hal. 68

      [65] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, Hal. 146

      [66] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2002, hal.35

      [67] Mac Iver, The Web of Government, dalam Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Ilmu Negara, Gaya Media Pratama, Jakarta, 2000, Hal 116

      [68] Miriam Budiardjo, Op Cit, Hal. 36

      [69] Rudasi Kantaprawira, Hukum dan Kekuasaan, Makalah Pada Fakultas Hukum Universitas Islam  Indonesia, Yogyakarta, Hal. 37-38

      [70] F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, Dwiwantara, Bandung, 1964, Hal. 127-129

      [71] Soetomo, Ilmu Negara, Usaha Nasional, Surabaya, 1993, Hal. 51-69

      [72] Moh. Kusnardi dan Bintan Siragih, Op Cit, Hal. 116

      [73] Philipus M. Hadjon, Tentang Wewenang, Makalah Univ. Airlangga, Tanpa Tahun, Hal. 1

[74] Satjipto Rahardjo, Op Cit.

      [75] Philipus M. Hadjon, Ibid, Hal. 1

      [76] Philipus M. Hadjon, Ibid, Hal. 1

      [77] Philipus M. Hadjon, Ibid, Hal. 1

      [78] Kranenburg dan Tk. B. Sabaroedin, Ilmu Negara Umum, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1986, Hal. 20

      [79] Abdul Rasyid Thalib, Op Cit, Hal. 211

      [80] Mustamin DG. Matutu. dkk, Mandat, Delegasi, Atribusi dan Implementasinya di Indonesia, UII Press, Yogyakarta, 2004, Hal. 109-159

      [81] Philipus M. Hadjon. dkk, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, Gajah Mada University Press, 2002, Hal. 130

      [82] Jimly Ashiddiqie, Perihal Undang-Undang, Konstitusi Press, 2006, Hal. 378

      [83] Mengenai hal itu dapat dilihat dalam Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Tata Negara di Indonesia, Dian Rakyat, Jakarta, 1977, Hal. 10. Bandingkan dengan Dahlan Thaib, Jazim Hak Asasi Manusiaidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal. 7

      [84] L.J Van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1989, Hal.118

      [85] Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 2002, Hal.1

      [86] Dahlan Thaib, Jazim Hak Asasi Manusiaidi dan Ni’matul Huda, Op Cit, Hal.8

      [87] C.F. Strong, Modern Political Constitutions : An Introduction to the Comparative Study and Existing Form, Terjemahan SPA Teamwork, Nusamedia, Bandung, 2004, Hal.15

      [88] K.C. Wheare, Modern Constitutions, London Oxford University Press, 1975, Hal.1

      [89] A.V. Dicey, Introduction to the Study of the Law of the Constitution, Terjemahan Murhadi dan Nurainun Mangunsong, Nusamedia, Bandung, 2007, Hal.449

      [90] Hans Kelsens, Op Cit, Hal. 156

      [91] Dalam Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi HTN Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1988, Hal.65

      [92] Abu Daud Busroh dan Abu Bakar Busroh, Asas-Asas Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988, Hal. 71

      [93] Moh. Tolchah Mansoer, Demokrasi Sepanjang konstitusi, Nurcahya, Yogyakarta, 1981, Hal. 5-6

      [94] Sri Soemantri Martosoewignyo, Konstitusi Serta Artinya Untuk Negara, dalam Padmo Wahjono, Op Cit, Hal. 8

      [95] M. Solly Lubis, Landasan dan Teknik Perundang-Undangan, CV. Mandar Maju, Bandung, 1995, Hal. 18-19

      [96] Abdul Hak Asasi Manusiaid Saleh Attamimi, UUD 1945-Tap MPR-Undang-Undang, dalam Padmo Wahjono, Op Cit, Hal.126

      [97] Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, Hal.38

      [98] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusialisme Indonesia, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 35. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Konpress, Jakarta, 2006, Hal. 24. Lihat juga Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konpress, Jakarta, 2006, Hal.1-9

      [99] Moh. Mahfud MD, Op Cit, Hal. 72

      [100] Bagir Manan, Perkembangan dan Pengaturan Hak Asasi Manusia di Indonesia, YHDS, Bandung, 2006, Hal. 80

      [101] Abdul Mukti Fajar, Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press, Jakarta, 2006, Hal. 5-12

      [102] Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan (Dasardaar dan Pembentukannya), Kanisius, Yogyakarta, 1998, Hal.30

      [103] Soehino, Hukum Tata Negara (Teknik Perundang-Undangan), Liberty, Yogyakarta, 2005, Hal.1 Bandingkan Soehino, Hukum Tata Negara (Sumber-Sumber Hukum Tata Negara Indonesia), Liberty, Yogyakarta, 1985, Hal.182

      [104] Dahlan Thaib, Jazim Hak Asasi Manusiaidi dan Ni’matul Huda, Op Cit, Hal. 14

      [105] Bintan Regen Siragih, Perubahan, Penggantian dan Penetapan Undang-Undang Dasar di Indonesia, CV. Utomo, Bandung, 2006, Hal.1

      [106] K.C. Wheare, Op Cit, Hal. 23-50

[107] William David Thomas, What is Constitution, Gareth Stevent Publishing, USA, 2008

[108]  Terry L. Jordan, The U.S. Constitution: and fascinating facts about it, Oak Hill, United States of America, 2006, Hal 44

[109]  Anthony Giddens, The constitution of society: outline of the theory of structuration, Printed by United States of America, 1997, Hal 23

      [110] Mengenai sistem pemerintahan presidensiil dan parlementer tidak dibahas pada bab ini.

      [111] K.C. Wheare, Op Cit, Hal. 49

      [112] Sri Soemantri Martosoewignyo, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, Hal.2

      [113] C.F. Strong, Op Cit, Hal.5

      [114] C.F. Strong, Ibid, Hal.5

      [115] Miriam Budiardjo, Op Cit, Hal. 101

      [116] Sri Soemantri Martosoewignyo, Op Cit, Hal. 51

[117]  Bertrand de Jouvenel, Sovereignty: An Inquiry Into the Political Good, Cabridge University Press, Tokyo Mexico, 1957, Hal 80

      [118] Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, 2001, Hal. 67-68

      [119] Soehino, Ilmu Negara, Liberty, Yogyakarta, 2000, hal. 151

      [120] Soehino, Ibid, Hal. 151

      [121] Padmo Wahjono, Ilmu Negara, Ind Hill Co, Jakarta, 1996, Hal. 153

      [122] Hendro Nurtjahjo, Ilmu Negara, Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen, PT. Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2005, Hal.50

      [123] Hendarmin Ranadireksa, Arsitektur Konstitusi Demokratik, Fokusmedia, Bandung, 2007, Hal. 34

      [124] Soetomo, Op Cit, Hal. 55-57

      [125] J.J. Von Schmidd, Ahli-ahli Pikir Besar Tentang Negara dan Hukum, Pustaka Sardjana, Jakarta, 1980, Hal. 70

      [126] Soetikno, Filsafat Hukum Bagian 2, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2003, Hal.59

[127]  Jean Bodin,Julian H. Franklin, On sovereignty: four chapters from the six books of the commonwealth, Cambridge University Press, USA, 2004, Hal. 48

      [128] Soehino, Op Cit, Hal. 101

      [129] Merupakan istilah perjanjian antara rakyat dan penguasa yang pada intinya masyarakat hanya dapat menyerahkan kekuasaannya pada penguasa, namun kedaulatan tetap pada rakyat. Baca Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, (terjemahan), Erlangga, Jakarta, 1947, Hal. 3

      [130] Moh. Mahfud MD, Op Cit, Hal. 66-67

      [131] Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, Bumi aksara, Jakarta, 2006, Hal.36

[132] Jean Bodin, Julian H. Franklin, Op Cit.

      [133] Hendra Nurtjahjo, Ibid, Hal. 36

[134] Robert H. Jackson, Sovereignty: evolution of an idea, MPG Book Ltd, Hongkong, 1988, Hal. 78

      [135] Soehino, Op Cit, Hal. 156-157

[136] Michael A. Freeman, Human Rights: An Interdisciplinary Approach, Cambridge CB2 Iur UK, 2011, Hal 85

[137]  Michael A. Freeman, Ibid.

[138] Adnan Buyung Nasution, Arus Pemikiran …., Op Cit, Hal. 56

[139] Jack Donnelly, Universal human rights in theory and practice, Cornell University Press, USA, 2003, Hal 943

[140] Jack Donnelly, Ibid

[141] Brian Orend, Human rights: concept and context, Nort America, Canada, 1985, Hal 82

[142] Adamantia Pollis,Peter Schwab, Human rights: new perspectives, new realities, Reinner Publisher, USA, 2000, Hal. 34

[143] Jack Donnelly, Op Cit

[144]  Jack Donnelly, Op Cit

[145] Jimly Asshiddiqy, Hukum Tata Negara…, Op Cit, hal. 73

[146] Jimly Asshiddiqy, Hukum Tata Negara…, Ibid

[147] Muhammad Alim, Hak Asasi …, Op Cit, Hal 65

[148] Brian Orend,Op Cit

[149] James W. Nickel, Making sense of human rights, Blackwell Publishing, USA, 2007, Hal. 5

[150] Andrew Clapham, Human rights: a very short introduction, Oxford University Press, Ney York, 2007, Hal 13

[151] James W. Nickel, Op Cit

[152] James W. Nickel, Op Cit

[153] Andrew Clapham, Op Cit

[154] James W. Nickel, Op Cit

[155] Abdul Muktie Fadjar, Tipe Negara Hukum, Citra Media, Malang, 2001, hal. 5

[156] Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi HAM Mengurai Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, Rajawali Press,  Jakarta. 2008, Hal 45

[157]      Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi…, Op Cit, hal 76

[158] Rhona KM. Smith, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, PUSHAM UII, Yogyakarta, 2010, hal. 18

[159] Rhona KM. Smith, dkk, Hukum hak…, Hal 63

[160] Majda El Muhtaj, Dimensi-dimensi…, Op Cit, hal. 42

[161] Mengenai Generasi HAM ini dapat dibaca dalam Bukunya Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, PSHTNFHUI, Jakarta, 2008, Hal. 78-80. Juga dalam Rhona KM. Smith, dkk, Hukum hak…, Op Cit, Hal. 15-16

[162] Michael Ignatieff, Human rights as politics and idolatry, Princeton University Press, United Kingdong, 2003, Hal. 993

[163] Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia…, Hal. 79

[164] Michael Ignatieff, Ibid

[165] Rhona KM. Smith, dkk, Hukum hak…, Op Cit, Hal. 15-16

[166] Michael Ignatieff, Human rights…, Op Cit, Hal 71

[167] Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia, Grafitti, Jakarta, 2009, Hal. 23

[168] Geoffrey  Marshal, Parliamentary Sovereignty And  The Commonwealth, Oxford University Press, Oxford, 1957, h.12

[169] Sri Soemantri, Pengantar Perbandingan Antar Hukum Tata Negara, CV. Rajawali, Jakarta, 1981,h.69

[170] Lawrence Dood, Coalitions in Parliamentary Government, Princeton University Press, New Jersey, 1976, h.16

[171] Muchyar Yara, Pengisian Jabatan Presiden Dan Wakil Presiden Di Indonesia Suatu Tinjauan Sejarah Hukum Tata Negara,  PT.Nadhillah Ceria Indonesia, Jakarta,  1995, h.67

[172] Eman Hermawan, Politik Membela Yang Benar Teori Kritik Dan Nalar, KLIK dan DKN GARDA BANGSA, Yogyakarta, 2003, h.58

[173] Judith Shklar, Montesqieu Penggagas Trias Politica, Jakarta : Pustaka Utama Grafiti,1996,h.173

[174] Tim PSHK, Semua Harus Terwakili Studi Mengenai Reposisi MPR, DPR, dan Lembaga Kepresidenan di Indonesia, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta, 2000, h.19

[175] Tim IFES, Sistem Pemilu, Jakarta: IFES,UN, IDEA, 2001, h.29

[176] Tim IFES, Sistem Pemilu,Ibid

[177] Franz Magnis-Suseno, Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, (Jakarta; PT Gramedia Pustaka Utama, 1999), hal. 30 – 66.

[178] Harus diingat bahwa paling tidak terdapat tiga macam teori kontrak sosial masing-masing dikemukakan oleh John Locke, Thomas Hobbes, dan J.J. Rousseu yang masing-masing melahirkan konsep negara yang berbeda-beda. Lihat George H. Sabine, A History of Political Theory, Third Edition, (New York-Chicago-San Fransisco-Toronto-London; Holt, Rinehart and Winston, 1961), hal. 517 – 596.

[179] Eric Barent, An Introduction To Constitutional Law, Dalam Satya Arinanto, Op Cit, h. 120-123

[180] Lihat Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Edisi Revisi, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), hal. 152-162.

[181] Ibid.

[182] Dari Pasal 28A Perubahan Kedua UUD 1945.

[183]  Ayat (2) ini berasal dari Pasal 28B ayat (1) Perubahan Kedua.

[184] Berasal dari ayat 28B ayat (2) Perubahan Kedua.

[185] Dari Pasal 28I ayat (2) Perubahan Kedua.

[186] Dari Pasal 28E ayat (1) Perubahan Kedua.

[187] Pasal 28E ayat (2) Perubahan Kedua.

[188] Pasal 28E ayat (3) Perubahan Kedua.

[189] Dari Pasal 28F Perubahan Kedua.

[190] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28G ayat (1) Perubahan Kedua.

[191] Dari Pasal 28G ayat (2) Perubahan Kedua.

[192] Ayat (1) ini berasal dari Pasal 28H ayat (1) Perubahan Kedua.

[193] Pasal 28H ayat (2) Perubahan Kedua.

[194] Pasal 28H ayat (3) Perubahan Kedua.

[195] Pasal 28H ayat (4) Perubahan Kedua.

[196] Ayat (5) ini berasal dari Pasal 28C ayat (1) Perubahan Kedua.

[197] Dari Pasal 28C ayat (2) Perubahan Kedua.

[198] Ayat (7) ini berasal dari Pasal 28D ayat (1) Perubahan Kedua.

[199] Ayat (8) ini berasal dari Pasal 28D ayat (2) Perubahan Kedua.

[200] Ayat ini berasal dari Pasal 28E ayat (4) Perubahan Kedua.

[201] Berasal dari rumusan Pasal 28I ayat (1) Perubahan Kedua yang perumus­an­nya mengundang kontroversi di kalangan banyak pihak. Disini perumusannya dibalik dengan subjek negara.

[202] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) yang disesuaikan dengan sistematika peru­musan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungannya dengan warga negara.

[203] Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan dengan pe­nyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lampiran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan perumusan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “…serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang berten­tang­an dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena dapat mengu­rangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur dalam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.

[204] Ayat (6) ini berasal dari Pasal 28I ayat (4) Perubahan Kedua.

[205] Dari ayat (5) Pasal 28I Perubahan Kedua dengan menambahkan perka­ta­an “…memajukan..”, sehingga menjadi “Untuk memajukan, menegakkan, dan me­lin­dungi….”

[206] Komnas HAM memang telah dikukuhkan keberadaannya dengan un­dang-undang. Akan tetapi, agar lebih kuat, maka hal itu perlu dicantumkan tegas dalam UUD.

[207]  Berasal dari Pasal 28J Perubahan Kedua.

[208] Berasal dari Pasal 28I ayat (3) UUD 1945 yang disesuaikan dengan sis­tematika perumusan keseluruhan pasal ini dengan subjek negara dalam hubungan­nya dengan warga negara.

[209] 123 Ini adalah ayat tambahan yang diambil dari usulan berkenaan de­ngan penyempurnaan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam lam­piran TAP No.IX/MPR/2000, yaitu alternatif 4 dengan menggabungkan peru­musan alternatif 1 butir ‘c’ dan ‘a’. Akan tetapi, khusus mengenai anak kalimat terakhir ayat ini, yaitu: “… serta melindungi penduduk dari penyebaran paham yang bertentangan dengan ajaran agama”, sebaiknya dihapuskan saja, karena da­pat mengurangi kebebasan orang untuk menganut paham yang meskipun mungkin sesat di mata sebagian orang, tetapi bisa juga tidak sesat menurut sebagian orang lain. Negara atau Pemerintah dianggap tidak selayaknya ikut campur mengatur da­lam urusan perbedaan pendapat dalam paham-paham internal suatu agama. Biarlah urusan internal agama menjadi domain masyarakat sendiri (public domain). Sebab, perlindungan yang diberikan oleh negara kepada satu kelompok paham keagamaan dapat berarti pemberangusan hak asasi kelompok paham yang lain dari kebebasan yang seharusnya dijamin oleh UUD.

[210] Ernest Renan, Apakah Bangsa Itu?, Alumni, Bandung, 1994, h. 58

[211] ASS Tambunan, MPR Perkembangan Dan Pertumbuhannya Suatu Pengamatan Dan Analisis, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1991, h.19

[212] Bagir Manan, Konvensi Ketatanegaraan, CV Armico, Bandung, 1987, h. 36

[213] Joeniarto, Sejarah Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Bina Aksara, Jakarta, 1984, h. 17

[214] Sekretariat Jendral MPR RI, Proses Reformasi Konstitusional : Sidang Istimewa  MPR 1998, Sekretariat Jendral, Cetakan 2, Jakarta, 2001, h.13-23

[215] Munawir Sjadzali, Islam Dan Tata Negara, UI Press, Jakarta, 1993, h. 63

[216] Hikam, AS, Demokrasi dan Civil Society, LP3S, Jakarta, 1999, h.226

[217] Sri Soemantri, Prosedur Dan Sistem Perubahan Konstitusi, Cet.4, Alumni, Bandung, 1987, h.133-134.

[218] Didit Hariadi Estiko, Amandemen UUD 1945 Dan Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum, Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi Sekretaris Jendral, Jakarta, 2001, h.33

[219] Kuntjoro Purbopranoto, Beberapa Catatan Hukum Tata Pemerintahan Dan Peradilan Administrasi, Bandung: Alumni, 1981, h. 17